Efek Domino Amandemen UUD 1945

Efek Domino Amandemen UUD 1945

Oleh: Hamka Haq.

Pada tulisan yang lalu, “Menyesal di Hulu, Jangan Marah di Muara”, penulis mengungkapkan dampak ditiadakannya GBHN pasca amandemen UUD 1945. serta berubahnya kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi, sederajat dengan Presiden.  Seiring dengan itu, pada uraian kali ini penulis mencoba mengemukakan terjadinya efek domino yang dapat merusak tatanan demokrasi kita dari demokrasi tertuntutun oleh Pancasila menjadi demokrasi liberal, kapitalis dan transaksional.

Setelah Presiden dinyatakan dipilih langsung oleh rakyat, yang memang seharusnya seperti itu, muncul dampak sampingan baru yang sifatnya negatif.  Yakni semua bentuk pemilihan dilakukan secara terbuka dan langsung oleh rakyat.  Pemilihan Kepala Daerah, misalnya, yang dalam UUD 1945 pasca amandemen, dinyatakan dipilih secara demokratis. Tidak dinyatakana dipilih secara langsung oleh rakyat, namun kalimat “demokratis” dipahami harus dipilih langsung oleh rakyat seperti halnya pemilihan Presiden, padahal pemilihan secara demokratis tidak mengharuskan secara langsung.  Pemilihan secara demokratis dapat pula dilakukan secara musyawarah dalam badan perwakilan, yakni DPRD Propinsi atau DPRD Kabupaten-Kota yang sejatinya merupakan hasil pemilihan langsung oleh rakyat sebelumnya.

Dampak pemilihan Kepala Daerah secara langsung membuat sebahagian Kepala Daerah merasa tidak lagi diangkat oleh Presiden, karena Presiden hanya menerbitkan SK pengesahannya.  Ibaratnya, Presiden hanya menjadi tukang stempel.  Mereka merasa diangkat oleh rakyat (konstituen) nya sendiri, disertai visi-misi yang disusunnya sendiri bersama konsultan politiknya.  Tidak ada jaminan bahwa visi-misi seorang Kepala Daerah harus sama dan searah dengan Visi-Misi Presiden, dan atau Visi-Misi Kepala Daerah di atasnya.  Akibatnya seorang Gubernur, Bupati atau Walikota merasa berhak mengoreksi kebijakan Presiden, jika memandang tidak sejalan dengan Visi-Misinya sendiri yang pernah ditawarkan kepada konstituennya.  Apalagi jika partai pengusungnya berbeda dengan partai pengusung Presiden.

Baru diera Reformasi-lah ada Gubernur yang merasa tidak wajib menjemput Presiden daerahnya atau ada Bupati yang merasa tidak wajib memenuhi sendiri undangan rapat kordinasi Gubernur dan hanya diwakili kepada dinasnya. Kejadian seperti ini tidak pernah didengar di era sebelum reformasi.  Dahulu, sebelum reformasi, Gubernur dan Bupati, Walikota dipilih oleh DPRD setingkatnya, dan pencalonannya ditentukan oleh Presiden dengan syarat-syarat kedisiplinan yang ketat.  Termasuk ketaatan pada PP no. 10 tentang larangan berpoligami bagi PNS dan pejabat negara.  Maka waktu itu, dapat saja seorang calon Bupati pada tahun 80-an, terpilih oleh DPRD setempat, dibatalkan pelantikannya oleh Presiden karena belakangan ketahuan punya isteri simpanan.

Sementara itu, sistem Otonomi Daerah berdasarkan Tap MPR no. XV Tahun 1998 dan turunannya, UU nomor 22 Tahun 1999, sebagian Kepala Daerah menyalah-gunakannya.  Sistem Otonomi Daerah pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya pemerataan kesejahreraan pada rakyat di daerah-daerah, dengan melimpahkan sebahagian kekuasaan pemerintah pusat (sentralisasi) kepada pemerintah daerah (desentralisasi) untuk mengatur dan membangun daerahnya sesuai dengan potensi masing-masing.  Ternyata, tujuan luhur tersebut tidak tercapai akibat munculnya raja-raja kecil Kepala Daerah yang berkolabirasi dengan pebisnis setempat.  Dampaknya ialah terjadi penyalah-gunaan kewenangan yang pada gilirannya melahirkan korupsi berjamaah.  Maka terdengarlah ada Gubernur bersama sejumlah anggota DPRD-nya terkena OTT berjamaah.  Demikian pula halnya, ada Bupati atau Walikota yang terkena OTT berjamaah, bersama sejumlah anggota DPRD nya, walaupun tidak semuanya.  Bahkan menurut rilis Liputan Enam, hingga tahun 2021, tercatat sebanyak 22 Gubernur dan 122 Bupati/Walikota yang korup terjaring KPK dan atau Kejaksaan.  Yang lebih mengenaskan, ialah tega-teganya seorang Gubernur menggunakan Dana Otsus atau APBD nya untuk memenuhi hasratnya berjudi on line.

