RALAT PADA BUKU”ISLAM RAHMAH UNTUK BANGSA”

KARYA PROF. DR. HAMKA HAQ, MA

Bagi yang memiliki buku tersebut, baik edisi 2009 (kiri), maupun edisi 2015 (kanan), harap memerhatikan ralat berikut:

Ralat buku: Islam Rahmah unuk Bangsa

Hal. 222 baris 15 dari bawah (Edisi 2009) dan Hal. 268, baris 11 dari atas (Edisi 2015).

Tertulis: Bahkan mengahargai pula Nabi Muhammad SAW sebagai putera Tuhan,

Seharusnya: Bahkan menghargai pula Isa AS di hadapan Nabi Muhammad SAW sebagai putera Tuhan

Hal. 277, footnote 15 (edsi 2015)

Tertulis: Lihat dalam Muhammad bin Abi Bakr, Ahkam Ahl al-Dizimmah, op. cit, Juz I, 224

Seharusnya: Ibid, Juz I, h. 224.

Hal. 295, foot note 43 (Edisi  2015):

Tertulis: Ayat ini dijadikan dasar bagi pendapat yang melarang salam kepada non-Muslim.

Seharusnya: Ayat ini dijadikan dasar bagi pendapat yang membolehkan salam kepada non-Muslim.

Hal. 238 baris 7 dari atas (Edisi 2009)  dan hal. 290 baris ke 2 dari bawah  (Edisi 2015):

Tertulis:  Nabi melarang Sahabat menshalatinya,

Seharusnya:  Nabi dilarang oleh Sahabat menshalatinya,

RALAT PADA BUKU “ISLAM RAHMAH UNTUK BANGSA”

Karya Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA

Ralat buku: Islam Rahmah unuk Bangsa

Hal. 222 baris 15 dari bawah (Edisi 2009) dan Hal. 268, baris 11 dari atas (Edisi 2015).

Tertulis: “Bahkan mengahargai pula Nabi Muhammad SAW sebagai putera Tuhan,”

Seharusnya: Bahkan menghargai pula Isa AS di hadapan Nabi Muhammad SAW sebagai putera Tuhan,

Hal. 295 foot note 43 (Edisi  2015):

Tertulis: Ayat ini dijadikan dasar bagi pendapat yang melarang salam kepada non-Muslim.

Seharusnya: Ayat ini dijadikan dasar bagi pendapat yang membolehkan salam kepada non-Muslim.

Hal. 238 baris 7 dari atas (Edisi 2009)  dan hal. 290 baris ke 2 dari bawah  (Edisi 2015):

Tertulis:  Nabi melarang Sahabat menshalatinya,

Seharusnya:  Nabi dilarang oleh Sahabat menshalatinya,

ULAMA KEINDONESIAAN NAN BERSAHAJA

(In Memoriam AGH Dr. Hc. Sanusi Batjo, Lc)

Oleh: Prof. Dr.H.Hamka Haq, MA.

Bersama AGH Sanusi dan Jokowi 2014

Ketika masih duduk di SMP di tahun 1966, masyarakat di desa kami Lompo Tengah Tanete Riaja Barru, mengadakan acara maulid.   H. Jauharuddin, camat yang kharsmatik itu memberi kata sambutan.   Ia menguutip ceramah seorang ulama yang baru pulang dari Mesir, namanya Ustadz Sanusi Baco Lc.  Itulah untuk pertama kalinya, penulis dengar nama AGH Sanusi Baco (untuk seterusnya disingkat Gurutta Sanusi).

Di kampung kami masa itu, masyarakat sering mengundang penceramah dari luar.  Waktu itu, suasana kompetisi antara Nahdhiyin (NU) dan Muhammadiyah sedang hangat-hangatnya, tapi tidak menimbulkan gejolak negative karena hubungan keluarga sangat kuat.  Silih berganti antara NU dan Muhammadiyah mengundang penceramah.  Dari Muhammadiyah, muballigh yang biasa diundang ialah AGH Kol. Makmur Ali, Ust. Tahir Hasan, dan Ust. Aziz Ishaq.  Sementara warga NU sering mendatangkan Rais Syuriah Kabupaten, AGH Badaruddin Amin.  Pernah juga mengundang dua ulama dari Makassar, yakni AGH. Murasalin Saleh dan Gurutta Sanusi.  Saat itulah, untuk pertama kalinya penulis menyaksikan langsung sosok beliau yang bersahaja, tidak bersorban, tidak pula bergamis.  Ia tampak rapi mengenakan sapari dan peci hitam.

Setamat PGA 6 tahun (Aliyah) tahun 1971 dari Pesantren Al-Tauafiq Barru, penulis diantar oleh Ust. Hasanuddin, teman ayah, mendaftar di Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar.   Aktiftas Fakultas diawali dengan masa perkenalan almamater, dahulu namanya “pelonco”.  Kami disuruh mencari kediaman dosen-dosen IAIN Alauddin, meminta tanda tangannya sebagai awal pengenalan. Salah satu adalah kediaman Gurutta Sanusi, masih di samping Masjid Raya Lama (sebelm direnovasi).  Beliau menerima kami dan minta membaca kaver salah satu kitab yang tersusun di Rak bukunya.  Penulis membaca “Al-Tafsir al-Hadits”, lalu ditanya apa artinya, penulis langsung jawab: “Tafsir Hadits”, beliau tersenyum, tapi tidak juga menyalahkan, padahal arti sebenarnya ialah “Tafsir Moderen”.

Dalam kesempatan lain, Ust. Hasanuddin mengajak penulis bersilatutahim ke rumah Gurutta Sanusi, dan memperkenalkan ke beliau. Beliau mulanya mengira penulis puteranya AGH. Abdul Haq, Imam Besar Masjid Raya.  Ust. Hasanuddin lalu menjelaskan, hanya kebetulan nama akhirnya adalah Haq, karena ayahnya, K.H.Abdul Qadir kagum pada AGH Abdul Haq sebagai ulama dan hafizh Qur’an.   Sejak itu penulis mulai paham sosok pribadi Gurutta Sanusi, sangat ramah, terbuka dan mudah bergaul dengan semua orang.

Beliau dosen pada Fakultas Syariah, dan hadir di Fakultas Adab sesuai jadual saja.  Sama ketika penulis pindah ke Fakultas Ushuluddin 1973, beliaupun hadir sesuai jadual mengajarnya.  Ketika selesai program Sarjana Muda, dengan gelar BA (Beacheloor of Arts) 1974 setara dengan diploma 3 sekarang, penulis mulai banyak bergaul dengan beliau di Universitas Al-Ghazali (UNIZAL) perubahan dari Universitas Nahdhatul Ulama (UNNU).  Pergaulan lebih intens ketika beliau menjadi Rektor UNIZAL menggantikan AGH Muhyiddin Zain yang baru wafat ketika itu.  Beliau sering ke Barru, mengajar di Fak. Tarbiyah UNIZAL Barru, yang kami bina bersama Uts. Hasanuddin dibawah pimpinan Ketua Yayasan AGH Badaruddin Amin.  Beliau sekaligus berceramah di malam hari atas permitaan masyarakat.  Metode dan isi dakwahnya disenangi oleh semua lapisan masyarakat tidak hanya kalangan Nahdhiyin.

Termasuk juga ketika penulis bertugas di MAN Soppeng tahun 1980, sering ketemu beliau saat berkunjung ke  Fak.Tarbiyah UNIZAL Soppeng.   Suatu ketika, beliau ceramah di Masjid Raya Soppeng, sempat melihat penulis dari jauh.   Saat bubaran, langsung dari kejauhan melambaikan tangannya pada penulis.   Beliau rupanya heran, mengapa penulis ada di sana.   Beliu kemudian tanya, apa sudah kawin?, penulis jawab, sudah Ustadz.  Beliau mengangguk dan katanya: “hidup anda sudah tenang”.   Ini bukti bahwa beliau sangat penuh perhatian pada siapa saja yang sudah akrab dengannya.

Lebih-lebih lagi ketika penulis kembali ke Barru, dan diangkat menjadi Dekan Fak. Tarbiyah UNIZAL Barru, pergaulan dengan beliau semakin intens.  Tidak hanya dalam soal kegiatan akademik, tetapi juga sudah semakin sering beliau diundang untuk acara-acara hari besar Islam.

Suatu ketika, usai ceramah maulid di Masjid Agung Barru, beliau diundang ke “rumah baru” seorang pembina masjid.  Di salah satu tiangnya rumah itu, masih ada tergantung pisang setandang, dengan harapan agar tuan rumah semakin murah rezkinya.   Ternyata beliau agak asing dengan tradisi seperti itu, beliau malah balik bertanya, untuk apa pisang tergantung itu?.  Penulis hanya tersenyum dan tidak berkomentar.

