ASPEK HUKUM PENGUNAAN DANA HAJI

ASPEK HUKUM PENGUNAAN DANA HAJI

Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA

            Akhir-akhir ini soal dana haji ramai diperbincangan, kaitannya dengan rencana pemerintah memanfaatkan dana tersebut untuk pembangunan infrastruktur. Terlepas dari kaitan politik kaum oposisi, mari kita membahasnya dari sisi hukum Islam, apakah dana biaya perjalanan haji (disingat dana haji) itu dapat (halal) ditransaksikan menurut hukum Islam untuk pembiayaan pembangunan infrastrukur?

Dalam Al-Qur`an, terdapat ayat tentang ibadah haji dalam kaitannya dengan aktifitas (transaksi) ekonomi.   Surah Al-Baqarah ayat 198: “lays ‘alaykum junah an tabtaghu fadhl min Rabbikum, faidza `afadhtum in ‘arafat, fa`dzkuru `llah ‘inda ‘lmasy’ari ‘lharam…” (Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia (rezki) dari Tuhanmu; maka apalabila kamu bertolak dari Arafah, berdzikirkan kepada Allah di Masy’arilharam….). Dalam Tafsir Al-Qurthubiy Juz 2 halaman 413, dijelaskan bahwa yang dimaksud mencari karunia (fadhl), dalam ayat ini ialah kegiatan bisnis (tijarah). Dari sini dapat dipahami bahwa orang yang sedang berhaji di zaman Nabi SAW dibolehkan melakukan kegiatan bisnis, untuk menambah nafkah hidupnya, sepanjang tidak mengganggu ibadah hajinya itu.   Al-Qurthuby kemudian mengutip hadits riwayat Bukhari (Shahih Bukhari Juz 4 hal. 1642, hadits nomer 4247) yang berbunyi: “Kana Ukkazh wa Majnah, wa dzu al-majaz aswaq fi al-jahiliyyah, fataatstsamuw an yattajiruw fi al-mawasim, fanazalat: lays ‘alaikum junah an tabtaghu fadhl min Rabbikum fi mawasim al-hajj” (Adalah dahulu Ukkazh, Majnah, dan Dzul Majaz, merupakan pusat-pusat bisnis zaman Jahiliyah, lalu mereka merasa berdosa jika berdagang pada musim haji, maka turunlah ayat: Tiada dosa atasmu untuk mencari karunia (rezki) dari Tuhanmu pada musim haji”).

Sebenarnya, transaksi keuangan yang bernama setoran dana haji itu tidak pernah ada di zaman Nabi SAW dan Sahabat.   Hal itu karena di zaman dahulu, orang menunaikan haji dengan inisitatif dan bekal sendiri, berangkat dari kampung halaman ke tanah suci dan kembali lagi ke tanah airnya semua atas urusan dan bekal sendiri. Mereka tidak mengenal travel atau badan usaha dan lembaga pemberangkatan haji. Maka dalam buku-buku fikih klasik, transaksi keuangan di zaman Nabi dan Sahabat hanyalah hanya meliputi antara lain: jual beli (buyu’), utang-piutang (al-qardh / al-dayn), titipan atau (wadhi’ah), upah (ijarah), hadiah (hibah), tidak ada pembahasan mengenai setoran dana haji.

Karena itu, untuk mengetahui hukum mentransaksikan (tasharruf) dana haji itu perlu pembahasan dengan memakai kaedah Fikih atau Ushul Fikih, dan kaeda-kaedah Tafsir yang sudah masyhur. Untuk hal ini kita bisa mengunnakan qiyas (analogi), mafhum muwafaqah (pemahaman affirmative) dan mafhum mukhalafah (pemahaman kontrari).

Dari ayat Al-Baqarah 198 yang dikutip di atas, dipahami bahwa jamaah haji di zaman Rasulullah SAW dibolehkan berdagang untuk menambah nafkah dan bekalnya sendiri, sepanjang tidak menghalangi pelaksanaan ibadah hajinya. Maka apakah “dana haji” di zaman modern ini, khususnya di Indonesia yang juga merupakan persiapan bekal (ongkos) jamaah haji yang ditangani pemerintah dapat ditransaksikan untuk kegiatan muamalah bisnis, investasi, atau biaya pembangunan lainnya?. Mari dianalisis sebagai berikut.

Kita coba menganalogikan dengan metode qiyas, seperti apa gerangan “setoran dana haji” itu jika diukur dari bentuk-bentuk transaksi yang pernah ada di zaman Nabi SAW dan Sahabat?.   Dapatkah dikatakan sebagai titipan (wadhi’ah)?. Dana haji bukanlah titipan atau tabungan (wadhi’ah), sebab sang penyetor tidak berharap menerima kembali uang setorannya, tetapi ia berharap untuk diberangkatkan berhaji. Mungkin ia lebih dekat ke model buyu’ (jual-beli), walaupun tidak sepenuhnya sama dengan jual-beli biasa, karena setoran dana haji tidak membeli apa-apa, berupa benda yang konkret. Namun di satu sisi ada kesamaan dengan jual-beli bertangguh, walau yang dibeli itu bukan benda tetapi “jasa peberangkatan” untuk berhaji, yang diperoleh tidak secara kontan (seketika) tetapi menunggu waktu yang ditentukan pada saat transaksi. Di satu sisi, uang setoran pun belum mencukupi harga sebenarnya untuk jasa “pemberangkatan” berhaji, maka terjadilan utang-piutang antara calon jamaah (penyetor dana haji) dan pemerintah yang bertindak sebagai pihak penyedia “jasa pemberangkatan” jamaah. Utang-piutang itu berupa tanggung jawab pemerintah untuk menyiapkan “jasa pemberangkatan” dan tanggug jawab jamaah (penyetor dana haji) untuk melunasi pembayarannya kemudian.