Belum lagi kita bicara terjadinya kegaduhan ditingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), pasca pemilihan Kepala Daerah.  Biasanya Kepala Daerah yang baru terpilih merombak susunan SKPD nya, mengangkat pejabat baru dari kalangan tim suksesnya dalam Pilkada, dan menon-job-kan pejabata lama yang tidak loyal padanya selama proses Pilkada itu.  Hal ini biasa dilakukan guna mengamankan selanjutnya kebijakan-kebijakan Kepala Daerah yang bersangkutan, sesuai keinginannya melakukan penyalah gunaan anggaran, sebagai persiapan membayar kost pilkadanya.

Sementaa itu lahir pula ketentuan sistem pemilihan suara terbanyak sebagai bentuk liberalisasi pemilihan legislatif.  Sistem ini berlaku berdasarkan Putusan MK yang mengabulkan uji materi atas pasal 214 UU No. 10/2008.  Sejak berlakunya sistem suara terbanyak pada pemilu legislatif, sadar atau tidak, pada gilirannya melahirkan prinsip kapitalisme.  Bahwa siapa yang kuat modal (capital) dialah yang mampu membeli suara rakyat sebanyak-banyaknya untuk meraih kemenangan.  Dalam keadaan seperti itu, partai kehilangan kedaulatan, menjadi tidak lebih kendaraan mati bagi politisi kapitalis.  Partai tidak dapat menjamin kadernya untuk mewakilinya di DPR RI, atau di DPRD, sebab ia dibajak oleh pendatang baru di partai, yang walaupun baru seminggu memegang KTA.

Dampaknya, partai yang diamanahkan oleh Undang-Undang untuk menjadi lembaga politik guna melahirkan kader-kader pemimpin ideologis untuk bangsa, gagal total.  Baik dalam Pilkada, mupun dalam Pemilu Legislatif, demi meraih kemenangan partai terpaksa merekomendasi kandidat yang kuat modal, walaupun bukan kadernya sendiri.   Sudah menjadi rahasia umum, bahwa seorang tokoh yang siap maju dalam pilkada, kadang membeli sejumlah partai guna mencukupi jumlah anggota DPRD yang menjadi syarat pencalonan.  Apalagi jika partai-partai itu sendiri tidak punya kader yang mumpuni dan kuat modal.  Maka selanjutnya lahirlah demokrasi transaksional, sebagai cerminan liberalisme kapitalis.  

Berdasarkan sejumlah dampai negatif tersebut di atas, yang penulis sebut sebagai efek domino, karena lahir secara beruntun tanpa diprediksi seblumnya, maka sebagian anggota dalam Komisi Kajian Ketatanegaran (K3) MPR RI 2019-2024, mengusulkan kiranya dilakukan evaluasi terbatas atas Reformasi.  Bukan berarti membatalkan hasil-hasil positif dari Reformasi itu sendiri, melainkan guna lebih mengarahkan agar Reformasi yang bertujuan mewujudkan kehidupan demokrasi secara sehat berdasarkan Pancasila dapat tercapai secara maksimal.  Wallahu A’lam bil- Showabi.

ISLAM MELARANG MENYIKSA ANJING

Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA

            Masih sangat sering kita menyaksikan perlakuan negatif masyarakat terhadap hewan bernama anjing, yang menyebabkan penderitaan bahkan kematiannya, akibat persepsi berlebihan yang memandang anjing sebagai najis yang harus dijauhi, diusir atau bahkan dibunuh.  Apalagi akhir-akhir ini dikaitkan dengan rencana pembangunan wisata halal di daerah-daerah tertentu, terakhir viral berita soal persekusi anjing di lokasi wisata halal di di Aceh.  Penulis tergerak untuk menyampaikan bagaimana sesungguhnya pandangan syariat Islam tentang hewan yang bernama anjig itu sebagai berikut.

Pertama, Prinsip dasar aqidah Islam bahwa Allah SWT menciptakan semua makhluk tanpa kecuali sebagai ayat-ayat tanda kebesaran-Nya.  Semua makhluk ciptaan-Nya mempunyai manfaat, walaupun manfaatnya belum terungkap semua oleh sains dan teknologi.  Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Ala ‘Imran (3): 191.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١﴾

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan atau berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.)”

Ayat ini menunjukkan bahwa semua makhluk, termasuk yang namanya anjing itu, tidak sia-sia diciptakan Allah SWT.  Pastilah ada manfaatnya bagi manusia dan karena itu manusia harus memperlakukannya dengan baik.

Kedua, bahwa Al-Qur’an mengakui anjing sebagai hewan yang cerdas berburu, yang kecerdasannya dijadikan standar untuk halalnya hasil buruan, sebagaimana tersebut dalam Q.S. Al-Ma`idah (5): 4:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّهُ فَكُلُواْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهِ

وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ ﴿٤﴾

“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh mukallibin binatang pemburu (anjing) yang telah kamu latih untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang pemburu itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya)”.

Pada ayat tersebut terdapat diksi: mukallibin.  Dalam beberapa kitab tafsir misalnya Tafsir Jalalayn, Tafsir Al-Thabary, Tafsir Al-Baghawi, dan Tafsir Al-Qurthubiy, semua menyebut bahwa perkataan “mukallibin” dalam ayat ini mengacu kepada lafazh “kilab” yaitu anjing yang terdidik memburu, hasil buruannya halal dimakan.  Kecerdasan anjing dalam memburu menjadi standar bagi hewan lain yang sering juga dipakai berburu.  Maka jika binatang lain itu punya kecerdasan berburu seperti anjing, maka hasil buruannya pun juga menjadi halal.

