SELINTAS ISLAM DI RUSIA

SELINTAS ISLAM DI RUSIA

Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA

Akibat gencarnya propaganda Barat (Amerika dan Eropa) yang selama berpuluh tahun memojokkan Rusia, dulu Uni Soyet, maka image tentang Rusia sangat negative bagi kebanyakan kita di Indonesia. Kita mengenal Rusia sebagai Negara sosialis Komunis, seperti ketika masih status Negara Uni Soviet. Padahal, apa yang kita pahami dari informasi Barat itu sangat jauh berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Dalam lawatan penulis ke negeri bekas Uni Sovyet itu, awal bulan Juli 2017 lalu, diperoleh informasi akurat dari sumber pertama tentang Islam dan umat Islam di sana, antara lain seperti akan dikemukakan nanti pada tulisan ini.

Pada hari kedua kedatangan kami di Rusia, tepatnya di kota St. Petersburg, kota terbesar kedua di Rusia, kami sempat bersholat Jumat di Masjid Biru, yang oleh orang Rusia sendiri disebutnya Masjid Soekarno. Jamaah yang hadir sangat beragam terasuk busana mereka, mulai dari yang pakai jas, jaket hingga celana jiens. Tak ada bacaan Al-Qur’an dan sholawat lewat menara masjid, kecuali bacaan manual oleh seorang Qari yang telah disiapkan menjelang khotbah. Boleh jadi juga punya jamaah tetap, karena bacaan syahadat dan sholawat oleh sang khatib serentak diiukuti oleh jamaah, yang iramanya mirip dengan lagu kebaktian gereja di Indonesia. Usai sholat, sang Imam berdiri dan disalami oleh satu persatu jamaahnya hingga habis. Mereka yang bukan jamaah tetap, langsung saja bubaran.

Tapi satu hal yang sekian lama penulis cari jawabannya, rupanya terjadi di sini. Bahwa sewaktu kecil, penulis selalu mendampingi ayah (K.H.Abdul Kadir) mengunjungi masjid-masjid yang menjadi kewenangannya, khususnya untuk sholat Jumat.   Dalam khotbahnya, ayah mempunyai tradisi unik, tidak dilakukan oleh semua ulama dan khotib di daerah kami waktu itu.   Tradisi unik itu ialah ayah mengulang muqaddimah khotbahnya dalam bahasa Arab, ditambah dengan tawshiyah dalam bahasa Arab sebelum mengakhiri khutbah pertama, kemudian duduk sejenak dan bangkit kembali untuk khotbah kedua yang semuanya dalam bahasa Arab. Banyak orang mempersoalkan bahkan mempersalahkannya.   Mengapa muqaddimah bahasa Arab khotbah pertama itu diulang kembali sebelum duduk?   Ternyata ayah punya prinsip bahwa khotbah itu adalah ibadah ritual yang harus murni berbahasa Arab, sehingga muqaddimah bahasa Arab harus diulang untuk memulai khotbah yang ritual itu, dan adapun tawshiyah sebelumnya hanyalah ceramah biasa dalam bahasa Indonesia atau daerah, belum merupakan khotbah walaupun juga diawali dengan muqaddimah bahasa Arab.  Cara khotbah seperti itu lah yang penulis temukan di Masjid Biru Rusia. Bahwa khotibnya hampir setengah jam berpidato dalam bahasa Rusia di atas mimbar, yang mulanya penulis kira itu sudah bahagian dari khotbahnya. Ternyata tidak demikian, ia mengakhiri ceramahnya itu dan kembali mengawali khotbah dengan moqaddimah dalam bahasa Arab, dan sampai mengakhiri khotbahnya termasuk khotbah kedua semuanya dalam bahasa Arab.   Hal ini berarti apa yang dilakukan ayah 50 tahun yang lalu itu ternyata juga terjadi dinegeri lain. Selesai sholat, penulis sempat selfi dengan khotib yang bersangkutan.

