FAKTA YANG TERLUPAKAN DI HARI SANTRI

FAKTA YANG TERLUPAKAN DI HARI SANTRI

Oleh: Hamka Haq

Bahwa sumber pengusulan hari santri itu berasal dari aspirasi masyarakat pesantren, yang pada umumnya adalah pesantren nahdhiyin kultural.  Usulan tersebut terutama bergema pada masa-masa kampanye Pak Jokowi menjelang Pilpres, sekitar bulan Mei dan Juni 2014.  Usul tersebut belum sempat disuarakan secara resmi oleh PBNU, sehubungan dalam suasana pesta demokrasi itu, Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. K.H. Said Aqiel Siradj berhubung satu dan lain hal tidak ikut dalam barisan pendukung Jokowi, sehingga untuk sementara komunikasi beliau dengan partai koalisi pendukung Capres Jokowi, khususnya PDI Perjuangan tidak semaksimal sebelumnya. 

Usulan dari kaum Nahdhiyin kultural itu kemudian diendors oleh warga dan simpatisan NU yang bergabung di parpol koalisi Capres Jokowi, khsusnya mereka yang aktif menyertai sapari politik Jokowi ke sejumah kiyai,  khususnya di Jawa.  Dari internal PDI Perjuangan, Jokowi lazimnya didampingi oleh fungsionaris DPP Partai dibantu oleh Pengurus Baitul Muslimin (BAMUSI) ormas sayap Islam PDI Perjuangan.  Fungsionaris DPP yang ditugaskan biasanya disesuaikan dengan Dapil nya pada saat pemilu dan sekitarnya.  Untuk wilayah Jawa Timur yang dikenal sebagai wilayah Tapal kuda atau wilayah santri yang paling sering diamanahi untuk menyertai Sapari politik Jokowi itu adalah DR. Ahmad Basarah wasekjen DPP PDI Perjuangan sekaigus Sekretaris Dewan Pertimbangan BAMUSI, juga Prof. Hamka Haq Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan YME sekaligus Ketua Umum BAMUSI.  Selain itu  pengursus PP BAMUSI  yang sering juga mendapat tugas yang sama ialah Zuhairi Misrawi, salah seorng intelktual muda NU yang gabung dengan PDI Perjuangan melalui ormas BAMUSI, diamanahi mendampingi Jokowi ke beberapa kiyai di Yogya dan Jawa Tengah.

                Wacana hari santri yang mulanya bergulir berupa perbincangan di kalangan pesantren semakin kuat di masa-masa puncak kampanye keliling Pak Jokowi di Jawa Timur di bulan Juni 2014, menjelang bulan suci Ramadhan 1435 H.  Seiring dengan kampanye keliling tersebut, beliau didampingi oleh Dr. Ahmad Basarah dan diagendakan menghadiri acara pelantikan PC BAMUSI Kabupaten Malang oleh Ketum BAMUSI Prof. Hamka Haq pada tanggal 27 Juni 2014 M jam 19.30 malam (29 Sya’ban 1435 H).  Acara tersebut dirangkaikan dengan silaturahim para ulama sekitarnya persiapan masuknya bulan Ramadhan, dipusatkan di Pesantren Babu Salam asuhan K.H. THORIQ BIN ZIYAD.  Barulah pada acara tersebut usulan Hari Santri Nasional disampaikan secar formal oleh para kiyai yang hadir diwakili oleh Gus Thoriq sendiri, Pimpinan Pesantren tersebut sekaligus Ketua BAMUSI Kabupaten Malang. 

Dalam usulannya, Gus Thoriq memohon kiranya Bapak Jokowi jika terpilih jadi Presiden RI dapat menjadikan tanggal 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional. Usulan terebut disambut dengan takbir Allahu Akbar dan tepuk tangan meriah oleh segenap hadirin.  Pak Jokowi pun menoleh, minta pertimbangan pada dua fungsionaris DPP PDI Perjuangan yang sedang mendampinginya, yakni Dr. Ahmad Basarah dan Prof. Hamka Haq.  Atas pertimbangan bersama, dengan memohon ridho Allah SWT, usulan tersebut langsung diterima oleh Pak Jokowi dan diiyakan dalam sambutan silaturahimnya.

                Usai Pilpres, berdasarkan putusan KPU Nasional, Alhamdulillah Pak Jokowi diumumkan sebagai pemenang Pilpres 2014.  Karuan saja wacara Hari Santri Nasional semakin bergulir, para pesantren dan kiyai-kiyai kultural Nahdhiyin pendukung setia Pak Jokowi seolah menagih janji Jokowi.  Tapi awalnya sempat menjadi kontroversial, karena tanggal 1 Muharam selama ini diperingati oleh umat Islam se Dunia sebagai hari tahun baru Hijriyah. Banyak kalangan umat Islam yang menolak keras jika haris tersebut menjadi hari santri.  Lagian makna hari santri tentu akan menjadi kabur, dan tidak jelas jika hanya sekedar numpang di tanggal 1 Muharam yang memang selama ini sudah menjadi hari besar Islam se Dunia. 

Hal tersebut mendorong PP BAMUSI segera mencari solusinya, maka pada kesempatan syukuran atas suksesnya Pilpres, BAMUSI beraudiensi dengan Wapres Bapak Jusuf Kalla tanggal 19 Desember 2014, menyampaikan beberapa hal, termasuk perlunya mencari alternative selain 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional.  Secara lisan PP BAMUSI mengusulkan untuk diteruskan kepada Bapak Presiden Jokowi, yakni tanggal 22 Oktober 1945, saat Hadhratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari Pendiri NU menyerukan jihad nasional melawan agresi Sekutu pimpinan Inggris yang saat itu akan segera mendarat di Surabaya.

