PELAJARAN BERHARGA DARI SUDAN DAN MESIR

Ratusan ribu raakyat Mesir turun berdemo, Messir di ambang Perang Saudara

Ratusan ribu raakyat Mesir turun berdemo, Messir di ambang Perang Saudara

PELAJARAN BERHARGA DARI SUDAN DAN MESIR
Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA
Bagi kita bangsa Indonesia, yang bertekad menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan, dan menghindari perang saudara, kita patut belajar dari peristiwa yang dialami dua negara di Temur Tengah (Afrika), yaitu Republik Sudan dan Repulik Mesir. Dalam setahun ini, dua negara tersebut telah mengalami peristiwa yang dahsyat mengubah peta wilayah dan peta kekuatan politiknya.
Seperti diketahui Sudan mulanya adalah sebuah negara Republik yang heterogen, warganya menganut dua agama besar, yakni Muslim dan Kristen, di samping masih banyak pula kaum Paganisme. Warga Muslim sebagian besar mendiami wilayah utara negara itu, sedang warga Kristen sebahagian besarnya mendiami wilayah selatan. Pada mulanya kelihatan rukun sebagai bahagian dari wilayah bekas Sudan Anglo-Mesir, atau kondominum Britania dan Mesir, yang mencapai kemerdekaaanya pada tahun 1956.
Karena perbedaan agama, ditambah dengan orientasi kepentingan politik yang berseberangan disertai perebutan sumber daya ekonomi yang pada umumnya berada di wilayah selatan, maka terjadilah perang saudara antara mereka. Perang Saudara I berakhir, dengan sebuah kompromi yang memberikan kekuasaan otonomi untuk Sudan Selatan pada tahun 1972 dan hanya berlangsung damai sampai 1983. Perang Saudara II pun terjadi lebih seru lagi, yang diakhiri dengan perjanjian damai tahun 2005.
Dua Perang Saudara tersebut adalah akibat ketimpangan kekuasaan politik yang didominasi oleh warga Muslim dari wilayah utara. Namun ketimpangan tersebut pada mulanya masih dapat dikendalikan ketika pemerintahan masih berideologi nasionalis, seperti pada era Jafar Nimeiriy, yang memberi ruang bagi warga Kristen untuk posisi tertentu dalam kekuasaan. Tercatat pada era tersebut (1969-1985), posisi wakil Presiden pernah dijabat oleh dua warga Kristen dari Sudan Selatan, Abel Alier (1971-1976), dan Joseph Laghu (1982-1985). Pada awal pemerintahannya, Nimeiriy mengadakan Perjanjan Addis Ababa (1972), untuk menghentikan Perang Saudara I Sudan, dan memberikan kekuasaan otonomi bagi Sudan Selatan. Namun, di akhir tahun 1970-an, atas tekanan faksi Islam, ia menjalin hubungan dengan Ikhwanul Muslimin (IM) bahkan pada tahun 1983 Nimeiriy memberlakukan syariat Islam di negaranya itu. Akibatnya, Perang Saudara pecah kembali, karena pihak Sudan Selatan yang mayoritas Kristen dan Paganisme menentang keras konstitusi tersebut.
Di samping pengaruh IM, gerakan fundamentalis lainnya pun masuk ke Sudan. Presiden Omar al-Bashir yang berkuasa kemudian sejak 1989, lebih memperkuat syariah Islam atas Sudan. Rival al-Bashir, Hasan al-Turabi (bukan allamah Hasan al-Turabi), juru bicara Dewan Nasional Sudan tahun 1990-an, juga semakin dekat ke gerakan Islam radikal, bahkan mengundang Osama bin Laden ke Sudan sebelum Osama menetap di Afghanistan. Di bawah tekanan internasional yang menilai Sudan sebagai negara tempat berlindungnya teroris, ditambah bangkitnya perlawanan baru Sudan Selatan, maka Sudan menjadi negara yang kacau-balau dari sisi politik dan ekonomi.
Perlawanan Sudan Selatan (perang Saudara II) berakhir sukses dengan dibuatnya perjanjian komprehensif 9 Januari 2005 di Nairobi (Nairobi Comprehensive Peace Agreement) antara pemerintah dengan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan Selatan (Sudan People’s Liberation Movement). Perjanjian itu memberi jalan diadakannya referendum Januari 2011, yang hasilnya 99% rakyat Sudan Selatan menuntut kemerdekaan negerinya. Maka akhirnya Sudan pun resmi terbelah menjadi dua negara dengan diproklamirkannya kemerdekaan Sudan Selatan pada tengah malam 9 Juli 2011. Itulah hasil akhir pengaruh politik IM dan diterapkannya secara sepihak syariah tekstualis di Sudan.
Keterlibatan faksi politik IM di Sudan, ternyata juga kembali dimainkannya di Mesir, tempat lahirnya organisasi itu sendiri. Meskipun di Mesir, dampaknya tidak akan sampai memecah Mesir menjadi dua negara seperti Sudan, tetapi yang pasti ialah akan melibatkan rakyat Mesir pada konflik dan chaos yang tiada habisnya.
Melihat ideologi radikalis IM yang tidak sejalan dengan Al-Azhar dan Dewan / Majelis Fatwa Mesir yang nasionalis, maka kaum minoritas Syiah, juga kaum Kristen Kopti Mesir terang-terangan mendukung kaum oposisi. Hal itu adalah akumulasi dari keinginan umum warga Mesir untuk tetap berada pada ideologi Mesir yang Nasionalis, dengan terapan ajaran Islam secara al-Rahmah, merangkul semua warga termasuk warga non Muslim, tanpa tindakan otoriter dan undang-undang diskriminatif.
Bagi kita bangsa Indonesia, lewat jendela peristiwa di Sudan yang terpecah menjadi dua negara, dan Mesir yang dirundung konflik tiada habisnya, patut direnungi betapa pentingnya membangun kebersamaan dan kerukunan bagi semua warga negara tanpa diskriminasi etnis dan agama, guna meredam terjadinya sentimen rasialis, yang berujung pada disintegrasi bangsa. Maka harus disadari betapa indahnya cara berpikir para pendiri negara kita, menyusun dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD Negara RI 1945 yang jika dilaksanakan secara konsekuen, insya Allah NKRI tetap tegak yang di dalamnya warga Muslim hidup bersama dan damai dengan umat agama lain, sesama warga negara atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Semoga tak ada pihak di antara kita yang tergoda untuk menerapkan ideologi lain, apalagi ideologi yang berkaitan dengan agama secara sepihak. Jadikanlah agama sebagai pegangan moral, agama yang mendamaikan bangsa, sehingga umat kita menjadi warga yang baik untuk negaranya, yang menghormati dan saling mencintai sesama anak bangsa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kini Sudan terbelah dua, Sudan Utara dan Sudan Selatan yang baru merdeka