Waktu berjalan terus, penulis lagi-lagi dipindah tugas ke Majene.  Beliau pun kami pernah undang untuk sebuah acara Maulid Akbar yang diadakan oleh PHBI Kab. Majene.  Padahal dua hari sebelumnya itu, beliau masih sempat hadir pada acara Maulid di Ambon Maluku.  Setiba di Makssar, beliau langsung berangkat ke Majene bersama sopirnya.  Beliau sempat tiba di subuh hari, dan penulis langsung mengantar ke rumah Bapak Drs. Lahamuddin, Sekda, mewakili Bupati.  Bgitulah, kalau urusan dakwah, beliau tidak kenal lelah.

Dari Majene, penulis lanjut kuliah dengan biaya sendiri di Pasca Sarjana IAIN syarif Hidayatullah Jakarta 1986, atas rekomendasi Gurutta Sanusi sebagai Rektor UNIZAL.   Untuk pertama kalinya, Pasca Sarjana IAIN Jakarta menerima dosen dari perguruan tinggi swasta.  Setiap libur ke Makassar, penulis rajin bersilaturhami dengan beliau.

Saat melapor ke beliau atas selesainya studi S3 di Pasca Sarjana tahun 1990, bukan main sambutannya begitu hangat pada penulis.  Beliau langsung jawab: alhmadulillah bertambah lagi doktornya UNIZAL.   Seterusnya, penulis masih tetap menjabat Ketua Sekolah Tinggi Tarbiyah Al-Gazali Barru, dengn adanya peraturan Menteri Agama dan Mendikbud mengenai Perguruan Tnggi Agama Islam.  UNIZAL dinyatakan bubar dan semua fakultasnya menjadi Sekolah Tnggi di bawa Yayasan masing-masing.

Tak lama kemudian di tahun 1990 itu juga, Majelis Ulama Sulawesi Selatan melaksanakan MUSDA di Asrama Haji Sudiang Makassar.  MUSDA MUI Sul-Sel menghasilkan kepengurusan baru, dengan posisi Ketua Umum masih AGH Abdul Muin Yusuf, Qadhi Sidenreng.   Gurutta Sanusi duduk sebagai Wakil Ketua Umum, sementara penulis pun terpilih sebagai Wakil Sekretaris Umum, di bawah Drs. H.M. Yabani.  Tak lama berjalan, Ketua Umum AGH Muin Yusuf meminta agar penulis merangkap Sekretaris Harian, guna menangani masalah keseharian MUI, mengingat Sekretaris Umum sangat sibuk dalam tugasnya sebagai Kepala Bagian Sekretariat Kanwil Kemenag Sul-Sel.  

Sebagai orang baru berdiam di Makassar, penulis sering diantar oleh Gurutta Sanusi bertemu dengan tokoh-tokoh pemerintahan dan pebisnis di Makassar.  Suatu saat, diantar ke Pak Jusuf Kalla di kantornya, NV Haji Kalla.  Walaupun sebenarnya, penulis dengan Pak JK punya hubungan persemendaan, melalui paman Prof.Dr.Amiruddin Aliyah suami dari Ibunda Zohrah Kalla, namun baru kali itu penulis punya akses ke berbagai aktifitas sosial Pak JK khususnya Masjid Raya Makassar yang beliau bina.  Banyak jadual dakwah Gurutta diserahkan ke penulis saat beliau tidak sempat mengisinya. 

Pada tahun 1991, MUI Sul-Sel membentuk Pendidikan Kader Ulama (PKU), dipimpin oleh Prof. Dr.H. Umat Syihab, dan penulis sebagai Sekretarisnya.  Gurutta Sanusi, sangat rajin mengajar calon-calon ulama muda itu.  Beliau bahkan lebih intensif lagi membina PKU ketika Prof. Dr.H.Umar Syihab hijrah ke Jakarta menjadi anggota DPR RI.  Beliau akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum MUI Sul-Sel, pada MUSDA tahun 1995, sementara penulis juga terpilih sebagai Sekretaris Umum, hubungan kami pun tambah akrab tak ubahnya sebagai keluarga.   Waktu itu, AGH Abdul Muin Yusuf mengundurkan diri karena merasa sepuh dan ingin kembali membina secara intensif pesantrennya di Rappang.  Sebagai Sekeretaris Umum, tentu saja selalu menyertai beliau dalam setiap kegiatan MUI, baik di tingkat Provinsi maupun Nasional.  

Beliau sangat luwes, dalam hal-hal mendesak, kadang beliau tanda tangani persuratan di tepi jalan.  Namun beliau pun teguh prinsip, beliau tidak pernah merekom kegiatan-kegiatan aktifis Islam yang cenderung gaduh, terutama di saat panas-panasnya konflik horizontal Ambon dan Poso tahun 1998.  Beliau benar-benar cinta damai dan ketenangan.  Beberapa Surat Himbauan MUI Sul-Sel agar umat Islam tidak terpancing dengan konflik Ambon dan Poso itu, sempat kami tanda tangani berdua.

Persoalan yang cukup urgent bagi MUI Sul-Sel saat itu ialah belum adanya fasilitas kendaraan.  Mobil Gurutta Sanusi, entah apa mereknya, sudh sangat tua, dan tidak layak dipakai untuk acara-acara di Gubernuran, sementara lembaga agama lain sudah pada punya mobil Toyota keluaran baru di zaman itu.  Penulis pun berinisiatif memohon ke Gubernur untuk mudahnya aktifitas Gurutta, dan Alhamddulillah dipenuhi. 

Selain aktif di MUI, beliau juga aktif di ormas lokal Daru Dakwah Wal Irsyad (DDI) Sulawesi Selatan.   Memang, Sanusi Muda sejatinya adalah santri dari Pesantren DDI Mangkoso.  Pernah menceritakan pengalamannya saat penamatan Madrasah Aliyah, para santri foto bersama dengan para pengajarnya.  Saat mereka santri laki-laki mengajak santri perempuan foto bersama, pimpinan pondok marah besar, akhirnya mereka bubar berantakan.

Sepeninggal Ketua Umum PB DDI, AGH Abdu Rahman Ambo Dalle di tahun 1996, untuk beberapa saat DDI seperti organisasi auto pilot, berjalan tanpa nakhoda.  Maka Gubernur Sulawesi Selatan, H.Z.B. Palaguna, selaku Pembina ormas keagamaan, atas saran dari beberapa tokoh penting, menunjuk Gurutta Sanusi menjabat Plt Ketua Umum PB DDI,  dengan tugas mengantar DDI ke Muktamar tahun 1999.  Akibat kisru internal dalam Muktamar 1999, pihak-pihak yang tidak puas, berinisiatif meredam kisruh itu dengn jalan pintas, yakni membentuk DDI versi baru, dengan nama DDI Ambo Dalle, disingkat DDI AD.

Sebagian besar tokoh legendaris historis DDI berada pada gerbong DDI AD, dan mereka melibatkan Gurutta Sanusi di dalamnya, walaupun beliaunya merasa berat hati.   Maka kemudian desakan untuk ishlah antara dua kubu DDI semakin keras. Akhirnya dua kubu tersebut berikrar ishlah di hadapan Gurutta AGH Ali Yafi, pada tanggal 28 Feberuari 2015 di Jakarta, tokoh utama dan pelaku sejarah lahirnya DDI yang Alhamdulillah masih hidup sehat.  Sejak terbelah menjadi dua versi, penulis tidak banyak megetahui perkembangan internal masing-masing versi DDI itu.  Sementara Gurutta Sanusi Baco juga tidak intens lagi pada ormas tersebut, dan hanya menekuni tugas sebagai Ketua Umum MUI Sul-Sel.  Yang jelas, beliau dan penulis sangat mendukung ishlah itu.

Jauh sebelum ishlah, lambat laum penulis berhasil mengambil posisi netral, bahkan PB DDI versi Muktamar 1999 sering mengundang penulis dalam sejumlah kegiatannya.   Penulis sempat mendampingi Presiden Megawati ke acara Rakernas Muslimat DDI di Pinrang tahun 2004.  Juga sempat hadir pada Muktamar 2009 di Asrama Haji Sudiang, dan juga pada Muktamar 2014 di tempat yang sama.  Terakhir hadir bersama Gurutta Sanusi pada Mukernas DDI 2016 yang mengukuhkan ishlah DDI tersebut.

