Haji Mabrur, Itu Rahmat (2)
Oleh: Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA
Cara Mudah Rasulullah SAW Berhaji
Rasulullah SAW adalah uswatun hasanah, teladan terbaik bagi umat dalam pelaksanaan segenap ibadah, termasuk ibadah haji. Bukankah Rasulullah sendiri menyatakan dalam haditsnya: khudzu `anniy manasikakum, (ambilah contoh dari aku akan pelaksanaan hajimu)?. Hadits ini trdapat dalam Imam Abuw Zakariyya Yahya al-Nawawi, Syarh al-Nawawiy, (Beyrut: Dar Ihya’i al-Turatsi al-`Arabiy, 1392, Juz VIII, h. 220.) Cara berhaji ala Rasulullah SAW, banyak menyimpan rahasia untuk memberikan kemudahan berhaji sepanjang zaman. Jika seandainya semua umat Islam meniru pelaksanaan cara haji Rasulullah, maka tidak akan pernah ada kesusahan dan kesempitan di tanah suci, seperti kesulitan yang selama ini dialami umat setiap tahunnya.
Setidaknya ada tiga penyebab terjadinya kesulitan yang dialami jemaah haji di tanah suci, yang solusinya sebenarnya sudah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Penyebab kesulitan itu antara lain: (1) Jumlah jamaah haji semakin lama semakin meningkat, maka mereka pasti semakin sulit menunaikan thawaf dan mencium hajar aswad secara sempurna dan aman. (2) Paham yang kaku tentang riwayat yang menyatakan bahwa shalat di Masjidil Haram adalah sama nilainya dengan shalat seratus ribu kali di masjid lain, dan shalat di Masjid Nabawi Madinah, adalah sama nilainya dengan shalat seribu kali di masjid lainnya, maka terasa semakin sempitlah kedua masjid itu, akibat membeludaknya jemaah haji yang ingin bershalat setiap waktu di dalamnya, tanpa ingin ketinggalan satu kali pun. (3). Adanya anjuran untuk mengambil shalat arbain (shalat jamaah empat puluh kali di Masjid Nabawi), maka setiap jamaah merasa rugi jika tidak bershalat di Masjid Nabawi, walaupun ternyata mereka kecape’an, ataupun kesehatannya tidak memungkinkan.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana sesungguhnya cara Rasulullah SAW berthawaf dan bershalat selama berada di Mekah ketika menunaikan haji wada, yang merupakan ibadah haji satu-satunya yang ditunaikan beliau selama mengemban risalah Islam. Ahmad Abdul Ghafur `Aththar, mencoba merangkai riwayat perjalanan haji Rasulullah SAW serta tata cara pelaksanaannya, dalam buku kecil: Ahkam al-Hajj wa al-`Umrah min Hijjati al-Nabiyyi wa Umarih, mengungkapkan riwayat berikut ini. Bahwa Rasulullah SAW, berangkat dari Madinah untuk berhaji, beliau tiba di Mekah pada hari Ahad tanggal 4 Dzulhijjah tahun ke 10 H. Sebelum masuk Mekah, Rasul bersama rombongan, bermalam di tempat yang bernama Dzituwa.
Riwayat dari Jabir RA dan Ibn Abbas RA menyebut bahwa, ketika Rasullullah SAW masuk kota Mekah, beliau langsung thawaf qudum, kemudian bershalat di belakang Maqam Ibrahim, minum air zam-zam, kemudian langsung melaksanakan sa`i. Setelah itu, beliau bersama rombongan, menuju ke arah Timur kota Mekah (sekitar 2 km), dan berkemah di tempat yang namanya Abthah. Dalam kemah itulah beliau menghabiskan waktu selama 5 (lima) hari, sampai hari ke delapan Dzulhijjah. Selama Rasulullah menginap di kemah itu, beliau bersama rombongan tidak pernah melakukan thawaf lagi (thawaf sunat) dan tidak pernah pula bershalat di Masjid Haram. Bahkan shalat lima waktu yang dilakukan Rasulullah SAW di Abthah bersama para sahabatnya adalah shalat jama` dan qashar.
Ketika wukuf di Arafah, beliau bershalat zhuhur sekaligus ashar dengan jama`-qashar taqdim. Demikian pula ketika bertolak ke Muzdhalifah, beliau bersama rombongan bershalat Maghrib sekaligus Isya dengan jama`-qashar ta`khir. Tetapi ketika melewatkan malam-malam tasyriq di Mina, beliau hanya mengqashar shalatnya tanpa menjama`.
Demikian itulah Rasulullah SAW memberi contoh kemudahan dalam menunaikan haji, tidak seperti sekarang, semakin lama terasa semakin sulit. Kita mulai dari sikap beliau yang tidak pernah kembali ke Masjidil Haram, baik untuk thawaf sunat maupun untuk shalat jama`ah, dan hanya tinggal di perkemahan Abthah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keharusan bagi jamaah haji untuk bershalat jama`ah fardhu di Masjidil Haram selama dalam masa penantian menuju ke Arafah, begitupun sesudahnya.
Sehubungan dengan ini, riwayat yang menyatakan shalat di Masjidil Haram itu sama nilainya dengan seratus ribu kali shalat di masjid lain, itu hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang tidak menunaikan haji. Adapun bagi mereka yang berhaji, Rasulullah SAW memberi contoh seperti di atas yang dipraktikkan sendiri bersama sahabat-sahabat yang ikut berhaji wada’ ketika itu. Andai kata hadits itu ditujukan untuk jamaah haji, maka tentu beliau bersama sahabatnyalah yang pertama-tama melakukannya, namun ternyata beliau tidak pernah lakukan sama sekali.