Ketiga, bahwa sejalan dengan ayat di atas maka Nabi SAW membolehkan membudidayakan anjing untuk kepentingan berburu, penjaga ternak dan penjaga perkebunan.  Orang yang sengaja menahan atau mengurung anjing tanpa tujuan bermanfaat seperti itu, justru mengurangi nilai amal kebajikannya.  Ada beberapa hadits yang menyebut hal tersebut, antara lain hadits Riwayat Bukhari, sbb.:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا، فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطٌ، إِلَّا كَلْبَ حَرْثٍ أَوْ مَاشِيَةٍ”

قَالَ ابْنُ سِيرِينَ ، وَأَبُو صَالِحٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :” إِلَّا كَلْبَ غَنَمٍ، أَوْ حَرْثٍ، أَوْ صَيْدٍ”

“Barang siapa menahan anjing, maka berkuranglah amalnya setiap hari satu karat, kecuali memelihara anjing penjaga pertanian, atau anjing penjaga ternak”.  Ibnu Sirin dan Abu Shaleh menambahkan: Dari Abu Hrairah, dari Nabi SAW, katanya: “kecuali anjing peternak, atau anjing pertanian, atau anjing pemburu (aw kalbi ghanamin, aw hartsin, aw shaydin) (H.R. Bukhari, Juz 3, h. 103. no. 2322).  ‏

Tidak diagukan lagi, bahwa hadits tersebut menjelaskan kebaikan Allah SWT pada manusia, yang disampaikan melalui Rasulullah SAW tentang kebolehan apa saja yang bermanfaat bagi mereka. Atau tegasnya, bahwa anjing boleh saja digunakan dalam segala hal yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia, sebagai wujud kasih sayang Allah pada umat manusia. 

Keempat, bahwa berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan hadits-hadits lain yang senada dengannya maka sejumlah ulama menyatakan bahwa riwayat dari sahabat tentang adanya perintah dari Nabi SAW membunuh anjing, demikian pula hadits tentang malaikat tidak berkenan masuk rumah yang ada anjingnya, semua dinasakh atau ditakhshish (dikecualikan) oleh hadits yang membolehkan pemeliharan anjing peternak, anjing pertanian, dan anjing pemburu.  Dengan kata lain, perintah membunuh anjing hanya khusus berlaku pada anjing gila, yang gigitannya membahayakan manusia.  Dan bahwa hadits tentang malaikat tidak akan masuk ke rumah yang ada anjingnya (la tadkhulu al-malaikatu baytan fihi kalbun) adalahdikecualikan dengan anjing yang cerdas memburu, melacak, dan menjaga pertanian, peternakan, kediaman dan gudang-gudang persahaan. 

Perhatikan perintah membunuh anjing dan pengecualiannya sebagai terdapat dalam Shahih Muslim, berbunyi:.

عَنِ ابْنِ الْمُغَفَّلِ ، قَالَ : أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، ثُمَّ قَالَ : ” مَا بَالُهُمْ وَبَالُ الْكِلَابِ ؟ ” ثُمَّ رَخَّصَ فِي كَلْبِ الصَّيْدِ وَكَلْبِ الْغَنَمِ.

Dari (Abdulah) bin al-Mughaffal, ia berkata: ‘Rasulullah SAW memerintahkan membunuh anjing’, kemudian Rasulullah SAW sendiri bersabda: ‘apa gerangan mereka dengan anjing-anjing itu?’, kemudian beliau memberi kemudahan (pengecualian) pada anjing pemburu dan anjing penjaga ternak” (tsumma rakhkhasha fi kalbi al-shaydi wa kalbi al-ghnami).  [H.R. Muslim no. (93) 280].

Dalam kitab Al-Minhaj, Syarah Shahih Muslim, ditegaskan bahwa:  Adapun perintah membunuh anjing, maka para sahabat kami berkata: jika anjing itu suka mengigit (anjing gila), ia harus dibunuh, dan jika tidak suka mengigit, tidak boleh dibunuh, baik anjing yang punya manfaat tersebut ataupun yang tidak punya manfaat  (سواء كان فيه منفعة من المنافع المذكورة أو لم يكن).

            Berdasarkan dalil-daalil syariat di atas, maka persekusi terhadap anjing yang tidak membahayakan manusia, apalagi jika ia mempunyai manfaat seperti disebutkan di atas, merupakan pelanggaran syariat Islam.  Juga sekaligus tidak sesuai dengan spirit aqidah Islam tentang keharusan umat manusia memandang alam semesta dan segala makhluk di dalamnya sebagai ayat-ayat tanda keagungan Allah SWT, yang harus diperlakukan dengan akhlak mulia.

