Oleh: Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA
Setiap akhir tahun, persoalan umat beragama yang paling sering muncul ialah bagaimana hukumnya seorang Muslim mengucapkan Selamat Natal, atau Selamat Merayakan Natal?
Menyangkut hal ini, saya akan coba menjelaskan dua persoalan.
Persoalan pertama dan utama yang harus dipahami dahulu ialah, bahwa ucapan selamat untuk hari-hari suci agama lain, bukanlah ibadah. Maka ketika kita mengucapkan Selamat Hari Natal untuk umat Kristiani, Selmat Galungan dan Kuningan untuk umat Hindu, Selamat Waisak untuk umat Budha, Selamat Imlek (Gong Xi Fat Chai) untuk umat Konghuchu, tidaklah berarti bahwa kita beribadah seperti mereka.
Sama halnya jika umat-umat agama lain itu mengucapkan Selamat Idil Firi atau Selamat Idul Adha kepada umat Islam, tidak berarti mereka turut beribadah sholat idil fitri dan sholat idil Adhha.
Dengan demikian, Ucapan Selamat Natal kepada umat Kristen yang merayakannya, hanyala merupakan kalimat sapaan pergaulan yang sopan menandai hubungan harmonis dalam pergaulan kita dengan umat agama lain.
Hal sangat sejalan dengan firman Alah SWT dalam Q.S.Al-Mumtahanah (60): 8 :
لا ينهىكم الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين
“Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampong halamanmu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”
Hal yang kedua yang perlu dipahami bahwa menurut keyakinan kaum Kristen, Yesus Al-Masih (Isa Al-Masih dalam Islam), itu adalah berada pada dua dimensi wujud, yakni dimensi Ketuhanan (Ilahiyah), dan dimensi kemansiaan (insaniyah).
Dari sisi ketuhanan (ilahiyah) Yesus, saya tidak akan membahasnya, karena bukan pada tempatnya saya membahas keyakinan agama lain.
Namun, dalam hal ini saya ingin bicara sedikit soal sisi kemanusiaan (insaniyah)-nya Yesus (Isa) Al-Masih. Bahwa umat Kristen pun memahami bahwa Yesus itu adalah manusia, yang mengalami masa kelahiran. Dalam Injil Matius dikisahkan bahwa Maria (Maryam dalam Al-Qur’an) mengandung sebelum digauli oleh suaminya bernama Yusuf. Malaikat menenangkan hati Yusuf dengan katanya: “Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dia-lah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka (Matius 1:21). “Tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan dia Yesus” (Matius1:25).
Secara sepintas ada kemiripan, bahwa Al-Kitab dan Al-Qur’an sama-sama mengakui kesucian Maria (Maryam) ibunda Yesus Al-Masih. Ia mengandung tanpa digauli laki-laki. Dan sama-sama mengakui Yesus Al-Masih itu anak laki-laki dari Bunda Maria. Di situlah sisi kemanusiaan Yesus Al-Masih itu.
Soal kelahiran Yesus (Isa) Al-Masih, disebutkan dalam Al-Quran Surah Maryam (19) ayat 33:
والسلام علي يوم ولدت ويوم أموت ويوم أبحث حيا
“Dan Salam sejahtera atasku pada hari kelahiranku, dan pada hari aku diwafatkan, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”
Sebagai manusia anak biologis dari seorang perempuan bernama Maryam , hari kelahiran Yesus (Isa) Al-Masih populer disebut Hari Natal. Maka yang lahir (natal) sebenarnya bukanlah sisi Ketuhanan (Ilahiyah)-nya Yesus (Isa) Al-Masih, melainkan sisi wujudnya sebagai anak manusia. Maka kalau kita umat Islam mengucapkan Selamat Natal, dengan keyakinan bahwa Yesus Al-Masih lahir sebagai anak manusia, yang diutus sebagai Rasul Allah, tidaklah membawa kita keluar dari aqidah Tauhid. Atau tegasnya, kita tidak serta-merta menjadi murtad. Bukankah agama kita mengharuskan untuk menghormati semua Rasul Allah tanpa membeda-bedakannya, sebagaimana kita mengahrgai dan menghormati Nabi Besar Muhammad SAW.
Ucapan Selamat Natal dengan keyakinan seperti ini, menurut Sang Maha Guru, Prof. Quraisy Syihab, adalah uacapan Natal Qurani (lihat dalam Tafsir Al-Mishbah, vol. VII, h. 444-445). Wallahu A’lam bi al-Showabi.