BERPUASA, MENGHORMATI ORANG LAIN

Aparat melerai bentrok massa di bulan Ramadhan

Aparat melerai bentrok massa di bulan Ramadhan

Berpuasa, Menghormati Orang Lain

(Dikutip dari buku: Islam Rahmah untuk Bangsa, karya Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA)

Seperti halnya semua ibadah, maka puasa pun membutuhkan pembiasaan dan pembudayaan.  Di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, ibadah puasa telah terlaksana dengan baik; buktinya, orang dewasa dan anak-anak semua bersemangat untuk menyemarakkan Ramadhan.

Secara kultural, menjadi kewajiban atas setiap Muslim untuk menghormati kesucian Ramadhan.  Mereka dilarang menodainya, misalnya makan secara demonstratif yang mengganggu orang yang sedang berpuasa.  Untuk itu pula dibutuhkan kesadaran semua pihak, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat termasuk umat agama lain, agar bersama-sama mengawasi dan menghentikan (walaupun mungkin hanya sementara di bulan Ramadhan) segala yang melanggar kesusilaan, misalnya judi, kegiatan PSK, penjualan bebas minuman keras dan sejenisnya

Namun, penting pula diingat bahwa kesucian Ramadhan janganlah dirusak oleh umat Islam sendiri, bertindak kebablasan, main hakim sendiri merazia rumah makan dan merusak milik orang lain.  Padahal, salah satu nilai tertinggi puasa ialah bahwa pelaku puasa terhindar dari sifat-sifat yang penuh amarah.  Maka, slogan “hormatilah orang berpuasa” sudah saatnya diimbangi dengan selogan baru: “bepuasa, untuk menghormati orang lain”.   Justru slogan terakhir inilah yang dipesankan Rasulullah SAW dalam hadits berikut:

الصيام جنة فلا يرفث ولا يجهل وإن امرؤ قاتله أو شاتمه فليقل  إني صائم  مرتين[1]

Puasa adalah perisai, maka janganlah (orang yang berpuasa) berkata tidak senonoh, dan berbuat jahil, dan jika ada orang yang memusuhinya maka hendaklah ia berkata sebanyak dua kali: “saya sedang berpuasa”.

Sungguh luar biasa luhurnya akhlak orang berpuasa, sebagai terekam dalam hadits di atas.  Terhadap orang yang memusuhinya dan memperolok-olokkannya pun ia sabar, mampu mengendalikan amarahnya, dan hanya berucap dua kali: “saya sedang puasa”, tanpa melayani permusuhan; apalagi memulainya.

Dari diri orang berpuasa akan lahir perilaku yang membahagiakan orang lain, dan bersih dari tindakan dan ucapan yang menyakiti perasaan siapapun.  Puasa dari orang yang tetap senang menyakiti hati orang lain, dipandang sia-sia oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabdanya:

  [2]من لم يدع  قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه 

Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan yang tidak senonoh (umpatan, cercaan dan ucapan yang menjijikkan) maka Allah tidak membutuhkan puasanya meninggalkan makan dan minum”

Peru pula diingat bahwa syariah tidaklah melarang secara mutlak membuka rumah makan di siang hari Ramadhan.   Rumah makan, milik Muslim atau milik umat agama lain, dapat saja dibuka (asal tidak demonstratif) untuk melayani orang-orang yang tidak berpuasa dengan alasan yang dibenarkan syariah, misalnya musafir ataupun udzur, dan untuk keperluan non Muslim, yang semuanya dapat diatur secara adat dan kekeluargaan.

Perlu pula ditegaskan bahwa kewajiban berpuasa telah diatur oleh syariah secara rinci, untuk dilaksanakan oleh umat Islam atas kesadarannya sendiri tanpa memerlukan adanya Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang memaksakan puasa pada mereka.  Karena itu puasa tidak memerlukan undang-undang dan peraturan pemerintah (perda) untuk memaksa orang berpuasa, sebab puasa hanya dapat dilaksanakan atas dasar kesadaran imaniyah setiap Muslim.  Wa ‘llahu A`lam bi al-shawab.