                Tidak puas dengan pertemuan yang serba dibatasi oleh protokol Wapres, Prof. Hamka Haq mengusulkan lagi pertemuan kekeluargaan di Rumah Dinas, disampaikan saat bersama Wapres Jusuf Kalla di atas pesawat khusus menuju Makassar menghadiri pemakaman mantar Gubernur Sul-Sel, H.Andi Oddang tanggal 11 Feberuari 2015.   Tak lama kemudian aspri Wapres H. Husain, mengatur pertemuan terebut.  Dalam pertemuan kedua ini, hadir beberapa pengurus PP BAMUSI yang tidak sempat ikut pertemuan sebelumnya, termasuk Bendahara Umum PP BAMUSI Ir. H. Nasyirul Falah Amru yang juga adalah Wakil Bendahara PBNU.  Usul yang sama kembali dikemukakan secara lisan rencana Hari Santri Nsional merujuk hari jihad nasional tanggal 22 Oktober 1945.

                Sementara itu, hubungan dan komunikasi Ketua Umum PBNU Prof. DR. K.H. Said Aqil Syiradj telah kembali hangat seperti biasa dengan koalisi Jokowi.  Beliau sebenarnya sudah sangat akrab dalam lingkungan PDI Perjuangan, bahkan masuk dalam barisan nasionalsme Partai, sejak bedirinya ormas BAMUSI beliau duduk sebagai Dewan Pembina bersama Ibu Hj. Megawati Soekarnoputri, Pak Taufiq Kiemas dan Buya Syafi’i Maarif.    Beiau tidak pernah absen dalam acara-acara besar BAMUSI dan PDI Perjuangan.  Beliau juga turut hadir pada pelantikan Bapak Jokowi sebagai Presiden di gedung MPR RI.  Dan dengan didukung sejumlah ormas Islam lain, beliau gigih mengajukan usul ke Presiden tentang Hari Santri Nasional , yakni mengacu ke tanggai 22 Oktober 1945 hari jihad nasional tersebut.

                Berdasarkan sejumlah usul tersebut, maka pada akhirnya Bapak Presiden Jokowi menunaikan janjinya menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, yang akan diperingati umat Islam Indonesia setiap tahunnya.  Dari pesantren Babu Salam 27 Juni 2014, hingga Masjid Istiqlal 22 Oktober 2015, jadilah Hari Santri Nasional itu.  Hal ini harus dipahami oleh bangsa Indonesia, terutama oleh umat Islam bahwa PDI Perjuangan bukanlah partai sekuler, melainkan partai nasionalis religius, terbukti telah menjadi pelopor melalui ormas sayap BAMUSI bagi lahirnya Hari Santri Nasional.  Wallahu A’lam bi al-Showabi.

Catatan: Tulisan ini juga dimuat di http://genial.id/read-news/fakta-yang-terlupakan-di-hari-santri

FITNAH, PDI PERJUANGAN DITUDUH ANTI ISLAM

pdip

FITNAH, PDI PERJUANGAN DITUDUH

ANTI ISLAM

Seiring dengan Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden, beredar di media sosial fitnah bahwa PDI Perjuangan itu anti Islam.  Fitnah tersebut bertujuan melarang umat Islam memilih Calon Legislatif dan Capres/Cawapres PDI Perjuangan.  Bahkan di antara fitnah itu dikatakan datang dari Pemngurus MUI Pusat.  Antara lain fitnahnya begini: “Saya sangat kecewa dgn ketidaktahuan masyarakat kita yang memilih PDIP dalam pemilu kemarin. PDIP itu partai yang anti Islam. “Semua RUU yang kita ajukan ke DPR dan berbau Islam, pasti PDIP menolak. UU Pendidikan mereka walk out, UU Bank Syariah,UU Ekonomi Syariah mereka tidak setuju, UU Pornografi juga mereka tidak setuju. Nah sekarang UU Jaminan Produk Halal untuk makanan dan obat-obatan mereka juga tidak setuju.”. ini Partai Anti Islam !!!. Kenapa banyak Umat Islam yang tidak tahu?. Kita semua harus ngomong,” jelas beliau.! MUI yg memberi catatan utk PDIP, dg maksud utk memberi info kaitannya dgn Pilpres… Jokowi yg mengusung PDIP, ada agenda di balik itu tentunya… Ideologiny Sosialis, sangat tdk menguntungkan buat ummat Islam di Indonesia, Ya Allah, jangan biarkan NKRI jatuh ke tangan pemimpin yang tak amanah… Hanya kepada-Mu kami bermunajat, mengemis untuk ummat Islam NKRI… Kabulkanlah do’a kami

Jawaban Terhadap Fitnah

Berikut ini kami akan menjawab satu persatu fitnah yang dihembuskan oleh pihak sebagaimana dikemukakan pada halam pembukaan di atas.

  1. PDI Perjuangan itu partai yang anti Islam.?

Adalah logika yang sangat keliru jika memvonis PDI Perjuagan sebagai partai anti Islam.   Kepengurusan DPP PDI Perjuangan Periode 2010-1015, dan juga periode sebelumnya, lebih banyak diisi oleh umat Islam ketimbang umat agama lain.  Katua Umum PDI Perjuangan, Hj. Megawati Soekarnoputri dan Sekjen, Tjahjo Kumolo adalah Muslim yang taat.  Demikian pula pada Tingkat DPD (Provinsi) dan pada tingkat DPC (Kabupaten/Kota), kecuali Provinsi dan Kabupaten/Kota yang penduduknya mayoritas umat agama lain.   Di antara warga Muslim yang duduk pada tingkat DPP, adalah Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, anggota KAHMI (Korps Alumni HMI) dan Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Guru Besar IPB; juga Prof. Dr. Hamka Haq, MA adalah Anggota Penasehat Majelis Ulama (MUI) Pusat, berlatar belakang akademisi studi agama Islam, dan guru besar UIN Alauddin Makassar.

Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDI Perjuangan, direkomendasikan berdirinya ormas-ormas sayap PDI Perjuanagan, termasuk ormas Islam.  Maka berdirilah ormas Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) dideklarasikan pada tanggal 29 Maret 2007, yang bergerak di bidang dakwah Islamiyah menurut ajaran Islam rahmatan lil`alamin.    Sampai hari ini Ormas BAMUSI baru sempat membentuk cabangnya di 27 Provinsi. Dalam struktur kepengurusan, BAMUSI merekrut tokoh-tokoh dan kader-kader dari ormas Islam terbesar Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah pada setiap jenjang, di samping melibatkan juga ormas-ormas Islam lokal setempat.  Pada tingkat pusat, duduk sebagai Pembina Bamusi adalah Prof.Dr.Syafi`i Ma`arif (Mantan Ketua Umum PP  Muhammadiyah) dan Prof.Dr.Said Aqil Syiraj (Ketua Umum PB NU).

Di tingkat pusat dan beberapa daerah, BAMUSI telah menyemarakkan syiar Islam, baik dalam bentuk penerbitan serial khutbah (Bamusi DKI) dan sejumlah Edaran tentang pdoman pelaksanaan ibadah, juga aktif dalam pelaksanaan Hari Besar Islam (HBI) bekerjasama dengan partai.  Sejak berdirinya Bamusi, PDI Perjuangan tidak pernah alpa memperingati HBI (Tahun Baru Hijriyah, Nuzul “Qur’an, Maulid, Isra Mi`raj, Idil Fitri dan Idil Adhha) yang diisi dengan diskusi keislaman dan kebangsaan.  Lapangan Parkir Kantor PDI Perjuangan di Lenteng Agung menjadi saksi kesemarakan Idil Fitri dan Idil Adhha setiap tahunnya. Termasuk Pemotongan hewan kurban, PDI Perjuangan pada tingkat pusat dan beberapa daerah, tidak pernah alpa minimal 10 ekor.  Bahkan pada tahun 2008, jumlah sapi kurban mencapai 113 ekor pada tingkat DPP.  Pada tingkat DPD dan DPC pun diinstruksikasn beramal seperti itu.

 

  1. Semua RUU yang diajukan ke DPR dan berbau Islam, pasti PDIP menolak.? Termasuk UU Bank Syariah,UU Ekonomi Syariah benarkah PDI Perjuangan tidak setuju?

Tidak benar bahwa setiap RUU yang berbau Islam ditolak oleh PDI Perjuangan.  Kalau ada sikap PDI Perjuangan yang terkesan menolak, maka sebenarnya, secara substansial PDI Perjuangan tetap menerima konten (materi) nya, tetapi secara teknis PDI Perjuangan memandang tidak perlu lagi diatur dalam UU baru karena telah diatur dalam UU lain yang berkaitan dengannya.   Misalnya UU Pornografi, telah diatur secara jelas dalam KUHP.  Begitupun misalnya Bank Syariah, tidak perlu lagi diatur secara khusus, karena telah diatur dalam UU dan sejumlah peraturan menyangkut Keuangan dan Perbankan.  Untuk memenuhi maksud tersebut, Bank Syariah secara konstitusional telah diakui di Indonesia sejak tahun 1992 dengan berlakunya Undang-Undang No. 7  Tahun 1992 tentang Perbankan.  Selanjutnya terbit pula Undang-Undang No. 10 Tahun 1998  yang memberi peluang lebih luas bagi perbankan syari`ah, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang khusus unit syari`ah.  Bank Syariah sebagai bahagian tak terpisahkan dari sistem perbankan nasional, payung hukumnya tetap mengacu pada sistem perbankan nasional, sehingga dipandang belum memerlukan UU baru lagi.

Ekonomi syariah haruslah sejalan dengan kebijakan makro ekonomi nasional.  Dengan demikian, institusi ekonomi syariah tidak akan egoistik menghembuskan isu-isu keharaman produk institusi ekonomi konvensional, karena hal tersebut dapat dinilai memperalat isu agama untuk persaingan terhadap sistem konvensional.  Biarlah masyarakat memilih dengan kesadarannya sendiri tanpa penggiringan ke jenis dan sistem ekonomi tertentu atas nama agama.

Dalam proses lahirnya UU yang berkaitan dengan keuangan syariah, jika memang sangat dibutuhkan dan belum mempunyai payung hukum, PDI Perjuangan justru kadang pro aktif di dalamnya.  Misalnya RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk yang disahkan pada 7 April 2008 menjadi UU SBSN (sukuk).  Sukuk menurut fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002 yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah semacam surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah dengan sistem bagi hasil.  Untuk memproses  RUU SBSN (Sukuk) tersebut menjadi UU SBSN (Sukuk), Fraksi PDI Perjuangan mengambil inisiatif dan menugaskan Olly Dondokambey sebagai Ketua Panja (Pnitia Kerja) RUU ersebut.  Ini bukti nyata bahwa PDI Perjuangan tidak alergi dengan UU yang berbau Syariah.

 

  1. Sikap PDI Perjuangan terhadap Perda Syariah?

Menyangkut Perda Syariah yang lahir di sejumlah Daerah, PDI Perjuangan juga sangat menyetujui substansi (konten) nya, tapi secara teknis PDI Perjuangan menghendaki Perda yang berbau Syariah seharusnya diangkat sebagai Perda yang bersifat umum, sehingga tidak terkesan sebagai Perda diskriminatif yang hanya berlaku untuk sekelompok warga negara (Muslim) saja.  Misalnya Perda Syariah Tentang Minuman Keras (Miras) sebaiknya menjadi Perda yang berlaku umum, sehingga tidak memperatas-namakan Syariah.  Sebagai contoh, Perda Miras yang pada awal tahun 2014 berhasil disahkan dan berlaku umum di Papua; perda tersebut diterima oleh semua kalangan, semua agama dan etnis, sehingga tidak menimbulkan gesekan negatif antara sesama warga negara di daerah tersebut.

