Sampai saat ini, hak kaum laki-laki dan perempuan dalam soal kewarisan adalah (dua banding satu) masih dipahami oleh sebagian pakar hukum secara tekstual, dan masih diterapkan dalam sejumlah putusan pengadilan agama. Dalam peradaban dunia yang mengarus utamakan kesetaraan hak-hak antara kaum perempuan dan kaum laki-laki memandang sistem pembagian (dua banding satu) tersebut sangat diskriminatif, padahal Islam selalu disebut sebagai agama keadilan. Di mana letak keadilannya? dan apakah sistem kaku 2:1 itu harus diterapkan dalam dunia kekinian kita sekarang? Untuk menjawab hal tersebut, berikut petikan satu sisi pembahasan soal kewarisan (halaman 288-295) dari buku ISLAM RAHMAH untuk BANGSA, karya Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA.
HAK WARIS KAUM PEREMPUAN
Perempuan memiliki hak waris sebagaimana hak waris kaum laki-laki. Hal ini adalah ajaran baru yang merombak tradisi Arab jahiliyah yang tidak memberikan hak waris sama sekali kepada perempuan. Bahkan dalam tradisi jahiliyah, status kaum perempuan justru disetarakan dengan harta warisan, yang dapat juga dibagi-bagi dan dialihkan ke ahli waris. Kesamaan hak waris perempuan dan laki-laki ditegaskan dlm ayat berikut:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ
مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. Al-Nisa [4)] 7)
Memang ada ayat yang menyatakan bahwa bahagian laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1, tetapi hal tersebut memerlukan penafsiran baru, mengingat alasan (illat) pembahagian seperti itu pun kini semakin mengalami perubahan dan pergeseran. Dalam hal ini, berlaku kaedah ushul yang menyatakan hukum itu berubah sesuai dengan perubahan ilatnya (al-hukmu yaduru ma`a al-`illah). Perhatikan ayat yang menyatakan perbandingan 2:1 itu:
ْيُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Allah mewasiatkan kamu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (Al-Nisa’ [4]: 11).
Ketika ayat ini turun, perbandingan hak waris antara laki-laki dan perempuan (2:1) dinilai sangat adil, mengapa? Dan mengapa sekarang sudah tidak dipandang adil, dan perlu penafsiran ulang?
Nilai keadilan dalam sistem pembagian 2:1 di zaman dulu tidaklah berdiri sendiri, atau tidak semata-mata tergantung pada bunyi ayatnya saja. Keadilannya ditentukan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
Pertama, bahwa masyarakat patrilineal Arab di zaman Jahiliyah menisbahkan seluruh pemilikan harta kepada kaum laki-laki. Maka anjuran Al-Qur’an untuk memberikan satu bahagian kepada perempuan, sebagai pembelaan awal bagi mereka, disambut sebagai keadilan oleh kaum perempuan di zaman itu, ketimbang tidak dapat bahagian sama sekali seperti di masa jahiliyah.
Kedua, bahwa di zaman permulaan Islam, partisipasi kaum perempuan dalam mencari harta masih sangat minim, disebabkan tradisi keluarga Arab yang patriarkial, seiring pula dengan SDM perempuan yang masih sangat lemah, sehingga perolehan warisan 1:2 sudah memberikan kepuasan dan rasa keadilan bagi kaum perempuan. Hal ini karena pada zaman turunnya Al-Qur’an praktis hanya kaum laki-laki yang bekerja.
Ketiga, sekarang, di belahan dunia mana pun di zaman moderen ini, segalanya telah berubah, yaitu perempuan telah banyak berpartisipasi dalam pencaharian nafkah, sehingga kaum laki-laki tidak lagi memonopoli fungsi tersebut. Bahkan seperti yang kita saksikan, peluang perempuan untuk berkarir semakin terbuka. Maka tidak jarang ditemukan perempuan jauh lebih sukses dalam karirnya dan secara umum sudah berkontribusi lebih signifikan bagi ekonomi keluarga dibanding kaum laki-laki, sehingga penghasilan mereka pun lebih banyak dari kaum laki-laki. Maka sistem kewarisan sudah seharusnya disesuaikan secara makro dengan kondisi kekinian seperti itu.
Bahagian kaum perempuan harus ditambah menjadi 2:2, sama dengan kaum laki-laki. Tambahan itu merupakan kenisacayaan jika memang perempuan benar-benar telah berpartisipasi langsung dalam pencaharian harta, sebagaimana dijanjikan dalam ayat berikut:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
… bagi kaum laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S.al-Nisa’ [4]: 32)
Ayat di atas jelas mengisyaratkan adanya hak waris perempuan dari hasil kerjanya, sehingga semakin memperkuat pendapat bahwa bahagian perempuan dapat seimbang dengan bahagian laki-laki (2:2). Hal ini, karena perempuan memperoleh 1 (satu) bahagian, khusus dari hasil bekerjanya, ditambah lagi dengan 1 (satu) bahagian di luar kerja (jaga rumah dan mengurus suami). Setelah semua dijumlahkan, maka hasilnya adalah perempuan memperoleh 2 (dua) yang menyamai bahagian laki-laki.
