Bung Karno dan Panca Sila 1 Juni 1945
(Bukan Kultus Individu)
Oleh: Prof. Dr.Hamka Haq, MA
Menjadikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai referensi rumusan awal Pancasila, tidak bermaksud untuk kultus individu bagi Bung Karno, juga bukan untuk kepentingan politik praktis, melainkan sebagai bentuk politik kenegaraan sebagai satu sisi dari high politic, menyangkut hubungan integral historis asas-asas negara kita (Pancasila dan UUD 1945). Hal ini penting dilakukan untuk meluruskan pemahaman yang timpang dan keliru menyangkut asas-asas negara kita, akibat dari pemikiran yang tidak melihat hubungan historis asas-asas negara itu, ataupun karena sengaja memanipulasi sejarah demi kepentingan sepihak.
Misalnya, pernah ada ungkapan dari seorang tokoh, yang menyatakan bahwa: “Pancasila Soekarno, sila Ketuhanan ada di pantat, sedang Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di kepala”. Pernyataan ini mencerminkan bahwa yang bersangkutan tidak memahami persis hubungan historis antara Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 dengan Piagam Jakarta. Bahkan tidak memahami proses lahirnya Piagam Jakarta itu sendiri.
Padahal, Piagam Jakarta itu sendiri dirumus oleh Panitia Sembilan (Soekarno, Hatta, Moh. Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abd. Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Agus Salim dan Abi Kusno Tjokrosoejoso) yang diinisiasi dan dipimpin langsung oleh Soekarno (diluar dari Panitia Delapan yang dibentuk sebelumnya). Dalam merumuskan Pancasila, Panitia Sembilan mengacu pada pidato 1 Juni 1945. Jadi, Piagam Jakarta juga adalah produk yang melibatkan Soekarno sebagai pemeran utama. Dalam merumuskan Pancasila, Panitia Sembilan hanya mengacu pada lima sila yang ditawarkan oleh Bung Karno, bukan Trisila apalagi Ekasila. Namun kalau mau jujur, Eka Sila itu tertera pada lambang negara kita, yang berbunyi: “Bhinneka Tunggal Ika”. Dan falsafah Gotong Royong itu adalah wujud Negara kita yang dibangun atas kebersamaan warga bangsa dengan latar belakang agama, etnis, budaya dan bahasa yang beragam.
Sementara itu, sejumlah tokoh lainnya, bahkan di antaranya pakar hukum Tata Negara, menyatakan bahwa hari lahir Pancasila bukan pada tanggal 1 Juni 1945, melainkan pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika dirumuskan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Kalau dikatakan bahwa kelahiran Pancasila adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, berarti Negara kita punya Ideologi dan Dasar Negara tanpa nama, sebab nama “Pancasila” itu tidak terdapat dalam UUD 1945, dan hanya, sekali lagi hanya terdapat dalam Pidato Soekarno 1 Juni 1945. Maka suka atau tidak suka, kita harus terima pidato tersebut sebagai rangkaian historis eksistensi Dasar Negara yang bernama “Pancasila”, sebagaimana telah terekam dalam memori kolektif bangsa ini sejak awal kemerdekaan.
Dengan demikian, sebenarnya tidak tepat jika kita membuat versi-versi Pancasila, bahwa ada versi Soekarno (1 Juni 1945), ada versi Piagam Jakarta (22 Juni 1945) dan ada versi 18 Agustus 1945, sebab ketiga-tiga rumusan tersebut merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan dalam sejarah menyangkut satu wujud Pancasila.
Bahkan ada yang lebih fatal dan ironis lagi, dengan berani mengatakan bahwa NKRI ini tidak berdasar Pancasila, tetapi berdasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, (pasal 29 UUD 1945 ayat 1), dan itu berarti berdasar pada tauhid Islam, atau tegasnya NKRI ini berdasar pada syariat agama Islam, bukan yang lainnya. Pendapat ini justru gagal paham mengenai hubungan tak terpisahkan antara pasal 29 UUD 1945 terebut dengan Pembukaannya yang jelas-jelas menyebut lengkap lima sila dari Pancasila. Seperti itulah kerancuan pemahaman tentang eksistensi Pancasila, jika tidak menempatkannya dalam kerangka historis yang utuh, bahkan membuatnya menjadi tiga versi yang terpisah-pisah.
Ketimpangan tersebut di atas adalah dampak dari upaya sistematis di era Orde Baru untuk mengaburkan soal kesejarahan Pancasila itu, dengan melakukan deSoekarnoisasi bagi lahirnya Pancasila. Mereka tidak mengakui lahirnya Pancasila 1 Juni, dan hanya mengakui Pancasila yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Mereka lalu beralasan bahwa rumusan Pancasila bukanlah monopoli Soekarno, karena sebelumnya ada beberapa pembicara lain yang menyampaikan juga pidatonya, bahkan ada pidato yang mirip dengannya, yakni pidato Muhammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945.
Namun fakta otentik yang terekam dalam sidang BPUPKI menunjukkan bahwa rumusan mengenai lima dasar negara di dalam pidato Bung Karno sangat konkret dan jelas, sehingga tinggal menyerasikan redaksi dan mengurut ulang sistematikanya, sesuai kesepakatan para anggota Panitia Sembilan.