Kini Sudan terbelah dua, Sudan Utara dan Sudan Selatan yang baru merdeka

PEREMPUAN, ORANG TUA SEJATI

RA Kartini, pejuang emansipasi kaum wanita Indonesia.

RA Kartini, pejuang emansipasi kaum wanita Indonesia.

Banyak ulama dan pemikir serta praktisi hukum Islam yang berpendapat tidak adil, hanya memandang kaum laki-laki sebagai orang tua pemilik sah bagi anak-anaknya.   Untuk menunjukkan kekeliruan pandangan seperti itu, berikut ini dikutipkan naskah dari isi buku ISLAM RAHMAH untuk BANGSA, karya Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA.

 

Hak Perempuan sebagai Orang Tua

Alasan utama mengapa kaum perempuan harus dihargai, ialah karena dari rahimnyalah setiap orang lahir ke dunia.  Perempuan sebagai ibu yang melahirkan, telah menanggung beban penderitaan sejak mengandung, melahirkan sampai memelihara anak-anaknya.  Karena itu, Allah SWT memerintahkan setiap orang untuk menghormati ibunya.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

 

Dan Kami washiatkan agar manusia (berbuat baik) pada kedua orang tua (ibu-bapaknya); ibunya telah mengandungnya dalam keadaan selemah-lemahnya, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tua (ibu bapak) mu, hanya kepada-Kulah tempat kembalimu (Q.S.Luqman [31]: 14).

Menyangkut hak perempuan dalam keluarga, khusus mengenai statusnya sebagai orang tua, ternyata banyak disalah-pahami.  Sebahagian ulama menisbahkan anak hanya kepada kaum bapa (laki-laki) sebagaimana prinsip garis keturunan patrilineal bangsa Arab.  Hal ini sudah menjadi ketentuan selama berabad-abad dalam fikih, bahwa garis keturunan itu hanya ikut kepada ayah, bukan kepada ibu.  Ini jelas-jelas merupakan pelanggaran syariah dan penistaan kaum perempuan, sebab perempuan yang telah bersusah payah mengandung dan memelihara anaknya, hanya dinilai sebagai pangasuh bukan sebagai garis keturunan;  maka, di mana letak keadilannya?, padahal Islam selalu disebut sebagai agama yang paling adil dengan seribu satu macam slogan keadilan?