Menjelang Pilpres 2014, PDI Perjuangan mengusung Joko Widodo (Jokowi), sebagai kandidat Presiden.  Penulis bertugas menyertai Jokowi bersosialisasi ke daerah-dearah.  Ketika Jokowi bersosialisasi di Makassar, penulis mendampingnya bertemu dengan Gurutta Sanusi dalam acara silaturahim di kediamannya Jl. Kelapa Tiga Makassar.   Di pagi hari itu, selama sekitar satu jam, acara silaturahim berlangsung dengan hangat.  Hampir semua isi pembicaraan Gurutta menyangkut sosok Bapak Jusuf Kalla sebagai kandidat Cawapres yang layak mendampingi pak Jokowi.  Sampai-sampai Pak Aksa Mahmud yang juga duduk di sampingnya, berbisik ke penulis, merasa kurang sreg, dan sedikit malu, karena Gurutta berkali-kali menyebut nama Jusuf Kalla, dengan segala capaiannya sebagai pengusaha, politisi dan aktifis sosial.

Sejak aktif sebagai anggota DPR RI 2014-2019, penulis agak jarang berinteraksi dengan Gurutta Sanusi.  Hanya dari jauh membaca aktifitas Gurutta berdakwah, dan ceramah agama di berbagai tempat.  Juga aktifitasnya sebgai Ketua Umum  MUI Sul-Sel dan Rais Syuriah NU Sul-Sel.   Pernah dua kali diberitakan Guruttta masuk Rumah sakit, namun tidak sempat membezuk beliau.   Ketiga kalinya, pun terlambat, lalu penulis langsung menjenguk beliau yang masih jalani perawatan keluarga di rumahnya.   Walau masih terbaring di tempat tidur, beliau melayani penulis berdiskusi ringan murni soal dakwah dan keluarga. 

Tiba-tiba saja beliau melihat putri penulis di dekatnya, langsung beliau bercanda soal harga ayam.  Asalnya, putri saya ini semasih kecil umur 3 tahun, sering tanpa setahu kita, memanggi penjual ayam yang lewat depan rumah.  Ya senangnya begitu, mau tak mau ayam pun harus dibeli walau persiapan ayam masih ada.  Kalau tidak, dia pasti nangis.  Gurutta tetap mengingat itu, dan setiap penulis bersama istri bertamu ke rumahnya, pasti awal kalimat beliau, “bagaimana Bu, uang pembeli ayamnya?”   Kalimat senada juga sering dilontarkan setiap penulis mengantarkan honornya dari Pendidikan Kader Ulama, langsung bilangnya, “Alhamdulillah, ada lagi uang pembeli ayam”, sambil ketawa kecil.

Gurutta Sanusi senang jika ada sahabat, atau murid-murid menziarahinya.  Kalimat yang paling sering di awal diskusi setiap penulis menziarahi beliau, ialah soal pergeseran nilai.  Inti dari nilai yang beliau tekankan ialah penghormatan terhadap ulama, terhadap dosen, terhadap yang lebih tua, yang menurutnya sudah banyak bergeser.  Sekarang generasi muda semakin kasar pergaulannya.  Sewaktu masih di Makassar, sebagai Plt Ketua Forum Antar Umat Beragama, yang kami bentuk bersama Pak Jusuf Kalla di tahun 1998, sebagai cikal bakal FKUB versi pemerintah, penulis sering mengantar tokoh-tokoh agama lain berkunjung ke rumah beliau.  Beliau senang, dan menyebutnya “inilah nilai” yang harus dilestarikan.

Terlalu banyak hal yang bisa dikisahkan dari beliau, banyak pelajaran yang dipetik, banyak teladan dipanuti, metode dan materi dakwah yang sejuk, mengundang tawa yang bermakna, jauh dari sekedar candaan jenaka, sehari-harinya dengan kostum ulama ala Indonesia, peci hitam dengan jas yang rapi dipadu dengan sarung keindonseiaan, begitulah masih terbayang di benak kita.  Kini beliau sedang menghadap Khaliqnya, Khaliq kita semua.  Selamat jalan Gurunda, semoga teladanmu dapat kami teruskan.  Amien Ya Rabba al-‘Aamin.

Bersama AGH Sanusi Baco dalam Rakernas DDI 2016

CATATAN: Sudah dimuat dalam http://genial.co.id/ulama-keindonesiaan-nan-bersahaja-in-memoriam-agh-sanusi-batjo-lc/  

TUJUAN BERAGAMA

TUJUAN BERAGAMA

Oleh: Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA

Pertanyaan yang selalu muncul ialah apa sih sesunguhnya tujuan Bergama itu?  Mengapa orang harus beragama?  Uraian mengenai ini sudah pernah diposting di sini, berikut adalah uraian tambahan.

Agama sebenarnya bukanlah untuk kepentingan bagi Tuhan, melainkan untuk kepentingan atau kebutuhan manusia iyu sendiri.   Tuhan tidak butuh agama, karena Dia Maha Kuasa atas segalanya.  Dia disembah atau tidak  disembah sama sekali, Dia tetap Maha Agung, Maha Kuasa.  Andaikata semua manusia itu tidak menyembah-Nya, kekuasaan dan keagungan Tuhan tidak berkrang sedikitpun.

Jadi agama itu sekali lagi untuk kebutuhan hidup manusia.  Manusia perlu Bergama untuk kesempurnaan hidupnya.  Dengan beragama, manusia akan merasa tenang hidupnya, tenteram hatinya, damai dan tenteram dalam pergaulannya dengan sesame manusia.  Hidupnya terasa bermakna karena selalu berhubungan dengan Tuhannya melalui iman dan ibadahnya.

Jadi agama adalah untuk kedamaian hidup manusia, dalam diri, dalam keluarga, dalam masyarakat, dan juga ketika beribadah kepada Tuhan, terasa kedamaian itu.

Tiada agama yang menagajrkan kekecauan batin, tiada agama yang mengajarkan kekacauan masyarakat, tiada agama yang mengajarkan saling memusuhi antara sesama manusia.  

اوما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

Semua agama mengajarkan perdamaian, tak satupun agama yang mengajarkan perpecahan umat manusia dalam bentuk permusuhan.  Islam mengajarkan lakum diynukum wa liyadiyn, Kristen mengajarkan cinta kasih terhadap sesama manusa, Hindu mengajarkan tat twam asi, dia dan aku adalah sesama kamu; Budha mengajarkan metha, cinta kasih untuk persahabatan;demikian pula agama Konghuchu dan lainnya semua mengajarkan damai untuk semua.

Dalam hadits Nabi SAW riwayat Al-Turmudziy, disebutkan:

الراحمون يرحمهم الرحمن، إرحموا من فى الأرض يرحمكم من فى السماء 

“Orang-orang yang suka mengasihi sesama, akan dikasihi oleh Allah Sang Pengasih, maka kasihilah manusia di bumi niscaya engkau dikasihi oleh Allah yang di atas” (HR.Al-Turmudziy, Kitab al0Birr wa al-Shilah, no. 2049).

Maka sangat kelirulah orang-orang yang menjadikan agama sebagai alasan untuk memusuhi, menganiaya bahkan membunuh sesama manusia.   Lebih-lebih lagi jika membawa-bawa nama Allah, melakukan kerusakan dan penganiayaan itu dengan pekik takbir Allahu Akbar.  Mereka adalah benar-benar musyrik, karena mempertuhankan nafsunya sambil menyebut pula nama Allah Akbar.

Seharusnya agama dijadikan sebagai sumber kedamaian.  Bagi umat Islam, mari kita jadikan Islam sebagai Rahmatan lil alamin, kasih sayang bagi segenap alam semesta. 

Agama pada dasarnya bukanlah tujuan, agama hanya jalan untuk mewujudkan kehidupan yang damai, bertumpu pada ridha Tuhan dan ridha sesama manusia.  Dengan memperoleh ridhaNya Allah SWT kita bisa memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat; dan dengan memperoleh ridhanya sesama manusia kita bisa membangun peradaban yang maju untuk kemaslahatan bersama. 

Memang sebenarnya kita berbeda, dari segi keyakinan, ibadah dan hal-hal lain yang tidak mungkin sama.  Tapi dalam hal kehidupan duniawi kita selalu sama.  Dalam kehidupan ekonmi kita sama-sama mebangun pusat perekonomian seperti pasar dan mall; dalam kehidupan pendidikan kita sama-sama ke Universitas;  dan dalam aspek kesehatan kita sama-sama ke Rumah Sakit dan juga ke apotek yang sama untuk membeli obat.  Pokoknya semua kita bersama.