Akan halnya Perda Syariah menyangkut Jilbab, agaknya perlu dijelaskan bahwa UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 29 ayat 2 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”  Pasal ini mengharuskan Negara dan pemerintah memberi perlindungan atau jaminan keamanan dan kenyamanan bagi setiap umat beragama dalam menjalankan ajaran agamanya, tetapi tidak berarti Negara dan Pemerintah berfungsi mewajibkan warga negara untuk menjalankan agamanya masing-masing.  Misalnya ibadah shalat, Negara dan Pemerintah tidak berkewenangan memaksa warga negara Muslim untuk bershalat, tetapi pada sisi lain negara harus memfasilitasi dan menjamin keamanan warga negaranya yang ingin bershalat.  Demikian pula ibadah haji, Negara dan pemerintah tidak dapat memaksakan setiap Muslim yang mampu untuk berhaji.  Namun, Negara dan Pemerintah berkewajiban memfasilitasi dan melindungi keamanan umat Islam yang ingin berhaji.

Dalam kontek dan analogi seperti shalat dan haji itulah PDI Perjuangan menyikapi setiap gagasan untuk melahirkan perda syariah, misalnya jilbab.  Negara dan pemerintah juga tidak berkewenangan memaksa setiap umat Islam (perempuan) untuk berjilbab.  Dengan demikian Negara dan pemerintah (pemerintah daerah) tidak perlu membuat peraturan yang mengharuskan setiap Muslimah untuk berjilbab. Akan tetapi di sisi lain, Negara akan menjamin kebebasan wanita Muslimah untuk berjilbab, bagi mereka yang ingin memakainya, misalnya di sekolah / kampus, termasuk sekolah / kampus swasta milik non Muslim.   Karena itu, wanita Muslimah yang ingin memakai jilbab di sekolah negeri dan swasta, hak-hak mereka dijamin berdasarkan Peraturan Mendikbud No 45 Tahun 2014.

 

  1. UU Pendidikan mereka (PDI Perjuangan) walk out?

Adalah salah besar jika dikatakan bahwa Fraksi PDI Perjuangan walk out ketika UU Sisidiknas disahkan pada Sidang Paripurna DPR RI 11 Juni 2003, karena justeru  PDI Perjuangan memang sengaja tidak hadir.  Ketidak hadiran Fraksi PDI Perjuangan (F-PDI P) bukan karena tidak menyetujui RUU Sisdiknas menjadi UU, karena secara substansial F-PDI P telah menyetujui RUU ersebut, termasuk rumusannya, sampai Priyo Budi Santoso dari Fraksi Golkar jelas-jelas menyampaikan terima kasih kepada Fraksi PDI Perjuangan atas persetujuan tersebut.

Perlu juga diingat bahwa Ketua Umum PDI Perjuangan Hj. Megawati Soekarnoputri, pada saat tersebut juga menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.  Andai kata F-PDI P memang benar-benar tidak setuju pada RUU Sisdiknas tersebut, maka akan pastilah Presiden Megawati Soekarnoputri memerintahkan Menteri Pendidikan untuk menarik RUU Sisdiknasd tersebut dan menggantinya dengan RUU Sisdiknas yang baru; namun hal tersebut tidak dilakukan.

Singkatnya, kalau ada pihak yang mengatakan bahwa ketidak hadiran F-PDI P menunjukkan sikap yang anti Islam, sangatlah melanggar kaedah logika, dengan dua alasan.  Pertama, bahwa seandainya memang benar PDI Perjaangan menolak RUU UU Sisdiknas, tentu saja Presiden Megawati (selaku Ketua Umum PDI Perjuangan) menarik RUU tersebut, tapi itu tidak dilakukannya.  Kedua, bahwa RUU yang disahkan itu bukan produk khusus syariah, tetapi UU Sistem Pendidikan Nasional, jadi tak ada kaitannya drengan soal setuju atau tidak pada syariah.

  1. UU Pornografi juga benarkah PDI Perjuangan tidak setuju.?

KUHP sendiri melarang keras perbuatan asusila, seperti menyebarkan gambar dan tulisan porno (pasal 281, 282, 283).  Demikian pula KUHP (pasal 290) melarang keras perbuatan cabul, apalagi terhadap wanita di bawah umur, dan lebih-lebih jika wanita di bawah umur itu disetubuhi di luar nikah. Semuanya diancam hukuman paling lama tujuh tahun.   Jika mengakibatkan penderitaan fisik, hukumannya paling lama dua belas tahun; dan jika wanita sampai mati, hukumannya lima belas tahun.  Hukuman lima belas tahun juga dijatuhkan atas pelaku cabul terhadap sesama jenis kelamin di bawah umur  (pasal 292).

Semangat anti perzinaan, pornografi dan pornoaksi menurut syariah sesungguhnya telah menjadi semangat yang sama dalam sejumlah pasal KUHP.  PDI Perjuangan merasa tidak perlu ada UU atau Perda, karena payung hukumnya sudah ada, tinggal melakukan aksi yang konkret.

Karena itulah kader PDI Perjuangan yang menjabat Walikota Surabaya berani mengambil langkah konkret untuk membubarkan lokalisasi PSK.  Ada yang mencoba memisahkan langkah tersebut dengan PDI Perjuangan, seolah-olah hanya merupakan langkah murni dari Walikota saja.  Untuk itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sendiri membantah kalau rencana penutupan lokalisasi Dolly di Putat Jaya, Surabaya, tidak direstui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.  Risma mengatakan mendapat dukungan dari Ketua Umum PDI P Megawati Soekarnoputri.  Demikian pernyataan Risma kepadaTempo, Kamis 20 Juni 2014.  Bahkan kata Risma, Ibu Megawati berpesan agar pemerintah kota Surabaya menangani pekerja seks komersial yang mengidap HIV/AIDS.

Coba renungkan dengan akal budi yang sehat, siapakah selain Risma yang berani melakukan tindakan spektakuler seperti itu.  Banyak wali kota yang mungkin diusung oleh partai-partai Islam yang justeru tidak berani melakukan pembersihan lokalisasi PSK di daerah/kotanya, hal yang seharusnya dilakukan ketimbang hanya memperbanyak perda-perda yang berwacana mengharamkan PSK, tanpa tindakan nyata menghapuskannya.