Menurut hemat penulis, terjadi ketidak-adilan dalam mengartikan ayat Al-Qur’an menyangkut garis keturunan ini, sehingga sebahagian mufassir, yang adalah pada umumnya laki-laki, secara subyektif menafsirkan sesuai dengan prinsip patrilineal, bahwa anak itu anak ayah bukan anak ibunya.   Padahal, dalam Q.S.Luqman (31) ayat 14 di atas, secara adil perempuan diakui sebagai orang tua (ibu) bersama ayah dengan terminologi walidayh (kedua orang tuanya).  Bahkan, ditekankan di dalamnya agar setiap orang lebih menghargai ibunya, karena jasanya yang begitu besar dalam mengandung, melahirkan dan memelihara anak-anaknya, ketimbang ayah.

Ketidak-adilan terjadi ketika menafsirkan kalimat mawlud lah (dilahirkan untuknya) yang diartikan bahwa anak itu dilahirkan untuk ayahnya, sebagai terdapat dalam ayat berikut:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf (Q.S.al-Baqarah [2]: 233).

Bertolak dari posisi ayah sebagai al-mawlud lah pada ayat di atas, maka lahirlah pemahaman yang tidak adil, bahwa yang berhak memiliki anak adalah ayah, bukan ibu, karena ibu hanya sekadar melahirkan.  Pemahaman subyektif ini terilhami oleh kultur patrilineal bangsa Arab, dengan mengabaikan tema utama Al-Qur’an tentang keadilan dan kesetaraan.  Padahal, di awal ayat tersebut jelas-jelas disebutkan kalimat awladahunna (anak-anaknya), yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an mengakui perempuan adalah pemilik sah bagi anak-anaknya, yang karenanya dianjurkan untuk menyusui anak-anaknya itu sekitar dua tahun.

Sebenarnya, menurut Q.S.Luqman (31)  ayat 14 yang dikutip sebelumnya, Al-Qur’an tidak mengajarkan prinsip patrilineal (garis keturunan ayah), tetapi mengajarkan prinsip parental (garis keturunan ayah bersama ibu) secara berkeadilan.  Mari kita  mencoba menganalisisnya sebagai berikut.

Bahwa dalam ayat Q.S.al-Baqarah (2): 233 tersebut, Al-Qur’an menyebut ibu sebagai al-walidah, yang berarti orang tua yang melahirkan.  Makanya, ayat itu pun langsung menegaskan bahwa anak-anak yang dilahirkan itu adalah milik ibunya, dengan kalimat awladahunna (anak-anak mereka).  Secara terminolgi, setiap perkataan walid atau walidayn dan walidayh (Q.S.Luqman [31]: 14) adalah diartikan sebagai orang tua.  Orang tua laki-laki (ayah) disebut walid sedang orang tua perempuan (ibu) disebut walidah, dan kedua orang tua (ayah-ibu) disebut walidayn.  Jadi sebenarnya, ibu sebagai al-walidah adalah orang tua sejati bagi anaknya, dengan status istimewa sebagai orang tua sekaligus dia pula yang melahirkannya.

Berbeda dengan ayah, yang disebut mawlud lah; status sang ayah hanya sebatas orang tua yang memperoleh anak dari isterinya, namun bukan dia yang melahirkan dari rahimnya sendiri.  Perkataan mawlud lah ini semata-mata bermaksud menunjukkan adanya hubungan secara hukum antara ayah dan anak, jika anak itu lahir dari hasil pernikahan yang sah.  Sedangkan anak-anak yang lahir di luar nikah, atau tegasnya lahir dari perzinaan, maka ayah bilogis tidak mempunyai hubungan keluarga secara hukum dengan sang anak.  Dalam keadaan seperti ini, ayah tidak disebut sebagai walid dan tidak pula sebagai mawlud lah.  Jadi, hubungan keluarga antara ayah dan anak, sangat rapuh karena hanya bergantung pada status hukum semata-mata, bukan pada hubungan biologis; seperti inilah makna ayah sebagai mawlud lah.

Sementara perempuan (sang ibu) yang secara biologis menjadi orang tua, dalam keadaan apapun, baik anaknya lahir dari nikah yang sah maupun di luar nikah, sang ibu akan tetap disebut dalam Al-Qur’an sebagai walidah (orang tua).  Hal ini karena, sang ibu adalah benar-benar orang tua sejati, yang status keibuannya secara hukum dan biologis bersifat mutlak, tak ada yang dapat memutus hubungannya dari sang anak yang dia lahirkan sendiri.