Kelima atau terakhir, bahwa sehubungan dengan adanya program wisata halal, maka sebenarnya dunia pariwisata bisa membuka unit wisata halal dengan membudidayakan hewan tertentu, antara lain anjing.  Yakni misalnya dengan mengadakan balai pelatihan khusus untuk melatih atau mendidik menjadi anjing pemburu, atau anjing pelacak yang bermanfaat bagi kepolisian, melacak narapidana, mengendus barang-barang yang berkaian dengan tindak kejahatan, seperti narkoba, barang curian dan sitaan.  Atau dididik menjadi penjaga ternak, pertanian, penjaga rumah kediaman dan gudang-gudang perusahaan.  Wisata seperti itu jauh lebih Islami, ketimbang melakukan pengusiran tanpa belas kasihan yang menyebabkan kesengsaraan bahkan kematian hewan bernama anjing itu.  Walau A’lam bi al-showabi.

JALAN SESAT KAUM TERORIS

Oleh: Prof. Dr.H.Hamka Haq, MA

Dalam dua dekade terakhir, di beberapa bagian dunia terjadi tindakan yang meresahkan, yakni serangan teroris. Serangan ini kadang lebih meresahkan ketimbang perang sesungguhnya, sebab serangan teroris terjadi dalam suasana damai dan berlangsung seketika, serta tidak bisa diprediksi kejadiannya.

Sebahagian besar teroris itu selalu dikaitkan dengan agama, namun jika dilihat dari segi ajaran, tak satu pun agama yang mengajarkan kekerasan terhadap sesama manusia.  Maka dari segi ajaran, sebenarnya teroris itu tidak berkaitan dengan agama apapun.  Namun, tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya teroris itu adalah penganut agama, dan mengaku melakukan tindakannya karena merasa didorong oleh agamanya, dan juga karena bertujuan untuk memenuhi tuntutan dan tuntunan agama yang dipahaminya.

Agama yang paling sering dikaitkan dengan teroris ialah Islam, karena lebih banyak pelakunya yang diungkap ke publik adalah beragama Islam.  Padahal perilaku teroris sebenarnya dapat saja dilakukan oleh mereka yang non Muslim. 

Sejarah mencatat betapa Irlandia dilanda pertikaian, silih berganti serangan bom, dan dalam suasana perdamaiannya, muncul lagi milisi baru IRA yang menjadikan polisi anti teroris sebagai sasaran serangannya. Demikian juga, beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Amerika dan Eropa diserang oleh teroris membunuh sejumlah mahasiswa dan pelajar.  Juga, yang tak dapat dilupakan ialah serangan terhadap jamaah masjid yang sedang beribadah di Selandia Baru, menewaskan 51 orang dn melukai 40 orang lainnya.  Belum lagi kita sebut serangan brutal kesekian kalinya oleh Israel terhadap penduduk sipil bangsa Palestina.  Namun sekali lagi, dunia lebih banyak mengekspos adanya teroris-teroris Muslim ketimbang lainnya.

Biarlah kita menerima hal itu sebagai fakta, dan sebagai bahan introspeksi untuk mengkaji apa penyebab sehingga seorang muslim rela menjadi teroris, merusak, membunuh orang lain bahkan membunuh dirinya sendiri?  Bagi penulis, setidaknya ada tiga letak kesesatan yang mendorong seseorang menjadi teroris itu, seperti diuraikan berikut:

Pertama, kesesatan dalam memahami tujuan dasar agama Islam yang dianutnya. Mereka tidak mampu membedakan antara ajaran dasar dan ajaran yang tidak dasar.  Kesesatan ini terjadi karena pelaku teroris itu biasanya memukul rata ajaran-ajaran Islam, tanpa memilah mana ajaran dasar yang berlaku secara universal dan mutlak dilakukan dan mana ajaran tidak dasar, yang sifatnya parsial, dan biasanya hanya dilakukan untuk keadaan tertentu.

Ajaran universal Islam bahkan ajaran semua agama, ialah kemaslahatan umat manusia secara umum.  Kemaslahatan itu ditandai dengan adanya kedamaian, ketenteraman, kebersamaan, gotong royong dan saling melindungi.  Ajaran kemaslahatan ini berlaku secara umum untuk kapan dan di mana saja, dan berlangsung secara tetap hingga waktu yang tidak terbatas. 

Islam sangat mementingkan tegaknya ajarn dasar tersebut, dan jika pada suatu saat kedamaian masyarakat terganggu oleh serangan pihak tertentu, maka umat Islam dibolehkan berperang untuk membalas serangan tersebut. Ajaran yang membolehkan perang ini adalah bersifat kondisional, hanya untuk saat tertentu ketika umat Islam mengalami gangguan dari luar. Jika gangguan itu telah berhenti, maka perang pun harus dihentikan, lalu kembali ke ajaran dasar semula, yakni kedamaian.

Sementara itu, pelaku teroris justr menjadikan perang sebagai ajaran dasar, sehingga bagi mereka umat Islam wajib memerangi umat agama lain kapan dan di mana pun tanpa mengenal kapan berhenti.  Mereka berpegang pada hadits yang berbunyi:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ، إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ “[1].

Artinya: “Dari Ibni Umar, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad Rasulullah, dan mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, jika mereka menunaikan itu, maka mereka terlindungi dari ku darah dan harta mereka, kecuali yang menjadi hak agama Islam, dan hitungannya atas Allah”. (HR Bukhariy).