  1. UU Jaminan Produk Halal untuk makanan dan obat-obatan, benarkah PDI Perjuangan tidak setuju?

Sebenarnya PDI Perjuangan sangat menyetujui substansi dari RUU tersebut, namun sikap PDI Perjuangan menyangkut hal ini adalah berlandaskan dua hal, yakni:

Pertama, PDI Perjuangan menengarai adanya keinginan pemerintah (Kementerian Agama) lewat Undang Undang itu untuk mengambil alih penangannya yang selama ini sudah ditangani secara baik oleh Majelis Ulama Indonesia. Jadi dalam hal ini PDI Perjuangan adalah semata-mata bermaksud untuk menegakkan wibawa dan kewenangan MUI menyangkut produk halal tersebut.

Kedua, bahwa soal produk halal telah diatur secara jelas dalam berbagai peraturan pemerintah.  Untuk hal ini, sebenarnya telah terbit Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.  Undang-Undang ini kemudian diikuti sejumlah peraturan, termasuk Inpres dan Surat Keputusan dari dua menteri (Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian).  Lebih dari itu, terbit pula Undang-Undang Nomor  8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam Undang-Undang Pangan, dinyatakan perlunya produsen atau importir pangan mencantumkan label halal, guna melindungi konsumen Muslim dari barang yang diharamkan syariah (pasal 30 huruf e).    Mereka yang mengedarkan pangan tidak seuai dengan mutu (halal) atau menyalahgunakan label akan dipidana penjara paling lama lima tahun (pasal 58).

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/Menkes /SK /I /1996, tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan, dinyatakan bahwa makanan halal adalah semua jenis makanan dan minuman yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram menurut hukum agama Islam (pasal 1 ayat 2).   Tujuan tulisan halal pada label itu dimaksudkan sebagai jaminan kehalalan suatu makanan bagi pemeluk agama Islam (pasal 1 ayat 3).  Karena itu, produsen atau importir yang mencantumkan label “halal” harus bertanggung jawab atas halalnya makanan tersebut (pasal 5).

Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924/ MENKES/SK/VIII/1996, dinyatakan bahwa produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan “halal”, wajib siap diperiksa oleh Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (pasal I ayat 1).   Hasil pemeriksaan dan evaluasi tersebut, diajukan kepada Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh fatwa berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat, atau penolakan bagi yang tidak memenuhinya (pasal I ayat 2).

Persoalan yang mencuat pula ialah pasokan daging dari luar negeri.  Untuk memberi jaminan kehalalan, Menteri Pertanian menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 745/KPTS/TN. 240/ 12/ 1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan Pemasukan Daging dari Luar Negeri.  Di dalamnya termuat ketentuan bahwa pemasukan daging untuk keperluan konsumsi umum atau diperdagangkan harus berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat Islam dan dinyatakan dalam sertifikat halal (pasal 8 ayat 1).

Selain itu terbit pula Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 306/ KPTS/ TN.330/4/1994, tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas Serta Hasil Ikutannya.  Di dalamnya ditetapkan syarat-syarat dan tata cara pemotongan unggas, antara lain ditegaskan bahwa penyembelihannya dilakukan menurut tata cara agama Islam (pasal 3 huruf d).   Kemudian ditegaskan bahwa menyembelih unggas dilakukan oleh juru sembelih Islam menurut tata cara agama Islam, yaitu membaca basmalah, memutus jalan napas, memutus jalan makanan, dan memutus dua urat nadi (pasal 6 ayat 2).  Sungguh luar biasa, demikian terinci dan telitinya guna menyesuaikan ketentuan hukumnya dengan syariat Islam.

Sebagai konsumen, umat Islam lebih memperoleh jaminan hak-haknya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.  Undang-Undang ini mengatur hak-hak konsumen, antara lain hak kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa (pasal 4 huruf a.).  Berkaitan dengan makanan halal, pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang yang tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label (pasal 8 huruf h).  Mereka yang melanggar ketentuan ini, akan dipidana penjara paling lama lima tahun (pasal 62 ayat 1).

Jika diperhatikan secara cermat, segenap produk perundang-undangan dan peraturan tentang pangan dan yang berkaitan dengannya, seperti dikemukakan di atas, rasanya telah sangat memenuhi ketentuan syariat Islam.  Tak salah jika dikatakan bahwa Undang-Undang dan peraturan tersebut telah menerapkan syariah secara kultural, tanpa menyebut dirinya sebagai produk syariah, sehingga tidak menjadi Undang-Undang diskriminatif.

 

  1. Yang mengusung Jokowi adalah PDIP, benarkah ada agenda di balik itu tentunya yaitu Ideologi Sosialis, sangat tdk menguntungkan buat ummat Islam di Indonesia,?

Adalah tidak benar bahwa jika Jokowi menjadi Presiden, sistem ekonomi Indonesia akan menjadi sistem sosialis komunis.   Jokowi selaku kader PDI Perjuangan tentu akan menerapkan sistem ekonomi berdasarkan ideologi PDI Peruangan yakni ekonomi kerakyatan, yang dibangun secara mandiri (berdikari) sesuai dengan ajaran Tri Sakti Bung Karno, yakni: Berdaulat di bidang politik, Berdikari di bidan ekonomi dan Bermartabat di bidang budaya.