Meskipun demikian, Al-Qur’an tidaklah menganjurkan prinsip matrilineal yang hanya mengakui garis keturunan pihak ibu, sebab di banyak ayat lainnya, orang tua selalu disebut sebagai walidayn (kedua orang tua).  Dengan demikian garis keturunan yang dianjurkan secara adil oleh syariah ialah parental (keturunan pihak ayah bersama ibu), bukan patrilineal, bukan pula matrilineal.  Hal ini semakin memperjelas dan mempertegas betapa syariah mengajarkan kesetaraan dan keadilan gender.

Laki-laki dan perempuan adalah orang tua yang sama haknya pada anak-anak mereka (gambar diunduh dari Google.com)

Laki-laki dan perempuan adalah orang tua yang sama haknya pada anak-anak mereka (gambar diunduh dari Google.com)

PANCASILA, AJARAN AGAMA-AGAMA

Beraudiensi dgn Syekh Tantawi, Rektor Universitas Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan Pancasila merupakan Pancaran Syariat Islam,

Beraudiensi dgn Syekh Sayid Tantawi, Rektor Universitas Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan Pancasila merupakan Pancaran Syariat Islam (2004)

Setelah mengamati akhir-akhir ini, sudah banyak aktifis yang terang-terangan mempertentangan Pancasila dan agama, khususnya agama Islam, maka terasa perlu merilis dengan mengedit seperlunya bahagian awal dari Bab Pertama isi buku Islam Rahmah untuk Bangsa (terbitan Rakyat Merdeka Books, 2008), karya Prof.Dr. Hamka Haq, MA

PANCASILA, AJARAN AGAMA-AGAMA

Masalah yang selalu hangat dibicarakan menyangkut umat beragama di Indonesia ialah hubungan timbal balik antara agama dan Pancasila sebagai dasar negara.   Masalah ini terutama diungkit-ungkit oleh orang yang selalu mempertentangkan antara agama (Islam) dan Pancasila.  Barangkali mereka lupa bahwa segenap kandungan Pancasila adalah ajaran agama-agama, atau bagi Islam merupakan pancaran syariat Islam.  Hal ini perlu dijelaskan sebagai berikut.

Dimulai dari persoalan bahwa kandungan Pancasila adalah bermuatan religius, yang tentu saja merupakan ajaran Tuhan, dan keterlibatan manusia dalam penyusunannya hanya sebatas merumuskan kalimat-kalimatnya.  Teks Pancasila dirumuskan oleh pendiri Republik, yang berawal dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).  Namun, jika direnungkan secara mendalam, makna Pancasila mengandung nilai-nilai yang bersifat transendental.  Sebut saja kalimat yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Mahaesa”, adalah mengandung keharusan bangsa Indonesia untuk beriman kepada Tuhan.  Siapakah yang mensyariahkan keharusan beriman kepada Tuhan?; siapa pula yang menciptakan naluri manusia untuk mengakui adanya Tuhan?.  Dalam agama-agama monoteis, diajarkan bahwa manusia diciptakan bersama nalurinya untuk beriman, kemudian Tuhan menurunkan agama kepada manusia sebagai pedoman beriman pada-Nya.  Jadi jelas, keharusan beriman kepada Tuhan bukanlah hasil renungan bangsa Indonesia, atau hasil kontemplasi  pemikiran filosof manapun, melainkan berasal dari ajaran Tuhan yang sesuai dengan naluri universal manusia.

Karena itu, Pancasila merupakan bentuk pengamalan agama dalam konteks bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Dengan kata lain, mengamalkan nilai-nilai universal agama dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat secara keindonesiaan berarti telah mengamalkan Pancasila.  Maka untuk mengamalkan Pancasila secara utuh dan konsekuen, mustahil tanpa memandangnya berasal dari nilai luhur agama yang dianut bangsa Indonesia.

Pancasila memang bukanlah satu agama dan tidak merupakan sinkretisasi ajaran agama-agama, tetapi Pancasila bukan pula pemikiran sekulerisme yang bertentangan dengan budaya religius Indonesia.  Pancasila adalah anak kandung dari budaya Indonesia yang sudah sejak dahulu kala telah menjadikan agama sebagai etosnya.  Karena itu, tak ada jalan untuk melepaskan Pancasila menjadi sekuler, sebab hal itu berarti memisahkan manusia Indonesia dari jati diri religiusnya.   Sebaliknya pula, tak ada jalan untuk menjadikan agama tertentu sebagai tafsir Pancasila, apalagi sebagai pengganti Pancasila, karena hal itu merupakan pengingkaran terhadap keragaman agama, etnis dan budaya yang sudah menjadi jati diri kendonesiaan kita.

Pancasila digagas untuk kesejahteraan rakyat.  Jika Pancasila diawali dengan sila Ketuhanan, maka ia diakhiri dengan sila Keadilan Sosial.  Dua sila tersebut diantarai dengan tiga sila lainnya, yakni: sila Kemanusiaan, sila Persatuan (kebangsaan) dan sila Kerakyatan (demokrasi).  Semua itu berarti bahwa pengamalan sila Ketuhanan harus menitik beratkan pada persaudaraan kemanusiaan, persatuan kebangsaan, demokrasi, keadilan dan kemakmuran rakyat.  Hal ini mustahil dicapai jika setiap umat beragama bersikap egois, untuk kepentingan eksklusif agamanya sendiri.  Umat beragama harus mengamalkan nilai-nilai universal agamanya yang toleran.

Bagi umat Islam, contoh paling tepat ialah sunnah Nabi Muhammad SAW, yang mengutamakan nilai universal Islami ketimbang simbol tekstual agama, demi perdamaian dan kebersamaan.  Coba ingat, ketika beliau melakukan perundingan damai dengan kaum Quraisy Mekah pada tahun 628 M (tahun 6 H) di Hudaibiyah, hampir saja perdamaian itu gagal, akibat keberatan pihak Quraisy terhadap tulisan Basmalah (Bismillahi Rahmani Rahim) pada awal naskah perdamaian.  Tak ada sahabat yang berani menghapus Basmalah, simbol Islam yang amat sakral itu.   Namun, demi perdamaian maka Nabi  meminta tulisan Basmalah diganti dengan kalimat yang lebih singkat Bismika Allahumma, yang dapat diterima oleh semua pihak.  Sungguh luar biasa, Rasululah SAW benar-benar memberi solusi rahmatan lil-alamin untuk perdamaian tersebut.

Dalam konteks kebangsaan kita, sikap Nabi itulah yang diteladani oleh pendiri negara, ulama dan generasi Muslim angkatan 1945 sehingga merestui dihapusnya tujuh kata: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” digantikan dengan kalimat yang lebih singkat: Ketuhanan Yang Mahaesa.  Kalimat singkat ini menghargai pluralitas agama di Indonesia, dengan bertumpu pada nilau kemanusiaan, yang jauh dari egpoisme eksklusifistik.  Egoisme dalam beragama sangatlah berbahaya bagi masyarakat majemuk Indonesia, sebab membuat kaum minoritas mengalami tekanan psikologis, bahkan tekanan fisik dalam menjalankan agamanya.  Kekhawatiran terhada hal itulah, sampai Bung Karno memperingatkan dalam pidato lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945:

Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan leluasa.  Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama”……”Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban.  Apakah cara yang berkeadaban itu?  Ialah hormat menghomrati satu sama lain.[1]

Sunnguh besar jasa generasi Muslim angkatan 45,  yang merestui penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta, sebagai bukti mereka telah mengawali tonggak persaudaraan kebangsaan.  Memang, sungguh luar biasa dan mempesona pula, kelahiran negara Indonesia menjadi rumah bagi sebuah bangsa besar, yang wilayahnya terbentang dari Sabang sampai Merauke.  Bayangkan, hamparan wilayah yang terhimpun dari ribuan pulau dengan laut yang demikian luas, jumlah penduduknya yang demikian banyak (sekarang lebih 230 juta jiwa), dengan keragaman suku, agama, budaya dan bahasa.  Tak ada kekuatan yang dapat menghimpun bangsa sedemikian raksasa kecuali atas kesadaran bersama sebagai bangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Maka untuk kepentingan nasional ke depan, para ulama, lembaga pesantren, ormas dan aktifis Islam tak dapat lepas dari tanggung jawab historis menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Ingatlah betapa sulitnya jihad perjuangan melawan kolonial Belanda, dengan segala pengorbanan jiwa, harta, darah dan air mata dari pendahulu kita.  Perjuangan mereka harus dilanjutkan dalam wujud jihad baru yakni kerja keras untuk kesejahteraan, bukan jihad menebar fitnah dan konflik untuk kesengsaraan yang tiada habisnya bagi bangsa kita.

Kini, andil yang terpenting umat Islam ialah menegakkan risalah Islamiyah yang rahmah dan ramah demi keindonesiaan yang berbhinneka.  Itulah cara yang paling indah mencapai ridha Tuhan di negeri ini, yakni mengamalkan nilai universal Islam untuk perdamaian menuju Indonesia yang baldatun thayyibah wa Rabbun Ghafur (negara makmur di bawah ampunan Tuhan).  Belajarlah dari sejarah Nabi SAW; beliau tidak egois; beliau tidak eksklusif; beliau mengutamakan perdamaian ketimbang simbol agama.  Jadikanlah beliau sebagai panutan untuk memenuhi panggilan Tuhan,:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” Q.S.al-Ahzab (33): 21.

