PEMIMPIN PEREMPUAN

Banyak orang mengagung2kan Sang Ibu.  Banyak orang yang mengagumi Sang Ibu. Tapi mungkin semuanya hanya semu, bermaksud utk menghibur hati para kaum Ibu, terlena tanpa merasa terjebak dalam ekploitasi kaum Bapak.  Berabad2 kaum Bapak merasa berhak mengatur segala aspek kehidupan di atas kaum perempuan. Sampai mengharamkan kaum Ibu jadi pemimpin. Dengan nada yang menyakitkan hati kaum Ibu, ulama dan ustadz bahkan menyerukan bhw peremouan hanya berhak melahirkan pemimpin tapi todak boleh jadi Pemimpin. Mereka lebih tepat dikatakan Ulama Patrilinealis ketimbang Islam Qurani.  Bukankah AlQuran mengisahkan Ratu Balqis yang beriman bersama Nabi Sulaiman?  Menurut AlQuran, Allah memuji Ratu Balqis, pemimpin yg kuat dan suka bermusyawarah.  Pujian Allah kpd Ratu Balqis menunjukkan Pemimpin Perempuan Halal.  Sebab, musstahil Allah memuji sesuatu yang diharamkan.  SELAMAT HARI IBU.  ENGKAU SANG IBU TERHORMAT DI SAMPING KAUM BAPAK

Berikut kami kutipkan dari buku Islam Rahmah untuk Bangsa, karya Prof. Dr. Hamka Haq, MA

HAK PEREMPUAN JADI PEMIMPIN

Berbicara soal kepemimpinan perempuan, patut kita renungkan kisah Ratu Balqis dalam Al-Qur’an, seorang pemimpin perempuan yang diakui kekuatan dan kearifannya memimpin.  Bahwa Ratu Balqis memang bukanlah seorang Nabi, tetapi kemimpinannya diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai sosok pemimpin yang kuat dan bijak, suka bermsyawarah dan berhasil memakmurkan negerinya.  Walaupun Al-Qur’an, menyebut Ratu Balqis sebagai pemimpin yang mulanya fujur dan kafir, tetapi pada akhirnya Ratu Balqis yang diakui keberhasilannya memimpin itu menjadi Ratu yang beriman di bawah bimbingan Nabi Sulaiman.  Sebelum beriman saja, Ratu Balqis mampu memimpin dan memakmurkan negerinya, apalagi setelah beriman bersama Nabi Sulaiman.  Hal ini dikisahkan dalam Al-Qur’an, S. al-Naml, [27]:  22-44.

Jadi sangat ironis, jika ada pandangan yang mengharamkan perempuan jadi pemimpin, padahal Al-Qur’an sendiri menyebut Ratu Balqis sebagai pemimpin yang kuat dan memakmurkan rakyatnya.  Mustahil Allah SWT mewahyukan kisah itu, sebagai yang patut diteladani bagi umat-umat di kemudian, seandainya Dia mengharamkan perempuan memimpin.   Hal ini mnjadienjelas bahwa wanita itu halal jadi pemimpin.

Berdasarkan hal di atas, maka ayat yang diadikan dasar sebahagian ulama untuk mengharamkan wanita memimpin perlu ditafsir ulang, sekaligus juga untuk menyesuaikannya dengan kondisi sosial kekinian yang berkembang di zaman moderen.  Kita simak lebih dahulu ayat berikut:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah memberikan keunggulan (SDM) sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan dengan kemampuan mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka (Q.S.al-Nisa [4]:  34).

Ayat ini sebenarnya tidak membatasi kepemimpinan sebagai hak monopoli kaum laki-laki.  Tak ada sama sekali lafal dalam ayat tersebut menunjukkan hak monopoli itu.  Ayat tersebut justru hanya menegaskan dua alasan utama, mengapa di zaman Nabi SAW laki-laki lebih berpeluang menjadi pemimpin, yakni: pertama, bahwa keunggulan sumber daya (SDM) ketika itu pada umumnya masih milik kaum laki-laki.  Kedua,  ialah kekuatan ekonomi yang di zaman itu juga pada umumnya masih berada pada kaum laki-laki, sehingga laki-laki menjadi sumber ketergantungan nafkah bagi keluarganya.

Tetapi, dalam perkembangan peradaban manusia dari zaman ke zaman, hingga saat ini, ternyata dua alasan penting di atas juga sudah ada pada kaum perempuan.  Keunggulan SDM berupa kecerdasan tidak lagi menjadi monopoli kaum laki-laki, bahkan dalam situasi dan kondisi lokal tertentu, sering dijumpai sejumlah perempuan lebih berpotensi dan lebih unggul dari kaum laki-lakinya.  Karena itu, jangan heran jika di negeri tertentu, tak dapat lagi dibendung tampilnya kaum perempuan menjadi pemimpin. Hal itu terjadi, bukan hanya karena kebetulan, tetapi memang sudah saatnya, karena ketika masyarakat membutuhkan pemimpin yang cerdas atau yang dapat diterima oleh masyarakat luas, ternyata tidak sedikit berasal dari kalangan perempuan.