Sistem ekonomi kerakyatan justeru sejalan dengan sistem ekonomi yang diajarkan Islam, yakni sama-sama berpihak pada rakyat kecil (ekonomi lemah).  Pemberdayaan kaum lemah (mustadh`afin) di bidang ekonomi merupakan ajaran Islam.  Tujuan syariah mengenai ini adalah agar harta benda itu dapat dinikmati secara adil oleh masyarakat sebagaimana ditegaskan ayat berikut ini: “Agar tidaklah harta itu beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (Q.S.al-Hasyr [59]: 7).   Itulah hikmahnya, mengapa syariah menetapkan kewajiban mengeluarkan zakat, agar rezeki orang kaya turut dinikmati pula oleh fakir miskin.  Berbagai sumber ekonomi yang potensil dan strategis dikategorikan dalam fikih klasik sebagai harta yang wajib dizakati,

Sejalan dengan semangat keislaman tersebut, PDI Perjuangan merasa bertanggung jawab untuk memberdayakakan rakyat di bidang ekonomi.  Mereka perlu keterampilan, penyuluhan dan pendampingan, perlu jaringan ekonomi bagi produk-produknya yang melimpah dengan nilai ekonomi tinggi.  Bahkan yang paling utama dari segalanya ialah mereka butuh tanah garapan yang memadai.  Apa yang terjadi, berupa penelantaran rakyat kecil, pembiaran terjadinya kezaliman dan pembodohan, perampasan tanah milik, rendahnya mutu dan harga hasil bumi dan kerajinan rakyat, semua adalah pelanggaran prinsip ekonomi kerakyatan sekaligus penyimpangan syariah yang harus dicari solusinya.   Intinya ialah melepaskan kaum mustadh`afin (wong cilik) dari keteraniayaan dan ketidak berdayaan melalui kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat, dengan falsafah kesejahteraan, bukan falsafah keuntungan dan pertumbuhan yang nyata-nyata lebih banyak menguntungkan kaum kapitalis (pemodal atau pebisnis).

Maka adalah sangat ironis jika gagasan ekonomi kerakyatan yang menjadi inti perjuangan PDI Perjuangan seperti diuraikan sepintas lalu di atas dipandang bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dipandang membahayakan umat Islam.  Bukankah rakyat kecil yang menjadi tujuan pemberdayaan ekonomi kerakyatan adalah sebahagian besarnya umat Islam di hampir seluruh pelosok negeri kita?    Wahai para ulama dan tokoh Islam mari kita memahami bahwa ajaran Islam soal ekonomi sangat sejalan dengan ideologi PDI Perjuangan dan Tri Sakti Bung Karno yang bertujuan membangun kedaulatan ekonomi bagi rakyat, atas dasar kegotong royongan dan secara mandiri (Berdikari).  Wallahu A’lam bi al-Shawab.

PDI PERJUANGAN TIDAK PERNAH BERMAKSUD MEMATA-MATAI MASJID

IMG_0001

                                      PDI PERJUANGAN TIDAK PERNAH BERMAKSUD

                                                     MEMATA-MATAI MASJID

 

Akhir-akhir ini ada isu yang beredar bersifat fitnah bahwa PDI Perjuangan akan memata-matai masjid dalam arti akan memasang intel di setiap masjid, jika Capres dan Cawapres yang diusung: Ir.H. Joko Widodo dan Dr.H.M.Jusuf Kalla memenangi pemilihan Presiden 9 Juli 2014 nanti.  Agar isu tersebut tidak berdampak negaif bagi kehidupan berdemokrasi, yang juga bisa merusak citra PDI Perjuangan, maka kami dari Baitul Muslimin Indonesia melakukan klarifikasi (tabayyun) sebagai berikut:

  1. Secara logika, tentunya kami mustahil melakukan tindakan memata-matai masjid, sebab hal itu merupakan tindakan negatif yang bertentangan dengan semangat kami untuk melindungi semua rumah ibadah dan khususnya menjaga kehormatan masjid.  Sikap kami untuk menjaga kehormatan dan kesucian masjid adalah sejalan dengan semangat Partai kami memilih Bapak H.M.Jusuf Kalla (Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia) menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Bapak Ir. H. Joko Widodo sebagai Calon Presiden yang kami usung.
  1. Kami bukanlah institusi yang memiliki aparat intel.  Kami adalah partai yang hanya beranggotakan rakyat biasa, kaum marhaen, yang tidak ada sama sekali kaitan dengan lembaga-lembaga intelejen seperti dimiliki oleh TNI dan POLRI.   Justru sebaliknya Partai kami pernah mengalami perlakuan dimata-matai oleh intel di era Orde Baru, yang mendorong kami untuk bangkit menumbangkan Orde Baru.
  1. Bahwa dugaan akan adanya masjid yang berpotensi menjadi sumber fitnah, hal itu sejak zaman Rasulullah SAW sudah diperingatkan dalam Surah Al-Tawbah ayat 107,

 

وَالَّذِينَ اتَّخَذُواْ مَسْجِداً ضِرَاراً وَكُفْراً وَتَفْرِيقاً بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَاداً لِّمَنْ حَارَبَ اللّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ وَلَيَحْلِفَنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ﴿١٠٧﴾

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). – (Q.S.al-Tawbah [9]: 107).

  1. Maka misi kita bersama ialah memelihara agar semua masjid terhindar dari perilaku orang-orang munafiq yang memanfaatkan masjid untuk tujuan memfitnah dan memecah belah umat seperti yang diperingatkan dalam firman Allah SWT di atas.  Sejalan dengan itulah maksud PDI Perjuangan agar masjid tetap sebagai rumah badah yang suci dan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu sebaga sumber perpecahan umat, dan agar semua masjid tetap berfungsi sebagai pusat pencerahan dan pelaksanaan Islam Rahmatan Lil-alamin.

 

Jakarta, 2 Juni 2014 M / 4  Sya`ban 1435 H.

TTD

 

 

 

Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA

Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia

TAUFIQ KIEMAS, SOSOK NEGARAWAN

Taufiq Kiemas, Sosok Negarawan dan Sang Motivator, bersama Presiden V RI Hj.Megawati Soekarnoputri

Taufiq Kiemas, Sosok Negarawan dan Sang Motivator, bersama Presiden V RI Hj.Megawati Soekarnoputri

Sebagai Penghargaan dan kenangan pada almarhum  Bapak Taufiq Kiemas, berikut ini diposting salah satu bagian dari buku MENGABDI BANGSA BERSAMA PRESIDEN MEGAWATI, karya Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA (terbitan Baitul Muslimin Press, 2012), h. 199-213

Taufiq Kiemas, Sang Motivator

“… ternyata Taufiq Kiemas bukan seorang penggerak yang mendompleng istrinya, lalu menyetir istri dari belakang. Tapi, dia adalah seorang yang memang punya kapabilitas memberi inspirasi kepada sang presiden”. (Try Sutrisno)

Berbicara soal kepemimpinan dan karir politik Ibu Megawati, tidaklah mungkin tanpa melihat peran penting suami dan teman seperjuangannya, H. Muhammad Taufiq Kiemas.  Mulanya, banyak orang memberikan penilaian pada Pak Taufiq, sebagai: “pemain di belakang layar” –  the man behind the scene, istilah yang rentan disalah-pahami.  Jangan sampai beliau dipandang sebagai tokoh yang kapasitasnya memang hanya bermain di belakang layar, tanpa kemampuan tampil kepermukaan interaksi politik.  Buktinya, Pak Taufiq berhasil menjadi Ketua MPR RI, yang di tangannyalah MPR RI begitu piawai dan berwibawa atas semua lembaga negara lainnya.