Dalam rangka itulah, para pemimpin Islam seharusnya berupaya meneransformasi nilai keislaman yang relevan dengan kondisi dan kekinian bangsa.  Meneransformasi makna jihad dari perang angkat senjata dan bom, ke jihad persatuan dan bekerja keras membangun negeri.  Kalau di zaman penjajahan dahulu, ayat-ayat jihad selalu saja berkonotasi perang, meriam, pengeboman, gerilya dan pasukan berani mati, maka di zaman kekinian orientasi jihad bukan lagi perang.   Kini dan ke depan, jihad dan dakwah Islam hendaklah bermakna kebersamaan dan kerja keras memakmurkan bangsa.

Sebab, jika jihad masih saja dimaknai perang seperti zaman penjajahan, maka dikhawatirkan sebahagian generasi kita akan melampiaskan semangat perangnya untuk menzalimi bangsanya sendiri.  Buktinya, anak-anak muda pelaku pengeboman di Bali, pengeboman gereja, hotel dan kedutaan besar negara sahabat adalah terinspirasi oleh makna jihad yang berkonotasi perang.   Jihad, yang dalam bahasa Arab bermakna kerja keras, seharusnya dikembalikan kepada maknanya yang asli itu, yakni: bersungguh-sungguh bekerja keras untuk kesejahteraan; bukan perang untuk kesengsaraan.

Pada umumnya, mereka yang enggan mengartikan jihad dengan kerja keras, adalah pemikir dan aktifis yang menghianati komitmen generasi Muslim angkatan 45 terhadap ideologi Pancasila; mengabaikan realitas bangsa yang plural dan menginginkan secara sepihak cita-cita Negara Islam yang eksklusif.   Cita-cita kenegaraan tersebut selalu diklaimnya sebagai teladan dari Rasulullah SAW.   Padahal, teori kenegaraan yang mereka tawarkan sangat berbeda dengan praktik yang pluralis toleran dari Rasulullah SAW di Madinah.   Mereka bahkan melupakan Negara Nabi, kalau bukan mengingkarinya; padahal tradisi pluralis toleran dari Rasulullah itulah yang seharusnya diteladani dalam hidup berbangsa dan bernegara sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang multi agama.

Ironisnya, yang mereka tawarkan justru praktik kenegaraan di bawah khilafah-khilafah pasca Rasulullah SAW.  Padahal, praktik khilafah itu terjadi ketika pluralitas masyarakat Madinah telah berubah besar-besaran, baik di era Khulafaur Rasyidin maupun era Dinasti Umayah dan Dinasti Abasiyah, diawali dengan terjadinya eksodus kaum Yahudi dan Kristen dari Madinah sepeninggal Rasulullah SAW.   Negara Madinah, yang di zaman Rasulullah SAW didiami secara damai oleh penduduk multi etnis dan multi agama di bawah konstitusi “Piagam Madinah” yang disusun bersama non Muslim, akhirnya  berubah menjadi negeri yang berpeduduk hampir 100 % Muslim di era Khulafa al-Rasyidin.  Piagam Madinah yang menghargai pluralitas pun ditinggal, tidak lebih dari sebuah dokumen historis, yang tidak diberlakukan dalam sejarah panjang khilafah Islam.  Kini, saatnya model Negara Nabi yang menghargai pluralitas itu diaktualkan kembali di negara Republik Indonesia, yang masyarakatnya juga pluralis, bukannya model khilafah pasca Rasulullah yang hanya cocok untuk negara yang 100% penduduknya Muslim.

Maka sejalan dengan semangat Piagam Madinah di era Rasulullah masa silam, pendiri Republik Indonesia merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang mengakui eksistensi semua agama, dengan hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan yang toleran.  Baik Piagam Madinah di zaman Nabi, maupun Pancasila di zaman Indonesia merdeka, semuanya bernilaikan Islam Rahmatan lil-‘alamin, yakni ajaran agama yang toleran dan pluralis.

Dalam kaitan ini, penulis memiliki pengalaman berikut.  Pada awal Januari 2004, penulis mendampingi sebuah Tim Pengkajian Syariat Islam, yang diterima oleh Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Syekh Tantawi.  Tim tersebut menanyakan bagaimana pandangan Syekh al-Azhar tentang Pancasila.  Beliau pun balik bertanya tentang arti Pancasila.  Setelah tim menjelaskan makna satu-persatu sila, maka beliau pun menyatakan bahwa keseluruhan isi Pancasila itu adalah pancaran syariat Islam.  Karena itu dasar negara Republik Indonesia katanya sudah mencerminkan syariah dan telah berisikan nilai Islam.  Maksudnya, walaupun bukan syariah formal, tetapi Pancasila telah mengandung spirit syariat Islam, yang dalam istilah hukum Islam disebut ruh al-tasyri.