Kedua, yaitu kesesatan dalam menggunakan dan menempatkan posisi dalil-dalil syariat, sehingga kadang dalil umum yang sifatnya zanniy lebih diutamakan ketimbang dalil tertentu yang sifatnya qath’iy (pasti).  Seperti penggunaan hadits tersebut di atas sebagai dalil pembenaran tindak kekerasan yang dilakukannya, betul-betul menunjukkan kesesatannya.

          Dimana letak kesesatannya? Coba perhatikan, kalimat hadits tersebut bersifat umum, tidak dibatasi terhadap siapa saja yang boleh diperangi, dan tidak juga dijelaskan siapa yang sehaursnya tidak diperangi.  Padahal dalam Al-Qur’an sudah ditegaskan secara khusus bahwa yang boleh diperangi hanyalah mereka yang memerangi umat Islam. Firman Allah SWT:

وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ ﴿١٩٠﴾

Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Q.S.Al-Baqarah (2): 190.

            Fungsi hadits sebenarnya adalah untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an, memerinci makna ayat-ayat yang masih bersifat umum.  Tapi jika suatu ayat telah dirinci secara tegas dalam ayat itu sendiri, atau dalam ayat lain, sehingga pemahamannya sudah qath’iy (pasti), maka hadits lazimnya memperkuat penegasan ayat itu, bukan sebaliknya mengaburkan dengan kalimat-kalimat yang bersifat umum.  Maka hadits soal perintah memerangi siapa saja yang tidak bersyahadat, yang kalimatnya sangat umum itu tidak dapat dijadikan dasar dalam kasus perang ini.

Lebih dari itu sangat mungkin hadits tersebut disampaikan oleh Rasulullah SAW sebelum tercapainya perjanjian damai Piagam Madinah, yang berhasil mendamaikan antara umat Islam dengan Yahudi, Nashrani dan agama-agama lain di sekitar Madinah.  Sebab mustahil sekali Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk memerngi non Muslim yang telah berdamai berdasarkan Piagam Madinah yang beliau buat sendiri.  Beliau adalah bersifat Shiddiq, jujur dan amanah, atau tidak berkhianat.

            Ketiga, kesesatan yang ketiga ialah kaum teroris itu keliru dalam memilih jalan jihad yang mereka tempu.  Di dalam Al-Quran telah digariskan:

فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ وَمَن يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيُقْتَلْ أَو يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً ﴿٧٤﴾

Artinya: “Hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Q.S.Al-Nisa (4): 74.

Dalam ayat tersebut tidak ada sama sekali kalimat yang menunjukkan bahwa seorang mujahid boleh atau harus membunuh dirinya sendiri.  Boleh saja ia tewas tetapi mati syahid karena dibunuh oleh musuhnya, bukan bunuh diri.  Bunuh diri adalah suatu perbuatan dosa besar yang dilarang oleh Allah SWT, sebagaimana  dalam Q.S.Al-Nisa (4): 29-30, Allah SWT menegaskan:

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً ﴿٢٩﴾ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَاناً وَظُلْماً فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَاراً وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيراً ﴿٣٠﴾

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang bagimu; Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Jadi tiada jalan sama sekali untuk membenarkan perilaku bunuh diri yang dilakukan oleh teroris, dengan menggunakan dalil syariat manapun. Sebab tiada sepotong dalil syariat yang membenarkan bunuh diri, termasuk bom bunuh diri dalam peperangan.

Catatan: Naskah ini sudah dimuat di http://genial.co.id/jalan-sesat-kaum-teroris/


[1] Al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy, Kitab al-Iman, Juz I, h. 14, no. 25 (e-book, Al-Maktabat al-Syamilah al-Haditsah).

HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL

Oleh: Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA

Setiap akhir tahun, persoalan umat beragama yang paling sering muncul ialah bagaimana hukumnya seorang Muslim mengucapkan Selamat Natal, atau Selamat Merayakan Natal?

Menyangkut hal ini, saya akan coba menjelaskan dua persoalan.

Persoalan pertama dan utama yang harus dipahami dahulu ialah, bahwa ucapan selamat untuk hari-hari suci agama lain, bukanlah ibadah.  Maka ketika kita mengucapkan Selamat Hari Natal untuk umat Kristiani, Selmat Galungan dan Kuningan untuk umat Hindu, Selamat Waisak untuk umat Budha, Selamat Imlek (Gong Xi Fat Chai) untuk umat Konghuchu, tidaklah berarti bahwa kita beribadah seperti mereka. 

Sama halnya jika umat-umat agama lain itu mengucapkan Selamat Idil Firi atau Selamat Idul Adha kepada umat Islam, tidak berarti mereka turut beribadah sholat idil fitri dan sholat idil Adhha.  

Dengan demikian, Ucapan Selamat Natal kepada umat Kristen yang merayakannya, hanyala merupakan kalimat sapaan pergaulan yang sopan menandai hubungan harmonis dalam pergaulan kita dengan umat agama lain. 