Demikian pula tradisi beliau mengqashar (meringkas) shalatnya selama di Abthah, kemudian di Arafah, di Muzdhalifah dan di Mina, menunjukkan bahwa tidak ada keharusan melakukan shalat secara normal (secara azimah) selama jamaah haji berada di tanah suci. Begitulah sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW untuk mempermudah umatnya menunaikan haji. Akan halnya mengenai shalat arba`in (empat puluh shalat jama`ah) di Masjid Nabawi di Madinah, juga tidak kuat dasarnya. Tak ada dalam kitab hadits-hadits shahih. Dengan adanya shalat arba`in itu, maka anjuran berziarah ke Madinah bergeser dari tujuan utama menziarahi maqam Rasul SAW ke tradisi shalat arba`in tadi. Padahal, hikmah utama perjalanan berhaji ke tanah suci ialah ke Mekah untuk thawaf di sekitar Baitullah di Masjidil Haram dan wukuf di Arafah, sedang ke Madinah untuk menziarahi maqam Rasulullah SAW di Masjid Nabawi.
Rupanya shalat arba`in ini hanya populer di kalangan jamaah haji Indonesia. Hal ini boleh jadi ada kaitan historis dengan sistem perjalanan haji Indonesia, yang dahulu masih menggunakan kapal laut, menyebabkan adanya masa tunggu yang cukup lama di Mekah menjelang pulang ke tanah air. Maka, untuk mengurangi kejenuhan, mereka diarahkan untuk ke Madinah tinggal selama sembilan atau sepuluh hari, dengan anjuran bershalat jamaah arbain tersebut. Hal ini tentu saja tidak relevan lagi dengan sistem perjalanan haji sekarang, yang menggunakan pesawat udara, bahkan dengan ONH Plus, ada perusahaan yang menawarkan perjalanan haji singkat, dan hanya tinggal di Madinah selama tiga hari saja, bahkan ada yang sehari atau sama sekali tidak ke Madinah lagi.
Uraian di atas bukanlah bermaksud sengaja memudah-mudahkan haji, tetapi semata-mata ingin menunjukkan sunnah Rasulullah SAW sebagai solusi yang paling tepat untuk mengatasi semakin sulitnya keadaan berhaji dari tahun ke tahun. Sekaitan dengan ini ada baiknya penulis kutip pendapat Ahmad Abdul Ghafur `Aththar, sebagai berikut:
“Raslulah SAW melakukan apa yang sudah disebutkan itu, yakni tinggal di Abthah dan tidak pernah ke Masjid Haram untuk thawaf dan shalat, merupakan petunjuk adanya rasa sayang Rasulullah pada umatnya, dan sebagai bukti pemberian kemudahan bagi mereka, dan anjuran untuk menjauhi kesulitan (masyaqqah) dan beban berat dari mereka.” (Selanjutnya ia menambahkan bahwa): “Tetapi para jamaah yang berhaji di baitullah di masjidil al-haram, pada zaman kita sekarang, memaksakan dan mempersulit diri mereka, sampai pada batas-batas timbulnya keadaan saling menyakiti dan menyusahkan, hal mana disebabkan adanya nafsu besar untuk berthawaf dan bershalat di Masjid Haram. Padahal, ribuan jamaah haji yang berthawaf siang dan malam itu tidaklah seluruhnya menunaikan thawaf wajib (qudum atau thawaf umrah), tetapi hanya sekedar thawaf sunat atau sekedar tahyatul masjid; maka salah satu haknya orang-orang yang menunaikan thawaf wajib, ialah agar para jamaah yang berthawaf sunat itu meninggalkan thawaf sunatnya, karena mereka (orang yang berthawaf wajib) lebih berhak dan lebih utama melakukan thawaf, dan bagi mereka semua hendaknya mencontoh Rasululah SAW” (Lihat Ahmad Abdul Ghafur `Aththar, dalam bukunya Ahkam al-Hajj wa al-`Umrati min Hijjati al-Nabiyyi wa Umarih, (Makkah al-Mukarramah: 1990 – hal. 64.)
Mencontoh Rasulullah adalah lebih utama ketimbang mempersulit ibadah. Tidak semua ibadah yang sulit direstui Allah dan memperoleh pahala besar. Ingat, dalam Shahih Al-Bukhariy, kisah seorang sahabat yang ingin beribadah hanya karena dorongan semangat yang meluap-luap. Mendengar hebatnya ibadah Rasulullah, salah seorang dari sahabat menyatakan ingin bershalat malam terus menerus dan tidak akan tidur; seorang lagi berkata: aku ingin puasa terus menerus dan tak berbuka; dan yang terakhir berkata: aku ingin beribadah terus menerus dan tidak akan kawin selamanya. Apa tanggapan Rasulullah? Beliau justru menasehati mereka agar tidak meneruskan keinginan itu; beliau pun lalu menegaskan bahwa aku bershalat dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku beribadah dan juga kawin, lalu di akhir haditsnya Rasulullah menegaskan: barang siapa yang enggan mengikuti sunahku, maka bukanlah dari golonganku”. Jadi, orang yang beribadah hanya karena modal semangat tanpa kearifan, bukanlah dari golongan pengikut Nabi SAW, na`udzu bllah.