TRAGEDI 27 JULI DAN IKON REFORMASI

TRAGEDI 27 JULI, DAN IKON REFORMASI

Oleh: Hamka Haq

Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru melakukan penyederhanaan partai, dengan menggabung semua partai Islam menjadi satu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan semua partai nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai Golkar yang waktu itu enggan menamai diri sebagai partai, tetap berdiri sendiri sebagai partai penguasa, sehingga kekuatan politik pun menjadi tiga kubu. Maka, pada tahun 1986 Megawati Soekarnoputri kemudian aktif sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Dengan mewarisi kharisma sang ayah, didampingi Bapak Taufiq Kiemas, karir politik Megawati terbilang melesat. Ia dengan mudah memperoleh dukungan, dan hanya butuh waktu satu tahun untuk menjadi anggota DPR RI, hasil Pemilu 1987.

Berkat kharisma itu pula, maka dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi (defakto) sebagai Ketua Umum PDI, menggantikan Soerjadi.   Kemudian pada Munas PDI di Jakarta tahun 1994 ia dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI 1993-1998. Tentu saja, pemerintah Orde Baru tidak senang dengan tampilnya Megawati memimpin PDI, sebab pelan tapi pasti, ia akan merupakan ikon politik yang bisa menghambat langgengnya kekuasaan Orde Baru. Di balik dari kekhawatiran itu, keluarga Pak Harto pernah mengundang Megawati bersilaturahim ke rumah kediaman di Jl. Cendana.

Orde Baru kemudian melancarkan upaya mendongkel Megawati. Pemerintah merekayasa Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, dengan tujuan memilih kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Megawati tentu saja tidak mengakui Kongres Medan dan tidak menerima pendongkelan dirinya. Sebagai Ketua Umum PDI yang sah, maka selayaknyalah kantor partai tetap dikuasai oleh pihak Megawati. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah Orde Baru berupaya merebut secara paksa kantor tersebut yang terletak di Jalan Diponegoro. Akhirnya menjadi kenyataan pada tanggal 27 Juli 1996 (20 tahun yang lalu), atas dukungan penuh rezim Orde Baru, kelompok Soerjadi berhasil merebut kantor DPP PDI dari pendukung setia Megawati.

Aksi penyerangan yang dikenal sebagai tragedi 27 Juli itu menyebabkan puluhan pendukung Mega (PDI ProMeg) menjadi korban (tewas). Mereka yang lolos dari maut, dikejar dan ditangkap kemudian dimasukkan dalam penjara. Karuan saja, hal itu menuai protes luar biasa ditandai demonstrasi besar-besaran pengikut setia ProMeg. Seiring dengan gerakan protes itu, sadar atau tidak, nama Megawati telah menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru. Dari sanalah spirit reformasi mulai meluap, sampai akhirnya Soeharto lengser dari kekuasaannya di bulan Mei 1998. Dikatakan demikian karena pada saat tokoh-tokoh lainnya tak punya nyali berhadapan dengan Pak Harto, rezim kuat Orde Baru selama 32 tahun itu, tampillah Megawati perempuan yang tak banyak bicara meretas jalan reformasi untuk demokrasi.

Menjelang dan sesudah terjadinya tragedi 27 Juli itu, tidak hanya massa Pro Mega, tetapi berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, dengan segala jenis profesi, sampai pada mahasiswa dengan semangat meluap-luap bersatu melawan Orde Baru. Gumpalan amarah masyarakat dan luapan semangat kebangkitan itu, sungguh telah membawa Megawati pada posisi senteral sejarah sebagai simbol perlawanan untuk menegakkan demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat di negeri ini.

Tragedi 27 Juli di balik bayang-bayang ketokohan Megawati, benar-benar menjadi momentum perlawanan rakyat terhadap Orde Baru. Dukungan dari wong cilik, bersama simpatisan PDI ProMeg mengalir deras memperkuat barisan Megawati melawan Orde Baru. Mereka ramai-ramai meninggalkan Soerjadi. Hal ini terlihat pada pemilu 1997, ternyata perolehan suara PDI merosot tajam, lantaran Megawati menyatakan tidak menggunakan hak pilihnya untuk PDI Soerjadi.

