PEMIMPIN NON MUSLIM, dan TAFSIR KONTEKSTUAL
(Rangkuman diskusi via Twitter, soal Pilkada DKI)
Oleh: Hamka Haq
Sejak Rhoma Irama melontarkan bola panas isu SARA yang dalam ceramahnya di suatu masjid melarang warga Jakarta yang Muslim memilih Calon Gubernur Joko Widodo (JOKOWI) yang berpasangan dengan non Muslim Basuki Cahaya Purnama (AHO), maka dunia maya twitter menjadi ramai dengan diskusi seputar kepemimpinan non Muslim. Rhoma Irama mengutip Q.S.Al-Maidah: 51: yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”.
Untuk mencegah berlanjutnya khotbah-khotbah yang dapat memicu perpecahan bangsa, warga Jakarta khususnya, maka penulis menerbitkan dua edaran Baitul Muslimin http://wp.me/s1n8EA-359 dilengkapi dengan http://wp.me/p1n8EA-7l , yang intinya membolehkan umat Islam memilih pemimpin (calon Gubernur), yang berpasangan dengan (calon wakil Gubernur) yang berasal dari etnis Tionghoa dan beragama Kristen. Karuan saja, banyak kecaman dan dukungan via Twitter terhadap penulis. Bahkan ada yang sinis menilai saya lupa ayat lah, memelinir ayat lah, bahkan menuduh memperkosa ayat. Dengan sabar saya jawab mereka satu persatu, sampai pada dialog seri keempat, jawaban saya sebanyak 62 butir twit, kecaman dan penistaan pun akhirnya menghilang (Seri pertama 13 twit; kedua 10 twit dan ke tiga 17 twit, seri keempat 22 butir). Berikut ini jawaban-jawaban saya dalam twitter itu, saya susun dengan menyambung satu-persatu menjadi tulisan sebagai berikut.
Seri I
Salah satu sifat org yang tdk FAQIH (berilmu & bijak) dalam agama ialah berpikir hitam putih, tanpa alternatif. Semua non Muslim dicap nya Kafir, padahal Yahudi dan Kristen tidak mutlak Kafir; Al-Qur’an sendiri menyebut mereka Ahlu Kitab. Bahasa Al-Qur’an amat sejuk, ahl kitab pun disebut ahl mitsaq (penganut perjanjian damai). Bagi kita bangsa Indonesia, seharusnya bahasa sejuk Al-Qir’an seperti itulah yang disebarkan untuk persatuan & kebhinnekaan, bukan mengkafirkan. Jadi banyak ustadz yang masih perlu diingatkan tentang apa arti kafir sebenarnya dan apa bedanya dg AHLU KITAB
Ketika saya menyatakan bahwa Ahlu Kitab itu tidak secara mutlak (tidak semua) kafir, ada yang menanggapi dengan mengatakan bahwa saya lupa pada Surah Al-Bayyinah yang menyatakan bahwa Ahlu Kitab itu kafir. Saya menjawab: Alhamdulillah, saya tdk lupa S.Al-Bayinah:1. Tapi coba perhatikan, pd ayat itu trdapat kata (harf jarr) من “MIN”, yang menurut kaedah tafsir berarti sebagian (tidak semua ahl kitab) itu kafir. Mungkin si penanya itu belum memahami kaedah-kaedah tafsir seperti itu. Bahkan untuk memahami Al-Qur’an, sangat diperlukan metodologi untuk dapat mengartikan dan menfasirkannya secara benar (mendekati kebenaran), tidak hanya melihatnya secara harfiyah.
