TUHAN HADIR PADA EKOSISTEM

Semakin merenungi dan menghayati fenomena alam sekitar, semakin terasa kehadiran Tuhan di sisi kita.

Semakin merenungi dan menghayati fenomena alam sekitar, semakin terasa kehadiran Tuhan di sisi kita.

Tuhan Hadir pada Ekosistem

(Seri Kuliah Teologi Lingkungan Hidup)

Oleh: Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA

Pengertian Dasar

Ekosistem adalah interaksi yang mengatur hubungan timbal balik antar makhluk yang beranekaragam, baik makhluk hidup maupun tak hidup pada alam ini. Dalam Ensiklopedia Encarta disebutkan bahwa interaksi dalam ekosistem, dapat dipahami dari segi peringkat (level) makanan yang dikenal sebagai tingkat trofik. Tanaman hijau membuat makanan tingkat trofik pertama dan dikenal sebagai produsen utama. Tanaman inilah yang mengkonversi energi dari matahari ke dalam makanan dalam proses yang disebut fotosintesis. Di tingkat trofik kedua, konsumen primer dikenal sebagai herbivora adalah binatang yang mendapatkan energi kehidupannya dengan memakan tanaman hijau. Tingkat trofik ketiga terdiri dari konsumen sekunder, pemakan daging atau hewan karnivora yang memakan hewan herbivora. Pada tingkat keempat adalah konsumen tersier, karnivora yang memakan karnivora lainnya. Akhirnya, tingkat trofik kelima sebagai dekomposer, organisme seperti jamur dan bakteri yang mengurai dan mendaur ulang materi yang mati menjadi nutrisi yang dapat digunakan lagi.

Sejumlah makhluk hidup bergabung dalam jaringan makanan, yaitu mekanisme ekosistem yang mensirkulasi dan mendaur ulang energi dan materi. Misalnya, dalam ekosistem perairan, ganggang dan tanaman air lainnya menyerap sinar matahari untuk menghasilkan energi karbohidrat. Konsumen utama seperti serangga dan ikan kecil menyuplai makan beberapa jenis tanaman, dan pada gilirannya dimakan oleh konsumen sekunder, seperti ikan salmon. Kemudian seekor beruang berperan sebagai konsumen tersier dengan memakan salmon. Bakteri dan jamur kemudian membusukkan sisa bangkai salmon yang ditinggalkan beruang, sehingga mengubah komponen tak hidup menjadi nutrisi kimia, kemudian diproses kembali ke tanah dan air, dan selanjutnya diserap oleh akar tanaman. Dengan cara ini nutrisi dan energi yang berasal dari sinar matahari secara efisien ditransfer dan didaur ulang oleh tanaman hijau ke seluruh ekosistem.

Proses lain yang penting untuk ekosistem adalah siklus air; pergerakan air dari laut ke atmosfer lalu ke tanah dan akhirnya kembali ke laut. Ekosistem seperti hutan atau lahan basah sangat berperan dalam siklus ini dengan menyimpan, atau menyaring air saat melepaskannya ke ekosistem

Ekosistem ini juga ditandai dengan intervensi gangguan siklus; misalnya peristiwa kebakaran, badai, banjir, dan tanah longsor yang justru bermanfaat bagi tanaman tertentu untuk kelangsungan jenisnya (reproduksi). Sebagai contoh, perkembangan jenis hutan pinus LongLeaf sangat tergantung pada adanya kebakaran intensitas rendah untuk reproduksi. Tunas pohon pinus yang berisi struktur reproduksi, yang tadinya tertutup dengan damar, dapat lepas menjadi benih yang akan tumbuh menjadi pinus baru jika damarnya mencair setelah kepanasan akibat kebakaran.

Perbuatan Tuhan pada Ekosistem

Ekosistem seperti yang digambarkan di atas adalah berlaku menurut hukum sebab akibat pada alam semesta ini. Menurut filsafat, rentetan sebab-akibat itu membentuk sistem yang membuat eksistensi makhluk-makhuk saling tergantung antara satu sama lain. Jalinan sebab-akibat berawal dari sebab pertama, yang menurut Aristoteles adalah penggerak pertama, The First (Prime) Mover. Aristoteles sendiri tidak memberikan definisi yang konkret mengenai Pengerak Pertama, kecuali hanya menyebutnya sebagai intelligence (akal) yang menggerakkan alam semesta. Filsuf-filsuf sesudah Aristotles berusaha menerjemahkan Penggerak Pertama itu adalah Tuhan.