Demikian pula alasan yang kedua, kemampuan eknomi, kini sudah tidak lagi menjadi monopoli kaum laki-laki.  Bahkan sudah banyak dijumpai keluarga yang kehidupannya tergantung pada isteri atau anak perempuan.  Hal ini antara lain karena tidak sedikit perempuan yang status sosial, karir dan kekayaannya lebih menonjol, sehingga pada pundaknyalah keluarga dan orang sekitarnya menggantungkan hidup.  Lebih dari itu telah banyak dijumpai perempuan konglomerat yang menjadi pemilik atau direktris sebuah perusahaan besar, mencontoh Khadijah RA, isteri Nabi SAW yang jadi konglomerat di zamannya. Dalam keadaan demikian, mereka tidak keberatan jika dipimpin dan dibiayai oleh perempuan.

Dua hal tersebut di atas semakin memperkuat alasan untuk memberi peluang bagi kaum perempuan menjadi pemimpin.  Al-Qur’an menyebut kaum laki-laki, karena ketika turunnya Al-Qur’an, potensi-potensi kepemimpinan menurut Q.S.al-Nisa [4]: 34 di atas, masih domain kaum laki-laki.  Tetapi kini zaman telah berubah, potensi keunggulan itu pun juga sudah beralih kepada kaum perempuan, maka tak ada alasan lagi untuk menolak perempuan menjadi pemimpin.

Sebenarnya tak dapat dipungkiri bahwa Nabi SAW sendiri telah mengakui dan sangat menghargai kepemimpinan perempuan.  Beliau bahkan pernah bergabung dalam sebuah managemen perusahaan di bawah pimpinan Khadijah RA, perempuan konglomerat termasyhur di jazirah Arab ketika itu.  Nabi Muhammad SAW mustahil melakukan hal ini sekiranya pemimpin perempuan itu haram, karena Mahasuci Allah SWT yang senantiasa melindungi Nabi-Nya dari akhlak yang buruk dan haram.  Dalam buku Sirah Ibn Hisyam disebutkan bahwa Khadijah menjadi pemimpin karena dua hal yakni:  (dzat syarfin wa malin) memiliki keunggulan SDM (martabat / kecerdasan) dan kekuatan ekonomi.  Dengan begitu, Khadijah RA menjadi pemimpin karena memenuhi dua syarat utama seperti yang disebut dalam Q.S.al-Nisa (4): 34.  Pada akhirnya Khadijah RA, yang dalam literatur sejarah disebut sebagai al-Sayyyidah (Tuan atau Pemimpin Perempuan) itu menjadi isteri Nabi Muhammad SAW.

Selain Khadijah, Aisyah RA selaku isteri Nabi SAW juga telah memainkan peran kepemimpinan.  Beliau pernah menjadi Panglima Perang sepeninggal Rasulullah SAW dalam suatu kemelut politik di zaman Khalifah Ali RA; dan istimewanya pula, beliau menjadi salah satu referensi Hadits dan Sunnah Rasulullah SAW yang menjadi pegangan utama kaum Sunni.  Kalau tindakan Aisyah RA menjadi Panglima merupakan pelanggaran yang haram, maka secara otomatis sebahagian besar hadits / sunnah warisan kaum Sunni dari Aisyah RA harus dibongkar dan ditinggalkan, atas prinsip tidak boleh menerima riwayat dari orang yang terang-terangan berbuat haram.  Satu-satunya jalan untuk tetap mengakui kesahihan dan keutuhan sunnah Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah RA ialah mengakui kepemimpinan beliau sebagai langkah yang dibenarkan syariat Islam.

Berdasarkan sunnah faktual yang tak terbantahkan di atas, yang membuktikan bahwa isteri-isteri Nabi pun, Khadijah dan Aisyah, ternyata pernah menjadi pemimpin, maka ayat Q.S.al-Nisa (4): 34 tidak dapat dijadikan dasar untuk menolak perempuan jadi pemimpin.  Tafsir yang paling kuat adalah sunnah dan sejarah, sehingga tafsir apapun yang menolak fakta historis kepemimpinan perempuan adalah sangat lemah dan tidak realistis.  Jadi, makna ayat Q.S.al-Nisa (4): 34 itu lebih pada soal syarat pemimpin, yakni keunggulan SDM dan dukungan ekonomi, dua hal yang telah dimiliki pula oleh kaum perempuan dewasa ini.  Karena itu, siapapun yang memiliki dua syarat tersebut, laki-laki atau perempuan semuanya berhak jadi pemimpin menurut ajaran Islam.