Jadi jangan menciptakan sekat-sekat dalam hubungan sosial kita hanya karena perbedaan agama dan keyakinan, karena agama ini sekali lagi hanyalah jalan  untuk mencapai tujuan perdamaian kemanusiaan.

Bagi orang yang menjadikan agama sebagai tujuan, mereka berusaha membesar dan mengagung-agungkan agamanya sendiri kemudian menista dan merendahkan agama lain.  Mereka sibuk membangun fasilitas untuk kepentingan ibadah agamanya, kemudian menghalangi agama lain membangun rumah ibadah dan mempersulit pelaksanaan ibadah mereka.  Tentu semua hal tersebut salah dan keliru.

Dalam masyarakat yang beragam agama kita harus saling menghormati dan menghargai untuk bisa membangun peradaban yang makmur untuk semua.  Allah berfirman:

وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإ ثم والعدوان

Tolong menolonglah dalam kebajikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” Q.s.Al-Ma`idah (5): 2.

Dalam ayat ini Allah swt mempertentangkan antara takwa dan permusuhan; kita diperintahkan untuk bekerjasama membangun kebajikan dan ketakwaan sementara melarang kita untuk berbuat kejahatan dan permusuhan.  Jadi takwa dan permusuhan merupakan dua hal yang bertentangan.  Maka salah satu ciri orang bertakwa ialah jika aktif menjalin persahabatan dan menjauhi permusuhan.

Sehubungan dengan ini, saya ingin mengutip sebuah riwayat dalm Tafsir Al-Qurthubiy.  Bahwa suatu saat Rasulullah SAW menerima tamu dari komunitas Kristen Najran sekitar 60 orang.   Berhubung rumah beliau tidak luas, maka beliau menerima mereka dalam Masjid Haram Nabawi.  Mereka berdialog soal agama tanpa saling merendahkan atau saling menista.  Ketika sampai waktunya tamu tersebut beribadah, mereka diizinkan oleh Rasulullah SAW beribadah dalam Masjid Nabawi itu.

Kisah ini menunjukkan betapa kelirunya pendapat yang mengatakan bahwa non Muslim diharamkan masuk masjid, dan atau diharamkan beribadah dalam masjid.  Semua boleh-boleh saja tentunya dalam keadaan darurat.

Kisah faktual Rasulllah SAW tersebut seharusnya menjadi acuan dan teladan untuk diterapkan dalam kehidupan manusia di zaman moderen sekarang.   Zaman kita sekarang dikenal sebagai zaman global yang di dalamnya segenap umat manusia semakin mudah bergaul satu sama lain tanpa sekat agama, bangsa dan budaya.  

Dalam hal ini agama harus berperan menjadi jembatan perdamaian bukan sebagai kendaraan untuk berumusuhan.  Kita berada di zaman peradaban yang mengharusnkan kita bermitra dan kbekerjasama satu sama lain.  Beda dengan peradaban masa lalu, di zaman klasik, atau zaman pertengahan atau sebelum zaman moderen.

Agama di zaman masa lalu pernah menjadi kendaraan untuk permusuhan; siapa yang mayoritas dan perkasa bisa menakulkkan dan menguasai agama dan bangsa lain yang lemah tidak berdaya.  Keadaan itu pernah terjadi dizaman Romawi yang perkasa menaklukkan sejumlah bangsa di dunia demi keagungan agamanya.  Juga di zaman keperkasaan bangsa Arab Muslim menaklukkan Afrika utara dan Spanyol Eropah demi kebesaran Islam; juga pada zaman keperkasaan bangsa Turki Muslim menaklukkan dan mengambil alih tanah air Bizantium demi kemenangan Islam.  Demikian juga perang salib yang menciptakaan rasa kebanggaan beragama berbaur dengan penderitaan di sisi lain, dan menyisakan dendam dan kebencian selama berabad-abad. 

Jangan kita ulangi peradaban masa lalu yang penuh konflik itu  dengan menjadikan agama sebagai kendaraan permusuhan.  Saatnya kita sekarang menjadikan agama sebagai jembatan perdamaian untuk peradaban baru; jangan kita kembali ke peradaban masa lalu yang bersifat ekpansionist ketika agama dan bangsa-bangsa yang besar menakulkkan dan memperbudak bangsa-bangsa lainnya.  Biarlah semua menjadi catatan sejarah sebagai pelajaran untuk tidak terulang lagi bagi kehidupan manusia untuk selamanya.

Pada akhir uraian ini saya ingin menyampaikan tentang kisah historis, yakni ketika Bung Karno berpidato di depan SU PBB tanggal 30 September 1960.  Beliau menyampaikan harapan agar badan dunia PBB itu mampu mendamaikan umat manusia yang berbeda bangsa dan agama.  Hars menjaga pluralitas berdasarkan kedailan dan kemerdekaan.  Judul pidato beliau To Build the Word a New,  membangun dunia yang baru sama sekali.

Bung Karno dalam pidatonya itu mengangkat filososi bangsa Indonesia yang mampu merajut beragam etnis, agama dan budaya, untuk bersatu dalam satu Negara Kesturan Republik Indonesia.  Keragaman yang penuh kedamaian itulah yang dibawa oleh beliau sebagai pesan utama dalam pidatonya pada saat itu.  Wallau A’lam bi al-shawabi.

HUKUM MENULIS KALIMAT “ALLAH” PADA BENDERA MERAH PUTIH

HUKUM MENULIS KALIMAT “ALLAH” PADA BENDERA MERAH PUTIH

Oleh: Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA

Negara yang menjadikan kalimat Allah, atau lengkapnya kalimat syahadatain (La ilaha illah Allah Muhammadun Rasulullah) sebagai simbol Negara yang tertera pada benderanya ialah Arab Saudi.   Di bawah nya dilengkapi dengan gambar pedang.  Pedang merupakan simbol khas Saudi (dua pedang bersilang adalah simbol Kepolisian Saudi).

Pemuatan kalimat Allah pada bendera Negara Arab Saudi, mengandung makna bahwa warga Negara Saudi adalah 100 % penduduknya beragama Islam, sekaligus sebagai simbol keimanan (Ideologi) bagi Negara Islam Arab Saudi. Dengan kata lain, kalimat tersebut bukan simbol “hakekat Allah SWT” dan bukan pula simbol “kehamahkuasaan Allah SWT” yang selalu melekat pada Arab Saudi. Sehingga, sukses dan kegagalan Arab Saudi dalam hal-hal tertentu, tidak berarti bahwa yang sukses dan gagal itu ialah Allah SWT, yang namaNya tertera di bendera Saudi.

Misalnya saja, jika Arab Saudi berjaya dalam dunia sepak bola, pernah tiga kali menjuarai Piala Asia (1984, 1988, dan 1996), tidak boleh disebut bahwa hal itu karena mutlak adanya kalimat “Allah” pada bendera hijau-nya.   Sama halnya ketika tim Arab Saudi kalah 0-8 dari tim Nasional Jerman di Piala Dunia 2002, bukan dikalahkan karena akibat adanya kalimat “Allah” pada benderanya itu. Jadi kalimat “Allah” pada bendera tidak ada kaitannya dengan kemahakuasaan Allah untuk memenangkan Arab Saudi dalam segala hal. Kalimat itu hanya sebagai simbol keimanan dan ideologi Negara semata.

Persoalan sekarang, bagaimana hukumnya, jika kalimat “Allah” (syahadatain) itu ditulis pada sang Merah Putih, bendera kebangsaan Indonesia.   Kalau merujuk pada prinsip bahwa kalimat syahadatain dan dua pedang bersilang merupakan simbol-simbol kerajaan Negara Islam Arab Saudi, maka jelas tidak pada tempatnya simbol itu tertera pada bendera Merah Putih Indonesia, sebab Negara Indonesia bukan Negara berideologi agama Islam, tetapi Negara Pancasila. Meskipun umat Islam merupakan mayoritas, tetapi kita harus menghargai perasaan umat agama-agama lain di negeri ini, yang tentu tidak sepakat atas tulisan itu. Apalagi dengan adanya gambar dua pedang bersilang yang jelas-jelas merupakan simbol khas Arab Saudi, maka itu berarti Indonesia telah ditaklukkan oleh Kerajaan Arab Saudi yang Wahhabi itu.   Jelas-jeas itu merupakan penghinaan terhadap bangsa Indonesia.

