BANJIR, “BERKAH” UNTUK HIDUP KEBERSAMAAN
Oleh: Hamka Haq
Ibukota Jakarta mengalami BANJIR sepekan ini, maka saya tiba-tiba merenungkan ayat Tuhan:“Dan dari air KAMI jadikan segala yang hidup” (Al-Anbiya’:30), padahal kenyataannya Banjir adalah bencana yang mematikan. Betapa banyak pemukiman terendam, infratruktur dan rumah rakyat jadi rusak. Kegiatan perkantoran, pemerintah dan swasta pun menjadi lumpuh. anehnya, di tengah-tengah meluapnya banjir itu pun terjadi kebakaran, astaghfirullah al-‘azhim.
Namun, dengan mengingat firman Allah SWT tersebut, Banjir di DKI Jakarta tidak harus berarti bencana saja, tapi juga ada hikmahnya, terutama yang tampak ialah terbangunnya kebersamaan kehidupan warga. Perhatikan, hingar bingar petugas penanganan banjir, relawan, ormas dan prbadi yang turun membantu korban, semua melupakan perbedaan. Tak ada suara lagi dari ormas tertentu yang biasanya cepat curiga, mengapa relawan umat lain membantu umatku?; tak ada curiga akan isu Kristenisasi?, atau pun Islamisasi?.
Banjir datang tidak mengenal agama dan etnis, semua terkena dampaknya. Sekat-sekat rasialis agama dan etnis terlupakan, semua menjadi bungkam dan tidak laku. Semua warga dengan latar belakang etnis, budaya dan agama membaur, senasib sepenanggungan, gotong royong. Dan dalam pada itu ketahuan pula, siapa yang memang peduli umat, peduli bangsa di kala susah. Siapa pula yang hanya pintar bicara umat, mengklaim berpihak pada umat, namun mereka tak hadir dalam suasana masyarakat membutuhkan bantuan makan, minum, selimut, bantal dan tikar.
Banjir ini adalah salah satu dari sekian “ayat2 Tuhan”, dan seolah2 Allah berfirman: AKU turunkan bencana ini agar kamu bersatu, dan mau lupakan peredaan agama dan etnismu. Fenomena “ayat” alam ini membungkam para pembuat fatwa, yang biasanya menjadikan perbedaan agama atau etnis dalam retorika perjuangannya. Ayat alamiah Tuhan, berupa banjir ini menghalau semua fatwa rasialis yang biasanya mengharamkan kerjsama dengan umat yang beda agama dan atau etnisnya. Fatwa2/retorika rasialis betul2 lumpuh, karena yang dibutuhkan masyarakat ialah makan, minum, bantal, selimut, & rumah: kesejahteraan, bukan fatwa.
Saya pun teringat pada tsunami di Aceh pada tahun 2004, yang membuat rakyat Aceh sadar bahwa untuk membangun kembali kehidupan mereka sebagai anak bangsa, tidak cukup jika hanya mengharap bantuan dari sesama Muslim. Negara yang paling tanggap dan secepat meungkin memberi bantuan tenaga, teknologi dan logistik ketika itu ialah Australia, menyusul Jepang, dan lama kemudian barulah tiba bantuan uang dari Saudi Arabiah dan negara Timur-Tengah lainnya. Rakyat Aceh, yang selama itu sangat sensitif menyangkut perbedaan agama, ternyata ketika dilanda tsunami, mereka tidak menaruh curiga terhadap kedatangan tenaga asing dan teknologinya dari negara non Muslim ke tengah-tengah mereka. Tulisan ini hanya ingin membuktikan bahwa kehidupan dan peradaban dunia saat ini membutuhkan dan meniscayakan kerjasama kemanusiaan tanpa mengungkit-ungkit perbedaan agama dan ertnis.
Tsunami di Aceh dan Banjir berkali-kali di DKI Jakarta harus dipetik hikmahnya, agar jangan hanya membawa dan menyisakan derita yang berkepanjangan bagi anak-anak bangsa kita. Sebesar apapun bencana dan tantangan hidup, akan mudah dihadapi dengan jalan gotong royong anak negeri, kerjasama kemanusiaan. Dengan demikian tantangan bencana banjir menjadi peluang UNTUK HIDUP dalam kebersamaan. Tapi sebesar apapun hikmah suatu bencana, umat manusia haruslah berdoa kepada Tuhan dan berharap untuk terhindar selalu dari bencana apapun, Amin. Wallahu A’lam bi al-shawab.