Alasan lain yang sangat mencolok bagi kepemimpinan perempuan dalam Islam ialah adanya perintah Rasulullah SAW terhadap seorang perempuan bernama Ummu Waraqah untuk menjadi Imam (pemimpin) dalam shalat jamaah di lingkungan pemukimannya, sebagai berikut:

أن نبي الله  صلى الله عليه وسلم كان يقول انطلقوا بنا نزور الشهيدة وأذن لها ان تؤذن لها وأن تؤم أهل دارها في الفريضة

Bahwa Nabi SAW bersabda: Marilah kita menziarahi perempuan yang syahidah ini (Ummu Waraqah), beliau mengizinkannya untuk diazankan baginya, dan agar dia memimpin penduduk negerinya dalam shalat fardhu.

Dalam kitab Subulu al-Salam bahkan tegas disebutkan:

والحديث دليل على صحة إمامة المرأة أهل دارها وإن كان فيهم الرجل فإنه كان لها مؤذن وكان شيخا كما في الرواية

Hadits ini merupakan dalil atas sahnya perempuan jadi imam (pemimpin) shalat bagi penduduk negerinya, meskipun terdapat di antara mereka laki-laki dewasa, karena ternyata dia mempunyai muadzdzin, yang adalah seorang laki-laki dewasa, sebagaimana disebut dalam riwayat tersebut.

Tegasnya, Nabi memerintahkan Ummu Waraqah, seorang perempuan menjadi Imam shalat walaupun terdapat laki-laki dewasa.  Artinya, dalam soal ibadah ritual saja Nabi membolehkan bahkan memerintahkan seorang perempuan untuk menjadi pemimpin (imam) dalam kondisi tertentu, apalagi dalam soal kehidupan muamalah masyarakat, bangsa dan negara, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya.  Tegasnya, imam perempuan tidaklah haram dan perintah Nabi SAW kepada Ummu Waraqah jelas bukan kesalahan, sebab Mahasuci Tuhan yang melindungi Nabi-Nya dari keterlibatan pada keharaman.  Wallahu a’lam bi al-shawab.

.

PEREMPUAN, ORANG TUA SEJATI

RA Kartini, pejuang emansipasi kaum wanita Indonesia.

RA Kartini, pejuang emansipasi kaum wanita Indonesia.

Banyak ulama dan pemikir serta praktisi hukum Islam yang berpendapat tidak adil, hanya memandang kaum laki-laki sebagai orang tua pemilik sah bagi anak-anaknya.   Untuk menunjukkan kekeliruan pandangan seperti itu, berikut ini dikutipkan naskah dari isi buku ISLAM RAHMAH untuk BANGSA, karya Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA.

 

Hak Perempuan sebagai Orang Tua

Alasan utama mengapa kaum perempuan harus dihargai, ialah karena dari rahimnyalah setiap orang lahir ke dunia.  Perempuan sebagai ibu yang melahirkan, telah menanggung beban penderitaan sejak mengandung, melahirkan sampai memelihara anak-anaknya.  Karena itu, Allah SWT memerintahkan setiap orang untuk menghormati ibunya.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

 

Dan Kami washiatkan agar manusia (berbuat baik) pada kedua orang tua (ibu-bapaknya); ibunya telah mengandungnya dalam keadaan selemah-lemahnya, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tua (ibu bapak) mu, hanya kepada-Kulah tempat kembalimu (Q.S.Luqman [31]: 14).

Menyangkut hak perempuan dalam keluarga, khusus mengenai statusnya sebagai orang tua, ternyata banyak disalah-pahami.  Sebahagian ulama menisbahkan anak hanya kepada kaum bapa (laki-laki) sebagaimana prinsip garis keturunan patrilineal bangsa Arab.  Hal ini sudah menjadi ketentuan selama berabad-abad dalam fikih, bahwa garis keturunan itu hanya ikut kepada ayah, bukan kepada ibu.  Ini jelas-jelas merupakan pelanggaran syariah dan penistaan kaum perempuan, sebab perempuan yang telah bersusah payah mengandung dan memelihara anaknya, hanya dinilai sebagai pangasuh bukan sebagai garis keturunan;  maka, di mana letak keadilannya?, padahal Islam selalu disebut sebagai agama yang paling adil dengan seribu satu macam slogan keadilan?

Menurut hemat penulis, terjadi ketidak-adilan dalam mengartikan ayat Al-Qur’an menyangkut garis keturunan ini, sehingga sebahagian mufassir, yang adalah pada umumnya laki-laki, secara subyektif menafsirkan sesuai dengan prinsip patrilineal, bahwa anak itu anak ayah bukan anak ibunya.   Padahal, dalam Q.S.Luqman (31) ayat 14 di atas, secara adil perempuan diakui sebagai orang tua (ibu) bersama ayah dengan terminologi walidayh (kedua orang tuanya).  Bahkan, ditekankan di dalamnya agar setiap orang lebih menghargai ibunya, karena jasanya yang begitu besar dalam mengandung, melahirkan dan memelihara anak-anaknya, ketimbang ayah.

