HAJI MABRUR ITU INDAH (Bagian 1)

Haji Mabrur, Rahmat untuk Manusia (1)

Oleh: Prof.Dr. H. Hamka Haq, MA
Akhlak Mulia, itulah Rahmat Haji

Ibadah haji adalah satu-satunya ibadah yang hanya sekali diwajibkan atas Muslim seumur hidup; ibadah haji yang keduakali dan seterusnya hukumnya hanyalah sunat. Hal ini dipahami dari firman Allah:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Dan Allah mewajibkan haji atas manusia (Muslim), bagi yang mampu menunaikannya”  (Q.S.Ali `Imran [3]; 97).

Hal tersebut diperkuat lagi dengan Sunnah Nabi SAW, bahwa beliau berhaji hanya satu kali selama era kerasulan dan kenabiannya, yaitu keika menunaikan haji wada (haji perpisahan) pada tahun 10 H.

Haji diwajibkan hanya satu kali, merupakan rahmat bagi kaum Muslimin untuk tidak menyuitkan mereka.  Sebab, pelaksanaannya sangatlah berat dan sulit, mulai dari soal biaya, fasilitas dan pelayanan selama dalam perjalanan ke tanah suci sampai kembali ke tanah air, tidak semua orang dapat memperoleh atau menjalaninya dengan mudah, apalagi jika diwajibkan setiap tahun.

Tetapi di balik dari kesulitan itu, ibadah haji sangatlah istimewa karena ia merupakan rukun Islam yang terakhir, yang menjadi simbol kesempurnaan akhlak seseorang. Itu artinya, seseroang yang sudah menunaikan haji, apalagi jika hajinya berpredikat mabrur, niscaya ia beribadah shalat, zakat dan puasa disertai akhlak mulia yang merupakan rahmat bagi sesamanya. Adalah bertentangan dengan roh syariah jika seorang Muslim telah berhaji, tapi tidak mengamalkan ibadah pokok lainnya, apalagi jika akhlaknya semakin bobrok. Sama halnya, termasuk pelanggaran roh syariah, jika seorang Muslim hanya mengutamakan haji sunat berkali-kali dengan menghabiskan sekian banyak biaya, tanpa peduli pada pentingnya sarana sosial, ibadah, bantuan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi dan pemeliharaan anak-anak terlantar dan miskin di sekitarnya.

Memang, banyak orang berusaha keras meraih kesalehan pribadi dengan memperbanyak ibadah haji, tapi kososng dari rahmat kemaslahatan untuk sesamanya. Tidak sedikit di antara mereka, berkali-kali berhaji dengan niat mensucikan diri, bertobat kepada Tuhan di hadapan Ka`bah, namun sekembali dari berhaji, kembali pula melanjutkan dosa lamanya sebagai koruptor, provokator, ataupun kejahatan lain. Mereka hanya memperalat haji sebagai topeng kesalehan. Jangan berharap hajinya mabrur dan tobatnya dikabulkan oleh Allah SWT, selama tetap merampas hak dan menyakiti hati warga sekitarnya. Bahkan kadang kita menyaksikan, akhlak-akhlak tak terpuji itu pun masih terjadi di sela-sela pelaksanaan haji di tanah suci.   Orang berlomba dan saling memarahi, menyakiti dalam putaran thawaf, saling sikut menyikut berebut tempat sholat; apakah haji seperti ini mabrur, padahal Al-Quran sendiri melarangnya:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Musim haji dalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatkan untuk mengerjarakan haji maka tidak boleh rafats, tidak boleh fasik dan tidak boleh beebantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji.” (Q.S. Al-Baqarah: 198).

Maka pantaslah jika sekian banyak orang berhaji, tapi rahmat hajinya tidak dirasakan oleh masyarakat.