Pak Taufiq memang merupakan seorang tokoh fenomenal yang menyertai Megawati dalam memimpin bangsa. Beliau menjadi fenomenal, karena kepiawaiannya dalam memainkan manuver politik dan mengartikulasi-kan pandangan-pandangannya disesuaikan dengan posisi beliau sejak duduk sebagai Dewan Pertimbangan Pusat partai atau sebagai the first gentleman-ketika Ibu Hj. Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden.

Ketika semula menyadari bahwa Ibu Megawati sebenarnya punya potensi yang tidak terwadahi, maka Pak Taufiq memotivasinya dengan mengatakan:  “You itu punya bakat dan punya kemampuan. Percayalah. Kalau tidak, untuk apa saya membawamu bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia.” Sebuah ajakan sang suami yang kemudian dilakoni oleh sang istri dengan mendaftar menjadi anggota PDI di tahun 1987.[1]  Padahal, menurut Sabam Sirait, permintaan agar keluarga Bung Karno masuk PDI sebenarnya sudah sejak lama, yaitu sejak terjadi fusi partai 1973.  Namun baru kesampaian ketika Taufiq jadi bagian dari keluarga Bung Karno.  Taufiq banyak berperan dalam mendorong Mega.[2]

Soerjadi sendiri sebagai Ketua PDI waktu itu meragukan bakat politik Ibu Mega.  Maka ketika nama Megawati disodorkan oleh Pak Taufiq, Pak Soerjadi minta bertemu langsung dengan Ibu Mega, sebab katanya: “saya ingin meyakinkan diri saya bahwa benar Mbak Mega mau dan bukan semata-mata karena keinginan Mas Taufiq.  Ternyata Mbak Mega memang mau”.[3]

Alasan Pak Taufiq memotivasi Ibu Mega adalah karena menurut pengamatannya, sebahagian besar rakyat kecil atau kaum marhaen itu, masih sangat mendambakan kepemimpinan dari keluarga Bung Karno.  Karena itu pula, dalam memberikan motivasi, Pak Taufq tak dapat melepaskan diri dari kecintaan pada Bung Karno.  Beliau memang seorang pengagum Bung Karno dan menjadi Soekarnoisme tulen, apalagi telah menjadi bahagian dari keluarga Bung Karno; maka manuver politik yang dimainkannya selalu mengacu pada paham nasionalisme dan marhaenisme.  Ia pun menyadari bahwa keluarga Bung Karno ditakdirkan untuk menjadi pejuang-pejuang demokrasi dan nasionalisme.

Karena itu, meskipun sejak awal kapasitas Pak Taufiq memungkinkan untuk tampil sendiri sebagai pemimpin partai, namun ia tidak melakukannya, sebab baginya, Ibu Mega sebagai putri Bung Karno telah ditakdirkan untuk posisi itu.  Ketika beliau ditanya oleh Pak Syafii Maarif, mengapa dia dan Megawati tidak bergantian saja maju menjadi Presiden?; Pak Taufiq konsisten, dia selalu mengarah pada Megawati, bukan kepada dirinya.  Tentu saja yang menjadi pertimbangan adalah darah Bung Karno yang mengalir di tubuh Ibu Mega, bukan di tubuh dirinya”.[4]

Peran Pak Taufiq sebagai motivator tampak secara monumental ketika dapat mendorong Megawati menerima ajakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Mathori Abdul Jalil untuk bersedia menjadi Wakil Presiden mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sudah resmi dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI ke IV.  Mulanya Ibu Mega menolak, karena Kongres PDI Perjuangan di Solo menugaskannya untuk menjadi Presiden, bukan Wakil Presiden. Namun, kepiawaian Pak Taufiq dalam hal memotivasi, maka akhirnya Ibu Mega bersedia menjadi Wakil Presiden RI. Periode 1999-2004.

Sebagai motivator yang baik, Pak Taufiq tidak menggurui apalagi mendikte Ibu Mega dalam kepemimpinan partai, selain sebatas memberi saran.  Juga, Pak Taufiq mampu meredam emosi ketika berhadapan dengan lawan-lawan politiknya, bahkan ia tidak memandang mereka sebagai musuh, justru ia berusaha mendekati dan merangkulnya.   Ketika Ibu Mega dihantam karena dipandang bersama-sama tokoh lain “menjatuhkan” Gus Dur, Pak Taufiq malah sowan ke Gus Dur dan mencium tangannya.  Langkah yang begitu berani lahir dari prinsip Pak Taufiq: “Kita ndak boleh marah”.[5]  Sikap itu pula yang diperlihatkan ketika Ibu Mega tidak terpilih dalam Pilpres 2004, bukannya memberi saran untuk memboikot hasil Pemilu, justru realitas kekalahan itu diterima dengan legowo.

