HAJI MABRUR: DARI TA’ARUF SAMPAI MA’RIFAT
Oleh: Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA
Penulis punya pengalaman baru di musim haji 1439 H. Ini, tepatnya tanggal 24 Agustus 2018 Jumat kemarin. Tim Pengawas Haji DPR RI tidak sempat Jumatan di Masjidil Haram Makkah. Kami karuan saja terpaksa bersholat Jum’at di Musholla Hotel kediaman kami. Ikut pula bergabung jemaah haji Malaysia, sampai Musholla itu pun penuh. Mungkin karena dinggap lebih senior dari segi umur, maka sejumlah Kiyai dan Ustadz dalam Tim ini menunjuk penulis menjadi Khotib. Penulis pun menerima, seolah tiba masa tiba akal. Saya jadi teringat pada khotbah saya di Al-Markaz Makassar, hampir duapuluh tahun lalu, itulah saya ulangi walaupun tidak seutuhnya.
Temanya, soal haji sebagai simbol kesempurnaan keislaman seseorang. Bahwa haji itu menggambarkan secara utuh perilaku kita dalam hidup duniawi. Perhatikan misalnya thowaf, yaitu keliling ka’bah sebanyak tujuh kali, ritual yang menggambarkan aktifitas dunia kita sehari-hari yang berulang tiada putusnya selama hidup. Hidup dunia ini sebenarnya adalah thowaf; tiap hari petani pergi-pulang dari rumah ke ladang; demikian juga para pebisnis, para birokrat, para wakil rakyat, ASN, TNI dan Polri, menekuni kerjanya di kantor, kampus, Mabes atau medan operasinya, mereka adalah berthowaf dari rumah kediaman ke tempat kerja setiap harinya, tiada henti selama belum pensiun dan masih sehat.
Perhatikanlah apapun profesi dan kesibukannya, pastilah tempat berlabunya adalah rumah, mereka kembali ke rumah tempat menikmati hidupnya yang tenang, aman dan nyaman. Rumah adalah ikon kebahagiaan hidup. Tanpa rumah, kebahagiaan jadi semu. Bagi umat Islam, kebahagiaan terasa lebih nikmat jika sesampai di rumah, langsung beribadah sebagai tanda syukur kepada-Nya. Tapi puncak kebahagiaan sebenarnya bagi seorang Muslim ialah ketika sempat beribadah di sisi Rumah Allah, yaitu Ka’bah di Masjidil Haram. Itulah sebuah kesadaran Ilahiyah dalam berthowaf. Maka setiap Muslim wajib berlabuh, berziarah ke Rumah Allah itu, wajib berhaji sekali seumur hidup bagi yang mampu, agar merasa bahagia di sisi Baitullah, sebagai Ikon kebahagian yang paling hakiki. Allah berfirman:
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ ﴿٣﴾ الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ ﴿٤﴾
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah).
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. (Q.S. Qiraisy: 3-4).
Sesudah thowaf, lanjut dengan Sa’iy, yaitu berjalan dinamis dari bukti Shofa ke bukti Marwah, yang diantarai sedikit lembah. Bukit-bukit ini menyimbolkan kehidupan manusia pada posisi puncak kebahagiaanya. Sedang lembah yang mengantarainya menyimbolkan adanya masa sulit dan pasang surut yang pasti setiap manusia pernah mengalami dalam hidupnya. Saat memulai sa’iy di bukit Shofa, jamaah haji memandang lebih dahulu ke Ka’bah. Menyiratkan keharusan istiqomah berdzikir kepada Allah SWT pencipta Ka’bah, sebagai sumber segala kebahagiaan. Terus berjalan menuruni lembah, ia harus berlari-lari kecil di atas lembah itu. Mengapa? Di sana ada pesan bahwa saat manusia mengalami pasang surut dalam hidupnya, gagal atau merugi, ia harus tabah menghadapi cobaan, tetap tegar berlari penuh semangat membangun kebahagiaan baru. Seorang Muslim tidak pernah berputus asa, ia tetap yakin ke depan masih ada puncak kebahagiaan baru bernama Marwah. Ia pun berlari penuh harapan sambil berdoa:
إنك أنت الله الأعز الأكرم رب اغفر وارحم واعف وتكرم وتجاوز عما تعلم إنك تعلم ما لا نعلم
“Ya Tuhan, ampunilah, sayangilah hamba-Mu ini, maafkanlah, dan bermurah-hatilah, serta lewatkanlah (keburukan) apa saja yang Engkau ketahui, sesunguhnya Engkau mengetahui apa yang kami tidak ketahui. Sesunguhnya Engau Ya Allah Mahamulia dan Mahapemurah.
Pesan yang disimak ialah, untuk bangkit kembali mengejar kebahagiaan hidup, kita harus introspeksi, bertobat mohon ampun atas kekhilapan, serta tetap tegar optimis, penuh semangat kebangkitan, jauh dari pesimis. Sebab, hidup ini tidaklah selamanya rata, tidak selalu berada di puncak. Kebahagiaan dan kesulitan silih berganti; tetaplah optimis, habis kesulitan terbitlah kebahagiaan, itulah prinsip hidup seorang Muslim.
