MAMUJU, AWAL PENGABDIAN 40 TAHUN SILAM

MAMUJU, AWAL PENGABDIAN 40 TAHUN SILAM

Memasuki tahun 2016 ini, teringat satu bagian dari perjalan hidup ketika mengabdi di Mamuju empat puluh tahun silam (1976–1980).  Waktu itu Mamuju masih merupakan kabupaten terpencil di Sulawesi Selatan.  Terbayang kembali betapa sulitnya menjalankan tugas di daerah itu, sebab dapat dibilang Mamuju waktu itu masih benar-benar merupakan daerah pembuangan bagi pendatang, khususnya PNS. Belum ada jalan darat tembus ke daerah itu, kecuali jalan setapak.   Jalan darat dari Makassar hanya mulus sampai Pinrang, seterusnya ke Polewali dan Majene masih jalan kerikil.  Dari Majene ke Mamuju kita harus naik perahu, atau kapal kayu milik perusahaan yang mulai beroperasi di Mamuju.  Di atas perahu kita harus berada di laut selama dua hari satu malam.  Beruntung jika tidak ada angin dan ombak, tapi jika cuaca tidak bersahabat, ombaknya ganas disertai angin kencang, perahu harus menepi ke pantai, tidak berani berlayar.   Sesekali dengan kapal motor milik perusahaan atau Pemda, dengan waktu tempuh sekitar 12 jam.  Atau dengan kapal perintis PELNI “Menkara” yang transit di Mamuju sekali sebulan.  Dengan keadaan seperti itu, Mamuju benar-benar merupakan kota “penjara” bagi para pendatang, saking susahnya pulang kampung atau bepergian ke Makassar ketika itu.

Ke daerah itulah saya mengabdi pada tahun 1976 dengan jabatan guru agama, setelah meraih Sarjana Muda dengan gelar BA.  Waktu itu jenjang Perguruan Tinggi masih menerapkan dua tahap kesarjanaan, Sarjana Muda diselesaikan dalam tiga tahun, kemudian tambah dua tahun lagi untuk meraih Sarjana Lengkap dengan gelar Drs.   Aku berangkat dari kampung halaman di Barru menuju Majene, mulanya berharap langsung ada perahu menuju Mamuju.   Setiba di Majene, masih harus menuju pedalaman Kecamatan Somba, sekitar 30 km, tepatnya Desa Puttadda, tempat paman saya Abdullah berhijrah sejak tahun  1968.  Tidak jauh dari itu terdapat pelabuhan rakyat, di dusun Palipi tempat perahu-perahu kecil yang biasanya siap bertolak ke Mamuju.  Tapi ternyata Palipi juga lengang, terpaksa kembali ke Puttadda bermaksud menyewa perahu nelayan setempat.

Dari sana lah perahu sande kecil tanpa atap bertolak ke Mamuju, sekitar jam 21.00 malam.  Di atas perahu kami berlima, saya bersama kakak ipar, Haji Rakib, dan paman Abdullahi, serta dua awak perahu.  Setelah melewati malam itu dan sehari penuh esoknya, pelayaran cukup lancar, kami pun sampai ke perairan Mamuju sekitar jam 20.00 malam.   Dari jauh tampak Mamuju indah, dihiasi lampu merkuri sepanjang pantai.   Sempat juga terdengar sayup-sayup suara qari’ah melantunkan Al-Qur’an; itulah suara warga Mamuju yang pertama kami dengar.  Setelah menepi ke pantai sekitar jam 23.00, kami pun belum berani turun, perahu hanya ditambatkan dan kami semua memilih isterahat di perahu menanti matahari terbit di esok hari.

Di pagi hari, seusai mandi dengan sisa-sisa air seadanya di perahu, kami bergegas turun menuju pantai.   Tiba-tiba saja kami dikejutkan oleh seorang tentara berdiri tegap siaga dihadapan kami, mencegat dan menanyakan apa tujuan ke Mamuju?   Setelah kami jelaskan soal penugasan dan memperlihatkan SK sebagai guru agama, alias PNS baru yang ditugaskan di kota ini, barulah ia mengizinkan lewat.   Ternyata, tentara tadi adalah petugas yang mengawasi setiap orang yang masuk Mamuju, dan mungkin sejak malam harinya sudah mencurigai dan mematai-matai kami.  Dia adalah prajurit setia pendukung GOLKAR Rezim Soeharto yang siap siaga menghadang dan memulangkan orang yang dicurigai pendukung partai lain.  Maklum waktu itu sedang persiapan menghadapi Pemilu 1977.