Rusia dengan penduduk 150 juta jiwa, 20% di antaranya adalah Muslim, atau sekitar 30 juta orang, demikian diutarakan oleh Ildar Galeev, wakil Ktua Dewan Mufti Russia, ketika delegasi kami diterima di Masjid Cathedral Rusia Moskow (8 Juli 2017). Eksistensi Muslim di Rusia sangatlah beda dengan Muslim di Eropa Barat dan Amerika. Jika pada umumnya Muslim di Amerika dan Eropa Barat adalah imigran dari Arab, Afrika, India dan Pakistan, maka lain halnya di Rusia, Muslim di sana adalah penduduk asli Rusia sendiri. Mereka berasal dari suku Tartar, Khazastan, Tajikistan, Uzbekistan dan Negara-negara bekas wilayah Uni Soviet dulu. Karena itu, Muslim di Rusia merupakan bahagian dari masyarakat dan pemerintah Rusia sendiri, mereka bukan pendatang di negeri itu, dan karenanya dipandang sebagai warga Negara yang sama hak dan kewajibannya dengan warga lainnya yang beragama Kristen Orthodoks.

Di Depan Masjid Biru (Masjid Soekarno) St. Petersburg Rusia

Lembaga-lembaga keislaman seperti Dewan Mufti Rusia dan Takmir Masjid Moskow dipandang sebagai lembaga resmi yang diakui oleh Negara sebagai bahagian dari penyelenggaraan Negara dan pemerintahan Rusia. Bandingkan dengan lembaga-lembaga keislaman di Amerika dan Eropa Barat, hanya dipandang sebagai LSM yang melayani umat Islam setempat tanpa kaitan dengan tanggung jawab Negara dan pemerintahnya. Karen status umat Islam Rusia sebagai warganegara asli, maka mereka punya akses ke posisi politik dan pemerintahan. Antara lain posisi wakil Ketua Dewan Federal (lembaga ketiga sesudah Presiden dan Perdama Menteri) dijabat oleh seorang Muslim, yakni Ramazan Abdulatipov (1994-1996) dan Ilyas Magomed Salamovich Umakhanov (2010 – sekarang).

Ildar Galeev sempat menyinggung kisah spektakular kunjungan Presiden Soekarno (Bung Karno) ke Rusia (Uni Soviet) di tahun 1961 atas undangan Presiden Uni Soviet Nikita Khrushchev. Ketika iring-iringan dua pemimpin bangsa itu lewat depan sebuah masjid yang sudah lama berfungsi sebagai gudang senjata (kini disebut Masjid Biru) di kota St. Petersburg, Bung Karno minta mampir untuk sholat, padahal masjid itu tidak lagi difungsikan sebagai rumah ibadah.   Spontan saja, Khrushchev grogi dan minta agar Bung Karno berkunjung ke masjid itu di lain hari.   Maksudnya, biar masjid itu dokosongkan dulu, dibersihkan dan dibenahi segera untuk bisa ditempati beribadah.  Sejak kunjungan Bung Karno itulah Masjid yang dibangun suku Tartar tersebut berfungsi kembali sebgai rumah ibadah hingga sekarang, sehingga masyarakat Muslim Rusia pun menyebutnya: Masjid Bung Karno, yang dikenal pula sebagai Masjid Biru. Selain kisah Masjid Biru ini, kedatangan Bung Karno ke Rusia waktu itu juga dihiasi dengan kisah penemuan kembali makam Imam Bukhari, penulis Kitab Hadits Shahih al-Bukhari, yang juga sempat diziarahi oleh Bung Karno.

Sesudah Masjid Biru di St,Petersburg dan Makam Imam Bukhari di Azerbaiyan (kini menjadi Negara sendiri), situs Islam yang penting lainnya ialah Masjid Cathedral di Moskow. Disebut Cathedral karena dipandang sebagai Masjid Agung dan masjid terbesar di Rusia, bahkan terbesar di seluruh Eropa.   Dibanding dengan Masjid Agung Roma Italia yang pernah penulis kunjungi di tahun 2010, aktifitas Masjid Cathedral Moskow jauh lebih meriah, bahkan setiap saat aktifitas di Masjid Cathedral selalu hidup menunjukkan bahwa kebangkitan kembali Islam di bekas Uni Soviet itu sedang menggeliat.