Akan halnya dokumen pidato Mr. Muhammad Yamin, itu sangat diragukan, karena tidak terekam dalam Risalah Sidang BPUPKI yang otentik. Dalam risalah BPUPKI yang otentik, yang ditandai dengan kertas resmi BPUPKI yang bertuliskan “Dokuritu Zyunbi Tyoosakai”, bukan “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” (kendatipun dibaca Dokuritsu … … ), tidak ditemukan pidato Moh. Yamin, kecuali kerangka singkat saja. Dokumen Risalah BPUPKI yang otentik (minus pidato Yamin) tersebut berasal dari Pringgodigdo Archief di Algemeen Rijksarchief Den Haag, yang sekarang tersimpan di Arsip Nasional Jakarta. Dalam risalah otentik ini sekali lagi tak ada naskah pidato M. Yamin itu. Andaikan dokumen pidato Yamin itu pun asli (otentik), maka tidak pula akan menjadi bahan utama bagi Panitia Sembilan dalam permusan Pancasila, karena pembahasannya tidak sejelas dan tidak se konkret dengan isi pidato Bung Karno.
Jadi, dengan alasan yang kuat berdasarkan dokumen-dokumen sejarah yang otentik, Pancasila untuk pertama kali disusun oleh Bung Karno sebagaimana disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945, dan beliau sendiri menamainya “Pancasila”. Rezim Orde Baru pun, yang semula meragukan Pidato Soekarno 1 Juni 1945 sebagai asal-muasal Pancasila, bersama Dewan Nasional Angkatan 45, pada tanggal 10 Januari 1975 membentuk Panitia Lima yang terdiri atas Bung Hatta, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Soenario, dan Abdul Gafar Pringgodigdo, untuk meneliti asal usul Pancasila yang otentik. Panitia Lima tersebut akhirnya melaporkan kepada Presiden Soeharto, dipimpin oleh Jenderal Soerono pada tanggal 23 Juni 1975, yang menjelaskan bahwa asal-usul Pancasila sejatinya berawal dari pidato Bung Karno di depan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Jadi Orde Baru sendiri akhirnya memandang hari lahir Panasila 1 Juni 1945, dari pidato Bung Karno itu sudah final. Dan itulah yang menjadi dasar Pemerintahan Jokowi menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila.
Persoalan yang dihadapi sekarang ialah terjadinya ketimpangan dalam praktik kenegaraan kita, yang tanpa disadari telah mencabut spirit Pancasila itu dari sejumlah pasal UUD 1945 pasca amandemen di awal reformasi. Spirit Pancasila soal demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, juga semangat persatuan telah banyak terserabut dari praktik kenegaraan kita. Sebut saja sila Persatuan Indonesia, tertuang dalam pasal-pasal mengenai sistem pemerintahan dan bentuk negara, serta perlunya arah pembangunan Nasional yang diatur dalam pasal tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Pasca Reformasi dinamika kehidupaan bernegara bergulir ditandai dengan diapusnya GBHN, berlangsungnya Pilpres dan Pilkada secara langsung oleh rakyat, dan lahirnya UU Otonomi Daerah. Pilpres dan Pilkada menghasilkan pemerintahan tanpa suatu pedoman ke arah haluan negara, sehingga Presiden dan para Kepala Daerah harus menyusun haluannya sendiri berupa visi dan misi sesuai kampanye yang telah ditawarkan kepada masyarakat.
Karena masing-masing menawarkan visi-misi yang berbeda-beda, maka haluan pembangunan Nasional dan pembangunan di daerah sering tidak sinkron, ditandai lahirnya kebijakan pemerintahan daerah yang tumpang tindih bahkan kadang berlawanan dengan kebijakan pemerintah pusat. Apalagi visi-misi itu sendiri sifatnya hanya lima tahunan, dan belum tentu diteruskan oleh rezim sesudahnya, membuat arah pembangunan nasional dan pembangunan di daerah maju mundur. Lebih parah lagi jika kepala-kepala daerah sedikit arogan, karena merasa dipilih rakyat dan punya hak otonomi sendiri, dapat dipastikan mereka tidak akan tunduk dan patuh pada kebijakan pemerintah di atasnya (Gubernur atau Presiden).
Lihat saja, betapa sering tidak sinkron antara kebijakan Pemerintah Pusat dan beberapa Pemerintah Daerah dalam menghadapi Pandemi Covid-19. Bahkan terdapat Bupati yang dengan arogan menilai menteri-menteri kabinet Jokwi itu bodoh. Semua ini adalah dampak negatif dari proses pemilihan langsung dan juga penyalah gunaan UU Otonomi Daerah, yang membuat Kepala Daerah tertentu merasa berkuasa penuh tanpa patuh pada kebijakan Pemerintahan di atasnya.
Akibatnya, makna sila Persatuan Indonesia, dalam wujud Negara Kesatuan sebagai satu tatanan pemerintahan dan pembangunan tidak aktual lagi. Hal itu akibat hilangnya benang perekat dan penyingkron pemerintahan di bawah satu komando dan satu panduan bagi jalannya pembangunan nasional ke arah jangka panjang kehidupan bangsa dan negara kita. Benang merah yang dimaksud tidak lain adalah semacam GBHN sebagaimana diatur dalam pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen. Maka saatnyalah kita berpikir ulang untuk mengembalikan hak MPR RI untuk menyusun suatu pedoman tentang Pokok-pokok Haluan Negara, meskipun Presiden dan para Kepala Daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat.
Sekian, terimakasih. Wallahu a’lam bi al-Showabi.