Hal sangat sejalan dengan firman Alah SWT dalam Q.S.Al-Mumtahanah  (60): 8 :

لا ينهىكم الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين

Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampong halamanmu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka.  Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”

Hal yang kedua yang perlu dipahami bahwa menurut keyakinan kaum Kristen, Yesus Al-Masih (Isa Al-Masih dalam Islam), itu adalah berada pada dua dimensi wujud, yakni dimensi Ketuhanan (Ilahiyah), dan dimensi kemansiaan (insaniyah).

Dari sisi ketuhanan (ilahiyah) Yesus, saya tidak akan membahasnya, karena bukan pada tempatnya saya membahas keyakinan agama lain.

Namun, dalam hal ini saya ingin bicara sedikit soal sisi kemanusiaan (insaniyah)-nya Yesus (Isa) Al-Masih.  Bahwa umat Kristen pun memahami bahwa Yesus itu adalah manusia, yang mengalami masa kelahiran.  Dalam Injil Matius dikisahkan bahwa Maria (Maryam dalam Al-Qur’an) mengandung sebelum digauli oleh suaminya bernama Yusuf.  Malaikat menenangkan hati Yusuf dengan katanya:  “Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dia-lah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka (Matius 1:21).  “Tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan dia Yesus” (Matius1:25).

Secara sepintas ada kemiripan, bahwa Al-Kitab dan Al-Qur’an sama-sama mengakui kesucian Maria (Maryam) ibunda Yesus Al-Masih.  Ia mengandung tanpa digauli laki-laki.   Dan sama-sama mengakui Yesus Al-Masih itu anak laki-laki dari Bunda Maria.   Di situlah sisi kemanusiaan Yesus Al-Masih itu. 

Soal kelahiran Yesus (Isa) Al-Masih, disebutkan dalam Al-Quran Surah Maryam (19) ayat 33:

والسلام علي يوم ولدت ويوم أموت ويوم أبحث حيا 

“Dan Salam sejahtera atasku pada hari kelahiranku, dan pada hari aku diwafatkan, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”

Sebagai manusia anak biologis dari seorang perempuan bernama Maryam , hari kelahiran Yesus (Isa) Al-Masih populer disebut Hari Natal.   Maka yang lahir (natal) sebenarnya bukanlah sisi Ketuhanan (Ilahiyah)-nya Yesus (Isa) Al-Masih, melainkan sisi wujudnya sebagai anak manusia.  Maka kalau kita umat Islam mengucapkan Selamat Natal, dengan keyakinan bahwa Yesus Al-Masih lahir sebagai anak manusia, yang diutus sebagai Rasul Allah, tidaklah membawa kita keluar dari aqidah Tauhid.  Atau tegasnya, kita tidak serta-merta menjadi murtad. Bukankah agama kita mengharuskan untuk menghormati semua Rasul Allah tanpa membeda-bedakannya, sebagaimana kita mengahrgai dan menghormati Nabi Besar Muhammad SAW.

Ucapan Selamat Natal dengan keyakinan seperti ini, menurut Sang Maha Guru, Prof. Quraisy Syihab, adalah uacapan Natal Qurani (lihat dalam Tafsir Al-Mishbah, vol. VII, h. 444-445).  Wallahu A’lam bi al-Showabi.

TUNTUNAN SYARIAT MENGHADAPI PANDEMI CORONA

TUNTUNAN SYARIAT MENGHADAPI MUSHIBAH PENDEMI CORONA

Oleh: Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA

Akhir-akhir ini perbincangan se Dunia adalah Pandemi Corona (Covid-19). Tak ada satu pun negara yang tidak bicara soal corona, walau rakyatnya tidak terpapar.   Di negara-negara mayoritas Muslim, Corona tidak sekedar masalah kesehatan, tapi juga telah menjadi perdebatan soal hukum. Hal ini menyusul adanya SOP kesehatan yang mengharuskan dilakukannya social distancing, yang berarti kita harus menjauhi keramaian, padahal ritual Islam sarat dengan keramaian, mulai dari sholat jamaah, sholat Jum’at, sampai pada ibadah umrah dan haji.

Sesungguhnya, persoalan tersebut seharusnya selesai tanpa perdebatan, asal saja setiap orang kembali pada prinsip-prinsip utama (ushuliyah) dalam ajaran Islam. Agama Islam adalah berisikan semua ajaran al-salam (keselamatan) dunia dan akhirat. Pada saat mengakhiri sholat, kita sering melampirkannya dengan doa yang berbunyi: Allahumma anta al-Salam, wa minka al-Salam, wailaika ya’udu al-Salam, fa hayyina, Rabbana bi al-Salam, wa adkhilna al-jannata Dar al-Salam. (Wahai Allah, Engkaulah Pencipta keselamatan, dari Mulah keselamatan itu, dan kepadaMu pula ia berujung, maka hidupkanlah kami wahai Tuhan dalam keselamatan, dan masukkanlah kami dalam sorgamu tempat kedamaian yang penuh keselamatan).