Seri II
Banyak ayat menunjukkan bahwa ahlu kitab tidak mutlak (tdk semua) kafir. Prhatikan pada Q.S.Al-Baqarah:62 , disebutkan bahwa di antara mereka ada yang beriman dan beramal shaleh, walau imannya tentu berbeda dengan Islam. Bahkan dalam Q.S.Al`Ankabut:46, disebutkan bahwa Tuhan yang diimani oleh Ahlu Kitab sama dengan Tuhan yang diimani oleh umat Islam. Wa Ilahuna wa Ilahukum Wahid (Dan Tuhan kami dan Tuhanmu -hai ahli Kitab- itu SATU adanya). Sedang Q.S.Al-Kafirun, yang turun di Mekah, bukan menyangkut Ahl Kitab, melainkan kaum musyrikin, jahiliyah paganisme yang semuanya mutlak kafir. Jadi utk menafsirkan ayat, di samping memerlukan metodologi, juga memerlukan ilmu sejarah. Tidak hanya asal mengartikan secara tekstual hitam-putih.
Adapun menyangkut larangan dalam Q.S. Al-Maidah:51, sudah saya jelaskan lewat Edaran Baitul Muslimn Indonesia http://wp.me/s1n8EA-359 dilengkapi dengan http://wp.me/p1n8EA-7l . Dalam Edran itu, dijelaskan bahwa larangan pada Q.S.Al-Maidah: 51, itu berlaku pada zaman / saat / kondisi, Yahudi dan Kristen berbuat zalim kepada umat Islam. Tapi saat mereka hidup dalam masyarakat damai, seperti di Madinah, Maka kita seharusnya mencontoh sikap Rasulullah SAW untuk menerima mereka.
Perhatikan pula, pada dasarnya larangan memilih pemimpin dari non Muslim, merujuk kepada konsep Wali (pemimpin) di zaman Nabi SAW, yaitu Raja atau Kaisar berkuasa absolut. Maka Sepanjang kekuasaannya tidak absolut, tak ada larangan, hukum syariat membolehkannya. Perhatikan Negara Islam SUDAN, pernah punya Wakil Presiden dari Kristen, yaitu Abel Alier (1976-1982),Yosep Lagu (1982-1985), G.K.Arof (1994-2000), dan Moses K.Machar (2001-2005). Tentu saja para ulama di Negara Islam Sudan, tidak melupakan Q.S.Al-Bayinah, S.Al-Maidah dll. Mereka tidak menjual ayat, tapi itulah ISLAM RAHMAH yang mereka terapkan dalam bernegara. Dalam Negara Islam SUDAN, yang jelas-jelas Syariat Islam menjadi konstitusinya saja, ulamanya membolehkan memilih Kristen pada posisi Wakil, maka tentu di Negara Pancasila RI juga boleh jika untuk kepentingan persatuan bangsa, apalagi hanya posisi wakil Gubernur.
Seri III
Lalu yang dipersoalkan lagi, bahwa umat Kristen sekarang bukan Ahl Kitab. Penulis jawab bahwa Memang ada yg mau menghapus AHL KITAB dari Kamus Islam, katanya: Ahl Kitab hanya di zaman Nabi Musa dan Isa a.s. Padahal AHLU KITAB yang disebut dalam Al-Qur’an mengacu pada kaum Yahudi dan Kristen yang ada di zaman Nabi Muhammad SAW. Khusus kaum Kristen di zaman Nabi, keyakinan mereka adalah trinitas yg disahkan pada Konsili Nikea sejak 325 M. Keyakinan itu pula yang dianut Kristen di zaman sekarang, maka dengan sendirinya Ahl Kitab tetap ada sampai skarang.