Maka, adalah tidak tepat jika kualitas keislaman itu diukur dari haji-tidaknya seseorang. Sebab jika haji menjadi barometer keislaman, maka bagaimana nasib berjuta-juta bahkan beratus juta umat Islam yang miskin yang berakhlak mulia dan memberi kemaslahatan, tapi belum berhaji? Apakah mereka mengalami diskrminiasi religius, dianggap rendah Islam-nya lantaran mereka bernasib miskin dan tidak bisa berhadji, walaupun akhlaknya mulia?. Karena itu, tidak tepatlah jika derajat keislaman diukur dari haji-tidaknya seseorang, tapi seharusnya diukur dari nilai taqwanya (akhlaknya) masing-masing. Tuhan sendiri berfirman: “Bertaqwalah kamu sesuai dengan kemampuanmu” (Q.S.al-Taghabun [64]: 16). Puncak-puncak derajat taqwa yang tertinggi dapat saja dicapai oleh sang miskin, dengan akhlak mulia, dengan menunaikan secara maksimal ibadah dan muamalah bermanfaat yang disanggupinya, meskipun ia tidak sempat berhaji. Berbeda dengan orang yang memang dianugerahi kemampuan ekonomi, kesehatan dan kesempatan untuk berhaji, tanggung jawabnya untuk bertaqwa harus dipenuhinya dengan menunaikan ibadah haji yang membuahkan akhlak mulia itu, tanpa melupakan kewajiban sosialnya kepada masyarakat.

Taqwa sebagai tujuan akhir dari keislaman haruslah bertolak dari iman yang benar. Karenanya ibadah haji tidak boleh lepas dari landasan iman sebagai sumber rahmat itu. Namun, seringkali orang tergelincir, mengira keislamannya sudah sempurna setelah berhaji, padahal justru ia menghancurkan imannya tanpa sadar. Misalnya, ada paham di tengah masyarakat tertentu bahwa segala sesuatu yang ada di tanah suci Mekah adalah otomatis suci pula, sampai membiarkan busananya kumuh tidak memenuhi syarat kesehatan, sebab diyakini tetap suci dan sehat. Orang seperti ini jelas mengalami buta akidah dan buta soal kesehatan dirinya. Hajinya pun tidak akan mabrur, malah menjadi haji mardud (tertolak) atas kemusyrikan dan kebodohannya, sehingga hajinya tidak memberi rahmat bagi dirinya sendiri.

Tindakan yang tak kalah cerobohnya ialah memaksakan diri melakukan hal-hal di luar syariat haji. Mereka tidak tahu membedakan antara amaliah haji yang wajib dan yang sunat.   Bahkan sesuatu yang tak disyariatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, justru dianggap wajib sehingga ia mengutamakannya ketimbang manasik rukun haji sendiri. Contoh konkret ialah mencium hajar aswad yang disunnahkan Rasulullah SAW, hanya sebagai rangkaian dari thawaf. Bagi yang tidak mampu mencium langsung, dianjurkan mencium jarak jauh, dengan cara menghadap ke arah hajar aswad sambil mengangkat tangan. Adapun mencium hajar aswad yang tidak dirangkaikan dengan thawaf, bukanlah perbuatan yang disyariatkan. Bahkan jika perbuatan semacam itu dapat membahayakan fisik, hukumnya menjadi makruh, dan jika mengancam jiwa maka hukumnya menjadi haram. Tetapi, banyak orang yang merasa hajinya tidak afdhol jika tidak berhasil mencium hajar aswad secara langsung, yang kadang mengancam jiwanya sendiri. Ini betul-betul suatu kebutaan hukum ibadah yang melanda sebahagian jemaah kita,sehingga hajinya tidak jadi rahmat tapi jadi mudhorat.

Dua contoh di atas, satu kebutaan akidah dan satu lagi kebutaan ibadah harus diatasi sebagai tanggung jawab bersama oleh para ulama, ustadz dan mubaligh Islam. Sebab, jika terus dibiarkan maka ibadah haji bukannya membawa rahmah melainkan membawa mudharat, padahal kita membutuhkan syariah yang rahmah untuk pribadi dan masyarakat. Saatnyalah kita mensosialisasikan konsep istitha`ah (kemampuan menunaikan haji) yang selama ini terbatas pada fisik dan biaya, harus dilengkapi pula dengan kemampuan memahami akidah, ibadah dan akhlak secara benar. Wallahu A’lam bil-showabi.

Hotel Zamzam Pullman, Makkah 14 Agustus 2018.