Untuk mudah memahami, contoh konkret sebagai berikut. Bahwa seorang yang akan berangkat ke Amerika dengan menggunakan jasa travel. Ia telah membeli tiket, namun sesuai perjanjiannya ia tidak berangkat seketika, tetapi akan berangkat sebulan kemudian.   Dalam hal ini, nasabah travel tersebut otomatis tidak lagi berhak pada uang yang telah disetorkan ke travel, tetapi ia memperoleh hak imbalan untuk “berangkat ke Amerika”. Ini artinya hak kepemilikan “uang tiket” yang disetor tidak lagi di tangan nasabah, karena nasabah telah memperoleh hak baru yakni “pemberangkatan” ke Amerika.   Karena itu, kepemilikan “uang tiket” itu jatuh ke tangan travel, dan pihak travel berhak sepenuhnya mentransaksikan uang setoran dari nasabahnya, disertai tanggung jawab untuk memberangkatkan nasabahnya sebulan kemudian.

Dengan memakai analogi qiyas dari ushul fikih dan contoh sederhana di atas, maka dapat dipastikan bahwa seorang calon jamaah haji, ketika menyetorkan dana haji ke pemerintah, dengan niat untuk haji, maka secara otomatis calon haji tersebut telah memperoleh “hak berangkat menunaikan haji”.   Dengan demikian hak kepemilikan atas “dana haji” yang disetorkan, lepas dari tangannya, jatuh ke tangan pengelola jasa pemberangkatan berhaji, yakni Pemerintah, disertai tanggung jawab untuk memberangkatkan calon haji yang berangkutan. Sebagai konsekuensi, maka selama ini setiap calon jamaah haji diminta menandatangani “wakalah”, yakni pernyataan penyerahan hak pengelolaan dana haji itu ke Pemerintah.

Jika analisis qiyas (analogi) dan contoh sederhana di atas, dilengkapi dengan metode mafhum muwafaqah (pemahaman affirmatif), atau juga sering disebut qiyas awla, maka dapat dipahami bahwa orang yang sedang melaksanakan ritual haji saja di tanah suci dibolehkan berbisnis guna menambah nafkah dan bekal hajinya, sepanjang tidak mengganggu ibadah hajinya, apatah lagi jika hal itu dilakukan di tanah air, oleh orang yang tidak sedang dalam ritual haji, tentu akan lebih-lebih dibolehkan. Dengan catatan, pemerintah tetap akan menunaikan tanggung jawabnya untuk memberangkatkan jamaah.

Di sisi lain, jika “dana haji” itu dianalogikan dengan utang-piutang, yang harus dibukukan dengan rapi, maka hukum mentransaksikannya ditambah kajian sebagai berikut. Coba simak dulu Al-Baqarah, ayat 282, yang merupakan ayat yang terpanjang dalam A,-Qur’an. Penulis kutip potongannya saja sebagai berikut yang berbunyi: “Ya ayyuha ‘lladzina amanu idza tadayantum bi dayn ila ajal musamma fa’ktubuh, walyaktub baynakum katib bi’l’adl wa la ya`b katib an yaktub kama allamah ‘Llah falyaktub walyumlil ‘lladzi ‘alayh al-haqq walyattaq ‘Llah Rabbah wa la yabkhas minh syay’ “ (.Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya).

Di penghujung ayat ini terdapat peringatan agar pihak yang berutang tidak mengurangi nilai utangnya (wa la yabkhas minh syay’). Maksudnya agar pihak yang berhutang tidak menzholimi pihak pemiutang. Menurut metode mafhum mukhalafah, maka ayat itu memberi pengertian bahwa pihak yang berhutang dinilai afdhal jika jika berbuat maslahat kepada pihak pemiutang, ketimbang berbuat zholim. Karena itu, tindakan positif apapun oleh Sang Pengutang dapat dibenarkan, asal saja mengandung maslahat bagi pemiutang (penyetor uang), apalagi jika sama-sama memperoleh maslahat antara keduanya.

Kesimpulannya, baik dari pemahaman Al-Baqarah: 198 maupun pemahaman Al-Baqarah:282, semua membuka peluang bolehnya mentransaksikan “dana haji” untuk kermaslahatan bangsa yang di dalamnya umat Islam adalah mayoritas`. Hal ini dibenarkan jika benar-benar pemerintah tetap bertanggung jawab untuk memberangkatkan penyetor dana haji itu ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Dan lebih afdhal lagi, jika imbalan dari transaksi dana haji itu dapat membebaskan jamaah haji dari beban pelunasan biaya haji pada saat pemberangkatan. Semua tugas luhur tersebut akan dikelola oleh lembaga baru yang dibentuk Pemerintah bersama DPR RI yaitu Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) berdatsarkan Undang–Undang No.34 tahun 2014 (sejak era SBY). BPKH inilah yang menerima mandat dari calon jamaah haji selaku Muwakkil untuk menerima dan mengelola dana haji  Wallahu a’lam bi al-showabi.