DARI SAUDI, AKU LIHAT ISLAM NUSANTARA

DARI SAUDI, AKU LIHAT ISLAM NUSANTARA

Oeh: Prof.Dr. H. Hamk Haq, MA.

Alhamdulillah, Jumat kemarin, 9 Aagustus 2018, penulis sempat sholat Jumat di Masjid Nabawi Madinah Al-Munawwarah. Sebenarnya saya sudah beberapa kali beroleh anugerah ke Tanah Suci dan sholat di masjid ini, tapi baru kali ini tergarak hati untuk mngungkapkan apa terjadi di tanah suci sejak dahulu kala, sejak zaman Rasulullah SAW. Bahwa setiap menjelang sholat, di Masjid Nabawi Madinah dan Masjid Haram Mekah, tidak ada lantunan sholawat dan tilawah Qur’an melalui loudspeaker masjid. Hanya di Indonesia, hampir semua masjid memutar CD atau kaset sholawat dan tilawah Qur’an menjelang sholat. Mengapa berbeda dengan Saudi Arabiyah, tempat lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa risalah Islam?

Materi khotbahnya menyangkut iman, jihad, haji dan keharusan mengikuti Nabi 100 % dalam soal ibadah. Maka terlintas pula dalam pikiran penulis, bahwa khotbah di tanah air selama ini berbahasa lokal, tidak lagi sepenuhnya ikut pada khotbah Nabi yang berbahasa Arab, padahal khotbah itu adalah ibadah. Keberanian ulama di tanah air untuk berbahasa lokal dalam berkhotbah, tidak lagi sepenuhnya berbahasa Arab, dan membiarkan sholawat dan tilawah Al-Quran menjelang adzan, pastilah merupakan wujud Islam khas Indonesia.

Pikiran penulis pun langsung tertuju mengenai Islam Nusantara yang sedang hangat di tanah air. Mungkin kejadian di tanah air seperti khotbah dalam bahasa Indonesia dan daerah, sholawat dan tilawah menjelang adzan, yang semuanya tak ada di Timur-Tengah merupakan contoh konkret Islam Nusantara. Tegasnya “Islam Nusantara”, adalah pengamalan Islam di tanah air yang sudah menyerap budaya dan kebiasaan lokal Nusantara dan menjadikannya sebagai instrument Islamisasi untuk masyarakat Indonesia.

Jadi untuk mengetahui substansi Islam Nusantara tidak bisa dengan menganilisis kata per kata. Misal dengan mengatakan: Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT, dan Nusantara adalah Indonesia, maka Islam Nusantara berarti Islam yang diturunkan di Indonesia; lalu bertanya siapa Nabi-Nya?, ini kan konyol. Pantaslah analisis sesat itu, ujung-ujungnya adalah mengkafirkan Islam Nusantara.  Sama khilafnya jika kita mencari apa arti “batu merah” dengan menganalisis kata “batu” dan “merah”, lalu berkesimpulan bahwa “batu merah” ialah batu yang dicat merah; lalu bertanya siapa yang mengecatnya.  Padahal batu merah adalah batu bata untuk bangunan.

Sisi Lain Penerapan Islam Nusantara

Sisi-sisi lain yang lebih memperjelas adanya Islam Nusantara antara lain berikut. Perhatikan sisi demografisnya yang sangat majemuk. Di daerah tertentu dalam satu keluarga kadang terdapat perbedaan agama, apalagi dalam skala lebih luas, pluralitas agama, suku, budaya dan bahasa semakin jelas.   Karena itu, untuk merawat rasa kebersamaan dan rasa persaudaraannya, mereka punya tradisi saling menghargai dan menghormati, tidak saling merendahkan budaya, tidak pula saling mengkafirkan agama dan keyakinan. Pokoknya mereka tidak punya budaya saling menghina, justru mereka merajut kerukunannya untuk hidup bahagia bersama. Agaknya berbeda dengan kondisi di sebahagian negeri Arab Muslim, yang terang-terangan mengkafirkan non Muslim, dan terang-terangan merendahan mazhab dan aliran lainnya, kalau perlu mereka bawa dalam konflik perang fisik, seperti yang kita saksikan sekarang perang saudara yang tiada henti di Timur Tengah.   Bukan Islam nya yang membuat mereka berperang, tetapi budaya dan tempramennya yang dibalut atas nama Islam.

