Bung Karno Penggali Pancasila

soekarnoBung Karno Penggali Pancasila

(Dikuyip dari buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam karya Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA)

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), melakukan serangkaian sidang pada akhir bulan Mei 1945. Ketua BPUPKI dr. Radjiman, ketika membuka sidang mengemukakan pertanyaan: “Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya? Pada umumnya anggota enggan menjawab pertanyaan tersebut, dan lebih memilih langsung membicarakan soal Undang-Undang Dasar. Namun, seorang dari anggota badan tersebut menjawabnya, yakni Bung Karno, dalam bentuk pidato pada tanggal 1 Juni 1945, dengan judul Pancasila, atau lima sila.

Bung Karno menyampaikan lima dasar (sila) yang diusulkannya yaitu: pertama, nasionalsme atau kebangsaan, tapi bukan nasional-isme sempit atau chauvinisme. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan yang memandang seluruh bangsa mempunyai kesamaan harkat dan martabat. Untuk itu, kebangsaan haruslah disertai dengan sila kedua yakni internasionalisme atau perikemanusiaan. Bertolak dari kesamaan derajat dan martabat kemanusiaan, maka setiap warga masyarakat harus bebas dari penjajahan dan feodalisme. Dengan demikian, kedaulatan harus berada di tangan rakyat bangsa sendiri, sehingga sila ketiga ialah mufakat atau demokrasi. Tujuan dari negara ialah mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat sejahtera yang berkeadilan. Maka jadilah kesejahteraan sosial sebagai dasar keempat. Semua dasar negara tersebut, baik sebagai landasan maupun sebagai tujuan negara, adalah diabdikan oleh bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan masing-masing agama. Dengan kata lain, semuanya bermuara pada kepasrahan kepada Tuhan YME dengan mengharapkan ridah-Nya terhadap bangsa Indonesia. Dengan demikian, jadilah Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila kelima, yang menjadi sumber sekaligus tujuan akhir dari segalanya.

Merespon pandangan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 itu, sebuah panitia kecil dibentuk untuk merumuskan sistematika Pancasila tersebut, terdiri dari 8 orang yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Oto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wahid Hasjim. Tetapi kemudian, Bung Karno membentuk Panitia sembilan yang komposisinya adalah: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. A. Maramis, Mr. A. Soebardjo, K.H. Wahid Hasjim, Abdulkahar Muzakkir, H.A. Salim, dan Abi Koesno Tjokrosoejoso. Jika dicermati dua komposisi kepanitian yang agak berbeda tersebut, maka tak salah jika dikatakan bahwa Bung Karno sebenarnya menginginkan keseimbangan antara wakil kaum Nasionalisme murni dan Islam Nasionalis. Komposisi Panitia Delapan, hanya mendudukkan dua orang wakil Islam, yakni Ki Bagoe Hadikusumo dan K.H.Wahid Hasyim, sementara pada Panitia Sembilan, wakili golongan Islam ada empat, yakni: K.H.Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H.Agus Salim dan Abi Kusno Tjokrosoejoso, sama jumlahnya dengan wakil nasionalis. Apresiasi Bung Karno terhadap wakil golongan Islam ini menjawab secara tegas tuduhan orang yang mengatakan bahwa Bung Karno hanya memandang Islam sebelah mata.

Upaya Bung Karno menyeimbangkan wakil Nasionalis dan Islamis tersebut adalah manifestasi dari tekadnya untuk membela Islam dalam musyawarah dan mufakat. Bung Karno dalam pidatonya tgl 1 Juni 1945, telah menegaskan:  “– tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan, hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan.”

Di bawah pimpinan Bung Karno, Panitia Sembilan bertugas merumuskan sistematika Pancasila yang hasilnya berbeda dengan susunan awal dalam pidato Bung Karno. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam pidato Bung Karno sebagai sila kelima, dijadikan sila pertama. Sila kedua yang dalam pidato Bung Karno disebut internasionalisme atau perikemanusiaan dirumuskan menjadi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila pertama dalam pidato Bung Karno disebut Kebangsaan Indonesia dirumuskan menjadi Persatuan Indonesia dan ditempatkan pada sila ketiga. Sila keempat, kerakyatan, menggantikan apa yang dalam rumusan Bung Kanro disebut mufakat atau demokrasi. Sila kelima adalah keadilan sosial, sebagai rumusan dari prinsip kesejahteraan sosial menurut Bung Karno.

