MENCABUT AKAR-AKAR KERUSUHAN
Oleh: Hamka Haq
Gema ripah loh jinawi atau dalam bahasa kitab sucinya Baldatun thayyibah wa rabbun ghafur, seperti itulah dambaan bangsa kita bagi negeri tercinta Indonesia raya. Namun hal itu rasanya masih jauh dari kenyataan, menyaksikan kondisi masyarakat yang akhir akhir ini semakin menunjukkan eskalasi kerusuhan, tawuran dan perang antar warga, ditambah lagi terorisme yang belum dapat dipadamkan secara tuntas Mengamati segenap peristiwa kerusuhan yang terjadi, begitupun aktifitas teroris, setidaknya kita menemukan tiga penyebab utamanya, yakni egoisme kelompok, kemiskinan dan lemahnya penegakan hukum.
Egoisme merupakan pemicu utama, karena sikap egois membuat suatu komunitas merasa bangga pada kelompoknya, eksklusif, menolak kehadiran kelompok lain tanpa kompromi dan dalam menyelesaikan persoalan selalu memaksakan kehendaknya yang ujungnya adalah kekerasan. Egoisme kelompok inilah pemicu utama berlarutnya pertikaian antaretnis, sejak dari kerusuhan di Sampit dan Sambas, kemudian Maluku dan Posos sampai akhirnya kerusuhan etnis yang terjadi di Lampung. Mulanya memang antar etnis, tapi kemudian dapat berubah menjadi antarumat beragama.
Egoisme kelompok muncul seiring dengan longgarnya ikatan senasib sepenanggungan sebagai satu bangsa dalam satu tanah air. Ikatan kebangsaan longgar, mungkin karena rakyat tidak merasakan manfaat dari kebangsaan dan tidak melihat lagi kehadiran negara menjalankan fungsinya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam pada itu, rakyat dengan kelompoknya terpaksa menyelesaikan prosoalannya tanpa tergantung lagi pada negara, setelah melihat negara tidak berdaya.
Keadaan lebih diperparah dengan semakin susahnya kehidupan ekonomi. Kemiskinan membuat rakyat sangat peka pada hak-hak yang masih tersisa padanya, misalnya pemilikan tanah, lahan perkebunan dan sawah yang merupakan harapan terakhirnya untuk dapat bertahan hidup. Maka jangan heran bila terjadi sengketa soal tanah, yang melahirkan kerusuhan masal, dan melibatkan antar warga kampung dan desa, guna mempertahankan tanah tumpuan hidupnya. Kedaan lebih diperburuk dengan kehadiran perusahaan perkebunan dan pertambangan yang otomatis mencabut hak penguasaan tanah yang mereka warisi turun teumurn sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka berhadapan dengan hukum, dan kenyataannya hukum hampir selalu berpihak pada pengusaha dan penguasa, walaupun nyata-nyata rakyat tertindas dan tertindis. Kemiskinan yang mendera, menyebabkan rakyat kecil tak berdaya menghadapi kekuatan dan kekuasaan hukum yang semakin mahal. Hampir semua lembaga penegak hukum, tercoreng dengan oknum-nya yg koruptor, menerima bayaran dan gratifikasi, yang semuanya memuakkan rakyat. Maka bagi rakyat, satu-satunya cara penyelsaian ialah jalan pintas, bersatu dalam kelompoknya, menggunakan cara-cara kekerasan melawan “musuh” yang dianggapnya mengancam berkehidupan mereka. Dengan kata lain rakyat lebih mengandalkan kekuatan kelompoknya ketimbang hukum, karena kehilangan tempat berlindung selain kelompoknya sendiri. Maka kelompok mana yang kuat, itulah yang menang dan leluasa menganiaya yang lainnya.
Egosime kelompok pun ternyata juga merambah ke soal-soal keyakinan dan agama. Karena dalam banyak hal negara seolah tidak hadir membela yang lemah sebagai fungsi negara melindungi segenap bangsa Indonensia, maka kelompok tertentu menunai kesempatan untuk main hakim sendiri, dengan mudahnya menzalimi umat agama lain dan merusak sarana pendidikan dan ibadah mereka. Seperti itulah tindakan yang menjadikan kelompok Ahmadiyah sebagai sasaran amarahnya, ataupun kelompok Kristen dan Katolik yang semuanya tidak berdaya menghadapi egoisme kelompok mayoritas.
Jenis kerusuhan semakin bertambah dengan terjadinya pula sejumlah konflik Pilkada (Pemilihan kepala daerah). Pertikaian jenis ini timbul sebagai akibat verifikasi yang tidak adil dan keberpihakan oknum Komisi Pemillihan Umum Daerah (KPUD), lemahnya Pengawas Pemilu (Panwaslu), adanya kecurangan: politik uang dan penggelembungan suara, ketidak puasan atas putusan Mahkamah Konstitusi, semuanya membuat rakyat yang sudah terkotak-kotak di bawah komando sang kandidat menjadi marah dan melampiaskannya dengan tindak kekerasan. Seperti konflik lainnya, konflik pilkada pun akan semakin dahsyat jika sudah melibatkan perbedaan etnis dan agama.
Tapi mungkin yang paling mengerikan ialah kegiatan teroris, yang berkaitan dengan keyakinan dan penafsiran yang berbeda menyangkut agama. Namun aktifitas teroris inipun sebenarnya tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ia merupakan pelarian dari anak-anak muda yang tergoda dengan keuntungan sesaat, dengan uang berlimpah disertai janji-janji sorga di akhirat bagi siapa saja yang mati syahid. Mereka yang mudah dirayu berasal dari keluarga miskin, termasuk miskin pemahaman agama. Mereka tidak dapat membedakan antara mati syahid dan mati sia-sia dengan bom bunuh diri. Jadi penyebab utamanya adalah kemiskinan pula, dan satu-satunya milik mereka ialah semangat jihad, tanpa ijtihad (pikiran sehat). Hal ini akan semakin menjadi-jadi dengan ajaran egoisme kelompok, bahwa yang benar dan selamat di sisi Allah hanyalah kaumnya; karena itu umat dan kaum lainnya harus dihapus-musnahkan di muka bumi.
Untuk menyelamatkan masyarakat kita dari kerusuhan dan ketidak amanan, maka bangsa kita harus kerja keras. Hal utama dan mutlak ialah harus menegakkan kembali ikatan rasa senasib-sepenanggungan sebagai bangsa, ketimbang membangun egoisme kelompok. Negara dan pemerintah harus maksimal mejalankan fungsinya dalam memajukan kesejahteraan umum, dan melindungi segenap bangsa Indonesia. Dan tak kalah pentingnya ialah pencerdasan umat beragama, agar ajaran kasih sayang (rahmatan lil-‘alamin) menurut Islam lebih diarus-utamakan, guna meredeam paham “jihad” yang keliru. Wallahu A’lam bil-shawab.