Sejak dahulu masyarakat Nusantara bersifat komunal, berkelompok, mengatasi persoalan hidupnya secara guyuban dan gotong-royong. Untuk memudahkan berkumpul di pendopo misalnya, atau di balai ronda, mereka gunakan alat komunikasi kentongan yang sangat efektif. Ketika mereka terima Islam, instrumen menyeru jamaah ke masjid atau menandai waktu sholat, tidak cukup dengan azan saja. Mereka kemudian menggunakan bedug di Masjid sebagai alat komunikasi efektif seperti efektifnya kentongan itu. Yakinlah, bedug ini mustahil ditemukan di masjid-masjid di negeri Arab Muslim, karena memang bedug betul-betul khas Muslim Indonesia, sementara di kalangan Muslim Arab bedug itu bid’ah dholalah, masuk neraka.

Tradisi komunal lebih jelas lagi pada acara pesta panen, yang dahulu sebelum menerima Islam, hasil tanaman dipersembahkan ke dewa alam, dewa langit, air dan tanah. Sekarang diubah menjadi tradisi syukuran, dengan nama “selamatan” full dengan doa dan dzikir keislaman. Mereka menginovasi menjadi pesta Islami, berupa kenduri, makan bersama yang diawali dengan Bismillah, diisi dengan sholawat pada Nabi SAW dan dzikir pada Allah SWT. Usai selamatan, masing-masing membawa pulang sebungkus barokah.   Lagi-lagi tradisi ini tidak ada di tanah Arab, bahkan dilaknat sebagai bid’ah dholalah, penghuni neraka. Namun itulah budaya Nusantara, Islam datang menggantikan keyakinan lama, tetapi budayanya tetap dipertahankan menjadi media penyiaran Islam dan perekat kebersamaan umat dan kerukunan warga.

Tradisi saling menghargai dapat juga dilihat pada bahasa pergaulannya. Misal di Jawa penjual sayur atau bakso saja disapa dengan “Mas”. Di Makassar, penjual ikan dan sayur atau tukang becak disapa dengan “Daeng”, sebagai penghargaan. Di Maluku, kepala desa dan lurah disapa dengan Bapak Raja. Di era perjuangan revolusi juga umumnya begitu, mereka menyapa para pejuang dengan “Bung”, misalnya Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan seterusnya. Seperti itulah, umat Islam Nusantara, ketika menyebut nama Nabi Muhammad SAW, tidak tega menyebut polos “Muhammad” saja, tanpa gelar penghormatan “Sayidina”. Maka lidah Muslim Nusantara pun sudah terbiasa menyebut: “Sayidina Muhammad SAW”.

Pokoknya umat Islam Indonesia tetap memelihara nilai leluhurnya. sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat.   Perhatikan misalnya ungkapan masyarakat Minang: “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah”. Betulkah adat syar’i Minang sama persis dengan adat syar’i bangsa Arab? Jelas tidak, sebab di kalangan Minang prinsip “matrilineal” dalam keluarga masih sangat kuat, bahwa keturunan diambil dari garis nasab Ibu, dan penguasaan harta jatuh ke pangkuan sang prempuan, bukan pada kaum laki-laki (bapak). Bahkan masih ada di kalangan mereka tradisi melamar perkawinan datang dari pihak perempuan, bukan dari pihak laki-laki, kemudian kepada laki-laki diberi “uang jemputan” sebagai “mahar”.  Adat tersebut sangat bertentangan 100 % dengan budaya “patrilineal” masyarakat Arab. Jadi betul-betul penerapan keislaman antara Arab dan Minang memang beda, walaupun hakikat Islam-nya tetap satu, sumbernya satu, sama-sama dari Al-Quran dan Sunnah Rasululah SAW.

Lebih unik lagi di wilayah lain, kedengarannya aneh tapi nyata di masyarakat Islam Sasak Lombok.   Cara melamar perkawinan sangat unik.   Orang tua perempuan merasa terhina jika anak perempuannya dilamar baik-baik di kediamanya.   Tradisi mereka, anak perempuan harus dilarikan dan disembunyikan oleh laki-laki, tanpa setahu seorangpun keluarga perempuan. Sesudah berhasil “menculik”, pihak laki-laki harus memberitahu keluarga sang perempuan yang diculiknya. Jika keluarga perempuan mengakui puterinya itu “hilang”, maka proses pelamaran dan pernikahan pun berlangsung. Keluarga perempuan mendambakan menantu yang perkasa, berani melarikan anak gadisnya tanpa ketahuan oleh siapapun. Seratus persen, adat kesatria macam ini tidak ditemukan di negeri Arab Muslim, hanya ada di suku Sasak, yang adalah Muslim Nusantara.