Selanjutnya Deputi Ketua Dewan Mufti Rusia itu menjelaskan kegiatan lembaganya, antara lain setiap tahun ada

Bersama Ildar Galeev (kiri) Deputy Ketua Dewan Mufti Moskow dan Dr.Salim (kanan) Staf Ahli Mufti Moskow

pertemuan Islam lintas Negara-negara jalur sutera, termasuk China, Azerbaiyan, Uzbekistan, Turki dan Rusia itu sendiri, dan juga undangan dari negara lainnya. Juga Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) secara periodic diselenggarakan oleh mereka.   Dia juga menyinggung hubungannya yang begitu baik dengan lembaga Islam di Indonesia, seperti MUI dan dua ormas besar NU dan Muhammadiyah.   Bahkan secara periodik, mengirim mahasiswa Rusia untuk belajar Islam di beberapa Universitas Islam di Indonesia, seperti Malang, Yogya, Solo dan Jakarta.   Kini imam-imam di masjid dan musholla, dan pimpinan lembaga-lembaga keislaman di Rusia banyak diisi oleh alumni perguruan tinggi Islam Indonesia. Menarik katanya, karena tidak jarang mahasiswanya kembali ke Rusia dengan membawa isteri atau suami warga Negara Indonesia.

Hubungannya tidak hanya soal pendidikan, tetapi juga merambah ke hubungan ekonomi. Telah terlaksana sejumlah pelatihan ekonomi Islam di Rusia yang diselenggarakan atas kerjasama dengan ormas-ormas Islam dan Bank Muamalat Indonesia, demikian juga soal sertifikasi makanan halal bekerjasama dengan MUI dari Indonesia.

Hal yang patut dicamkan pula ialah gencarnya sosialisasi ajaran Islam moderat di Rusia. Lembaga Dewan Mufti Rusia telah melakukan pelatihan mubaligh anti radikalisme dan teroris, sesuai dengan kebhinnekaan Warga Negara Rusia dari segi etnis dan agama. Bahkan tradisi kawin campur lintas agama masih berlaku di kelompok masyarakat tertentu yang masih abangan, sehingga tidak jarang dalam satu keluarga terdapat agama-agama yang berbeda. Namun, karena biasanya hanya Muslim di antara mereka yang lebih patuh menjalankan ibadahnya sehari-hari, sehingga kesan perbedaannya tidak begitu kentara.

Hal unik yang tak kalah menarik, ialah model gereja dan masjid di Rusia hampir sama, dan sulit dibedakan jika hanya melihat dari luar. Seorang teman bertanya, apakah bentuk gereja Kristen ini meniru masjidnya umat Islam? Jawabnya tentu tidak. Perlu diketahui, baik model gereja maupun masjid semuanya adalah tiruan dari bangunan bergaya Romawi. Pengaruh kuat Rumawi telah sampai menjalar di Eropa dan Timur Tengah ketika Romawi menjajah Mesir dan Siria. Karena itu, di zaman khilafah Umayyah dan Abbasiyah, model bangunan Romawi yang berkubah itu pun ditiru untuk membangun masjid-masjid besar.   Masjid berkubah itu akhirnya seolah menjadi model khas Islam yang menjalar ke segenap wilayah Asia hingga Indonesia. Padahal, bentuk Masjid Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah mulanya tidak seperti itu.   Sementara di segenap wilayah Eropa, model Romawi itu pun menjadi ciri khas bangunan gereja-gereja Kristen sampai ke Eropa Timur, Rusia. Jadi, masjid dan gereja tidak saling meniru, tetapi keduanya (masjid dan gereja) itu sama-sama mengambil dari sumber asalnya yakni bangunan Romawi.

Tidak hanya model rumah ibadah, tapi juga busana ritual ada yang mirip.   Waktu penulis dan rombongan berkunjung ke Cathedral St.Petersburg, semua wanita diwajibkan pakai kerudung mirip jilbab Muslimah, disiapkan di depan pintu. Wanita-wanita Rusia yang menjaga jualannya di pusat-pusat wisata juga pakai kerudung, yang mulanya teman kami mengira mereka Muslimah, ternyata Kristen Orthotoks.

Tapi yang amat penting dicamkan ialah nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, seperti kebersihan, keramahan dan kedisiplinan tampak berlaku dalam kehidupan sehari-hari orang Rusia. Baik di ST.Petersburg maupun di Moskow, kanal-kanal dan sungainya sangatlah bersih, tak sepotong pun sampah yang tampak, airnya pun mengalir jernih, jauh dari sebutan kotor apalagi kumuh. Yang mengherankan, jalan-jalannya pun begitu apik dan bersih, walau di sisi kanan-kirinya juga tumbuh pohon-pohon yang berdaun rindang. Di pusat-pusat wisata pun demikian, tak satu pun sisa makanan atau bekas kemasan yang ditinggal, semua bersih nan indah.   Saat keluar dari Cathedral St.Petersburg, kebetulan di tangan saya ada tisu kotor, tidak tahu di buang ke mana, malu membuangnya di jalan. Perasaan lega ketika sampai di sebuah mobil boks penjaja makanan yang punya kotak sampah.