Ketidak-adilan terjadi ketika menafsirkan kalimat mawlud lah (dilahirkan untuknya) yang diartikan bahwa anak itu dilahirkan untuk ayahnya, sebagai terdapat dalam ayat berikut:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf (Q.S.al-Baqarah [2]: 233).

Bertolak dari posisi ayah sebagai al-mawlud lah pada ayat di atas, maka lahirlah pemahaman yang tidak adil, bahwa yang berhak memiliki anak adalah ayah, bukan ibu, karena ibu hanya sekadar melahirkan.  Pemahaman subyektif ini terilhami oleh kultur patrilineal bangsa Arab, dengan mengabaikan tema utama Al-Qur’an tentang keadilan dan kesetaraan.  Padahal, di awal ayat tersebut jelas-jelas disebutkan kalimat awladahunna (anak-anaknya), yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an mengakui perempuan adalah pemilik sah bagi anak-anaknya, yang karenanya dianjurkan untuk menyusui anak-anaknya itu sekitar dua tahun.

Sebenarnya, menurut Q.S.Luqman (31)  ayat 14 yang dikutip sebelumnya, Al-Qur’an tidak mengajarkan prinsip patrilineal (garis keturunan ayah), tetapi mengajarkan prinsip parental (garis keturunan ayah bersama ibu) secara berkeadilan.  Mari kita  mencoba menganalisisnya sebagai berikut.

Bahwa dalam ayat Q.S.al-Baqarah (2): 233 tersebut, Al-Qur’an menyebut ibu sebagai al-walidah, yang berarti orang tua yang melahirkan.  Makanya, ayat itu pun langsung menegaskan bahwa anak-anak yang dilahirkan itu adalah milik ibunya, dengan kalimat awladahunna (anak-anak mereka).  Secara terminolgi, setiap perkataan walid atau walidayn dan walidayh (Q.S.Luqman [31]: 14) adalah diartikan sebagai orang tua.  Orang tua laki-laki (ayah) disebut walid sedang orang tua perempuan (ibu) disebut walidah, dan kedua orang tua (ayah-ibu) disebut walidayn.  Jadi sebenarnya, ibu sebagai al-walidah adalah orang tua sejati bagi anaknya, dengan status istimewa sebagai orang tua sekaligus dia pula yang melahirkannya.

Berbeda dengan ayah, yang disebut mawlud lah; status sang ayah hanya sebatas orang tua yang memperoleh anak dari isterinya, namun bukan dia yang melahirkan dari rahimnya sendiri.  Perkataan mawlud lah ini semata-mata bermaksud menunjukkan adanya hubungan secara hukum antara ayah dan anak, jika anak itu lahir dari hasil pernikahan yang sah.  Sedangkan anak-anak yang lahir di luar nikah, atau tegasnya lahir dari perzinaan, maka ayah bilogis tidak mempunyai hubungan keluarga secara hukum dengan sang anak.  Dalam keadaan seperti ini, ayah tidak disebut sebagai walid dan tidak pula sebagai mawlud lah.  Jadi, hubungan keluarga antara ayah dan anak, sangat rapuh karena hanya bergantung pada status hukum semata-mata, bukan pada hubungan biologis; seperti inilah makna ayah sebagai mawlud lah.

Sementara perempuan (sang ibu) yang secara biologis menjadi orang tua, dalam keadaan apapun, baik anaknya lahir dari nikah yang sah maupun di luar nikah, sang ibu akan tetap disebut dalam Al-Qur’an sebagai walidah (orang tua).  Hal ini karena, sang ibu adalah benar-benar orang tua sejati, yang status keibuannya secara hukum dan biologis bersifat mutlak, tak ada yang dapat memutus hubungannya dari sang anak yang dia lahirkan sendiri.

Meskipun demikian, Al-Qur’an tidaklah menganjurkan prinsip matrilineal yang hanya mengakui garis keturunan pihak ibu, sebab di banyak ayat lainnya, orang tua selalu disebut sebagai walidayn (kedua orang tua).  Dengan demikian garis keturunan yang dianjurkan secara adil oleh syariah ialah parental (keturunan pihak ayah bersama ibu), bukan patrilineal, bukan pula matrilineal.  Hal ini semakin memperjelas dan mempertegas betapa syariah mengajarkan kesetaraan dan keadilan gender.

Laki-laki dan perempuan adalah orang tua yang sama haknya pada anak-anak mereka (gambar diunduh dari Google.com)

Laki-laki dan perempuan adalah orang tua yang sama haknya pada anak-anak mereka (gambar diunduh dari Google.com)