Sistem perkawinan Sasak yang Indogam, bahwa harus kawin dengan sesama sukunya, adalah keunikan tersendiri. Warga Sasak yang kawin dengan suku lain, tidak boleh tinggal dalam komunitasnya lagi, ia harus keluar ikut komunitas keluarga istri atau suaminya. Sebaliknya, masyarakat Batak justru menganut sistem eksogam yang tak kalah uniknya pula. Kawin dengan sesama marga sangatlah tabu, sehingga setiap warga Batak harus mencari pasangannya dari marga lain.   Tradisi perkawinan indogam Sasak dan eksogam Batak ini, haqqul yaqin tidak ditemukan dikalangan Muslim Arab, karena memang dua sistem itu khas Nusantara, yang sampai sekarang tetap dipertahankan di tengah ketaatan mereka menganut Islam.

Sebenarnya masih banyak lagi contoh konkret lain, tapi hal-hal tersebut sudah cukup menjadi bukti kekhususan (khashaish) keislaman Indonesia, yang lazim disebut Islam Nusantara. Intinya bahwa Islam Nusantara adalah pembumian Islam di kalangan masyarakat Indonesia yang persuasif, lemah-lembut, mengakomodir budaya asli Nusantara dan menjadikannya sebagai media amalan dan penyiaran Islam, serta menyapa masyarakat plural dengan rahmatan lil-alamin”. Singkatnya, Islam Nusantara ialah Islam Rahmatan lil-alamin yang berbaju Budaya Nusantara.

Namun, bagaimana pun Islam di seantero dunia tetaplah satu, baik di Arab maupun di Indonesia, dan di mana pun jua, hakikat dan sumbernya tetap satu. Perbedaan yang terjadi hanya dalam soal metode penerapan dan penyiarannya, sesuai dengan perbedaan demografi, geografi dan budaya masing-masing negeri.  Wallahu A’lam bi al-Showabi.

MASJID RUMAH KETENANGAN DAN KEDAMAIAN

Menyikapi Peristiwa Tanjung Balai (29-30 Juli 2016), maka artikel berikut (14 Juli 2015) diposting kembali dengan tambahan pada bagian akhir tulisan, mengingat isinya sangat aktual dan relevan, sbb.:

Sehubungan dengan adanya pernyataan Bapa HM Jusuf Kallah Wakil Presiden RI soal perlunya mengurangi durasi dan volume suara pengajian dari corong (load speaker) masjid beberapa waktu yang lalu, maka penulis akan menurunkan kutipan dai Buku ISLAM RAHMAH untuk BANGSA,  karya Prof. DR. Hamka Haq, MA, terbit I, 2009 dan terbit II, 2015, sebagai dukungan atas pernyataan beliau,

MASJID, RUMAH KETENANGAN DAN KEDAMAIAN

Masjid adalah rumah ibadah Islam, untuk keperluan shalat jamaah khususnya shalat Jum’at, sebab tanpa masjid shalat Jum`at tak mungkin terlaksana dengan baik. Masjid adalah rumah ibadah yang multi dimensional, tidak hanya untuk shalat, tetapi juga untuk persoalan duniawi dan kemanusiaan. Ia menjadi tempat bermusyawarah bagi umat, dan tempat berdialog antara rakyat dan pemimpin. Itulah hikmahnya, sehingga ketika berhijrah, Nabi Muhammad SAW membangun sebuah masjid di Quba sebelum memasuki kota Yatsrib (Madinah).

Sebagai rumah ibadah, Masjid terbuka untuk semua Muslim, tanpa mengenal perbedaan suku, kebangsaan, bahasa dan adat istiadat, dan strata sosialnya, bahkan tidak mengenal aliran-aliran. Fungsi tersebut jauh lebih penting dari bangunan masjid itu sendiri. Oleh karenanya, anjuran untuk membangun masjid adalah lebih ditujukan pada berfungsinya masjid sebagai pemersatu umat untuk kedamaian. ([1]Lihat dalam Al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy Juz’ VIII, h. 253-254; keterangan di bawah ayat Q.S. al-Tawbah (9): 107 dan 108.)