Para teolog, khususnya dalam teologi Islam, yang percaya pada hukum sebab-akibat, menyebutnya sebagai sunnatullah. Artinya, ekosistem tidak lain adalah perbuatan Allah sendiri, karena Dia lah yang menciptakannya, mengatur dan memeliharanya dalam proses hukum sebab-akibat, sebagai firman-Nya: (إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ ) “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (aturan tertentu) – Q.S.al-Qamar [54]: 49. Aturan tertentu itu, tidak lain dari sunnatullah (hukum alam ciptaan-Nya) yang berlaku dalam interaksi ekosistem. Aturan itu berlaku tetap, tak berubah-ubah , dan berlaku sebagai aturan (takdir) pada perbuatan Tuhan dan makhluknya. Dalam pada itu, manusia turut berperan dalam interaksi ekosistem (sebab-akibat); mereka dapat melakukan suatu sebab yang dapat mendatangkan suatu akibat.

Berdasarkan itu, dapat dipahami bahwa sebenarnya Tuhan mencipta melalui suatu proses yang melibatkan makhluk-makhluk-Nya sendiri untuk turut berperan pada ekosistem sebagai wadah penciptaan itu. Adanya proses dalam penciptaan adalah sejalan dengan banyak ayat Al-Qur’an yang menyebut bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini dalam enam hari, yang berarti tak lepas dari proses tertentu, walaupun diakui bahwa makna enam hari itu multi tafsir. Di antaranya adalah ayat berikut:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثاً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ ﴿٥٤﴾
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S.al-A`raf [7]: 54).

Dalam kaitannya dengan teologi (akidah), maka setidaknya kita dapat memahami tiga hal dari uraian diatas, yakni:
– Tuhan sebagai Pencipta Awal ( filsafat: Sebab Pertama),
– Adanya proses penciptaan yang berlangsung terus-menerus tanpa akhir sepanjang Allah SWT menghendaki penciptaan;
– Adanya keterlibatan makhluk Tuhan dalam proses iradah (kehendak Tuhan) dan qudrah (kekuasaan Tuhan) pada penciptaan alam semesta itu.

Tuhan sebagai Pencipta (Al-Khaliq)

Dalam banyak ayat, Allah SWT disebut sebagai Pencipta yang bersemayam di atas arasy (اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ), yang digambarkan oleh para ulama sebagai tempat yang khusus bagi Tuhan (alam uluhiyah). Pada banyak ayat, kata “`arasy” mengandung arti: “tempat tertinggi atau terhormat” , “derajat termulia ”, “bahagian teratas, atap atau penutup” , “membangun, membuat atau mengadakan” . Dari pengertian-pengertian itu dapat ditegaskan bahwa “arasy” adalah posisi yang teratas, tiada lagi sesuatu yang di atasnya. Dalam rentetan sebab-akibat, Tuhan adalah sebab pertama, tdak ada lagi sebab yang di atasnya (the Prime Mover). Dan jika asal muasal segala makhluk hidup adalah air, sedang air itu sendiri adalah ciptaan Tuhan, maka berarti Tuhan (Allah) bersemayam (berkuasa dan mencipta) makhluk hidup yang semuanya berasal dari air (وكان عرشه على الماء – dan adalah arasy-Nya di atas air- Q.S.Hud [11]: 7).