Untuk memperjuangkan nasionalisme dan kesejahteraan rakyat, Pak Taufiq memainkan peran sebagai jembatan Nasionalisme.  Dengan peran itu, ia berhasil meredam dkotomi antara kelompok Islamis dan Nasionalis, apalagi dengan latar belakang keluarga Masyumi, ia tidak sulit untuk membawa nama dan gagasan Ibu Mega ke kalangan tokoh-tokoh Islam.  Suatu ketika, ia menyatakan pandangannya bahwa jika PDI Perjuangan ingin berhasil menegakkan nasionalisme dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, baik sebagai penguasa maupun sebagai wakil rakyat, niscaya harus menjalin kerjasama dengan tiga elemen bangsa, yaitu umat Islam, militer dan sesama parpol nasionalis.  Bahkan ditambahkannya menjadi empat, yakni tanpa melupakan realitas suku Jawa sebagai suku terbesar di negeri ini.

Bertolak dari prinsip itulah, maka PDI Perjuangan kemudian membentuk ormas sayap Islam, Baitul Muslimin Indonesia, yang adalah gagasan cemerlang dari Taufiq Kiemas.  Dengan hadirnya ormas Islam tersebut, maka komunikasi antara Ibu Mega dengan tokoh dan pemimpin ormas Islam seperti Prof. Dr. Syafii Maarif, Prof. Dr. Din Syamsuddin, K.H. Hasyim Muzadi, dan Prof. Dr. K.H. Aqil Siraj semakin intensif.   Keterbukaan Pak Taufiq dalam pergaulan dibuktikan pula dengan kemampuannya berkenalan bahkan bersahabat dengan tokoh-tokoh di partai lain.  Misalnya, jauh sebelum dibentuk  Baitul Muslimin, Pak Taufiq sudah berhubungan baik dengan K.H. Aqil Siraj yang waktu itu adalah orang penting di PKB.     Bergaul dengan ulama, beliau pun tidak mengalami kendala psikologis, sebab pengamalan agamanya bagus, sebagai kata K.H. Aqil Siraj: “saya lihat shalatnya luwes, baca Qur’an cukup pasih, sementara waktu wukuf di Arafah  dia baca Qur’an terus. Dari pergaulan yang cukup dekat inilah saya jadi tahu TK sangat terbuka, mudah bergaul, dermawan dengan siapapun.[6]

Sebenarnya, upaya Pak Taufiq untuk mendekatkan keluarga Bung Karno sekaligus ajaran-ajarannya ke kalangan tokoh-tokoh Islam, bukan semata-mata karena faktor keterbukaan dirinya, melainkan yang terutama ialah karena ajaran Bung Karno itu sendiri memang sejalan dengan ajaran Islam.  Bagi tokoh Islam yang mendalami ajaran Bung Karno pasti akan berkesimpulan seperti itu.  Pak Hasyim Muzadi misalnya, mengaku mengikuti pemikiran Bung Karno secara utuh: “Demikian itu, karena saya memandang apa yang diperjuangkan Islam adalah sama dengan apa yang diperjuangkan Bung Karno”.[7]  Lebih dari itu, Pak Din Syamsuddin menambahkan bahwa sikap Pak Taufiq banyak dipengaruhi oleh faktor keluarga Bung Karno sebagai warga Muhammadiyah, yang perhatian dan kepeduliannya kepada ormas Islam dan umat Islam sangat besar.  Untuk itu, PDI Perjuangan memang tidak boleh meninggalkan Islam karena justru mayoritas pendukungnya adalah umat Islam.[8]  Bahkan lebih tegas lagi, Pak Frans Seda justru memperkuat bahwa Pak Taufiq tidak menginginkan sama sekali Islam dipojokkan, sehingga selalu berusaha agar orang-orang PDI Perjuangan bisa lebih dekat dengan kalangan Islam.  Pokoknya: “Dia tidak mau timbul kesan seolah-olah PDI Perjuangan meninggalkan Islam”.[9]

Sementara itu, kepiawaian Pak Taufiq berkomunikasi dengan segenap parpol mencapai puncaknya ketika kemudian parpol-parpol lain secara aklamasi mendukung beliau menjadi Ketua MPR 2009-2014.  Dengan posisi tersebut,  Pak Taufiq menggagas peringatan hari lahir Pancasila secara nasional pada setiap tanggal 1 Juni di Gedung MPR RI.  Dengan posisi itu pula, ia tidak sulit menyampaikan gagasan dan menyosialisasikan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bnneka Tunggal Ika.   Benar apa kata Yudhi Latif : “TK merupakan jembatan antagonis yang menjadi titik temu dari berbagai arah mata angin.  Ia menampilkan dirinya sebagai solidarity maker dan match maker dari berbagai kepingan-kepingan kebangsaan” [10].

Meskipun kandungan Empat Pilar bukan barang baru, tapi ia telah membangkitkan spirit baru bagi bangsa kita untuk semakin yakin pada kebenaran ideologinya dan semakin gigih menegakkannya.  Inilah arti kehadiran Taufiq Kiemas sebagai penggagas Eampat Pilar. Melihat sejumlah gagasan cerdasnya, serta kepiawaiannya meimpin lembaga negara MRPR RI, maka tidaklah tepat jika Pak Taufiq Kiemas diposisikan sebagai the man behind the scene.  Adalah Prof.Dr. Azyumardi Azra yang termasuk menolak jika Pak Taufiq hanya diposisikan seperti itu. Bagi Pak Azyumardi, Pak Taufiq bukan the man behind the scene, melainkan: “the man who games political influence for Megawati, without official position in the party – seseorang yang berusaha mendapatkan pengaruh yang lebih luas bagi kepentingan (ideologi-pen) Megawati tapi tidak dalam posisi yang resmi dalam partai”.[11]


[1] August Parengkuan, Megawati Anak Putra Sang Fajar,  (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 400.

[2] Panda Nababan, Tanpa Rakyat Pemimpin Tak Berarti Apa-apa, (Jakarta: Psutaka Sinar Harapan, 2002), h. 223.

[3] Ibid., h. 217.

[4] Ibid.

[5] Panda Nababan, op.cit., h.279.

[6] Trimedya Panjaitan dkk, op.cit., h. 43

[7] Ibid., h. 35.

[8] Ibid., h. 48.

[9] Panda Nababan, op.cit., h. 254.

[10] Trimedya Panjaitan, dkk.,op.cit., h. 222.

[11] Ibid., h. 250.