Masjid yang sengaja dibangun untuk memecah belah umat, disebut dalam Al-Qur’an sebagai masjid dhirar, karena orang yang membangunnya bermaksud untuk menciptakan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan perpecahan antara orang-orang mu’min” (alladzina ‘ttakhadzu masjida(n) dhirara, wa kufra wa tafriqa bayn al-mu’mininQ.S.al-Tawbah, [9]: 107).

Ayat tersebut turun menyangkut Bani Ghanam yang mendirikan masjid baru untuk menandingi saudara-saudara mereka dari Banu Amr yang telah mensyiarkan masjid Quba. Berdirinya masjid Bani Ghanam jelas akan mengurangi jamaah masjid Quba, sebagai bentuk persaingan tidak sehat. Ketika Rasulullah bersiap memenuhi undangan Banu Ghanam itu, turunlah ayat di atas sebagai teguran. Ayat tersebut menilai masjid Bani Ghanam sebagai masjid dhirar, yang bertujuan untuk memecah belah umat. Rasulullah SAW pun lalu memerintahkan sahabat-sahabatnya (Malik bin Dahsyam Cs) untuk segera meruntuhkan dan membakar masjid itu dengan bersabda: “inthaliqu ila hadza al-masjidi al-zhalimi ahluhu faahdimuhu wa ahriquhu” (Pergilah kalian ke masjid yang penghuninya zalim ini, hancurkan dan bakarlah masjid itu – Tafsir al-Qurthubiy)).

Berdasarkan itulah, sebahagian besar ulama termasuk Imam Malik dan Al-Syafi`iy tidak membenarkan adanya dua masjid dalam satu kampung yang penduduknya masih satu jamaah. Bahkan mereka tidak membenarkan ada dua jamaah yang berbeda dalam satu masjid dengan masing-masing imam yang berbeda pula. Maka dalam suatu kota, diharuskan hanya ada satu masjid untuk shalat Jum`at, kecuali jika kapasitasnya sudah tidak dapat menampung semua jamaah, maka perlu dibangun masjid baru, sepanjang tidak mengganggu masjid yang pertama tadi. Larangan untuk bershalat dalam suatu Masjid yang dapat mengakibatkan perpecahan adalah ayat berikut:

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Janganlah kamu bershalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bershalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih (Q.S. Al-Tawbah [9]: 108 ).

Dalam hadits riwayat Bukhari juga dijelaskan bahwa sebenarnya, jika hanya untuk keperluan beribadah saja, bukan untuk persatuan, maka Rasulullah SAW tidak akan membangun masjid. Hal ini karena semua tempat di muka bumi dapat menjadi ruang untuk beribadah. Beliau menyatakan bahwa salah satu keistimewaan yang diberikan Allah kepadanya, ialah dijadikannya muka bumi sebagai masjid (tempat bersujud), sebagai sabdanya: “wa jui`lat liy al-ardh masjida(n) wa thahura, wa ayuuma rajuli(n) min ummatiy adrakathu al-shalatu falyushalli”(Dan dijadikan bagiku muka bumi sebagai masjid dan alat bersuci, maka di manapun seseorang dari umatku tiba waktu shalat, hendaklah ia bershalat – Shahih al-Bukhariy, Juz I, h. 128.).

Persaudaraan yang terbina dari masjid tidak terbatas hanya untuk sesama Muslim, tetapi juga dengan umat agama lain. Karena itu, suasana ketenangan di dalam dan sekitar masjid harus terpelihara sehingga betul-betul mencerminkan rasa damai untuk semua.

Demi kekhusyukan beribadah, maka setiap orang dituntut menjaga ketenangan di dalam masjid; tidak dibolehkan mengeraskan suara karena dapat mengganggu keheningan ibadah orang lain. Bahkan membaca ayat-ayat Al-Qur’an pun dengan suara keras juga dilarang, karena dapat menimbulkan gangguan.   Salah satu hadits dari Ibn Umar riwayat Imam Ahmad, menyebut bahwa suatu ketika Rasulullah mendapati sahabatnya melakukan shalat dengan suara keras dalam masjid. Maka Rasulullah menegur: “Jangan sebahagian kamu mengeraskan (mengganggu) sebahagian lainnya dengan bacaan (Al-Qur’an) dalam shalat” (wa la yajhar ba`dhukum `an ba`dh bi ‘l-qiraah fi al-shalah). Lihat dalam Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Juz 2, h. 36 & 67. Teks hadits ini dikutip pula secara lengkap oleh Sayyid Sabiq, dalam Fiqh al-Sunnah, Jilid I, h. 221).

