MENIRU TRADISI UMAT AGAMA LAIN

(BAGIAN 2)

Pada postingan yang lalu saya menyatakan bahwa pakai celana panjang dan jas lengkap yang semuanya berasal dari tradisi Barat Kristen, tidak membuat kita sama dgn atau menjadi Kristen. Jadi tidak semua perbuatan meniru kebiasaan umat agama lain itu dilarang. Karena yang dilarang menyerupai umat agama lain ialah perbuatan yang bersifat ritual ibadah.
Sepanjang tidak bersifat ibadah, hanya bersifat urusan duniawi, tentulah tidak dilarang.  Seperti pula memakai kalender Masehi (Miladiyah) yang asalnya adalah tradisi Kristen Barat, tidaklah haram, bahkan Arab Saudi sekarang telah beralih dari kalender Hijriyah ke Kalender Masehi dalam urusan ekonomi dan pemerintahannya.

Sekarang saya ingin menunjukkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan fasilitas ibadah pun, kita tidak dilarang meniru tradisi umat agama lain.  Contoh konkret adalah Masjid, yang sekitar 90% masjid di unia ini pakai kubah, padahal kubah itu adalah tradisi bangunan Romawi kuno yang diteruskan oleh Kristen Romawi di Eropah. Model itu tetap berlangsung sekarang, sehingga orang-orang yang pernah ke Eropah pasti melihat semua gereja di sana pakai kubah, termasuk gereja Agung di Rusia, di kota Kremlin.

Model kubah nanti mulai dipakai oleh umat Islam ketika Khalifah Umar merebut Palestina dari kekuasaan Romawi tahun 637 M, dan beiau membangun Masjid yang dikenal sebagai Masjid Umar yang berkubah batu, atau Dome of the Rock.  Apakah kita mau mengatakan bahwa semua umat Islam sekarang yang masjidnya pakai kubah itu menyerupai Kristen?  Apakah ini masuk dalam larangan hadits “man tasyabbah bi qawmin fahuwa minhum”? (siapa yang meniru tradisi suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka). Bukan hanya kubah, tapi juga menara yang jelas-jelas merupakan tiruan dari obor besar sesembahan api kaum Majusi. Ketika pasukan Islam memasuki wilayah Siria dan Irak kemudian masuk Persia mereka melihat ada menara api. Para Amir pimpinan pasukan itu pun tertarik membangun menara itu di samping masjid untuk digunakan mengumandangkan adzan agar suaranya menjangkau wilayah yang jauh dan luas.
Walauoun apinya dihilangkan, tetapi tetap saja disebut “manarah”, yang artinya tempat api, tidak diubah menjadi “ma’dzan” (tempat adzan). Apakah jamaah dari semua masjid yang ada menaranya itu sudah menyerupai kaum Majusi?.  Padahal jelas-jelas kubah dan menara sekarang ini sudah merupakan fasilitas beribadah umat Islam.

Maka sekali lagi saya menyatakan bahwa kubah dan menara tidak termasuk dilarang dalam hadits Nabi, karena kubah dan menara tidak merupakan materi ibadah, tetapi hanya fasilitas beribadah. Belum lagi kebiasaan sebagian umat Islam memakai tasbih, padahal tasbih itu tidak ada di zaman Nabi, sama dengan kubah dan menara semua tidak ada di zaman Nabi SAW. Tasbih dalam sejarahnya berasal dari tradisi kaum Budha, kemudian dipakai juga oleh pastor Katolik dan Rahib Yahudi.  Kemudian tradisi itu masuk dalam kehidupan Islam ketika ramai berdiri kelompok tarekat yang memperbanyak dzikir, dengan menggunakan alat hitung tasbih itu.  Apakah para ulama yang memakai tasbih itu juga sudah harus dicap menyerupai Budha, Yahudi dan Katolik.?

Umat Islam yang Masjidnya memakai kubah dan menara, Ulama yang memakai tasbih, semuanya hanya memakai fasilitas untuk beribadah, bukan meniru cara beribadah umat agama lain. Karena itu tentu saja mereka tidak daat disebut menyerupai umat agama lain.  Jadi jangan kita terlalu mudah menuduh sesama Muslim yang meniru tradisi umat lain, langsung dicap meniru budaya kafir dan menyerupai kafir.  Sebab kalau sikap kita menuduh seperti itu, maka masjid yang berkubah dan ber menara serta ulama yang pakai alat tasbih semuanya sudah menyerupai kaum non Muslim, apakah sudah menjadi non Muslim seperti itu? Jawabnya tidak. Sekali lagi yang dilarang hanyalah menyerupai dalam hal “materi ibadah”. Dalam hal duniawi seperti pakaian, kalender, dan teknologi lainnya, dan dalam hal fasilitas ibadah, seperti kubah dan menara masjid serta alat tasbih, tidaklah ada dosa jika umat Islam meniru umat agama lain.  Wallahu A’lam bi showabi.