Menebar Ratu Balqis di Nusantara
Melihat kenyataan bahwa kuota 30 % bagi perempuan untuk anggota legislatif masih sangat sulit terpenuhi, maka hal ini patut direnungkan dalam rangka memperingati Hari Kartini 21 April 2014. Untuk itu, sengaja dimuat di blog ini artikel dari buku Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA, Mengabdi Bangsa bersama Presiden Megawati, h. 131-154 dari (400 halaman), dengan maksud membangkitkan semangat kaum perempuan untuk membongkar belenggu tradisi dan paham keagamaan yang menghalangi emansipasi mereka.
Ratu Balqis adalah seorang Ratu di zaman Nabi Sulaiman, Ratu yang kemimpinannya diabadikan dalam Al-Qur’an, sebagai pemimpn yang kuat. Sengaja memilih judul di atas untuk bahagian ini, guna menjawab apakah seorang perempuan berkompeten dan halal memimpin?
Karena terjebak dalam sistem patrilineal Arab, maka isu terpenting bagi sebahagian umat Islam di Indonesia menyangkut pemimpin ialah soal pemimpin perempuan. Ketika mengunjungi daerah pemilihan legislatif (2004 dahulu), penulis membawa sebuah foster berlatar belakang gambar Ibu Mega. Sepontan saja, sebahagian yang hadir nyeletuk, menunjukkan resistensi mereka terhadap perempuan jadi Presiden. Maka penulis pun harus mempersiapkan argumen yang logis, didasari dalil-dalil syariat yang dapat diterima oleh umat Islam, bahwa agama Islam tidak mengharamkan perempuan menjadi pemimpin, karena itu Ibu Mega boleh saja (halal) menjadi Presiden. Memilih beliau menjadi Presiden bukanlah pekerjaan yang haram, melainkan pekerjaan mulia sebagai salah satu penghargaan terhadap wanita yang pantas menduduki posisi tersebut.
Dalam Al-Qur’an, memang ada ayat yang dipahami sebahagian ulama sebagai dasar kepemimpinan kaum laki-laki atas kaum perempuan. Namun, persoalannya sangat kontroversial, sehingga memerlukan penafsiran baru, apalagi mengingat kondisi sosial kekinian yang semakin berkembang dengan segala perubahannya di zaman moderen. Kita simak lebih dahulu ayat berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah memberikan keunggulan (SDM) sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan dengan kemampuan mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka (Q.S.al-Nisa [4]: 34).
Dalam Ushul Fikih, ayat seperti ini disebut ayat khabariyah (informasi sejarah), yang mengisahkan realitas masa lalu (di zaman Nabi SAW); tidak tergolong ayat insya`iyah (perintah/larangan). Ayat ini tidak membatasi kepemimpinan sebagai hak monopoli kaum laki-laki. Tak ada sama sekali lafal dalam ayat tersebut menunjukkan hak monopoli itu. Ayat tersebut justru hanya menginformasikan dua alasan sejarah, mengapa di zaman Nabi SAW laki-laki lebih berpeluang menjadi pemimpin, yakni: pertama, adanya keunggulan sumber daya (SDM), yang ketika itu masih didominasi kaum laki-laki pada umumnya. Kedua, ialah kekuatan ekonomi yang di zaman itu juga pada umumnya masih dikuasai kaum laki-laki, sehingga mereka menjadi sumber nafkah bagi keluarganya.
Tetapi, dalam perkembangan peradaban manusia dari zaman ke zaman, hingga saat ini, ternyata dua alasan penting tersebut juga sudah ada pada kaum perempuan. Keunggulan SDM berupa kecerdasan tidak lagi menjadi monopoli kaum laki-laki, bahkan dalam situasi dan kondisi lokal tertentu, sering dijumpai perempuan lebih berpotensi dan lebih unggul dari kaum laki-lakinya. Karena itu, jangan heran jika tak dapat lagi dibendung tampilnya kaum perempuan menjadi pemimpin mereka. Hal itu terjadi, bukan hanya karena kebetulan, tetapi memang sudah saatnya, sudah merupakan kehendak zaman yang ditakdirkan Allah SWT, karena ketika masyarakat membutuhkan pemimpin yang cerdas dan dapat diterima oleh masyarakat luas, ternyata tidak sedikit berasal dari kalangan perempuan.
Demikian pula alasan yang kedua, kemampuan eknomi, kini sudah tidak lagi menjadi monopoli kaum laki-laki. Bahkan sudah banyak dijumpai keluarga yang kehidupannya tergantung pada isteri atau anak perempuan. Hal ini antara lain karena tidak sedikit perempuan yang status sosial, karir dan kekayaannya lebih menonjol, sehingga pada pundaknyalah keluarga dan orang sekitarnya menggantungkan hidup. Lebih dari itu telah banyak dijumpai perempuan konglomerat yang menjadi pemilik atau direktris sebuah perusahaan besar, mencontoh Khadijah RA, isteri Nabi SAW yang jadi konglomerat di zamannya. Dalam keadaan demikian, masyarakat tidak keberatan jika dipimpin oleh perempuan.