Proses Penciptaan

Proses penciptaan berlangsung terus menerus, tanpa akhir, sebab sifat Tuhan sebagai Al-Khaliq, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itu, dalam teologi, Tuhan tidak dapat disebut hanya mencipta di masa lalu, atau hanya mencipta sekali jadi untuk semua kemudian isterahat. Sejumlah ayat menyinggung soal penciptaan yang berlangsung terus menerus ini. Antara lain Q.S.al-Baqarah [2]: 164 menyebut bagimana Tuhan mengendalikan ekosistem, manfaat pergantian siang dan malam, serta bagaimana air, tanah dan angin berinteraksi, sehingga terjadilan kehidupan di alam ini.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاء فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخِّرِ بَيْنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ ﴿١٦٤﴾
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan.” (Q.S.al-Baqarah [2]: 164).
Hal demikian diberlakukan oleh Allah, tanpa ada sesuatu di alam ini yang sia-sia atau tidak berfungsi dalam ekosistem (ربنا ما خلقت هذا باطلا – “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”- Q.S.Ali `Imran [3]: 191). Proses kejadian dan penciptaan yang berlangsung terus-menerus, yang di dalamnya semua makhluk terlibat tanpa kecuali, itu ditandai dengan adanya reproduksi (beranak, bertunas, atau ber-benih) pada makhluk, sehingga melahirkan makhluk-makhluk baru tanpa henti. Namun awal dari segalanya hanyalah Allah SWT, yang dalam filsafat disebut Sebab Pertama, dan dalam Q.S.Yunus [10]: 34 dinyatakan bahwa Allah-lah yang memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya dengan penciptaan yang baru tanpa henti (قل الله يبدأ الخلق ثم يعيده ) juga dijelaskan dalam Q.S.Qaaf [50]:15:
أَفَعَيِينَا بِالْخَلْقِ الْأَوَّلِ بَلْ هُمْ فِي لَبْسٍ مِّنْ خَلْقٍ جَدِيدٍ ﴿١٥﴾
Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama ? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.

Keterlibatan Makhluk dalam Proses Penciptaan

Keterlibatan makhluk-makhluk Tuhan dalam interaksi ekosistem ciptaan-Nya, dipahami dari gaya bahasa Al-Qur’an yang mengungkapkan. Dalam banyak ayat penciptaan, menyangkut eksistensi dan hajat kehidupan manusia di dunia ini, Tuhan mengakuinya dengan ungkapan “Kami menciptakan”, bukan “Aku menciptakan”. Perhatikan bagaimana Tuhan mencipta manusia dari setetes air, dengan ungkapan: “Kami menciptakannya dari setetes air” ( أنا خلقناه من نطفة – Q.S.Yasin [36]: 77). Juga ketika Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa yang tak luput dari keterlibatan sesama manusia, Tuhan menyatakan “Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan” ( إنا خلقناكم من ذكر وأنثى – Q.S. al-Hujuran [49]: 13). Begitupun ketika terjadi bencana alam, akibat penyimpangan dari hukum ekosistem, sehingga sejumlah materi pada alam beraksi tidak normal, dinyatakan dengan kalimat “telah tertulis dalam kitab (hukum ekosistem), sebelum Kami menciptakannya” (فى كتاب من قبل أن نبرأها – Q.S.al-Hadid [57]: 22).

Tegasnya, kalimat-kalimat penciptaan dengan ungkapan “Kami menciptakan”, adalah isyarat keterlibatan makhluk Tuhan dalam prosesnya. Berbeda halnya jika penciptaan itu dikaitkan dengan penyembahan kepada Tuhan, yang merupakan hak prerogatif Tuhan, maka kalimat yang digunakannya adalah “Aku ciptakan”, bukan “Kami menciptakan”. Hal itu karena yang patut disembah hanyalah Tuhan, maka ungkapan penciptaan-Nya pun memakai kalimat “Aku”; “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ – Q.S.al-Dzariyat [51]: 56).