Pada tahun 1998 terjadi gerakan reformasi, ditandai dengan peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Secara sepintas, kita menyaksikan gerakan reformasi bergulir dari kalangan kampus dibantu oleh masyarakat sekitarnya. Tampil mencolok dalam gerakan ini adalah Pak Amin Rais, yang rajin turun ke lapangan bersama dengan massa demonstran. Namun, harus diingat bahwa semangat ideologis yang mendorong gerakan reformasi di kalangan kampus itu ialah bangkitnya perlawanan rakyat terhadap kezaliman politik yang dilakukan Rezim Orde Baru atas PDI pimpinan Negawati. Ibaratnya, Megawati adalah roh gerakan reformasi, sementara Pak Amin Rais adalah penggeraknya secara fisik, disupport oleh K.H.Abdurahman Wahid sebagai pemimpin kaum santri. Tiga tokoh tersebut tercatat sebagai ikon-ikon utama gerakan reformasi yang tak mungkin dilupakan oleh sejarah.

PDI PERJUANGAN TIDAK PERNAH BERMAKSUD MEMATA-MATAI MASJID

IMG_0001

                                      PDI PERJUANGAN TIDAK PERNAH BERMAKSUD

                                                     MEMATA-MATAI MASJID

 

Akhir-akhir ini ada isu yang beredar bersifat fitnah bahwa PDI Perjuangan akan memata-matai masjid dalam arti akan memasang intel di setiap masjid, jika Capres dan Cawapres yang diusung: Ir.H. Joko Widodo dan Dr.H.M.Jusuf Kalla memenangi pemilihan Presiden 9 Juli 2014 nanti.  Agar isu tersebut tidak berdampak negaif bagi kehidupan berdemokrasi, yang juga bisa merusak citra PDI Perjuangan, maka kami dari Baitul Muslimin Indonesia melakukan klarifikasi (tabayyun) sebagai berikut:

  1. Secara logika, tentunya kami mustahil melakukan tindakan memata-matai masjid, sebab hal itu merupakan tindakan negatif yang bertentangan dengan semangat kami untuk melindungi semua rumah ibadah dan khususnya menjaga kehormatan masjid.  Sikap kami untuk menjaga kehormatan dan kesucian masjid adalah sejalan dengan semangat Partai kami memilih Bapak H.M.Jusuf Kalla (Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia) menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Bapak Ir. H. Joko Widodo sebagai Calon Presiden yang kami usung.
  1. Kami bukanlah institusi yang memiliki aparat intel.  Kami adalah partai yang hanya beranggotakan rakyat biasa, kaum marhaen, yang tidak ada sama sekali kaitan dengan lembaga-lembaga intelejen seperti dimiliki oleh TNI dan POLRI.   Justru sebaliknya Partai kami pernah mengalami perlakuan dimata-matai oleh intel di era Orde Baru, yang mendorong kami untuk bangkit menumbangkan Orde Baru.
  1. Bahwa dugaan akan adanya masjid yang berpotensi menjadi sumber fitnah, hal itu sejak zaman Rasulullah SAW sudah diperingatkan dalam Surah Al-Tawbah ayat 107,

 

وَالَّذِينَ اتَّخَذُواْ مَسْجِداً ضِرَاراً وَكُفْراً وَتَفْرِيقاً بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَاداً لِّمَنْ حَارَبَ اللّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ وَلَيَحْلِفَنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ﴿١٠٧﴾

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). – (Q.S.al-Tawbah [9]: 107).

  1. Maka misi kita bersama ialah memelihara agar semua masjid terhindar dari perilaku orang-orang munafiq yang memanfaatkan masjid untuk tujuan memfitnah dan memecah belah umat seperti yang diperingatkan dalam firman Allah SWT di atas.  Sejalan dengan itulah maksud PDI Perjuangan agar masjid tetap sebagai rumah badah yang suci dan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu sebaga sumber perpecahan umat, dan agar semua masjid tetap berfungsi sebagai pusat pencerahan dan pelaksanaan Islam Rahmatan Lil-alamin.

 

Jakarta, 2 Juni 2014 M / 4  Sya`ban 1435 H.

TTD

 

 

 

Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA

Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia