TUHAN MENDESAIN ALAM DAN MANUSIA
UNTUK KEMASHLAHATAN
(Bahan diskusi Kuliah Theologi Lingkungan Hidup)
Oleh: Prof.Dr.H. Hamka Haq, MA
Mashlahah adalah tujuan Tuhan selaku pencipta syariat (qashd al-Syari). Secara teologis, mengandung pengertian bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam setiap perbuatan dan enciptaan-Nya.
Hal tersebut dipermasalahkan dalam teologi Islam dan dalam filsafat. Dalam filsafat agama, terdapat satu golongan yang berpendapat bahwa segala kejadian di alam ini terjadi secara seketika tanpa dirancang sebelumnya. Faham ini disebut occasionalism. Menurut paham ini, jika ada dua peristiwa yang kelihatannya serasi dan sejalan, sebenarnya itu hanya terjadi secara seketika dan kebetulan saja, karena dua hal itu dibuat dalam keadaan demikian oleh Tuhan; seperti halnya dua buah jam dapat menunjukkan waktu yang sama karena diciptakan demikian oleh pembuatnya. Paham demikian juga menurut Majid Fakhry, dikembangkan oleh aliran teologi Asy’ariyah yang dasar pemikirannya memandang Tuhan sebagai penguasa langit dan bumi yang segala kemauan-Nya tak dapat ditolak dan tak dapat dimengerti. Ia dapat berbuat tanpa tujuan. Pokoknya menurut mereka segala kejadian dalam alam tergantung sepenuhnya pada kehendak mutlak Tuhan, tanpa hukum kauslitas.
Kaum Asy’ariyah pada umumnya menolak adanya tujuan tertentu pada peciptaan. Antara lain dikemukakan oleh Al-Amidiy dengan katanya:
“Pendapat golongan yang benar (ahl al-haqq) ialah bahwa Tuhan mencipta alam tanpa berdasar pada suatu tujuan tertentu, tidak pula pada suatu kebijakan yang bergantung atasnya makhluk, tetapi segala yang diciptakan oleh-Nya berupa kebaikan dan kejahatan, manfaat dan mudarat bukan karena ada tujuan dan maksud yang mendorong Tuhan melakukannya, justru berbuat atau tidak adalah boleh dan itu sama saja bagi Tuhan”.
Pandangan serupa ditegaskan pula oleh Al-Syahrastani: “Sebagai pencipta, Tuhan tidak didorong oleh suatu tujuan dalam melakukan perbuatan-perbuatan-Nya”. Semua ini berdasarkan pada paham Al-Asy’ariy akan kekuasaan mutlak Tuhan, sehingga Ia dapat berbuat tanpa tujuan.
Sejalan dengan pandangan Asy`ariyah dan Occasionalism (Okkasionalisme), Al-Raziy berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan (‘illah) sama sekali dalam perbuatan-Nya. Sebaliknya Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam mencipta alam dan syari’at, yaitu untuk kemaslahatan manusia (mashalih al-‘ibad). Berdasarkan metode induksi, Al-Syathibiy sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa Tuhan mencipta dan mengadakan syari’at dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba (manusia).
Pandangan Al-Syathibiy dan Mu’tazilah sangat sejalan dengan argumen teologis yang dipakai dalam filsafat agama untuk membuktikan adanya Tuhan. Argumen ini berdasar pada keteraturan benda-benda dan peristiwa yang terjadi pada alam semesta yang mengarah kepada tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal. Untuk itu mestilah ada dzat yang menentukan tujuan itu karena yang menentukannya haruslah suatu dzat yang lebih tinggi dari alam, yaitu Tuhan. Dalam argumen ini Tuhan dipandang Mahabijaksana dan mempunyai maksud tertentu dalam perbuatan-Nya atau tegasnya kata Harold H.Titus: God is intelligent and His ways are purposesful. Dengan demikian segala peristiwa dan apa saja yang ada dalam alam ini tidaklah terjadi secara seketika begitu saja, tetapi terjadi dengan suatu rencana dan direncanakan untuk suatu tujuan tertentu oleh Tuhan (could not have happened by chance).
Adapun kriteria kemaslahatan yang merupakan tujuan syariat itu adalah tegaknya kehidupan dunia (pada alam ini) demi tercapainya kehidupan akhirat (min hayts tuqam al-hayat al-dunya li al-ukhra). Dengan demikian segala hal yang mengandung kemaslahatan dunia (alam / lingkungan) haruslah sejalan dengan kemaslahatan akhirat. Untuk itu manusia dalam mewujudkan kemaslahatan dunia (alam lingkungan) haruslah terbebas dari nafsu serakah, karena kemaslahatan tersebut tidak diwujudkan menurut keinginan nafsu (la min hayts ahwa’ al-nufus).
Kenyataan empiric menunjukkan bahwa maslahat bagi manusia dan alam ini tak dapat diperoleh jika manusia memperturutkan nafsu. Hal ini disebabkan nafsu dapat membawa pertumpahan darah dan kebinasaan alam sekitar yang merupakan kontradiksi bagi kemaslahatan itu sendiri. Karena itu, manusia sepakat mencela siapapun yang memperturutkan nafsunya; bahkan umat-umat terdahulu yag tidak memperoleh syariat, atau yang telah punah syariatnya, berusaha mewujudkan kemaslahatan dengan jalan mencegah orang menuruti nafsunya. Hal itu merupakan kebenaran universal yang diakui oleh naql (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) dan ‘aql (akal).