Sementara itu, desakan untuk memberlakukan Islam sebagai dasar negara sangat besar, sehingga pada tanggal 22 Juni 1945, usulan tersebut diakomodir oleh Panitia Sembilan dengan menambahkan tujuh kata pada sila pertama, sehingga berbunyi: “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”. Rumusan ini kemudian lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Rencananya, rumusan tersebut akan dijadikan sebagai rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Namun, Piagam Jakarta kemudian mendapat tantangan keras dari golongan nasionalis yang yang tidak bergabung dalam Panitia Sembilan yang tetap menghendaki negara Indonesia berdasar pada prinsip kebangsaan. Menurut mereka, tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta yakni: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, adalah bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang diperjuangkan oleh segenap warga bangsa dengan latar belakang agama yang berbeda-beda.  Maka pada tanggal 18 Agustus 1945, atau sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Bung Karno, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar sidang untuk membicarakan kembali soal Piagam Jakarta, terutama setelah adanya penolakan dari komunitas non Muslim dari wilayah Timur Indonesia. Adalah Bung Hatta yang menunjukan keprihatinannya atas dampak negatif jika kata syariat Islam dalam Piagam Jakarta itu tetap dipertahankan sebagai dasar negara. Beliau akhirnya berhasil membujuk pendukung Piagam Jakarta, agar kalimat yang berkonotasi syariat Islam, baik dalam Pancasila maupun dalam batang tubuh UUD 1945, dicoret demi persatuan bangsa dan tegaknya negara proklamasi sebagai negara kebangsaan.

Atas kebesaran jiwa dan kenegarawanan para pemuka Islam ketika itu, maka sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyepakati dihapusnya kata-kata ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari sila pertama Pancasila dan dari batang tubuh UUD 1945 pasal 29 ayat 1 digantikan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka rumusan Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus 1945 kembali seperti rumusan panitia sembilan sebelum Piagam Jakarta, yang adalah sebagai berikut:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijak-sanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
  5. Keadilan Sosial bagi Selurh Rakyat Indonesia

Bung Karno Perumus Pancasila

Walaupun secara historis Pancasila adalah rumusan yang berasal dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, beliau tidak pernah mau mengaku sebagai pencipta Pancasila. Beliau hanya mengaku sebagai penggali dan perumus. Namun, disayangkan ialah adanya kemudian upaya pihak tertentu di era Orde Baru untuk mengaburkan jasa Bung Karno sebagai perumus Pancasila. Mereka melakukan de-Soekarnoisasi menyangkut lahirnya Pancasila. Mereka tidak mengakui Pancasila 1 Juni, dan hanya mau mengakui Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Bagi mereka, hari lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945, melainkan 18 Agustus 1945. Mereka pun mencoba mengajukan dokumen yang menunjukkan bahwa rumusan Pancasila 1 Juni 1945, bukanlah monopoli Soekarno, karena katanya ada pembicara lain yang menyampaikan hal yang sama atau mirip dengannya, yakni pidato Muhammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945.

Jika bangsa kita mau jujur tanggal 18 Agustus bukanlah hari lahir Pancasila melainkan hari disahkannya menjadi dasar Negara. Ibaratnya seorang bayi yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945, kemudian di persaksikan secara resmi kepada keluarga dan tetangga sebagai anak yang sah pada hari “aqiqahnya” tanggal 18 Agustus 1945. Postur sang “bayi” pada hari aqiqah tidak lagi persis sama ketika saat-saat ia dilahirkan semula. Demikian halnya Pancasila, ketika disahkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, tentulah redaksi dan sistematika-nya tidak sama persis dengan rumusan awal dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itu.

Adalah sangat masyhur bagi sejarawan bahwa seusai Bung Karno menyampaikan pidatonya di depan BPUPKI, maka Pimpinan sidang, Dr. Radjiman langsung memutuskan untuk membentuk Panitia Kecil (Panitia Delapan), dengan tugas utama menyusun rumusan tentang Dasar Negara, dengan menjadikan pidato Bung Karno sebagai acuan utama. Mengapa harus dengan pidato Bung Karno, bukan yang lainnya?, karena rumusan mengenai lima dasar negara di dalam pidato Bung Karno sangat konkret, begitupun uraian tentang masing-masing lima dasar itu sangat jelas, sehingga Panitia Kecil tinggal menyerasikan redaksi dan sistematikanya, sesuai kesepakatan para anggota. Berbeda dengan penyampaian pembicara lainnya, yang kadang hanya mengemukakan secara pointer, atau penjelasan yang berbelit-belit, sehingga substansi dasar negara yang diinginkan tidak dapat dikonkretkan.