Ketahuilah bahwa menulis sesuatu yang tidak disepakati, yang bisa mencederai kesepakatan dan persatuan, itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Coba ingat peristiwa perjanjian Hudaibiyah antara umat Islam dengan kaum Quraisy.   Awalnya, pada draft piagam perjanjian itu tertera tulisan basmalah (Bismillahi Rahmani Rahim). Pihak Quraisy menolak keras kalimat itu, dan akan membatalkan perjanjian jika Basmalah itu tidak dihapus. Maka Rasul pun meminta sahabatnya menghapus Basmalah itu, demi menjaga kesepakatan perdamaian.   Basmalah itu pun sakral, sama sakralnya dengan kalimat syahadatain, namun Rasul minta dihapus demi tegaknya kesepakatan perdamaian.

Beradasarkan analogi larangan Nabi tersebut, kita dapat simpulkan bahwa secara syar`iy, kita juga tidak boleh menulis kalimat syahadatain pada bendera Merah Putih, karena merusak kesepakatan akan status Merah Putih sebagai bendera nasional, bukan bendera Islam. Apalagi telah diatur oleh Undang-Undang No: 24 Tahun 2009, tentang larangan menodai Bendera Merah Putih dengan tulisan dan simbol apapun. Wallahu A’lam bi al-Showab.

MASALAH HAJI DAN SOLUSINYA (2)

MASALAH HAJI DAN SOLUSINYA (2)

Oleh: Prof.Dr.H. Hamka Haq, MA

Ketiga, Masalah Sholat Arbain.  Selama ini berlaku anggapan bahwa setiap jamaah haji harus bersholat jamaah di Madinah sebanyak 40 kali (arbain) sebelum ke Makkah bagi jamaah gelombang pertama, dan sesudah berhaji di Makkah bagi jamaah gelombang kedua.  Sebenarnya “arbain” ini sah-sah saja bagi jamaah yang sehat dan mampu melaksanakannya, bahkan lebih dari itu pun tidak masalah.  Yang menjadi masalah, jika “arbain” itu dianggap keharusan atau dianggap sebagai rangkaian haji dan umrah, sehingga semua jamaah memaksakan dirinya untuk “arbain” walaupun kurang sehat, sehingga nanti kesehatannya semakin buruk dan jatuh sakit.  Tiada kaitan “arbain” dengan haji dan umrah, sehingga hanya jamaah Indonesia saja yang melakukan seperti itu.    Sejarah “arbain” dimulai ketika jamaah haji Indonesia masih menggunakan kapal laut, yang proses pergi-pulang sekitar empat bulan.  Mereka biasanya tinggal di Madinah sekitar 15 s.d. 20 hari menunggu keberangkatan ke Mekah atau menunggu pemulangan ke tanah air.  Untuk mengurangi kejenuhan jamaah, maka Syekh (sekarang Maktab) sangat bijaksana menghimbau mereka bersholat jamaah di Masjid Nabawi, minimal 40 kali, ketimbang mereka berkeliaran dan hanya sibuk belanja.  Mereka tidak sulit melaksanakan itu, karena cukup dengan dua kali atau tiga kali saja ke Masjid Nabawi, mereka bisa mencukupi 40 kali sholat jamaah.    Sangat beda dengan keadaan sekarang, yang proses perjaanan haji hanya sekitar 40 hari, sehingga masa unggu di Madinah maksimal 8 (delapan) hari, yang berdampak pada keharusan jamaah untuk sholat jamaah di Masjid Nabawi full day selama delapan hari tanpa alpa sedikitpun.  Akibatna jamaah tidak punya waktu istirahat cukup, karena semua waktu habis untuk pergi pulang ke masjid, bahkan yang kurang kuat, harus menghabiskan separuh waktu di masjid, ketimbang pulang ke pemondokan.  Misalnya ia ke masjid Nbawi untuk sholat zhuhur, terus menunggu waktu ashar, maghrib dan isya sekalian, guna menghindari  repotnya pergi pulang antara masjid dan pemondokan.  Mereka yang merasa kuat tetap saja pergi pulang antara masjid dan pemondokannya lima kali sehari, yang walaupun lelah namun tdak merasa karena tingginya semangat beribadah.  Sementara yang memilih tinggal di masjid dikhawatirkan mngalami kekuragan gizi akibat keterlambatan makan siang atau mngkin tidak makan siang lagi, karena tinggal di masjid seharian.

Jadi untuk menjaga kesehatan dan kekuatan jamaah secara prima, kebiasaan “arbain” hendaknya tidak menjadi doktrin keharusan.  Ckup dibiarkan saja sesuai kemampuan jamaah masing-masig tanpa mengintimidasi atau menakut-nakuti bahwa haji dan umarhnya tidak sah atau tidak afdhol jika tidak cukup “arbain”.

Keempat, Masalah Miqat.  Miqat artinya waktu efektif berlakunya ritual (nusuk) untuk haji dan umrah, baik dari segi waktu itu sendiri (miqat zamani) maupun dari segi tempat memulai (miqat makani).  Yang sering menjadi krusial adalah miqat makani, yaitu tempat berihram di Bi`ir Ali bagi jamaah gelombang pertama yang langsung ke Madinah dan Bandara King Abdul Aziz Jeddah bagi jamaah gelombang kedua yang langsung ke Mekah.  Selama ini, miqat makani dipahami sebagai batas awal mulainya niat dan ihram, padahal miqat tersebut dimaksudkan sebagai batas awal terlasananya ritual (nusuk) haji dan umrah.  Aadapun niat, miqat adalah batas akhir berniat, artinya jamaah diharuskan berniat dan berihram selambat-lambatnya ketika sampai miqat itu, artinya jamaah boleh saja berniat dan berihram sebelum sampai ke miqat itu.   Jadi, niat dan ihram yang dilakukan oleh sebahagian jamaah, sejak dari hotelnya di kota Madinah itu sudah sah niat ihramnya, dan sudah tidak boleh lagi melakukan hal-hal yang dilarang dalam ibadah haji dan umrah.  Soal apakah mereka sempat atau idak lagi mampir di miqat Bi`ir Ali, niat haji atau umrahnya tetap dipandang sah, karena mereka dalam keadaan niat ketika melewati Bi`ir Ali.

Kelima, persoalan Mina Jadid.  Mina Jadid adalah wilayah yang tadinya masih di luar Mina asli, namun karena jumlah jamaah yang semakin banyak, sudah diperkirakan mencapai 4 (empat) jutaan yang mustahil dapat tertampung di Mina asli, maka Ulama Saudi menfatwakan bolehnya memperluas wilayah Mina dengan membangun perkemahan di wilayah baru yang disebut Mina Jadid (Mina Baru).   Sebenarnya persoalan seperti ini sudah ada sejak awal tahun 1980-an, yakni ketika jamaah Indonesia ditempatkan di luar Mina asli, yaitu di Haratullisan, yang ada di balik gunung Mina, dan menuju ke sana harus melalui terowongan.  Mulanya sebagian ulama kita menolak, karena memandang bukan Mina lagi, dan jamaah yang bermalam di sana pada masa pelontaran jamrah, otomatis wajib bayar dam.   Pada tahun 1993, MUI Sulawesi Selaan mengadakan mudzakarah menyangkut Haratullisan itu.  Seorang ulama besar sesepuh ulama Seul-Sel, AGH  Muhammad Abduh Pabbaja, memberi fatwa singkat dan pamungkas.  Kata beliau: Mina ka al-rahimi, idza Dhaqa ittasa`a  (Mina itu seperti rahim, jika sempit pasti akan menjadi luas).  Artinya Haratullisan itu dianggap sebagai perluasan wilayah yang otomatis masuk wilayah Mina, dan para jamaah tidak wajib bayar dam.  Saya yakin, fatwa Pabbaja tersebut dapat menjadi rujukan solusi kasus Mina Jadid ini, agar sekarang para jamaah yakin untuk menginap di sana, tnpa harus bayar dam lagi, karena Mina Jadid adalah sudah menjadi wilayah Mina.

Untuk memperkuat pandangan tersebut, penulis ingin menunjukkan bahwa sekarang lokasi-lokasi ibadah yang penting sudah mengalami perluasan.  Ada yang diperluas secara vertikal, seperti tempat sa`iy dan thowaf yang kini sudah berlantai tiga, dan ada yang diperluas horisontal seperti Mina dan menyusul bukit Arafah.  Kalau semua jamaah sudah merasa sah thowaf dan sa`iy di lantai dua dan tiga di Masjidil Haram, maka seharusnya harus merasa sah untuk menginap di Haratullisan dan Mina Jadid.   Wallahu a`lam bi al-showab.

 

KEBENARAN ITU, PADA AKHIRNYA DITERIMA

Suatu kebenaran kadang ditolak mentah-mentah pada awalnya.  Ajaran Islam pun pada mulanya ditolak, namun akhirnya diterima secara luas di negeri Arab kemudian merambah ke seluruh penjuru dunia. Apalagi yang namanya pendapat manusia, walau mengandung kebenaran, pastilah awalnya ditolak dan ditentang.