Bahkan ada Ahl Kitab yang mendapat pujian, karena rajin membaca kitab sucinya dan beribadah di malam hari (Q.S.Ala Imran:113). Juga di antara mereka, walaupun tetap pada agamanya, tapi percaya pada kebenaran Nabi SAW dan Al-Qur’an, serta berakhlak mulia (Q.S.Ala Imran:199). Karena itu Al-Quran melarang kita mencerca Ahl Kitab, kecuali mereka yang zalim, karena Tuhan kita dan Tuhan mereka sama, satu adanya (Wa Ilahuna wa Ilahukum Wahid) (Q.S. Al-‘Ankabut: 46). Saya hanya sekadar menunjukkan sejumlah ayat Al-Qur’an tentang Ahl Kitab yang sering diabaikan. Lebih rinci soal Ahl Kitab, diuraikan khusus pd Bab VI buku saya ISLAM RAHMAH UTK BANGSA, buka http://wp.me/p1n8EA-41
Seri IV
Memahami Al-Qur’an harus secara konprehensif, kita tidak boleh melupakan ayat-ayat yang menilai tdk semua ahlu kitab itu kafir, seperti telah diungkapan. Kaum musyrikin yang memang semua kafir, berbeda dengan ahl kitab yang diakui tidak semuanya kafir; baca QS.Ala Imran:113, di sana berbunyi (laysuw sawa yang artinya mereka itu tidak sama). Karena itu Al-Qur’an selalu memisahkan antara Ahl Kitab (yg tdak semua Kafir) dengan Musyrikin yg sccara mutlak kafir. Andai kata Ahl Kitab dan Musyrikin itu sama (sinonim) maka tidak perlu dipisah, cukup Al-Qur’an menyebut Musyrikin saja, tapi ternyata Al-Qur’an memisahkannya. Untuk jelasnya perhatikan kembali Q.S.Al-Ankabut:46 (Tuhan kita dan Ahl Kitab SATU); lalu ayat 47 jelas-jelas menegaskan bahwa sebagian mereka beriman (wa min haula’i man yu`min).
Ahl Kitab yang tetap pada agamanya, namun mengakui kebenaran Nabi dan Al-Quran, dan tidak memusuhi Islam, tdk disebut Kafir (Q.S.Ala Imran:113). Ahlu Kitab yang percaya Allah itu Esa dan Yesus tubuh manusia (Matius 26:2) yg mewadahi Dimensi Roh KasihNYA, mereka tidak kafir. Mirip konsep Wihadtul Wujud dalam Tasawuf Islam, (Allah memilih hambaNYA yang sufi sebagai wadah PancaranNYA) seperti yang dialami Al-Hallaj. Analoginya: Allah yg hakikat-NYA Maha Esa, hadir dalam berbagai dimensi sifat, sehingga bagi umat Islam terdapat 99 asmaul husna-NYA dlm AlQur’an, yang menunjukkan dimensi-dimensi sifat Allah, bahkan ada yang menjadikannya 100 dengan memasukkan nama: Al-Syafi’ (Allah Maha Penyembuh). Yang kafir ialah percaya TIGA jenis dan TIGA zat Tuhan, sehingga Tuhan berbilang – politeistis (Q.S.Al-Maidah:17 & 73, Al-Tawbah:30).
Sepanjang mereka hanya meyakini Yesus sebatas manusia (tubuh yang mewadahi dimensi Roh Kasih Allah YME), bukan zat setara dg Tuhan, mereka tidk musyrik. Perhatikan, dalam Al-Qur’an, Yesus juga disebut sabagai Wadah Firman2-NYA, Wadah Roh (Spirit)-NYA yg dilimpahkan ke Maryam (Q.S.Al-Nisa: 171). Ahlu Kitab yang mengimani Yesus sbg WADAH Cinta Kasih Allah, menyebut juga Nabi seperti itu, sbg “anak” Allah, tapi Nabi menolaknya. Mereka itulah yg bertamu di Masjid Nabawi Madinah, dan diizinkan oleh Nabi beribadah di sana (Tafsir Al-Qurthubi Juz 4 h. 4&5).
Missi Rasulullah SAW: Rahmatan lil-‘alamin dan Kaffatan li al-nas, bahwa Islam adalah sumber rahmah (kasih sayang) bgi semua manusia. Nabi tdk bertugas mengislamkan semua manusia, sebab ternyata beliau sendiri mengajak kaum non Muslim kerjasama dalam negara Madinah. Nabi membangun masyarakat plural, bahkan ipar2nya dan pembantunya juga ada yg beragama Yahudi tanpa dipaksakan masuk Islam.