Mengenai dokumen pidato yang cukup panjang, yang diklaim berasal dari Mr. Muhammad Yamin, sangatlah diragukan, karena tidak terekam dalam Risalah Sidang BPUPKI yang otentik berasal dari Pringgodigdo Archief di Algemeen Rijksarchief Den Haag, yang sekarang tersimpan di Arsip Nasional Jakarta.. Dalam risalah BPUPKI yang otentik, ditandai dengan kertas resmi BPUPKI yang bertuliskan “Dokuritu Zyunbi Tyoosakai”, bukan “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” (kendatipun Dokuritu dibaca Dokuritsu … … ), tidak ditemukan pidato M.Yamin, kecuali kerangka singkat saja. Andaikata dokmen pidato Muhammad Yamin itu pun asli (otentik), maka tidak pula akan menjadi bahan utama bagi Panitia Kecil dalam permusan Pancasila, karena pembahasannya tidak se konkret dengan isi pidato Bung Karno.

Jadi, baik berdasarkan dokumen-dokumen sejarah yang otentik, maupun dilihat dari proses perumusan menjelang hari kemerdekaan dan sehari sesudah kemerdekaan, Pancasila untuk pertama kali disusun oleh Bung Karno sebagaimana disampaikan dalam pidatonya yang terkenal itu, pada tanggal 1 Juni 1945, dan beliau pula yang memberinya nama “Pancasila”. Maka sejak dari proses lahirnya, kemudian dicantumkannya dalam Pembukaan UUD 1945 sampai kemudian keluarnya dekrit 5 Juli 1959, eksistensi Pancasila tak dapat dipisahkan dari pribadi, pemikiran dan langkah-langkah strategis yang ditempuh Bung Karno. Atau tegasnya, Bung Karno lah penggali, perumus dan pengawal (penyelamat) Pancasila itu. Hal ini pun sejalan dengan wasiat Bung Hatta kepada Guntur Soekarno Putra yang seperti disaksikan oleh Bung Hatta bahwa Pancasila dirumuskan dari pidato Bung Karno di hadapan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang berjudul Pancasila.

Tapi sungguh hal yang sangat menarik bahwa di tengah gencar-gencarnya upaya de-Soekarnoisasi Pancasila di zaman Orde Baru, akhirnya pemerintah Orde Baru sendiri bersama Dewan Nasional Angkatan 45 pada tanggal 10 Januari 1975 membentuk Panitia Lima yang terdiri atas Bung Hatta, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Soenario, dan Abdul Gafar Pringgodigdo, untuk meneliti asal usul sebenarnya Pancasila. Sangat mengharukan dan menakjubkan, laporan Panitia Lima tersebut tentang asal usul Pancasila yang disampaikan kepada Presiden Soeharto melalui delegasi yang dipimpin oleh Jenderal Soerono pada tanggal 23 Juni 1975, temenegaskan bahwa asal-usul Pancasila berawal dari Pidato Bung Karno di depan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Subhanallah, kebenaran tak dapat disembunyikan.   Merdeka… !!!   Wallahu A’lam bi al-Shawab.

LIMA ALASAN SYARIAH MENGAPA HARUS JOKOWI – JK

 

LIMA ALASAN SYARIAT MENGAPA HARUS JOKO WIDODO – JUSUF KALLA,

Bagi mereka yang belum membaca Edaran Baitul Muslimin tentang Kriteria Memili Presiden menurut Syariat, berikut ini akan kami kemukakan lima alasan syariat untuk memilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sesuai edaran tersebut.