Pada tahun 40-an misalnya, menjelang kemerdekaan terjadi polemik secara luas soal hukum transfusi darah.  Segenap ulama ketika itu, baik dari NU maupun dari Muhammadiyah ramai-ramai mengharamkan transfusi darah.  Mereka berdasar pada metode qiyas bahwa transfusi darah itu prosesnya sama dengan minum darah, yakni sama-sama memasukkan dara orang lain ke dalam tubuh seseorang.   Pendapat lain  adalah dari Ir. Soekarno yang justru menghalalkan transfusi darah.  Bung Karno melihat dari sisi lain, bukan dari proses masuknya darah ke dalam tubuh, melainkan dari manfaatnya.  Karena tranfusi darah dapat menyelamatkan jiwa orang sakit, maka Bung Karno melihat manfaatnya sama dengan pengobatan.  Kalau pengobatan itu halal karena dapat menyembuhkan orang sakit maka transfusi darah pun pasti halal karena dapat menyembuhkan oang sakit. Menyelamatkan orang sakit pastilah dianjurkan Islam.  Sekitar lima puluh tahun kemudian, barulah ulama ramai-ramai mengikuti pendapat Bung Karno, mereka juga sudah menghalalkan transfusi darah.

Seperti itu pula halnya, apa yang saya gagas dan laksanakan sejak tahun 1999 kini berangsur angsur disetujui oleh orang banyak.  Bersama Bapak Jusuf Kalla (JK) kami membentuk Forum Antar Umat Beragama (FAUB), yang kemudian melaksanakan Natal Oikumene gabung dengan Halal bi halal usai Idil Fitri, pada satu acara bersama, tiga tahun berturut-turut (1999, 2000, 2001), guna mengajarkan umat Islam bahwa ucapan Selamat Natal tidaklah haram.  Kini satu persatu tokoh dan ulama baru berani menyuarakan halalnya ucapan natal.  Tapi belum berani melakukan natal bersama gabung dengan maulid dlm satu acara.

Kemudian pada saat saya menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Makassar (2001 sd. 2003) saya berani menerima mahasiswa Non Muslim (Kristen dan Hindu) belajzr di Fakultas kami itu.  Semua ulama dan cendekiawan Muslim termasuk pimpinan IAIN sendiri menentang keras, tapi saya bertahan dan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Teologia di Makassar.  Belasan dari mahasiswa non Muslim itu berhasil sarjana dari IAIN, sejak tahun 2004.  Semua pimpinan IAIN mencibir, atau istilah sekarang membully, atas langkah saya dianggapnya “jahiliyah” itu.  Namun ketika mereka ramai-ramai mengalih status IAIN jadi UIN mereka pun terpaksa harus menerima non Muslim jadi mahasiswa di Fakultas Umum.

Masih ada langkah saya yang dianggap “jahiliyah”, yakni ketika ormas Islam yang saya pimpin Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) di daerah mayoritas Non Muslim, saya minta non Muslim kalangan eksekutif menjadi Pelindung atau Penasehat BAMUSI.  Begitupun misalnya ketika saya membolehkan doa bersama umat berbeda agama dalam satu acara, jelas banyak yang menilainya jahiliyah.  Saya tentu melakukan semua itu karena ada alasan syariah dan alasan kemaslahatan yang saya temukan, mungkin sebelum yang lain menemukannya.

Hamka Haq bersama Uskup Agung Makassar John Liku Ada

Prof. Hamka Haq bersama Uskup Agung Makassar, John Liku Ada.

PDI PERJUANGAN TIDAK PERNAH BERMAKSUD MEMATA-MATAI MASJID

IMG_0001

                                      PDI PERJUANGAN TIDAK PERNAH BERMAKSUD

                                                     MEMATA-MATAI MASJID

 

Akhir-akhir ini ada isu yang beredar bersifat fitnah bahwa PDI Perjuangan akan memata-matai masjid dalam arti akan memasang intel di setiap masjid, jika Capres dan Cawapres yang diusung: Ir.H. Joko Widodo dan Dr.H.M.Jusuf Kalla memenangi pemilihan Presiden 9 Juli 2014 nanti.  Agar isu tersebut tidak berdampak negaif bagi kehidupan berdemokrasi, yang juga bisa merusak citra PDI Perjuangan, maka kami dari Baitul Muslimin Indonesia melakukan klarifikasi (tabayyun) sebagai berikut:

  1. Secara logika, tentunya kami mustahil melakukan tindakan memata-matai masjid, sebab hal itu merupakan tindakan negatif yang bertentangan dengan semangat kami untuk melindungi semua rumah ibadah dan khususnya menjaga kehormatan masjid.  Sikap kami untuk menjaga kehormatan dan kesucian masjid adalah sejalan dengan semangat Partai kami memilih Bapak H.M.Jusuf Kalla (Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia) menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Bapak Ir. H. Joko Widodo sebagai Calon Presiden yang kami usung.
  1. Kami bukanlah institusi yang memiliki aparat intel.  Kami adalah partai yang hanya beranggotakan rakyat biasa, kaum marhaen, yang tidak ada sama sekali kaitan dengan lembaga-lembaga intelejen seperti dimiliki oleh TNI dan POLRI.   Justru sebaliknya Partai kami pernah mengalami perlakuan dimata-matai oleh intel di era Orde Baru, yang mendorong kami untuk bangkit menumbangkan Orde Baru.
  1. Bahwa dugaan akan adanya masjid yang berpotensi menjadi sumber fitnah, hal itu sejak zaman Rasulullah SAW sudah diperingatkan dalam Surah Al-Tawbah ayat 107,

 

وَالَّذِينَ اتَّخَذُواْ مَسْجِداً ضِرَاراً وَكُفْراً وَتَفْرِيقاً بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَاداً لِّمَنْ حَارَبَ اللّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ وَلَيَحْلِفَنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ﴿١٠٧﴾

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). – (Q.S.al-Tawbah [9]: 107).

  1. Maka misi kita bersama ialah memelihara agar semua masjid terhindar dari perilaku orang-orang munafiq yang memanfaatkan masjid untuk tujuan memfitnah dan memecah belah umat seperti yang diperingatkan dalam firman Allah SWT di atas.  Sejalan dengan itulah maksud PDI Perjuangan agar masjid tetap sebagai rumah badah yang suci dan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu sebaga sumber perpecahan umat, dan agar semua masjid tetap berfungsi sebagai pusat pencerahan dan pelaksanaan Islam Rahmatan Lil-alamin.

 

Jakarta, 2 Juni 2014 M / 4  Sya`ban 1435 H.

TTD

 

 

 

Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA

Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia

TUNTUNAN RINGKAS IBADAH QURBAN

TUNTUNAN RINGKAS IBADAH QURBAN

Oleh: Prof.Dr.H.Hamka Haq, MA.

Dalam rangka menghadapi Hari Raya Adhha, yakni Hari Raya Kurban, berikut ini saya kutipkan tuntunan pelaksanaannya menurut hadits dan sunnah Rasulullah SAW.

A. PERSIAPAN

1. Berkurban, hukumnya adalah sunah muakkadah bahkan ada yang memandang wajib atas orang yang mampu. Sebagaimana dipahami dari penegasan hadits Nabi SAW:

عن أبي هريرة: من وجد سعة فلم يضح فلا يقربن مصلانا

Artinya: “dari Abi Hurayrah, Barang siapa yang memperoleh kemampuan, kemudian tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami (masjid, mushalla dan lapangan tempat bershalat) – Riwayat Ahmad dan lbnu Majah.,

Meskipun tidak disepakati wajibnya berkurban, ia telah menjadi tradisi sejak zaman Rasulullah SAW. Sahabat yang tidak sempat berkurban, kadang melakukan amalan yang dianggapnya pengganti kurban. lbnu Abbas pernah memberi dua dirham kepada pembantunya, agar dia membeli daging dan menyampaikan kepada orang bahwa inilah kurbannya lbnu Abbas. Sementara itu Bilal pernah pula menyembelih seekor ayam jantan atau semacamnya sebagai pengganti kurban (Lihat dalam Kitab Subul aLSalam).

2. Hewan yang dapat dikurbankan ialah hewan ternak (bahimah) yaitu unta dan sejenisnya, sapi dan sejenisnya, kambing dan sejenisnya, yang sudah cukup umur untuk dikonsumsi secara sehat.