Dua hal tersebut di atas semakin memperkuat alasan untuk memberi peluang kaum perempuan menjadi pemimpin. Al-Qu’ran menyebut kaum laki-laki, karena ketika turunnya Al-Qur’an, potensi-potensi kepemimpinan menurut Q.S.al-Nisa [4]: 34 di atas, masih domain kaum laki-laki. Tetapi kini zaman telah berubah, potensi keunggulan itu pun juga sudah dimiliki kaum perempuan, maka tak ada alasan lagi untuk menolak perempuan menjadi pemimpin.
Sebenarnya tak dapat dipungkiri bahwa Nabi SAW sendiri telah mengakui dan sangat menghargai kepemimpinan perempuan. Beliau bahkan pernah bergabung dalam sebuah managemen perusahaan di bawah pimpinan Khadijah RA, perempuan konglomerat termasyhur di jazirah Arab ketika itu. Nabi Muhammad SAW mustahil melakukan hal ini sekiranya pemimpin perempuan itu haram, karena Mahasuci Allah SWT yang senantiasa melindungi Nabi-Nya dari akhlak yang buruk dan haram. Dalam buku Sirah Ibn Hisyam disebutkan bahwa Khadijah RA menjadi pemimpin karena dua hal yakni: (dzat syarf wa mal) memiliki keunggulan SDM (martabat / kecerdasan) dan kekuatan ekonomi.[1] Dengan begitu, Khadijah telah memenuhi dua syarat utama jadi pemimpin seperti yang disebut dalam Q.S.al-Nisa (4): 34. Pada akhirnya Khadijah RA, yang dalam literatur sejarah disebut sebagai al-Sayyyidah (Pemimpin Perempuan) itu menjadi isteri Nabi Muhammad SAW.
Selain Khadijah, Aisyah RA selaku isteri Nabi SAW juga telah memainkan peran kepemimpinan. Beliau pernah menjadi Panglima Perang sepeninggal Rasulullah SAW dalam suatu kemelut politik di zaman Khalifah Ali RA; dan istimewanya pula, beliau menjadi salah satu referensi Hadits dan Sunnah Rasulullah SAW yang menjadi pegangan utama kaum Sunni. Kalau tindakan Aisyah RA menjadi Panglima merupakan pelanggaran yang haram, maka secara otomatis sebahagian besar hadits / sunnah warisan kaum Sunni harus dibongkar dan ditinggalkan, atas prinsip tidak boleh menerima riwayat dari orang yang terang-terangan berbuat haram. Satu-satunya jalan untuk tetap mengakui kesahihan dan keutuhan sunnah Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah RA ialah mengakui kepemimpinan beliau (perempuan) sebagai perbuatan yang halal.
Berdasarkan sunnah faktual yang tak terbantahkan di atas, yang membuktikan bahwa isteri-isteri Nabi pun, Khadijah dan Aisyah, ternyata pernah menjadi pemimpin, maka ayat Q.S.al-Nisa (4): 34 tidak dapat dijadikan dasar untuk menolak perempuan jadi pemimpin. Tafsir yang paling kuat adalah sunnah dan sejarah, sehingga tafsir wacana apapun yang menolak fakta historis kepemimpinan perempuan adalah sangat tidak realistis dan tak dapat diterima. Jadi, makna ayat Q.S.al-Nisa (4): 34 itu lebih pada soal syarat pemimpin, yakni keunggulan SDM dan dukungan ekonomi, dua hal yang telah dimiliki pula oleh kaum perempuan. Karena itu, siapapun yang memiliki dua syarat tersebut, laki-laki atau perempuan semuanya berhak jadi pemimpin menurut ajaran Islam.
Kepemimpian perempuan yang pernah dilarang oleh Rasulullah SAW hanyalah kepemimpinan yang berkuasa absolut seperti dalam sistem pemerintahan monarki. Itulah sebabnya maka ketika Rasulullah SAW mendengar bahwa putri Kaisar Persia diangkat menjadi Kaisar di negeri itu, maka beliau menyatakan sebagai berikut: lan yuflih al-qawm wallaw amrahum imraah (tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (negara) nya di bawah (Kaisar) perempuan).[2]
Jadi, kepemimpinan perempuan yang tidak absolut seperti dalam sistem monarki konstitusional, itu tidak dilarang, apalagi dalam konteks republik moderen yang telah membagi kekuasaan menurut trias politika, yakni eksekutif (pemerintahan), yudikatif (kehakiman) dan legislatif (parlemen), semuanya tidak dilarang. Dengan demikian, perempuan boleh menjadi Presiden, Ketua Mahkamah Agung, atau Ketua Parlemen (DPR), semuanya tidak haram, karena kekuasaannya tidak absolut. Khusus Presiden, hanya berkuasa pada aspek pemerintahan di bawah kontrol Parlemen dan Kehakiman. Tapi jika seorang perempuan menghimpun semua kekuasaan pada dirinya, menjabat Presiden sekaligus merangkap Ketua Parlemen dan Mahkamah Agung, apalagi juga menjadi Panglima TNI dan Polri, sehingga ia berkuasa absolut seperti raja dan kaisar di zaman dahulu, itulah yang diharamkan oleh Rasulullah SAW.