Puncak haji ialah Wukuf di Arafah, di sana semua jamaah berkumpul dengan pakaian seragam putih-putih, tak ubahnya sebagai prototipe padang mahsyar kelak sesudah kiamat. Setiap jamaah haji setidaknya akan menyimak tiga arti wukuf di padang batu tersebut. Arafah, dalam bahasa Arab berarti mengenal, maka yang pertama dialaminya ialah ta’aruf, saling mengenal dengan jamaah lain dari seluruh penjuru Dunia. Mereka berkumpul di Arafah sebagai hamba Allah, tanpa perbedaan staus sosial, kaya-miskin, pejabat atau rakyat jelata, ulama, intelektual atau orang awam, militer atau sipil, cantik atau manis, dan warna kulit apapun semua sama di hadapan Allah SWT. Pokoknya tiada yang mulia di antara mereka dari segi status sosial dan rasial etnis, kecuali dengan Taqwa. Rasul bersabda: la fadhla li’Arabiyyin ‘ala ‘ajamiyyin, wa la ‘ajamiyyin ‘ala Arabiyyin illa bi al-taqwa (tidak mulia orang Arab atas orang non Arab, tidak pula mulia non Arab atas orang Arab, kecuali dengan taqwa). Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(Q.S. Al-Hujurat:13)
Makna kedua dari Arafah ialah i’tiraf, sebuah pengakuan atas jati diri sebagai manusia lemah dihadapan Allah SWT yang Mahakuasa. Wa fi Anfusikum afala tubshirun. Manusia menghayati segala perbuatannya, baik atau buruk, merenungi segala dosa yang harus ditobatkan di hadapan-Nya. Tak jarang, mereka menangis mengingat masa lalunya yang kelam, di tengah harapan ampunan dari Allah SWT yang Maha Al-Ghofur al-Rahim, Pengampun, penuh kasih bagi semua hamba-Nya yang berhaji.
Setelah ta’aruf dan i’tiraf, sampailah kemudian ke martabat ketiga, yakni ma’rifat. Pada tingkat ini, para jamaah haji seolah bertemu dengan Allah SWT dengan penuh keyakinan beroleh ampunan dan status haji mabrur. Kalaupun tidak sampai ke tingkat tertinggi ini, setidaknya mereka telah yakin bahwa Allah SWT telah mengetahui pertobatannya, telah mengabulkan pengaduan nasib dan harapan-harapannya untuk hidup lebih baik ke depan. Pada titik inilah, jamaah haji merasakan ihsan, sebagaimana sabda Rasulullah SWT: an ta’bud Allah, ka annaka tarahu, wain lam takun tarahu, fa innahu yaraka (engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-NYa, dan jika engkau tidak sampai melihat-Nya, niscata Dia Allah telah melihatmu).
Mengakhiri wukuf, para jamaah kemudian bergerak ke Muzdholifah, memungut kerikil untuk persiapan melontar jamrah di Mina. Seorang pembesar yang jarang menangis seumur-umur hidupnya, akhirnya tak tahan air mata, menangis tersedu-sedu di Muzdholifah. Ia melihat dirinya bukan siapa-siapa di hadapan Allah SWT, dirinya hanyalah seorang pemungut batu-batu kecil di hadapan Allah SWT. Seorang tukang batu di tanah air, pikirnya, lebih mulia dari dirinya, karena si tukang batu selalu berurusan dengan batu besar. Tapi di balik itu, ia pun sadar, bahwa batu kerikil yang seolah tiada guna itu akan sangat mulia di sisi Allah SWT jika diperlakukan sebagai ibadah dihadapan-Nya. Kuncinya, apa saja pasti jadi mulia karena ibadah; batu kerikil jadi muliah karena ibadah, hewan jadi mulia karena kurban, harta jadi mulia karena zakat, dan seterusnya.
Usai memungut batu dan mabit (melewatkan tengah malam) di Muzdholifah, jamaah pun bertolak ke Mina. Di Mina, mereka melontar jamrah Aqabah. Keesokan harinya, selama mabit dua atau tiga malam di sana, mereka lanjut melontar jmrah Ula, Wusta dan Aqabah di siang hari. Setiap lontaran disertai bacaan rajmatan li al-syayathin (lemparan terhadap setan), sambil berniat agar setan-setan menjauhi dirinya sehingga hajinya mabrur tetap terjaga. Artinya, memelihara kesucian haji, jauh lebih berat ketimbang menunaikannya. Ada sekian banyak Muslim berpredikat haji, tetap saja melakukan kemaksiatan sesudah kembali ke tanah air. Mungkin lontaran jamrah-nya itu, hanya sekedar lemparan membekas di tembok jamrah tanpa tekad untuk menjauhi godaan setan-setan yang tetap saja gentayangan dalam hidupnya dunia ini. Hajinya pun akan jadi haji mardud (tertolak).
Akhirnya prosesi haji pun selesai pada saat tahallul. Tahallul awal ditandai dengan mencukur rambut, sebagian atau seluruhnya. Rambut merepresentasi kepala yang sarat beban pikiran tentang pelbagai problem kehidupan dunia. Dalam berhaji, berbagai larangan haji menjadi beban berat bagi jamaah, namun saat mereka tahallul semua beban larangan itu hilang seketika. Dengan mencukur rambut, ada pesan moral bahwa setiap manusia haruslah berpikir positif, menghilangkan segala pikiran negatif yang selama ini memebebani hidupnya sendiri. Pikiran-pikiran negatif berkait dengan kegagalan, dendam, dengki, kecemburuan sosial, keserakahan dan beragam konflik, hendaknya dihilangkan semua, setidaknya dikurangi agar beban hidup pun semakin ringan. Perbanyaklah husn al-zhan (baik sangka), kurangi sedapat mungkin su`u al-zhan (buruk sangka) dalam pergaukan sehari-hari.
Dengan hikmah-hikmah seperti disebut di atas, yakinlah ibadah haji akan mabrur adanya, insya Allah. Wallahu a’lam bi al-showabi.
(Makkah 25 Agustus 2018)