3. Untuk seeokor unta atau sapi, dapat dikurbankan oleh tujuh orang secara berjamaah, Hadits dari Jabir riwayat Muslim menyebutkan:

نحرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عام الحديبية البدنة عن سبعة والبقرة عن سبعة رواه مسلم عن يحيى بن يحيى

Kami telah berkurban bersama Rasulullah SAW pada tahun Hudaibiyah, yaitu seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang). Lihat dalam Abu Nuaim Ahmad bin Abdillah al-Asfahaniy, al-Musnad al-Mustakhraj `ala Shahih al-Imam Muslim, (Beyrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1966), Jus 3, h. 393.

Sedang untuk seekor kambing, kibas atau domba, hanya dikurbankan secara perorangan (untuk seorang saja), berdasarkan ijma; walaupun ketika Nabi SAW berkurban seekor kibas, beliau menyebut untuk diri bersama keluarganya

فأضجعه ثم قال بسم الله اللهم تقبل من محمد وآل محمد ومن أمة محمد ثم ضحى به

Maka Nabi membaringkan kibas itu, lalu mengucapkan bismillahi ya Allah terimalah qurban dari Muhammad, dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad, lalu beliau menyembelihnya (Kitab Subul al-Slam Juz 4. Al. 90).

Boleh jadi yang dimaksud bersama keluarga dan ummatnya ialah pahala dari kurban, atau diniatkan sebagai kurban kifayah, untuk mereka yang tidak mampu berkurban, bukan pelaksanaan ibadah kurban secara berjamaah.

4. Ada riwayat menyebutkan bahwa onta yang sangat besar dapat dikurbankan bersama oleh 10 orang.

فأخرج الترمذي والنسائي من حديث ابن عباس قال كنا مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في السفر فحضر الأضحى فاشتركنا في البقرة سبعة وفي البعير عشرة

Al-Turmudzi dan Al-Nasa’iy menyampaikan hadits dari Ibni Abbas, berkata: kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu safar, sampai tiba hari raya kurban, maka kami berkurban bersama-sama seekor sapi untuk tujuh orang, dan seekor unta besar untuk sepuluh orang” Lihat Subul al-Salam Juz IV h. 95.

5. Hewan yang akan dikurbankan haruslah sehat, berbobot dan berkualitas, bahkan indah dipandang mata. Riwayat dari Anas bin Malik:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضحي بكبشين أملحين أقرنين ويسمي ويكبر – متفق عليه

“Adalah Rasulullah SAW berkurban dengan dua kibas yang keduanya berjengggot dan keduanya bertanduk, beliau menyelmbelih dengan menyebut nama Allah dan bertakbir). ”

Suatu riwayat menyebut – سمينين saminayn (gemuk), dan oleh Abu ‘Awanah disebut dengan lafazh: – ثمينين tsaminayn (berkualitas atau berharga). Lihat dalam Subulu al-Salam (juz 4 hal. 90).

6. Tidak menjadi masalah soal warna hewan kurban, warna apa saja yang mudah diperoleh untuk dikurbankan semua dipandang sah oleh Syariat

7. Dianjurkan untuk mengurbankan hewan yang berkualitas, indah dan bagus dipandang mata. Dalam hal ini menurut riwayat dari Ali RA, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memprioritaskan kesehatan dengan memperhatikan keindahan mata dan telinganya,:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نستشرف العين والأذن

Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengutamakan keindahan mata dan telinganya. Lihatt dalam Muhammad bin Ishaq bin Huzaymah, Shahih Ibnu Khuzaymah, (Beyrut: al-Maktab al-Islamiy, 1390), Juz IV, h. 293.

8. Ada empat aib penyebab tidak bolehnya hewan dikurbankan, yaitu cacat, sakit, pincang dan sudah sangat tua (tidak segar / kumuh). Berdasarkan hadits Nabi SW:

وعن البراء بن عازب رضي الله عنه قال قام فينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أربع لا تجوز في الضحايا العوراء البين عورها والمريضة البين مرضها والعرجاء البين ظلعها والكبيرة التي لا تنقي

“Dari Al-Barra’ bin ‘Azib RA, berkata, berdiri di sisi kami Rasulullah SAW dan bersabda: empat hal yang tidak boleh ada pada hewan kurban, yaitu: cacat yang jelas cacatnya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, dan ketuaan yang tidak lagi segar (kumuh /tidak tangkas)”. Riwayat Ahmad, Al-Turmudziy dan Ibn Hibban (Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subul al-Salam, Juz IV, h. 93)

9. Adapun cacad ringan yang timbul pada hewan setelah ditetapkannya menjadi hewan kurban, tidak menjadi masalah. Demikian Pandangan lbnu Taymiyah yang dikutip dalam Subul al-Salam ( أن العيب الحديث بعد تعيين اللأضحية لا يضر – (Cacat baru yang muncul setelah ditentukan sebagai kurban tidak masalah)

B. PENYEMBELIHAN

1. Nabi SAW menyembelih kurban degan membaringkan hewan kurban, lalu membaca Bismillahi wa Allahu Akbar’ Beliau menyembelihnya dengan tangannya sendiri. Ada juga memahami bahwa beliau berbasmalah selengkapnya (Bismillahi al-Rahmani Rahim), kemudian bertakbir sesudah berbasmalah. Takbir di sini adalah khusus pada penyembelihan kurban. Riwayat Muslim dari Aisyah yang telah dikutip di atas, menyebut:

فأضجعه ثم قال بسم الله اللهم تقبل من محمد وآل محمد ومن أمة محمد ثم ضحى به

“Bahwa Nabi SAW membaringkannya, kemudian mernbaca: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammad wa Ali Muhammad wa min Ummati Muhammad”. Riwayat lain dari Baihaqi menyebutkan: Bismillahi Wa Allahu Akbar, Allahumma ‘anniy wa’an man lam yudhahhi min ummatiy.”

2. Berdasarkan riwayat di atas, kita diharuskan menyebut nama diri dan atau keluarga yang turut beribadah (penyembelihan) qurban itu.

3. Pisau Yang akan digunakan menyembelih harus tajam, sehingga tidak menyiksa hewan kurban. Hadits Riwayat Muslim:

وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته

“Perbaikilah sembelihan itu, maka hendaklah seorang kamu menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya” Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, (Mishr: Muassasat Qurthubah, t.t.) Juz 4, h. 123.

4. Dianjurkan (mustahab) untuk membaringkan hewan kurban pada sisi kirinya agar memudahkan sang penyembelih memegang pisau dengan tangan kanannya.

5. Dianjurkan berdoa untuk drterimanya hewan kurban; mendoakan untuk diri sendiri dan kerabat keluarganya, dengan mengatakan ” Rabbana taqabbal minna innaka Anta al-Sami’u al-Alim. (ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم )

6. Waktu penyembelihan hewan kurban ialah setelah ditunaikannya shalat Iedil Adhha, yakni selesai dibacakan khotbah sampai tiga hari sesudah shalat Iedil Adhha itu. Tiga hari itu adalah hari-hari tasyriq atau hari pelontaran jumrah di Mina oleh mereka yang berhaji. Bahkan suatu jamaah membolehkan penyem-belihan kurban hingga akhir bulan Dzulhijjah. Pandangan ini dapat dipertemukan dengan mengatakan bahwa penyembelih-annya hanya sampai sebatas hari tasyriq (tiga hari sesudah shalat ‘ied) dan pembahagiannya dapat saja sampai akhir Dzulhijjah. Bahkan sebenarnya pembahagian itu masih dapat dilakukan di luar bulan Dzulhijjah. Lihat dalam Al-Kahlaniy al-Shan`aniy, Subul al-Salam, Juz 4, h. 92-93.