Ajarannya dapat terlaksana dengan mudah, sebab Islam adalah agama yang memudahkan umatnya. Bukankah Allah SWT menghendaki kita selalu mudah, yuridu Alllah bi kum al-yusra, wala yuridu bi kum al-`usra. (Q.S. Al-Baqarah[2]: 185). Karena itu setiap manusia menghadapi kesulitan, niscaya Allah menyertainya dengan kemudahan, fainna ma`a al-`usri yusra (Q.S. Al-Syarh [94]: 5).

Dalam mengahadapi musibah apapun, termasuk pandemi corona saat sekarang, mari kita menelaah dalil-dalil yang berkaitan dengannya.

  1. Berdasarkan prinsip bahwa Allah SWT melarang kita menjerumuskan diri dalam kebinasaan, sesuai Firman-Nya Q.S. Al-Baqarah (2): 195:

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين

Artinya: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Maka ibadah apapun yang dilakukan harus menjamin keselamatan jiwa kita sendiri, tanpa berpikir soal takut mati atau tidak, sebab ibadah diperintahkan Tuhan bukan untuk menguji nyali kita untuk mati tapi untuk menjadi bekal kebaikan dalam hidup dunia dan akhirat.

2.  Bahwa agama Islam memerintahkan umatnya menaati Allah, Rasul-Nya, dan Uli al-Amri, (yang punya otoritas untuk keselamatan umat) termasuk Pemerintah mereka. Sesuai firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Nisa’ (4): 59:Artinya: Wahai sekalian orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (penguasa) di antra kamu.Maka Sehubungan Pernyataan Pemerintah untuk menjauhi keramaian (social distance) 15 Maret 2020, untuk mencegah meluasnya wabah Corona Virus Diseas (Covid-19) dan terbitnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 14 Tahun 2020, tanggal 16 Maret 2020, untuk tidak melakukan Sholat Jamaah dan Sholat Jum’at di Masjid, yang disupport oleh dua ormas Islam terbesar, Nahdhotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang juga termasuk pemegang otoritas urusan keselamatan umat, waka WAJIB hukumnya kita mematuhi himbauan dan fatwa tersebut.

Uli al-Amri, dalam ayat ini mengacu kepada semua pihak yang punya otoritas untuk urusan keselamatan hidup kita bersama, termasuk pemerintah, para aparat kesehatan dan keamanan, dan representasi para ulama kita.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

3.  Bahwa larangan sholat berjamaah dan sholat Jum’at di Masjid atau Musholla, bukan sama sekali bentuk masjidfobia (anti masjid) seperti yang dituduhkan oleh kalangan tertentu bahwa larangan tersebut adalah upaya untuk menjauhkan umat Islam dari rumah ibadah mereka. Larangan bersholat di masjid, dan perintah bersholat di rumah pernah terjadi di zaman Nabi SAW dan sahabat, ketika turun hujan lebat berdasarkan riwayat Ibnu Abbas sebagai saksi hidup, dan memerintahkan muadzin sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ، قَالَ : حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، قَالَ : أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْحَمِيدِ صَاحِبُ الزِّيَادِيِّ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَارِثِ ابْنُ عَمِّ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ : إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ : حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ : صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ. فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا، قَالَ : فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمْعَةَ عَزْمَةٌ ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ

Artinya: “Telah memberitakan pd kami Al Musaddad,   katanya: telah memberitakan pd kami Ismail, berkata: telah menyampaikan pd kami Abdul Hamid Shahib Ziyadiy, katanya telah memberitakan pada kami Abdullah ibn Al Harits anak paman dari Muhamad bin Sirin, berkata Ibnu Abbas pd muadzin pd saat turunnya hujan (di hari Jumat), jika engkau telah membaca Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, maka jangan lanjutkan hayya ala alsholah, katakan saja: Shallu fi Buyutikum, (salatlah di rumahmu), karuan saja banyak orang yg menolaknya, maka Ibnu Abbas tegaskan: hal itu telah dilakukan oleh orang yang llebih bak dariku (yakni Rasulullah saw), sungguh sholat Jumat itu wajib tapi aku tidak rela mengajak kamu keluar lalu kamu berjalan pd tanah berlumpur dan licin. (Shahih Bukhari, juz 2, h.6, nomor: 901).  

Mari kita merenung betapa sayangnya ajaran Islam pada umatnya, dalam keadaan hujan lebat saja, yang diyakini tdak seberat mudhoratnya virus corona, Rasul dan Sahabatnya merekomendasikan untuk sholat di rumah saja, adzan pun dikumandangkan: صلوا فى بيوتكم.