Keyakinan bahwa Allah SWT menciptakan ekosistem, menciptakan hukum alam sebab-akibat sebagai sunnah-Nya, yang memberi peran keterlibatan bagi makhluk-makhluk-Nya, tidaklah sama sekali menafikan kemaha-kuasaan-Nya. Di sinilah pertemuan antara iman dan ilmu (sains / teknologi). Bahwa sebagai umat beragama, kita tetap yakin akan kemaha-kuasaan Tuhan yang berlaku pada alam semesta, tetapi sebagai insan sains dan teknologi, kita pun harus yakin bahwa Tuhan menciptakan hukum-hukum alam, yang disebut sebab-akibat (kauslitas), ataupun ekosistem yang berlaku pada kosmos sejagat, adalah Tuhan bermaksud memberi peluang bagi manusia untuk mempelajari rahasia dan fenomena-fenomena alam ini. Semakin dalam pengetahuan orang-orang beriman menyangkut rahasia alam, semakin kuat pula keyakinannya akan kemahakuasaan Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, mereka disebut sebagai ulama, yaitu ahli sains dan teknologi yang beriman, sesuai firman-Nya: ( إنما يخشى الله من عباده العلماء – Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama- Q,S, Fathir [35]: 28).
Wa ‘Llahu a`lam bi al-shawab.

TUHAN MENDESAIN ALAM DAN MANUSIA UNTUK KEMASLAHATAN

TUHAN MENDESAIN ALAM DAN MANUSIA
UNTUK Lingkungan Hidup1KEMASHLAHATAN

(Bahan diskusi Kuliah Theologi Lingkungan Hidup)

Oleh: Prof.Dr.H. Hamka Haq, MA

Mashlahah adalah tujuan Tuhan selaku pencipta syariat (qashd al-Syari). Secara teologis, mengandung pengertian bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam setiap perbuatan dan enciptaan-Nya.

Hal tersebut dipermasalahkan dalam teologi Islam dan dalam filsafat. Dalam filsafat agama, terdapat satu golongan yang berpendapat bahwa segala kejadian di alam ini terjadi secara seketika tanpa dirancang sebelumnya. Faham ini disebut occasionalism. Menurut paham ini, jika ada dua peristiwa yang kelihatannya serasi dan sejalan, sebenarnya itu hanya terjadi secara seketika dan kebetulan saja, karena dua hal itu dibuat dalam keadaan demikian oleh Tuhan; seperti halnya dua buah jam dapat menunjukkan waktu yang sama karena diciptakan demikian oleh pembuatnya. Paham demikian juga menurut Majid Fakhry, dikembangkan oleh aliran teologi Asy’ariyah yang dasar pemikirannya memandang Tuhan sebagai penguasa langit dan bumi yang segala kemauan-Nya tak dapat ditolak dan tak dapat dimengerti. Ia dapat berbuat tanpa tujuan. Pokoknya menurut mereka segala kejadian dalam alam tergantung sepenuhnya pada kehendak mutlak Tuhan, tanpa hukum kauslitas.

Kaum Asy’ariyah pada umumnya menolak adanya tujuan tertentu pada peciptaan. Antara lain dikemukakan oleh Al-Amidiy dengan katanya:

“Pendapat golongan yang benar (ahl al-haqq) ialah bahwa Tuhan mencipta alam tanpa berdasar pada suatu tujuan tertentu, tidak pula pada suatu kebijakan yang bergantung atasnya makhluk, tetapi segala yang diciptakan oleh-Nya berupa kebaikan dan kejahatan, manfaat dan mudarat bukan karena ada tujuan dan maksud yang mendorong Tuhan melakukannya, justru berbuat atau tidak adalah boleh dan itu sama saja bagi Tuhan”.

Pandangan serupa ditegaskan pula oleh Al-Syahrastani: “Sebagai pencipta, Tuhan tidak didorong oleh suatu tujuan dalam melakukan perbuatan-perbuatan-Nya”. Semua ini berdasarkan pada paham Al-Asy’ariy akan kekuasaan mutlak Tuhan, sehingga Ia dapat berbuat tanpa tujuan.

Sejalan dengan pandangan Asy`ariyah dan Occasionalism (Okkasionalisme), Al-Raziy berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan (‘illah) sama sekali dalam perbuatan-Nya. Sebaliknya Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam mencipta alam dan syari’at, yaitu untuk kemaslahatan manusia (mashalih al-‘ibad). Berdasarkan metode induksi, Al-Syathibiy sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa Tuhan mencipta dan mengadakan syari’at dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba (manusia).