Ketika itu, kondisi Mamuju baru setara dengan kota Kecamatan di Kabupateen lainnya.  Mobil dinas bahkan sepeda motor yang berkeliaran masih dihitung jari.   Lampu listrik masih menggunakan diesel kecil, yang menyala dari jam 17.00 sampai jam 22.00 malam, sesudah itu kota Mamuju jadi gelap gulita, lampu-lampu merkuri di pantai kembali menjadi tiang-tiang yang membisu.  Warga kota pun hampir semuanya sudah harus tidur.  Bagi mereka yang masih ada kerjaan, terpaksa menggunakan lampo teplok.  Hal itulah yang saya lakukan dan jalani tiap malam, karena di malam nan tenang itu, saya sempatkan diri untuk menulis skripsi dengan berjudul “Koreksi Total terhdap Ahmadiyah”.

Bukan hanya listrik, air bersih pun sangat terbatas.  Air PAM baru mulai digarap, dan masyarakat pada umumnya masih menggunakan air sumur yang warnanya kuning.  Untuk mencuci pakaian, warga kota mengumpul pakaian bekasnya hingga seminggu, dan nanti pada hari Minggu mereka jalan ramai-ramai ber “piknik” ke kali Mamuju, sekitar tiga kilo meter dari kota, sambil cuci pakaian.  Walau masih perjaka, saya tidak merasakan betapa romantisnya piknik di Kali Mamuju waktu itu. Karena sebagai sosok di antara sedikit orang bergelar BA, dan berprofesi sebagai guru agama atau ustadz yang sering menjadi khatib di Masjid Raya Mamuju, tentu saja saya menikmati piknik di hati Minggu itu sebatas mencuci pakaian semata.

Masuk kota Mamuju di era 1970-an memang rasanya mejadi terasing, hubungan dengan dunia luar hampir putus total.  Tak ada media informasi kecuali siaran radio.  Surat kabar belum sampai tiap hari.  Koran dan majalah via pos sebulan sekali, diantar oleh kapal Menkara.  Apalagi yang namanya siaran televisi, itu baru sebatas impian.  Satu-satunya hiburan ialah bioskop kecil di sebuah gedung darurat tua, mungkin bekas gudang kopra atau rotan, yang biasanya memutar film-film usang yang sudah tak laku lagi di Makassar dan Pare-Pare.  Di saat lagi biskopnya kehabisan stok film, banyak orang menghibur diri dengan memutar kaset-kaset drama yang banyak dijual di satu-satunya toko ketika itu, tokoh “XIN” milik seorang Tionghoa.

Tapi, saya agaknya beruntung, karena orang yang bergelar BA di Mamuju masih dhitung jari, apalagi yang namanya Drs.  Di Departeen Agama baru saya sendiri berpredikat tertinggi (BA).  Karena itulah, baru sehari tiba di Mamuju, langsung diangkat jadi Dewan Yuri Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat Kabupaten yang sedang berlangsung di kota itu.  Ternyata suara qari`ah yang kemarin terdengar dari kejauhan semasih di laut, sebelum masuk kota Mamuju, adalah bagian dari kegiatan MTQ ini.

Pada hari pertama bertugas, saya diantar oleh Abdullah Thalib, Kadis Pendais Mamuju, ke madrasah tempatku mengajar, yakni Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Swasta, milik Yayasan Kebangkitan Pendidikan Islam Mamuju.  Sebagai orang baru, tentu masih bersikap kaku, apalagi semua mata dari guru-guru yang hadir waktu itu tertuju menatap tajam, yang membuatku duduk tersipu.    Saya paham, mungkin saja mereka mengagumiku, sebagai seorang yang masih lebih muda dari mereka, datang dari kota Makassar.  Apalagi Pak Abdullah Thalib memperkenalkan saya sebagai kandidat sarjana IAIN, di hadapan mereka yang rata-rata baru tamatan PAG 6 Tahun.

Beberapa bulan kemudian saya pun didaulat menjadi Kepala Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Swasta itu.  Kabarnya kini sudah menjadi madrasah negeri semua.  Di antara pengajar, selain Abdullah Thalib, yang saya masih ingat namanya aktif membina dan mengajar di madrasah waktu itu, adalah Aziz Anwar (alm), Hasbi Anwar (alm), Ust. Mustafa (alm), Hasnah Mustafa, Syahrir Arif, Andi Ratna (alm), Arifin HP Dara, Yanas DM, Marjani (Nurjani?), Darham Ali, Habil Amlir, Abd. Razak, Hadawiyah Thahir, dan masih ada beberapa orang yang saya lupa namanya, walau masih ingat wajahnya.