Keempat, syariat sebenarnya menghendaki agar fungsi laki-laki sebagai wali berlaku penuh untuk membiayai kehidupan ahli waris perempuan (keluarga), khususnya saudara-saudara perempuannya. Biaya hidup ahli waris perempuan ditanggung oleh ahli waris laki-laki yang memperoleh 2 (dua) porsi itu. Dengan Fungsi wali demikian, kaum perempuan di zaman awal Islam tidak keberatan atas sistem pembahagian 2:1, karena selain dari hak khususnya yang 1 (satu) porsi, perempuan juga memperoleh jaminan hidup lainnya meliputi makan, pakaian dan tempat tinggal yang semuanya dibebankan pada perolehan kaum laki-laki yang dua porsi tadi.
Namun, yang terjadi sekarang ialah kebanyakan laki-laki mengkhianati tanggung jawab kewaliannya itu, malah semua harta yang diwarisinya (sebanyak dua porsi) itu dikuasai dan dinikmatinya sendiri. Apalagi ada fatwa ulama yang memberi peluang bagi laki-laki berbuat seperi itu, dengan alasan bahwa laki-laki mendapat banyak bahagian, karena untuk dinikmati bersama isterinya; padahal menurut syariah, isteri jelas-jelas tidak ada sangkut pautnya dengan harta warisan sang suami.
Sadar bahwa rasa tanggung jawab kewalian laki-laki zaman sekarang telah hilang, maka haknya untuk memperoleh warisan lebih banyak dibanding hak perempuan otomatis gugur pula. Lagi-lagi berdasarkan kaedah hukum: “al-hukm yaduru ma`a al-`illah (hukum berubah bersama perubahan illatnya). Demikian juga, fatwa sebahagian ulama bahwa laki-laki memperoleh lebih banyak untuk dinikmati bersama isterinya adalah sangat keliru, bahkan merupakan sebuah kezaliman yang bertentangan dengan semangat keadilan syariah, sebab sekali lagi, isteri tidak menjadi illat (substantial and rational reason) dalam soal pembahagian warisan dikalangan keluarga sang suami.
Ringkasnya, bahwa penetapan warisan 2:1 antara laki-laki da perempuan hanya dapat diberlakukan jika tanggung jawab kewalian masih berlaku sepenuhnya di masyarakat. Jika sekarang, faktor tersebut sudah tidak berlaku di masyarakat, maka sistem pembagian 2:1 pun tak dapat diberlakukan, dan harus diberi panafsiran baru demi keadilan syariah.
Salah satu bentuk penafsiran baru adalah seperti yang diterapkan di Mesir. Bahwa demi semangat keadilan syariah, bahagian laki-laki dan perempuan harus sama, sementara lafazh 2:1 (dua untuk laki-laki, satu untuk perempuan) harus berlaku pula. Jalan keluarnya ialah pemberlakuan sistem wasiat wajib (washiat wajibah), berdasarkan Peraturan Pemerintah Mesir Nomor 71 tahun 1365 H. (1946 M) bahwa setiap orang tua diwajibkan membuat wasiat untuk anak-anak perempuannya, untuk pemberian harta di luar proses kewarisan. Maka, ketika terjadi pembahagian warisan menurut teks 2:1, hasilnya menjadi dua, sama dengan bahagian anak laki-laki, karena anak perempuan telah memperoleh satu bahagian melalui wasiat.
Jadi tegasnya, nilai dasar syariat Islam yang sebenarnya ialah keadilan. Pemahaman berupa washiyat wajibah, seperti yang berlaku di Mesir, adalah wujud penafsiran keadilan sesuai kondisi kekinian. Begitupun kaedah maksimal 2 (dua) untuk laki-laki, minimal 1 (satu) untuk perempuan, yang menjadi semangat kekeluargaan dalam pembagian warisan; Pengadilan berhak memutuskan perolehan perempuan sama dengan perolehan laki-laki, juga merupakan tafsir baru demi keadilan syariah dalam dunia kekinian manusia. Demikian ragam teknis ijtihadi dalam menerapkan keadilan Tuhan di muka bumi, sesuai dengan konteks kekinian dan kedisiniannya. Wallahu A’lam bi al-Shawab