Pandangan Al-Syathibiy dan Mu’tazilah sangat sejalan dengan argumen teologis yang dipakai dalam filsafat agama untuk membuktikan adanya Tuhan. Argumen ini berdasar pada keteraturan benda-benda dan peristiwa yang terjadi pada alam semesta yang mengarah kepada tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal. Untuk itu mestilah ada dzat yang menentukan tujuan itu karena yang menentukannya haruslah suatu dzat yang lebih tinggi dari alam, yaitu Tuhan. Dalam argumen ini Tuhan dipandang Mahabijaksana dan mempunyai maksud tertentu dalam perbuatan-Nya atau tegasnya kata Harold H.Titus: God is intelligent and His ways are purposesful. Dengan demikian segala peristiwa dan apa saja yang ada dalam alam ini tidaklah terjadi secara seketika begitu saja, tetapi terjadi dengan suatu rencana dan direncanakan untuk suatu tujuan tertentu oleh Tuhan (could not have happened by chance).

Adapun kriteria kemaslahatan yang merupakan tujuan syariat itu adalah tegaknya kehidupan dunia (pada alam ini) demi tercapainya kehidupan akhirat (min hayts tuqam al-hayat al-dunya li al-ukhra). Dengan demikian segala hal yang mengandung kemaslahatan dunia (alam / lingkungan) haruslah sejalan dengan kemaslahatan akhirat. Untuk itu manusia dalam mewujudkan kemaslahatan dunia (alam lingkungan) haruslah terbebas dari nafsu serakah, karena kemaslahatan tersebut tidak diwujudkan menurut keinginan nafsu (la min hayts ahwa’ al-nufus).
Kenyataan empiric menunjukkan bahwa maslahat bagi manusia dan alam ini tak dapat diperoleh jika manusia memperturutkan nafsu. Hal ini disebabkan nafsu dapat membawa pertumpahan darah dan kebinasaan alam sekitar yang merupakan kontradiksi bagi kemaslahatan itu sendiri. Karena itu, manusia sepakat mencela siapapun yang memperturutkan nafsunya; bahkan umat-umat terdahulu yag tidak memperoleh syariat, atau yang telah punah syariatnya, berusaha mewujudkan kemaslahatan dengan jalan mencegah orang menuruti nafsunya. Hal itu merupakan kebenaran universal yang diakui oleh naql (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) dan ‘aql (akal).

Kemaslahatan manusia dan lingkungannya adalah bersifat universal, berlaku secara umum dan abadi bagi semua manusia dalam segala keadaan. Beberapa pokok pikiran menyangkut universalitas kemaslahatan ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

Pertama, bahwa setiap aturan (nizham) berua syaiat dan hukum kausalitas bagi kemaslahatan diciptakan Tuhan secara harmonis, tidak saling berbenturan dan kacau karena Tuhan menghendaki kemaslahatan secara mutlak. Argumen keharmonisan tatanan alam sangat sejalan dengan argumen filsafat. Bahwa jika kita perhatikan dunia lingkungan kita, ditemukan adanya hukum keteraturan (kausalitas) universal. Dari sana dapat diketahui bahwa perbuatan Tuhan mestilah menghendaki keharmonisan dalam berbagai proses peristiwa di alam ini.

Kedua, bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum, tidak parsial, artinya bukan hanya berlaku secara khusus pada satu tempat tertentu saja. Untuk itu maka syariat berlaku secara umum pula, disamping karena ada nash yang berbunyi: وما أرسلناك إلا كافة للناس juga karena manusia dan lingkungannya mempunyai kesamaan tabiat terhadap maslahat. Sekiranya hukum syariat itu berlaku untuk khusus sebahagian manusia, maka kaedah pokok Islam, seperti iman, tidak berlaku secara umum pula.

Ketiga, bahwa maslahat universal (kulliyah) adalah maslahat yang diterim a secara umum (al-mashalih al-mu’tabarah). Hal ini sesuai dengan sifat syariat dan hukum alam yang diciptakan Tuhan adalah berlaku secara umum menurut kondisi manusia (‘adah). Apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan parsial, maka yang diberlakukan adalah maslahat universal itu. Universalitas maslahat tidak hilang, meskipun bertentangan dengan kenyataan parsial. Sebagai contoh, kewajiban menyelamatkan jiwa manusia secara universal tetap berlaku, terkadang dengan terpaksa membunuh hewan-hewan penyebar penyakit.