Pendapat Syekh al-Azhar tersebut sama persis dengan visi Bung Karno ketika mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, untuk kembali ke UUD 1945, yang pada butir terakhir konsiderannya menyatakan: “bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22  Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945”.  Bung Karno memahami substansi syariat Islam dalam arti jiwa, nilai, spirit Islam rahmatan lil alamin, yang akan membawa Muslim Indonesia sebagai pelopor kehidupan beragama yang berkeadaban, yaitu ramah, toleran dan tidak egois, menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.   Wallahu a’lam bi al-shawab

Diterima pula oleh Mufti Agung Mesir, Syekh DR. Ali Jumu'ah, beliau mengeluarkan Fatwa tentang Bank Konvensional itu Halal (2004)

Diterima pula oleh Mufti Agung Mesir, Syekh DR. Ali Jumu’ah, beliau mengeluarkan Fatwa tentang Bank Konvensional itu Halal (2004)


[1]Soewarno, dkk., Pancasila Bung Karno, Himpunan Pidato, Ceramah, Kurusus dan Kuliah, (Jakarta: Paksi Bhinneka Tunggal Ika, 2005), h.  22.

AGAMA UNTUK PERDAMAIAN

Bersama Pastor dan Pendeta di Manado 2010
Posting berikut telah dimuat di Blog ini (Islam-rahmah.com)  pd tanggal 24 Mei 2012, dan atas permintaan teman-teman, maka di reposting lagi pada akhir tahun 2012 ini.

I.                  Tuhan Mencintai Perdamaian

Agama diturunkan Tuhan agar manusia damai bahagia. Lebih baik kita tidak beragama sama sekali, kalau agama hanya jadi kendaraan kebencian.  Banyak orang beragama tapi tidak menyembah Tuhan, melainkan memberhalakan agama. Atas nama agama melakukan pengeboman. Atas nama agama membakar dan menyegel rumah ibadah agama lain. Atas nama agama merencanakan pembakaran Kitab Suci. Dengan demikian, agama bukan lagi milik Tuhan yang menyayangi dan mengasihi manusia ciptaanNya, yg meridhai kedamaian, tetapi agama telah menjadi milik manusia penyebar kebencian.

Sebenarnya, Tuhan tidak rugi jika manusia tdk menyembahNYA, tetapi Tuhan akan murka jika manusia saling bermusuhan. Agama bukan untuk kebutuhan Tuhan, melainkan utk kebutuhan kedamaian dan kemaslahatan manusia. Karena itu, Tuhan akan murka jika manusia berperang dg alasan membela Tuhan.  Padahal Tuhan yang sebenarnya tidak peru dibela, karena Tuhan Mahakuasa, bukan berhala yg lemah.   Sebab itu Tuhan tdk mau diperalat jadi kendaraan kebencian dari orang-orang yang mengaku fanatik bergama, padahal hanya penyebar kebencian, kecemburuan, kedengkian dan haus darah. Orang seperti ini menjual nama Tuhan di kalangan umat manusia, seolah-olah Tuhan menjadi penghasut kebencian di muka bumi, mereka lebih tepat disebut sebagai memberhalakan Tuhan ketimbang menyembah Tuhan.

Banyak orang menjadikan agama sebagai tujuan, pdhal agama hanya jalan mecari ridha Tuhan dan ridha sesama manusia.  Karena agama menjadi tujuan mereka, maka mereka tega menjual nama Tuhan dan menyebar kebencian demi agama dan demi agama.   Padahal, tujuan agama sebenarnya ialah ridha Tuhan dan ridha (damai) dgn sesama manusia.  Dalam Kristen, Tuhan disebut bersermayam di Sorga, sementara dalam Islam Tuhan disebut Anta al-Salam (Engkau Tuhan Pemilik dan Sumber kenikmatan Sorga). Tapi kenyataannya sebahagian mereka menjadikan Tuhan sebagai sumber neraka kebencian di muka bumi. Hanya Tuhan Maha Tahu betapa laknat atas perbuatan mereka yang melecehkan Tuhan.