  1. Syariat menghendaki Pemimpin yang tidak berambisi. Umat Islam diharuskan memilih Pemimpin (Presiden) yang tidak ambisius, tidak meminta-minta jabatan Presiden, kecuali rakyat sendiri yang memintanya. Hadits Rasulullah SAW dari Abdur Rahman bin Samrah riwayat Bukhari dan Muslim:

قال لي رسول الله  صلى الله عليه وسلم ثم يا عبد الرحمن بن سمرة لا تسأل الإمارة  فإنك إن أعطيتها عن مسألة وكلت إليها وإن أعطيتها مسألة أعنت عليها

“Barsabda padaku Rasulullah SAW, hai Abdu Rahman bin Samrah: Jangan engkau meminta-minta jabatan (kekuasaan), sesungguhnya, jika engkau diberi jabatan karena permintaanmu, niscaya diserahkan padamu (tanpa pertolongan Allah dan manusia}; dan jika engkau diberi jabatan sebagai permintaan orang, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dan manusia) atasnya”.  (Shahih Bukhariy, Juz VI, h. 2443, hadits ke 6348) dan (Shahih Muslim, Juz III, h. 1273, hadits ke 1652).

JOKO WIDODO – JUSUF KALLA sangat sejalan dengan hadits Rasulullah SAW di atas, sebab MEREKA maju Capres / Cawapres tanpa pernah meminta atau memasang iklan, tetapi masyarakat lah yang memintanya untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, berdasarkan hasil survey.

  1. Syariat memberi jalan keluar bagi Joko Widodo dari Sumpahnya. Meskipun masih terikat sumpah untuk memimpin Jakarta selama 5 tahun, yang dijalaninya baru 2 (dua) tahun, Syariat Islam memberi jalan bagi JOKO WIDODO untuk maju menjadi (calon) Presiden dengan alasan kemaslahatan, dengan kewenangan yang lebih luas.  Hal ini sejalan dengan sambungan hadits di atas yang berbunyi:

وإذا حلفت على يمين فرأيت غيرها خيرا منها فكفر عن يمينك وائت الذي هو خير

Dan jika engkau bersumpah atas suatu pernjanjian, lalu engkau melihat suatu yang lebih baik daripadanya, maka tinggalkan (tebus) sumpahmu dan ambillah (tempulah) yang lebih baik itu.”

Sangat disayangkan karena ulama dan ustadz yang enggan memilih Jokowi – JK, sengaja menyembunyikan hadits ini.  Bahkan selalu menyampaikan tuduhan kemunafikan terhadap Jokowi karena dianggap berbohong dan tidak menepati sumpahnya, padahal seharusnya mereka (ulama seperti itu) tahu bahwa ada hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang membuka jalan bagi Jokowi untuk memilih yang lebh baik di luar sumpahnya.

  1. Pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla memenuhi syarat utama Pemimpin.  Syarat utama untuk menjadi Pemimpin, adalah Istitha’ah (kemampuan).  Ditandai dengan adanya mas’uliyah (tanggung jawab).  Pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla telah terbukti bertanggung jawab membina keutuhan keluarga dan rumah tangganya.   Seseorang yang tidak mampu membina rumah tangganya diragukan dapat memikul tanggung jawab (mas’uliyah) yang lebih besar seperti memimpin negara.
  1. Pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla, Pasangan Sederhana dan Merakyat.   Cara hidup Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah sederhana.  Mereka tidak memanfaatkan kedudukannya untuk hidup mewah.  Pergaulan dan pakaiannya semua sederhana, meneladani kesederhanaan pemimpin-pemimpin Islam di zaman awal,khususnya Nabi SAW dan para Al-Khulafa’ al-Rasyidun.
  1. Pemimpin Peduli Umat.   Joko Widodo didampingi Cawapres Jusuf Kalla, tokoh nasional yang dekat dengan ormas-ormas Islam.  Jusuf Kalla sendiri adalah salah seorang anggota Mustasyar PB Nahdhatul Ulama (NU), dan juga sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI).  Dapat diyakini mereka adalah Pemimpin yang peduli umat beragama, khususnya umat Islam dengan prinsip ajarah Rahmatan lil-alamin.  Sejalan dengan ini hadits riwayat Al-Thabraniy dan Al-Bayhaqiy:

من لم يهتم  بأمر المسلمين فليس منهم

Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka dia bukan dari golongan mereka”. (Kasyf al-khafa’, Juz II, h. 368) dan (Takmilat al-Ikmal, Juz I, h. 495).

Wallahu A’lam bi al-Shawab.