Lambat laum juga terungkap bahwa saya punya kerabat di kota Mamuju dan di Kecamatan Budong-budong.  Di Budong-budong, saya pernah diundang baca khutbah Idil Adhha.  Berangkat dari kota Mamuju ke Budong-budong, dengan perahu kecil sekitar 10 jam diayung ombak.  Separuh dari pejralanan itu harus dinikmati denga berbasah kuyup kehujanan.  Rupanya juga nenek saya seorang nakhoda, saudagar dan ustadz, pernah kawin dengan keluarga bangsawan Mamuju, yang keturunannya menjadi pejabat-pejabat di berbagai instansi setempat.  Menurut penuturan, nenek saya itu kawin dengan rumpun keluarga besar Pue Pepa, salah satu dari tujuh alur keluarga bangsawan (Pue / raja-raja) yang pernah berkuasa di Mamuju.   Saya pernah diantar berziarah ke makamnya, bahkan diantar menyaksikan bangkai perahu besarnya yang sudah tertanam dalam pasir tepi muara sungai Budong-budong.

Saya pun kemudian sangat dihormati.  Saya diminta oleh atasan saya, Abdullah Thalib, Kasi Pendais Mamuju itu untuk tinggal di rumahnya, dan disiapkan kamar khusus, dilengkapi dengan ranjang berukuran besar.  Di rumah itu pun tinggal tiga orang siswa MTS / MA yang saya pimpin dan seorang lagi siswa SMA.  Mereka semua tidur melantai dalam kamar saya, dan semua sudah seperti sahabat adanya.

Siswa saya rata-rata berbadan sehat kekar, dan cerdas, namun amat sedikit dari mereka yang lanjut ke Perguruan Tinggi, karena sulitnya ekonomi keluarga, lagi pula kota Makassar masih terlalu jauh bagi pandangan mereka ketika itu.  Diantara yang berani lanjut ke IAIN, saya ingat namanya Jamil dan Rusydan; Jamil berhasil sarjana dan jadi dosen IAIN Alauddin, sekarang sudah Master, pernah jadi Ketua KPU Sulawesi Barat, dan sudah lama jadi pejabat di Pemprov Sulawesi Barat.  Dua mantan Ka Kanwil Kementerian Agama Sul-Bar, Sahabuddin dan Mukhlis Latif pun adalah mahasiswa saya di IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar, tapi bukan dari Madarasah di Mamuju itu.

Persis dua tahun bertugas di Mamuju, skripsi saya pun selesai.  Pada Tahun 1978 itu saya meraih sarjana lengkap (Drs.) Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Makassar.  Problem yang menghadang ialah ijazah sarjana tidak dapat digunakan untuk naikan pangkat III/a, terhalang oleh ketentuan tidak boleh melampaui pangkat atasan; Kasi Pendais yang masih berpangkat II/d, bahkan Kepala Kantor Departemen Agama masih juga berpangat II/d.  Meskipun demikian masih senang mengabdi di Mamuju menikmati penghargaan masyarakat pada diriku.  Adalah kebanggaan tersendiri, jika diminta oleh Ketua DPRD, Umar Dar yang tokoh Mamuju itu, atau oleh Sekwilda, Hamat Yusuf asal Maros, untuk menyertai mereka pada acara di kota, atau berkunjung ke kecamatan dan desa.  Di sana pun kita dihargai masyarakat bak raja dan pangeran, meskipun sebenarnya tujuan berkunjung adalah untuk melayani mereka.  Semua itu menambah spirit pengabdian, apalagi sedikit imbuhan, kerabat yang juga tokoh masyarakat itu sering menggoda ingin memasangkan saya dengan kerabat di Mamuju, mengulangi kisah sang nenek bergabung kembali dengan rumpun keluarga Pue Pepa.   Hampir-hampir saja Makassar dan kampung halaman menjadi terlupakan.

Tapi keluarga di Makassar dan Barru tak henti-hentinya mendesaak saya untuk pindah.  Mereka punya caranya sendiri, dengan rencana cerdas menikahkan saya dengan kerabat juga.  Lagi-lagi keluarga isteri kemudian keberatan kalau saya masih tetap di Mamuju.  Akhirnya perpindahan tak terelakkan lagi, namun awalnya bukan ke Barru, melainkan ke Soppeng 1980, nanti pada tahun 1982 baru beralih ke Barru.  Di Soppeng dan Barru saya mengedit kembali skripsi saya untuk diterbitkan oleh Panji Masyarakat, majalah Islam nasional pimpinan Buya Hamka, dengan judul Koreksi Total terhadap Ahmadiyah.  Hampir setahun lamanya, judul buku saya itu menghiasi sampul belakang majalah Panji Masyarakat.

Bermodalkan buku itulah, saya ikut testing masuk Program S2 di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta pada tahun 1986, walaupun tidak berstatus dosen.  Saya menjadi orang pertama peserta Program S2 dan S3 itu yang tidak berstatus dosen.  Ikut Pasca Sarjana merupakan babak baru episode berikutnya dalam riwayat hidup saya sebagai akademisi sebelum akhirnya aktif sebagai politisi.  Sebelum lanjut ke Pasca Sarjana, saya sempat ditugaskan di Majene (1984-1987).  Di Majene inilah naluri intelektual seakan mendorong semangat untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya di Jakarta.