Kemaslahatan manusia dan lingkungannya adalah bersifat universal, berlaku secara umum dan abadi bagi semua manusia dalam segala keadaan. Beberapa pokok pikiran menyangkut universalitas kemaslahatan ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
Pertama, bahwa setiap aturan (nizham) berua syaiat dan hukum kausalitas bagi kemaslahatan diciptakan Tuhan secara harmonis, tidak saling berbenturan dan kacau karena Tuhan menghendaki kemaslahatan secara mutlak. Argumen keharmonisan tatanan alam sangat sejalan dengan argumen filsafat. Bahwa jika kita perhatikan dunia lingkungan kita, ditemukan adanya hukum keteraturan (kausalitas) universal. Dari sana dapat diketahui bahwa perbuatan Tuhan mestilah menghendaki keharmonisan dalam berbagai proses peristiwa di alam ini.
Kedua, bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum, tidak parsial, artinya bukan hanya berlaku secara khusus pada satu tempat tertentu saja. Untuk itu maka syariat berlaku secara umum pula, disamping karena ada nash yang berbunyi: وما أرسلناك إلا كافة للناس juga karena manusia dan lingkungannya mempunyai kesamaan tabiat terhadap maslahat. Sekiranya hukum syariat itu berlaku untuk khusus sebahagian manusia, maka kaedah pokok Islam, seperti iman, tidak berlaku secara umum pula.
Ketiga, bahwa maslahat universal (kulliyah) adalah maslahat yang diterim a secara umum (al-mashalih al-mu’tabarah). Hal ini sesuai dengan sifat syariat dan hukum alam yang diciptakan Tuhan adalah berlaku secara umum menurut kondisi manusia (‘adah). Apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan parsial, maka yang diberlakukan adalah maslahat universal itu. Universalitas maslahat tidak hilang, meskipun bertentangan dengan kenyataan parsial. Sebagai contoh, kewajiban menyelamatkan jiwa manusia secara universal tetap berlaku, terkadang dengan terpaksa membunuh hewan-hewan penyebar penyakit.
Dari argumen-argumen yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa universalitas maslahat lingkungan dan syariat mengandung arti keharmonisan dan keutuhan hukum Tuhan, tidak terjadi kontradiksi antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Konsep keharmonisan seperti ini sebenarnya dianut juga oleh kaum Mu’tazilah Abd al-Jabbar menyatakan:
“Jika dikatakan bahwa perbuatan /penciptaan Tuhan bersifat harmonis dari segi strukturnya (shalah fi tadbirih), maka tak lepas pula dari kaitannya dengan hukum taklif dan mukallaf; segala perbuatan-Nya tidaklah mengacaukan dua hal (hukum taklif dan mukallaf) dan tidak membawa mukallaf keluar dari kesungguhan berbuat; demikian itulah yang disebut harmonis. Sebaliknya, segala hal yang mengendorkan semangat mukallaf untuk bekerja berarti Tuhan telah merusak dan mengacaukan struktur perbuatan / ciptaan-Nya (fasad fi tadbirih)..”
Faham keharmonisan penciptaan Tuhan dianut juga oleh Maturidiyah Samarkand. Al-Maturidiy sendiri menyatakan bahwa siapapun yang memperoleh ma’rifah (pengenalan) kepada Allah, mengetahui kekuasaan dan kerajaan-Nya, bahwa Dia lah pencipta dan memberi perintah, tentu mengenal pula bahwa perbuatan-Nya tidak mungkin keluar dari hikmah kebijakan tertentu. Namun, Maturidiyah Bukhara berpendapat lain; menurut mereka Tuhan mencipta alam menurut kehendak-Nya, tanpa terikat pada hukum keharmonisan dan tujuan tertentu.
Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim modern, juga menerima konsep keharmonisan ciptaan dan hukum-hukum Tuhan. Baginya, kehidupan manusia tidak punya makna (tujuan) kecuali jika alam ini sendiri punya tujuan. Tujuan itu ada jika terdapat suatu rancangan pada alam ini, sedang rancangan itu sendiri ada karena diciptakan oleh Tuhan. Menurut Fazlur Rahman, tujuan dan rancangan alam semesta ini menunjukkan bahwa alam ini tidak hanya merupakan satu tatanan fisik tetapi juga merupakan satu tatanan moral. Dengan kata lain, alam ini tidak hanya tersusun atas fakta-fakta empiric berdasarkan kausalitas, tetapi juga adalah suatu dunia moral yang di dalamnya kemaslahatan (goodness) merupakan sebaik-baik jalan bagi perilaku manusia.
Muhammad Abduh, pelopor pembaharuan pemikiran Islam modern, yang datang jauh mendahului Fazlur Rahman, juga menerima konsep universalitas dan harmonitas maslahat dan syariat. Dalam hal ini, ia mengajukan teori sunnatullah (hukum alam ciptaan Tuhan), bahwa Tuhan mengatur segalanya sesuai dengan hukum alam ciptaan-Nya yang tidak berubah-ubah sehingga segala sesuatu pada alam ini berjalan baik dan teratur secara harmonis. Bagi Abduh, perbuatan/ penciptaan oleh Tuhan mempunyai tujuan tertentu, karena mustahil Ia berbuat sia-sia tanpa tujuan. Berdasarkan dalil akal katanya, seseorang yang sehat pikirannya tidak mungkin berbuat sia-sia. Orang seperti itu pasti tahu bahwa segala yang lahir dari keinginan dan kehendaknya adalah konsekuensi dari adanya tujuan. Jika hal ini berlaku pada manusia, maka tentu lebih patut pada sisi Tuhan; Tuhan adalah sumber segala akal dan kesempurnaan pengetahuan.
Bagaimanapun juga, pandangan Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman serta dua aliran teologi, Mu’tazilah dan Maturidiyah serta Al-Syathibiy, sependapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan tertentu dalam mendesain alam semesta dan manusia ciptaan-Nya.