Dari sumber yang sama, diriwayatkan oleh Abu Sa`id al-Khudriy, bahwa ketika Rasulullah SAW beritikaf dalam masjid, beliau mendengar sahabat-sahabatnya membaca Al-Qur’an dengan suara keras, maka beliau pun membuka tabirnya dan menegur dengan bersabda: “Ketahuilah bahwa setiap kamu bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebahagian kamu mengganggu yang lainnya dan janganlah sebahagian kamu meninggikan suaranya atas yang lainnya ketika membaca Al-Qur’an”. (lihat pada sumber yang bsama)

Adalah pesan moral yang maha penting dari kandungan riwayat-riwayat di atas, yakni kita perlu mengatur ulang, kalau tidak menghentikan sama sekali, tradisi mengeraskan suara pengajian Al-Qur’an yang saling bersahutan lewat menara–menara masjid setiap menjelang waktu shalat. Setidaknya perlu dicari solusinya, sehingga masjid menjadi rumah ibadah yang rahmatan lil-alamin, tidak saling mengganggu, dan tidak juga mengganggu ketenangan dan kemaslahatan hidup orang-orang di sekitarnya, termasuk mereka yang beragama lain.

Sebenarnya, cara membaca Al-Qur’an dan berdoa yang dianjurkan syariah ialah dengan suara yang lembut, bukan suara yang keras, dan tidak harus didengar oleh semua orang apalagi mengganggu orang lain.

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (55) وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (56)

Berdo`alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(55) Dan janganlah kamu merusak (mengganggu) di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (bertakwa)) penuh harapan (kepada-Nya). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (Q.S.al-A`raf [7]: 55-56).

Hal tersebut penulis kemukakan karena tradisi pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an melalui corong menara masjid menjelang shalat itu sebenarnya tidak bersumber dari tradisi Rasulullah dan shahabat. Kebiasaan tersebut lahir belakangan sebagai tradisi baru di Indonesia, yang seharusnya disesuaikan pula dengan tatakrama kultur keindonesiaan secara umum.

Bangun Komunikasi Saling Menghargai

Dalam setahun ini, ada dua peristiwa menyangkut rumah ibadah di negeri ini telah mencoreng luhurnya keramah-tamahan bangsa Indonesia, yakni peristiwa pembakaran Masjid di Tolikara Papua (2015) dan pembakaan Vihara atau Kelenteng di Tanjung Balai Sumatera (2016). Peristiwa tersebut dan semacamnya tidak akan pernah terjadi andai kata masing-masing umat beragama membangun komunikasi yang ramah dan saling menghargai.   Persoalan pengeras suara yang mengganggu, dan tidak sesuai dengan nilai Islam rahmah,  sebenarnya dapat dikomuniasikan dengan baik, duduk bersama dalam Forum Kerjasama Umat Beragama (FKUB), bukan dengan jalan langsung bertindak dan merusak. Tindakan merusak rumah ibadah mencerminkan buruknya komunikasi di kalangan umat beragama, padahal semua persoalan dapat diselesaikan dengan aman dan nyaman sekiranya para petinggi umat beragama setempat duduk bersama menyelesaikan semua persoalan dengan lembut tanpa kekerasan.

Sama halnya juga di Tanjung Balai, peristiwa pembakaran Vihara menjadi bukti buruknya hubungan antar-umat beragama setempat. Dalam situasi yang buruk itu, meskipun tampak adem ayem, terseimpan rasa tak senang dan kecurigaan yang sangat peka. Dalam suasana seperti itu, sebuah niat baik memberi teguran terhadap kerasnya suara adzan di masjid, karuan saja justru dijawab dengan amarah. Amarah itu pun semakin melua-luap jika terhembus angin hasutan lewat medsos. Buruknya komunikasi itu menunjukkan kinerja FKUB selama ini hanya seremonial tingkat tinggi, tidak tersosialisasi di kalangan umat. Kementerian agama dan seluruh pihak yang terkait juga tampaknya melepas tanggung jawab, semua diserahkannya ke FKUB yang tidak berakar itu.   Wallahu a’lam bi al-shawab.