Dari argumen-argumen yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa universalitas maslahat lingkungan dan syariat mengandung arti keharmonisan dan keutuhan hukum Tuhan, tidak terjadi kontradiksi antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Konsep keharmonisan seperti ini sebenarnya dianut juga oleh kaum Mu’tazilah Abd al-Jabbar menyatakan:

“Jika dikatakan bahwa perbuatan /penciptaan Tuhan bersifat harmonis dari segi strukturnya (shalah fi tadbirih), maka tak lepas pula dari kaitannya dengan hukum taklif dan mukallaf; segala perbuatan-Nya tidaklah mengacaukan dua hal (hukum taklif dan mukallaf) dan tidak membawa mukallaf keluar dari kesungguhan berbuat; demikian itulah yang disebut harmonis. Sebaliknya, segala hal yang mengendorkan semangat mukallaf untuk bekerja berarti Tuhan telah merusak dan mengacaukan struktur perbuatan / ciptaan-Nya (fasad fi tadbirih)..”

Faham keharmonisan penciptaan Tuhan dianut juga oleh Maturidiyah Samarkand. Al-Maturidiy sendiri menyatakan bahwa siapapun yang memperoleh ma’rifah (pengenalan) kepada Allah, mengetahui kekuasaan dan kerajaan-Nya, bahwa Dia lah pencipta dan memberi perintah, tentu mengenal pula bahwa perbuatan-Nya tidak mungkin keluar dari hikmah kebijakan tertentu. Namun, Maturidiyah Bukhara berpendapat lain; menurut mereka Tuhan mencipta alam menurut kehendak-Nya, tanpa terikat pada hukum keharmonisan dan tujuan tertentu.

Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim modern, juga menerima konsep keharmonisan ciptaan dan hukum-hukum Tuhan. Baginya, kehidupan manusia tidak punya makna (tujuan) kecuali jika alam ini sendiri punya tujuan. Tujuan itu ada jika terdapat suatu rancangan pada alam ini, sedang rancangan itu sendiri ada karena diciptakan oleh Tuhan. Menurut Fazlur Rahman, tujuan dan rancangan alam semesta ini menunjukkan bahwa alam ini tidak hanya merupakan satu tatanan fisik tetapi juga merupakan satu tatanan moral. Dengan kata lain, alam ini tidak hanya tersusun atas fakta-fakta empiric berdasarkan kausalitas, tetapi juga adalah suatu dunia moral yang di dalamnya kemaslahatan (goodness) merupakan sebaik-baik jalan bagi perilaku manusia.

Muhammad Abduh, pelopor pembaharuan pemikiran Islam modern, yang datang jauh mendahului Fazlur Rahman, juga menerima konsep universalitas dan harmonitas maslahat dan syariat. Dalam hal ini, ia mengajukan teori sunnatullah (hukum alam ciptaan Tuhan), bahwa Tuhan mengatur segalanya sesuai dengan hukum alam ciptaan-Nya yang tidak berubah-ubah sehingga segala sesuatu pada alam ini berjalan baik dan teratur secara harmonis. Bagi Abduh, perbuatan/ penciptaan oleh Tuhan mempunyai tujuan tertentu, karena mustahil Ia berbuat sia-sia tanpa tujuan. Berdasarkan dalil akal katanya, seseorang yang sehat pikirannya tidak mungkin berbuat sia-sia. Orang seperti itu pasti tahu bahwa segala yang lahir dari keinginan dan kehendaknya adalah konsekuensi dari adanya tujuan. Jika hal ini berlaku pada manusia, maka tentu lebih patut pada sisi Tuhan; Tuhan adalah sumber segala akal dan kesempurnaan pengetahuan.

Bagaimanapun juga, pandangan Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman serta dua aliran teologi, Mu’tazilah dan Maturidiyah serta Al-Syathibiy, sependapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan tertentu dalam mendesain alam semesta dan manusia ciptaan-Nya.