C. PEMANFAATAN

1. Untuk pemanfaatan daging kurban ada dua kemungkinan, yakni Pertama, dalam keadaan masyarakat sangat kesulitan memperoleh makanan (daging) maka daging kurban harus dibagi habis dalam jangka waktu tiga hari; kedua, dalam keadaan masyarakat tidak mengalami kesulitan maka daging kurban dibagi menjadi sepertiga kepada yang berhak untuk mereka makan, sepertiga lagi dapat di disimpan (diawetkan untuk persiapan menghadapi kesulitan pangan), dan sepertiga sisanya dapat dimakan oleh yang punya hajat kurban. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW riwayat Bukhariy:

حدثنا أبو عاصم عن يزيد بن أبي عبيد عن سلمة بن الأكوع قال قال النبي صلى الله عليه وسلم ثم من ضحى منكم فلا يصبحن بعد ثالثة وفي بيته منه شيء فلما كان العام المقبل قالوا يا رسول الله نفعل كما فعلنا عام الماضي قال كلوا وأطعموا وادخروا فإن ذلك العام كان بالناس جهد فأردت أن تعينوا فيها

Artinya: Abu `Ashim memberitakan kepada kami, dari Yazid bin Abi `Ubayd, dari Salmah bin al-Akwa’, katanya: Bersabda Rasulullah: SAW barang siapa yang berkurban di antara kamu, maka janganlah sampai usai tiga hari masih ada tersisa di rumahnya sesuatu (daging kurban), maka tatkala tiba tahun berikutnya, mereka berkata hai Rasulullah apa kami lakukan seperti tahun lalu? Maka bersabda Rasulullah “Makanlah, dan beri makanlah, dan simpanlah, sesungguhnya tahu lalu itu manusia dalam keadaan susah, jadi aku ingin engkau membantu mereka”. (Al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy, (Beyrut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1407), Juz V, h. 2115

Adanya perintah “simpanlah” menjadi alasan pengalengan daging kurban oleh Negara-negara lslam kemudian dikirimkannya ke negeri-negeri Muslim yang kelaparan / kena bencana.

2. Daging kurban boleh dibagikan kepada tetangga non Muslim, guna memelihara keharmonisan bersama dalam suatu lingkungan pemukiman. Hal ini dapat dipahami dari hadits Nabi SAW sebagai berikut:

فجائز أن يطعمه أهل الذمة قال النبي صلى الله عليه وسلم لعائشة ثم تفريق لحم الأضحية ابدئي بجارنا اليهودي وروى أن شاة ذبحت في أهل عبدالله بن عمرو فلما جاء قال أهديتم لجارنا اليهودي ثلاث مرات

Artinya: maka boleh untuk diberi makan kepada non Muslim. Bersabda Rasulullah SAW pada Aisyah, soal pembahagian daging kurban, mulailah dengan memberikan tetangga Yahudi kita; dan diriwayatkan pula, bahwa seekor kambing dipotong kurban dari keluarga Abdullah bin Umar, maka tatkala Abdullah tiba, ia pun bertanya (tiga kali): apakah engkau telah memberikan ke tetangga Yahudi kita?. Lhat Muhammad bin Ahmad Abu Bakar al-Qurthubiy, dalam Tafsir Al-Qurthubi, (al-Qahorah: Dar al-Sya’b, 1372 H.), Juz V, h. 188.
2. Dibagi-bagikan dagingnya, termasuk kulitnya. Karena itu, tidak sah kurbannya jika kulit hewan kurban dijadikan upah bagi pekerja kurban. Pekerja kurban harus diupah tersendiri, tanpa mengurangi daging dan kulit hewan kurban. Hadits Nabi SAW sebagai berikut:

وعن عبد الله بن عياش المصري عن عبد الرحمن الأعرج عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من باع جلد أضحيته فلا أضحية له

“Dan dari Abdillah bin `Iyasy al-Mishriy, dari Abdurrahman al-A`raj, dari Abi Hurayrah RA, berkata: bersabda Rasulullah SAW barang siapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka tidak sah kurbannya itu” (Muhammad bin Abdillah al-Naishaburiy, al-Mustadrak `ala al-Shahihayn, Beyrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1411), Juz 2, h. 422.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.

SELAMAT BERKURBAN

PERJUANGAN KEBANGSAAN PALESTINA

Hamka Haq, Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia berkunjung ke Kedutaan Palestina diterima oleh Durta Besar Palestina Fariz Mehdawi.  Hamka Haq bersama Andreas Parera dan Ahmad Basarah menyampaikan surat dukungan Ibu Megawati Ketum PDI Perjuangan atas terpilihnya Palestina menjadi anggota PBB status Peninjau

Hamka Haq, Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia berkunjung ke Kedutaan Palestina diterima oleh Durta Besar Palestina Fariz Mehdawi. Hamka Haq bersama Andreas Parera dan Ahmad Basarah menyampaikan surat dukungan Ibu Megawati Ketum PDI Perjuangan atas terpilihnya Palestina menjadi anggota PBB status Peninjau

PERJUANGAN KEBANGSAAN PALESTINA

Oleh: Hamka Haq

Banyak orang yang salah paham tentang perang Palestina-Israel.  Dianggapnya perang itu adalah perang keislaman (jihad) untuk kepentingan sepihak umat Islam Palestina.  Parahnya lagi, diangapnya perang antara umat Islam melawan Israel (Yahudi) dan Kristen.  Padahal yang terjadi di Palestina ialah perang kebangsaan, yakni bangsa Palestina yang terdiri atas umat Islam bersatu dengan umat Kristen melawan Zionis Israel (Yahudi).

Ketika saya berkunjng ke Kedutaan Besar Palestina tangal 5 Desember yang lalu, Dubes Palestina Fariz al-Mahdawi sangat menyesalkan kesalah-pahaman itu terjadi di Indonesia.  Lalu Fariz menyatakan bahwa ada pihak tertentu yang memanfaatkan isu Palestina, dijadikannya sebagai komoditas politik dengan berdemo setiap ada serangan dari Israel, untuk mengambl hati umat Islam di Indonesia.  Padahal perjuangan kami di sana adalah perjuangan kebangsaan, demikian katanya.  Bahkan salah satu pernyataan beliau yang mengejutkan di salah satu koran nasional, bahwa penduduk Palestina sebenarnya lebih banyak menganut Yahudi ketimbang Islam dan Kristen (http://forum.kompas.com/nasional/50955-pernyataan-dubes-palestina-yang-mengejutkan.html)

Jadi di Palestina, Pejuang Masjidil Aqsha (Muslim) bersatu dengan Kristen pejuang Betlehem (bukannya berseteru), untuk menghadapi musuh bersama mereka, yakni Zionis Israel.  Bahkan dia sempat mengakui bahwa di kalangan militer Palestina, terdapat sejumlah panglima yang beragama Kristen, di antaranya yang paling terkenal seangkatan dengan Yaser Arafat ialah George Habas.  Seorang juru bicara Palestina di PBB se masa Arafat adalah Hanan Asrawi (perempuan cerdas) juga beragama Kristen.  Bahkan isteri Yaser Arafat, Suha juga seorang Kristen, walau pernah diisukan telah masuk Islam. Dan sekarang setiap ada serang Israel terhadap Muslim Palestina, biasanya mereka lari berlindung di gereja-gereja.  Begitupun sebaliknya, umat Kristiani berlindung di balek masjid-masjid.

Sangat sering terjadi di Indonesia, jika ada demo besar-besaran mendukung Palestina, seolah-olah Islam berhadapan dengan Yahudi dan Kristen, lalu di Indonesia ditafsirkan, Islam berhadapan dengan Kristen.  Padahal di Palestina Muslim-Kristen bersatu, jatuh bangun bersama menghadapi Israel.  Pemimpinn PLO Yaser Arafat yang Muslim itu pun ternyata hidup serumah dan seranjang dengan Suha yang Kristen.

Hiduplah Bangsa Palestina, suatu bangsa yang berjuang untuk merdeka, dan ingin berdamai dengan semua bangsa di dunia, termasuk Israel.  Namun, ada pihak-pihak tertentu yang sengaja memancing agar Palestina berperang terus (tanpa damai) dengan Israel.  Anehnya, HAMAS yang menguasai Gaza, terpancing untuk terus berperang, dan lebih aneh lagi pejuang Palestina di Indonesia lebih senang memihak pada Hamas pimpinan Ismael Haniyah (PM Palestina) yang suka perang itu, ketimbang PLO di Tepi Barat yang memilih jalan damai.  Berkat jalan damai yang dirintis oleh PLO di bawah pimpinan Yaser Arafat dan sekarang Presiden Mahmus Abbas, maka kini Palestia telah diakui sebagai negara anggota peninjau PBB, sederajat dengan Vatikan, walaupun belum menjadi negara merdeka.  PLO menerima konsep dua negara (Palestina dan Israel) yang hidup damai, sedang Hamas hanya mau satu negara (Palestina), tanpa Israel.  Isreal menurut Hamas harus dimusnahkan; inilah sumber konflik yang tiada akhirnya dan tidak menguntungkan dua belah pihak.  Wallahu A’lam bi al-shawab.

George Habash, salah seorang Panglima Perang Palestina dari kalangan Kristen, duduk berdampingan dengan Yasser Arafat.  Bukti bhw Perjuangan Palestina adalah Perjuangan Kebangsaan

George Habash, salah seorang Panglima Perang Palestina dari kalangan Kristen, duduk berdampingan dengan Yasser Arafat. Bukti bhw Perjuangan Palestina adalah Perjuangan Kebangsaan