Kedisiplinan pun sangat mengagumkan, semua berlaku sesuai aturan, kewajaran dan profesionalisme.   Para pegawai dan pekerja sangat patuh dari segi waktu. Kedisiplinan yang mereka tradisikan di bawah ancaman sanksi keras di era Uni Soviet dulu, tetap dilanjutkan karena dinilai positif. Para pebisnis harus professional, dilarang terlibat politik. Pebisnis yang ketahuan berpolitik akan dikenai hukuman oleh Negara, sehingga walaupun mereka sudah lepas dari sistem sosialis komunis, tetapi tetap tidak bisa sepenuhnya menjadi kapitalis.

Para mahasiswa penghuni asrama harus balik ke asrama paling lambat jam 10 malam, dan jika terlambat akan dikenakan sanksi, mulai teguran hingga dicabut hak tinggalnya di asrama.   Bandingkan dengan kelakuan pelajar dan mahasiswa kita, betapa di malam hari? Para pengendara di jalan pun berhenti seketika jika melihat di depannya ada pejalan yang siap menyeberang, walau tidak ada lampu merah yang mengaturnya, atau tidak pada posisi jalan yang bergaris sebra.  Bandingkan di negeri kita, betapa kelakuan pengendara yang dengan seenaknya melanggar lampu merah, apalagi yang tidak ada lampunya? Para pelayan hotel bekerja professional, membantu angkat barang, dan bergegas pergi tanpa jedah menunggu uang tips.

Di suatu malam di Hotel Martin St. Petersburg, penulis butuh air panas, maklum nginap di hotel tua yang dibangun sejak abad ke 18. Tak lama kemudian room serveice nya pun mengantarkan dua buah termos, dan menyerahkan dari luar pintu, tanpa berbasa-basi ia bergegas kembali. Biasanya di hotel-hotel besar di tanah air, bahkan di Amerika dan Eropa, pelayan seperti itu diam sejenak menunggu uang tips.   Pengalaman di hotel Crown Plaza Moskow juga agak menarik.   Sebuah tas kecil penulis tertinggal di ruang lobby, nanti teringat saat di atas mobil menuju ke Dewan Mufti Rusia. Staf kedutaan pun berlari ke lobby hotel, ternyata tasnya sudah tidak di sana, langsung diamankan sebelumnya oleh security hotel. Dan untuk menerimanya harus memperlihatkan paspor pemiliknya.  Coba bayangkan andai barang itu ketinggalan di lobbi sebuah hotel di Indonesia, apa jadinya?

Tidak berarti Rusia sudah menjadi Negara sempurna dan terbaik di dunia. Sebagai Negara yang masyarakatnya masih dalam proses transisi dari sistem sosialis komunis ke sistem liberal terbatas seperti sekarang, tentu saja masih ada dampak negatif yang membelenggu masyarakatnya. Misalnya, jika di era komunis, rakyat terlena menikmati subsidi makanan pokok yang disiapkan oleh negara secara berkala setiap minggu, kini keadaannya sangat berbeda dan kadang masyarakatnya belum siap sepenuhnya untuk berubah. Mereka yang tidak siap bekerja dan bersaing, terpaksa mencari jalan pintas untuk memenuhi nafkahnya, termasuk merampok dan menodong.  Meskiun demikian, masyarakat Rusia tidak pernah lagi berpikir untuk kembali ke era sosialis komunis. Mereka bersatu untuk menjadi Negara liberal terbatas. Terbatas karena baik politk maupun ekonominya, tidak sepeunuhnya menjadi liberal kapitaslis. Sebagai misal, ketentuan bahwa pengusaha tidak boleh terlibat politik sedikitpun, dan jika ketahuan akan mendapat sansi berat dari Negara.  Dengan demikian kehidupan politik tidak tergantung pada kaum pemodal (kapitalis). Wallahu a’lam bil-showabi.

Di Depan Masjid Cathedral Moskow

Di Depan Gereja Basilica Lapangan Merah Moskow