Alasan lain yang sangat mencolok bagi kepemimpinan perempuan dalam Islam ialah adanya izin Rasulullah SAW terhadap seorang perempuan bernama Ummu Waraqah untuk menjadi Imam (pemimpin) dalam shalat jamaah di pemukimannya, walaupun ada laki-laki dewasa yang jadi muadzin. Riwayat itu menyebutkan: “wa udzina laha an tuadzdzana laha, wa an ta’umma ahla dariha” (dan diizinkanlah oleh Rasulullah untuk diazankan baginya, dan agar dia memimpin penduduk negerinya dalam shalat fardhu).[3]
Penulis kitab Subul al-Salam bahkan tegas menyatakan:
Hadits ini merupakan dalil atas sahnya perempuan jadi imam (pemimpin) shalat bagi penduduk lingkungannya, meskipun terdapat di antara mereka laki-laki dewasa, karena ternyata dia mempunyai muadzdzin, yang adalah seorang laki-laki dewasa, sebagaimana disebut dalam riwayat tersebut.[4]
Tegasnya, bahwa dalam soal ibadah ritual saja Nabi membolehkan bahkan memerintahkan seorang perempuan untuk menjadi pemimpin, apalagi dalam soal kehidupan muamalah masyarakat, bangsa dan negara, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Dengan kata lain, imam perempuan tidaklah haram, karena imam dalam shalat juga tidak berkuasa absolut, ada muadzin dan ada ma’mum yang bisa mengoreksinya jika sang imam melakukan kekeliruan dan kesalahan. Mungkin analoginya kurang pas, tapi yang jelas Nabi Muhammad SAW tidak menutup kesempatan perempuan menjadi imam dan pemimpin dalam arti luas, dengan ketentuan memenuhi syarat, yakni keunggulan SDM dan kemampuan ekonomi.
Akhirnya perlu ditegaskan bahwa mustahil Al-Qur’an menukilkan kisah Ratu Balqis sebagai Ratu (pemimpin) yang kuat dan senang bermusyawarah, yang patut ditiru andaikata memang pemimpin perempuan itu haram. Walaupun Al-Qur’an, menyebut Ratu Balqis sebagai pemimpin yang mulanya fujur dan kafir, tetapi Ratu Balqis yang dipuji keberhasilannya memimpin itu pada akhirnya beriman di bawah bimbingan Nabi Sulaiman. Sebelum beriman saja, kepemimpinan Ratu Balqis disebut Al-Qur’an dapat dicontoh, kuat dan bermusyawarah, apalagi setelah beriman bersama Nabi Sulaiman. Hal ini dikisahkan dalam Al-Qur’an, S. al-Naml, [27], antara lain ayat 23:
إِنِّي وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. (Q. S. al-Naml, [27]: 23)
قَالَتْ يَا أَيُّهَا المَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمْراً حَتَّى تَشْهَدُونِ
Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku)”. (Q. S. al-Naml, [27]: 32).
Untuk itu, perlu upaya akseleratif untuk melahirkan dan menebar sekian banyak tokoh perempuan semisal Ratu Balqis dan Khadijah isteri Rasulullah SAW di Nusantara, baik sebagai legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maupun sebagai cendekiawan (ilmuwan), pelaku bisnis, TNI – Polri dan lain-lain. Wallahu A’lam bi al-shawab.
[1] Abd al-Malik bin Hisyam, Al-Sirat al-Nabawiyah, (Beyrut: Dar al-Jayl, 1411 H), Juz II, h. 55. Juga dalam Muhammad ibn Jarir, Abu Ja`far al-Thabariy, Tarikh al-Thabariy, (Beyrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H), Juz I, h. 521. Lebih lengkap hadits dalam Muhammad bin Sa`d, Abu Abdillah al-Bashriy, Al-Thabaqat al-Kubra, (Beyrut: Dar al-Shadir, t.t.), Juz VIII, h. 16.
[2]Lihat dalam Al-Bukhary, Shahih al-Bukhariy, Bab Kitab al-Nabi ila Kisra wa Qaishar (Beyrut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987 / 1407), Juz 4, h. 1610.
[3] Lihat dalam Ibn Khuzaymah, Shahih Ibnu Khuzaimah, (Beyrut: al-Maktabat al-Islamiy, 1970 / 1390), Juz III, h. 89, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Juz III, h. 130, ‘Awnu al-Ma`bud, Juz II, h.212 dan 225, Subul al-Salam, Juz II, h. 35, sebagaimana terhimpun dalam CD Room Al-Maktabat al-Alfiyah li al-Sunnat al-Nabawiyah.
[4] Al-Kahlaniy, Al-San`aniy, Muhammad bin Isma`il, Subul al-Salam , Syarh Bulugh al-Maram,Juz II, h. 35.