Kemudian, ada ustadz atau yang mengaku ulama mempertanyakan metode kontekstual yang disinggung dalam Edaran Baitul Muslimin. Mereka belum mengerti, sehingga mengira pemahaman kontekstual adalah memelintir (memperkosa) ayat. Untuk itu, perlu dijelaskan guna membuktikan bhw metode pemahaman kontekstual tdk seperti apa yang mereka tuduhkan itu.
Misalnya Q.S.Al-Taubah:36: “Perangilah orang musyrik seluruhnya”; jika dipahami secara tekstual, berarti umat Islam wajib perang tiap hari. Karena itu, harus dipahami secara kontekstual, bahwa ayat tsb. hanya berlaku pada kondisi diperangi di zaman Nabi, atau kondisi yg sama sesudahnya. Contoh lain: Hadits larangan buang air menghadap/membelakangi ka`bah. Nabi tegaskan: “Hendaklah kalian menghadap ke Timur atau ke Barat”. Kalau hadits tsb diterapkan di Indonesia secara tekstual, maka umat Islam Indonesia akan selamanya meghadap / membelakangi ka’bah pada saat buang air, sehingga bertentangan dengan substansi larangan Nabi. Jadi harus disesuaikan dengan konteksnya, bahwa menghdap ke Barat /Timur itu memang cocok di Madinah, karena di sana kiblat berada di arah Selatan. Contoh lain, S.Al-Maidah: 38; “Laki-laki dan perempuan yg mencuri potonglah kedua tangannya”, itu hanya dapat diterapkan pada konteks kemakmuran. Khalifah Umar bin Khattab tidak memotong tangan beberapa buruh yang mencuri karena diterlantarkan majikannya. Umar R.A justru menjatuhkan sanksi denda atas majikan mereka (Muwaththa`, Juz II: 748).
Begitu pula halnya larangan memilih pemimpin (wakil non Muslim) hrs dipahami scr kontekstual, berlaku ketika non Muslim menzalimi umat Islam. Tetapi dlm konteks kedamaian warga yg pulral, sperti di Madinah pd zaman Nabi SAW, umat Islam dapat bekerjasama dengan non Muslim. Maka utk zaman moderen, demi membangun perdamaian dan persatuan bangsa, non Muslim boleh saja dipilih jadi pendamping (wakil) pemimpin. Negara Islam Sudan, misalnya, berdasarkan UUD Syariat nya memberi contoh untuk hal ini. Apa yg berlaku di Sudan membuktikan bahwa Islam itu Rahmatan lil-alamin, rahmat utk semua manusia (Kaffatan li al-nas).
Cara itu pula dierapkan oleh Khalifah-khalifah Islam di zaman klassik, mengangkat sejumlah ilmuwan Kristen pada posisi tertentu demi kajayaan Dinasti Islam Abbasiyah. Khalifah Harun al-Rasyid dan puteranya Al-Makmun pada zaman keemasan Dinasti Abbasiyah membangun Badan Penerjemahan (BAITUL HIKMAH) dan mengangkat Hunayn bin Ishaq bersama puteranya Ishaq bin Hunayn dari kalangan Kristen, mengepalai lembaga tersebut, sekaligus Ketua Tim Dokter istana. Penerjemah dari Kristen Nestoria adalah Bakhtisyu’, juga diangkat menjadi Kepala Rumah Sakit Baghdad. Demikian dlm buku sejarah Akhbar al-‘Ulama’ bi Akhyar al-Hukama’ Juz I, h. 77 oleh Al-Qufty; Tarikh al-Islami Juz 4 h.491 oleh Al-Dzahaby dan Wafyat al-A’yani wa Anba’u Abna’ al-Zaman Juz I, h. 205 oleh Ibn Khillikan.
Disamping konteks kedamaian, juga konteks kekuasaan pemimpin skarang, yg tdk lagi absolut, bukan Kaisar, Raja, dan bukan Khalifah. Pemimpin Non Muslim di Negeri mayoritas Muslim, biasanya sebatas Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, dan sekali lagi apalagi kalau hanya wakil Gubernur.
Terima kasih.
Hamka Haq.