Masyarakat Normal tidak suka Kekerasan dan Premanisme

Masyarakat Normal tidak suka Kekerasan dan Premanisme

 


[1] Al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy (Beyrut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987 / 1407), Juz II, h. 670.  Lihat pula dalam Muslim, Shahih Muslim (Beyrut: Dar Ihya’ al-Turats al-`Araby, t.t.), Juz II, h. 806.

[2] Al-Bukhariy, Shahih al-Bukhawiy, (Beyrut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1402), Juz. II, h. 673.

AKHLAK, KEISLAMAN TERTINGGI

Syekh Mohamm,ad Abduh, Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Mufti Mesir

Syekh Mohamm,ad Abduh, Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Mufti Mesir

AKHLAK,  KEISLAMAN TERTINGGI

Oleh: Hamka Haq

Ketika Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Mufti Mesir, Syekh Mohammad Abduh berkunjung ke Paris pada tahun 1884 (lebih se abad yang lalu), di sana ia menyaksikan betapa kota Paris indah dan bersih, teratur rapi, lagi pula orang-orang Paris beretos kerja tinggi, berperilaku peramah dan bersahabat. Melihat demikian beliau pun brucap: “raaytu al-Islam wa lam ara Musliman” (Aku lihat Islam di Paris, padahal aku tidak melihat orang Muslim).

Syekh Mohammad Abduh mengartikan Islam sebagai perilaku. Baginya perilaku Islam ialah harus beretos kerja tinggi, tekun dan rajin (bukan pemalas), sekaligus peramah, suka bekerjasama dan berpenampilan bersahabat; tidak seram, tidak menakutkan, apalagi tentunya tidak suka mengganggu orang lain. Mereka pun menghormati kaum perempuan, tidak mudah kawin-cerai. Maka andai saja Syekh Muhammad Abduh masih hidup dan sempat berkunjung ke Indonesia, lalu sering melihat ada orang Muslim, apalagi aktifis Muslim, yang berperilaku brutal, preman, tidak menyenangkan orang lain, bahkan ada yang mengganggu dan mengusir orang lain; dengan mudahnya memperbanyak isteri secara sirr melebihi batas syariah, atau sebaliknya dengan mudahnya menceraikannya, bahkan cerai lewat SMS saja; pastilah Syaekh Muhammad Abduh akan berucap: “ra’aytu al-Muslimin wa lam ara al-Islam (aku melihat banyak Muslim, tapi aku tidak melihat Islam pada diri mereka).

Jadi Islam sebenarnya ialah akhlak terhadap sesama manusia. Sabda Nabi Muhammad SAW: ”Buitstu li utammima makarim al-akhlaq (Aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak). Adapun soal iman dan keikhlasan beribadah, itu adalah urusan pribadi dengan Allah SWT. Tetapi, akhlak adalah urusan hubungan antar sesama manusia, yang konkret dan terukur, dapat disaksikan dan dirasakan bersama.

Salah satu ciri orang berakhlak ialah adanya kemampuan menyeimbangkan kekuatan pikir dan fisik, atau spirit ijtihad (akal/otak) dengan spirit jihad (otot). Namun masih banyak Muslim yang belum mampu menyeimbangkan antara kedua kekuatan dan spirit itu, karena lebih cenderung memperkuat otot, dengan alasan jihad fi sabilillah, tapi ternyata perilaku jihadnya menyalahi kaedah logika, adat dan moral, mereka melanggar kaedah hukum dan akhlak, dirinya tidak mencerminkan sosok orang yang punya ijtihad (pikir) dan dzikir, kecuali yang tersisa ialah keberanian menyakiti hati orang lain, keberanian menyiksa fisik orang lain, keberanan merusak milik orang lain, keberanian mempermalukan orang lain di hadapan orang banyak. Padahal, Nabi SAW bersabda: al-muslim man salima al-muslimun min lisanih wayadih, (orang Islam ialah orang yang = “selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya”).

Jika hadits Nabi tersebut dipahami secara mukhalafah (pemahaman terbalik), maka orang yang mengganggu orang lain dengan ucapan lidah dan tindakan tangannya, niscaya bukanlah seorang muslim. Mudah-mudahan kita tidak tergolong seperti itu. Wallahu a’lam bi al-shawab.