  1. II.               Islam Mempermudah Ibadah Umat Agama Lain

‎Orang Islam yang melarang agama lain beribadah pada rumah ibadah mereka (Gereja, Pure dan Kuil) atau pada miik mereka sendiri adalah melanggar Syariat Islam.  Nabi Muhammad SAW pernah menerima sejumlah  pemimpini Kristen dari Najran dalam Masjid Nabawi di Madinah. Nabi memberi izin mereka beribadah dalam masjid itu. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi Jilid IV Hal. 4).  Contoh yang dperlihatkan Nabi SAW menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu Syariat IsIam membolehkan Kristen beribadah di Masjid.  Maka tidak sepantasnya ada orang Islam yang membuat syariat baru yang melarang kaum Kristen beribadah di Gereja nya sendiri. Karena hal seperti ini jelas-jelas melanggar Syariat Islam yang dicontohkan Nabi SAW.  Dan jika hal itu terjadi di Indonesia, maka sekaligus melanggar UUD 1945 yang menjamin kebebasan beribadah dan kebebasan membangun rumah ibadah.

Maka perlu upaya keras untuk mewujudkan keadilan beribadah dan keadilan mendirikan rumah ibadah di kalangan umat beragama di Indonesia.  Untuk itu diperlukan Undang-Undang yang lebih konpregensif dan lebih adil, dan menggantikan  SKB Menteri Agama dan Mendagri mengenai izin pendirian rumah ibadah yang terasa tidak adil dan diskriminatif.  Sudah banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa SKB tersebut membuka peluang lahirnya syariat baru (yang bertentangan dengan Sunnah Nabi SAW) dan terjadinya penganiayaan di tengah masyarakat Indonesia. Berbagai peristiwa kekerasan yang gagal dicegah oleh pemerintah membuktikan bahwa SKB tersebbut telah menyandra pemerintah sendiri sehingga tdk bisa membela umat Kristen dan umat agama lainnya menghadapi aliran ekstrimis Islam. Pantaslah jika pemerintah dan aparat keamanan dan hukum tdk bisa berbuat banyak mengatasi masalah kekerasan antar umat beragama.  Atau, boleh jadi ada benarnya anggapan orang yang mengatakan bahwa pemerintah sengaja membiarkan peristiwa kekerasan dan kebiadaban itu terjadi demi citra dan demi citra?  Wallahu A’lam bi al-Shawab….(Hamka Haq)

LAIN INDONESIA, LAIN PAKISTAN

LAIN INDONESIA LAIN PAKISTAN

Oleh: Hamka Haq

Seorang teman bernama Suryasena, lewat emailnya bertanya soal gagasan Negara Islam Indonesia dan pelaksanaan Piagam Jakarta, akankah sama dengan berdirinya Negara Islam Pakistan. Saya jawab sebagai berikut:

Bahwa kondisi umat Islam di Indonesia berbeda dengan umat Islam di India dahulu. Umat Islam di India (sebelum berpisah menjadi Pakistan) adalah minoritas tdk merasa nyaman di tengah kaum Hindu yang menguasai negara India. Karena itu, mereka berusaha untuk berpisah dari wilayah India (kekuasaan Hindu) dan membentuk negara sendiri, atas bantuan Inggeris, maka terbentuklah negara Islam Pakistan.

Di Indonesia, justru umat Islam yang mayoritas, maka tidak masuk akal kalau umat Islam Indonesia mau memisahkan diri dan membentuk negara sendiri yang berpisah dari wilayah Indonesia Raya. Secara teoretis dan praktis, umat Islam Indonesia yang mayoritas itu tetap merasa nyaman dan tidak perlu membentuk wilayah atau negara tersendiri di luar Indonesia sekarang. Adapun soal perjuangan segelintir orang yang ingin mengganti Pancasila dengan syariat Islam (Piagam Jakarta), juga jumlahnya sangatlah sedikit. Sebahagian besar umat Islam Indonesia, yang termasuk NU, Muhammadiyah, dan kaum Muslim nasionalis yang menjadi pendukung parpol nasionalis, seperti PDI Perjuangan, Golkar, dan lain-lainnya, semuanya tetap mempertahankan Pancasila. Para pejuang Piagam Jakarta, yang jumlahnya sangat sedikit itu, dengan segala macam cara perjuangannya, termasuk angkat senjata memberotak seperti yang dilakukan oleh DI TII di Aceh dan Sulawesi, NII di Jabar, semuanya tidak mendapat dukungan luas dari umat Islam sendiri. Parpol-parpol Islam  (berasas Islam tekstualis) pun dari Pemilu ke Pemilu, semakin lama semakin ditinggalkan umat, dan tidak pernah menang dalam Pemilu, walaupun digabung. Jadi ke depan yakinlah NKRI dan Pancasila tetap akan tegak dan utuh sebagai rumah yang aman dan nyaman (gema ripah loh jinawi) untuk semua warga Indonesia yang berbhinneka tunggal ika.

Demikian itulah pendirian Islam kontekstual, bahwa dalam NKRI, berdasar Pancasila, Islam dapat terlaksana sbg Rahmatan Lil-alamin untuk bangsa.