4. Ada orang yang selalu ingin menunjukkan nyali untuk beribadah, walau sesulit apapun, seperti halnya dalam masa pandemi corona ini, dengan alasan bahwa mati dalam keadaan beribadah adalah mati syahid. Mati dalam menghadapi wabah penyakit apapun adalah mati syahid.   Maka mereka pun tidak peduli dengan himbauan dan fatwa ulama, dengan mencari kesyahidan itu.   Kalau hanya untuk memburu kesyahidan, maka agama kita pun memberi jalan kemudahannya. Perhatikan hadits berkaitan dengan merebaknya wabah penyakit tha`un d zaman Rasulullah SAW., sebagai berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ – يَعْنِي ابْنَ أَبِي الْفُرَاتِ – قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ ،عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّهَا قَالَتْ : سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ، فَأَخْبَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Artinya:Telah memberiatakan pd kami Abd Samad, memberitakan pd kami Dawud – yakni Ibnu Abil Furat – katanya: Telah menyampaikan pd kami Abdullah bin Buraidah, dari Yahya bin Ya’ mar, dari Aisyah RA katanya: Aku bertanya pd Rasulullah saw soal penyakit (virus wabah) Tha’un, maka Raulullah saw menyampaikan padaku bhwa itu adalah adzab yg diutus kpada siapa pun yg dikehendakiNya dan dijadikan sebagai rahmat bagi orang-orang beriman, maka siapapun pun laki-laki saat terjadinya tha’un lalu tinggal saja di rumahnya, dengan sabar berserah diri pd Allah semata, dia tahu bhw wabah itu tdk akan menimpah dirinya selain yg telah ditentukan Allah pada dirinya, niscaya baginya diberi pahala seprti pahala orang yang mati syahid.” (Hadits , Musnad Imam Ahmad.Juz 43 hal. 235. Hadits no. 26139).

Hadits ini memadukan antara ikhtiar menjauhi mudhoratnya virus tho`un dengan tawakkal pada takdir Allah dengan hanya tinggal di rumah dan bersabar, bukannya melawan arus menjadi penantang virus di luar rumah.  Mereka ini dipandang mulia di sisi Allah SWT ketimbang mereka yang berani keluar rumah dengan alasan tidak takut mati, tidak takut pada selain Allah SWT, kemudian membawa dirinya ke jurang bahaya, bahkan bisa mati sia-sia. Wallahu a`lam bi al-showabi.

HAJI MABRUR ITU INDAH (Bagian 2)

Haji Mabrur, Itu Rahmat (2)

Oleh: Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA

Betapa Sulitnya Mencium Hajar Aswad

Cara Mudah Rasulullah SAW Berhaji

Rasulullah SAW adalah uswatun hasanah, teladan terbaik bagi umat dalam pelaksanaan segenap ibadah, termasuk ibadah haji. Bukankah Rasulullah sendiri menyatakan dalam haditsnya: khudzu `anniy manasikakum, (ambilah contoh dari aku akan pelaksanaan hajimu)?. Hadits ini trdapat dalam Imam Abuw Zakariyya Yahya al-Nawawi, Syarh al-Nawawiy, (Beyrut: Dar Ihya’i al-Turatsi al-`Arabiy, 1392, Juz VIII, h. 220.) Cara berhaji ala Rasulullah SAW, banyak menyimpan rahasia untuk memberikan kemudahan berhaji sepanjang zaman.   Jika seandainya semua umat Islam meniru pelaksanaan cara haji Rasulullah, maka tidak akan pernah ada kesusahan dan kesempitan di tanah suci, seperti kesulitan yang selama ini dialami umat setiap tahunnya.

Setidaknya ada tiga penyebab terjadinya kesulitan yang dialami jemaah haji di tanah suci, yang solusinya sebenarnya sudah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Penyebab kesulitan itu antara lain: (1) Jumlah jamaah haji semakin lama semakin meningkat, maka mereka pasti semakin sulit menunaikan thawaf dan mencium hajar aswad secara sempurna dan aman. (2) Paham yang kaku tentang riwayat yang menyatakan bahwa shalat di Masjidil Haram adalah sama nilainya dengan shalat seratus ribu kali di masjid lain, dan shalat di Masjid Nabawi Madinah, adalah sama nilainya dengan shalat seribu kali di masjid lainnya, maka terasa semakin sempitlah kedua masjid itu, akibat membeludaknya jemaah haji yang ingin bershalat setiap waktu di dalamnya, tanpa ingin ketinggalan satu kali pun. (3). Adanya anjuran untuk mengambil shalat arbain (shalat jamaah empat puluh kali di Masjid Nabawi), maka setiap jamaah merasa rugi jika tidak bershalat di Masjid Nabawi, walaupun ternyata mereka kecape’an, ataupun kesehatannya tidak memungkinkan.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana sesungguhnya cara Rasulullah SAW berthawaf dan bershalat selama berada di Mekah ketika menunaikan haji wada, yang merupakan ibadah haji satu-satunya yang ditunaikan beliau selama mengemban risalah Islam. Ahmad Abdul Ghafur `Aththar, mencoba merangkai riwayat perjalanan haji Rasulullah SAW serta tata cara pelaksanaannya, dalam buku kecil: Ahkam al-Hajj wa al-`Umrah min Hijjati al-Nabiyyi wa Umarih, mengungkapkan riwayat berikut ini. Bahwa Rasulullah SAW, berangkat dari Madinah untuk berhaji, beliau tiba di Mekah pada hari Ahad tanggal 4 Dzulhijjah tahun ke 10 H. Sebelum masuk Mekah, Rasul bersama rombongan, bermalam di tempat yang bernama Dzituwa.

Riwayat dari Jabir RA dan Ibn Abbas RA menyebut bahwa, ketika Rasullullah SAW masuk kota Mekah, beliau langsung thawaf qudum, kemudian bershalat di belakang Maqam Ibrahim, minum air zam-zam, kemudian langsung melaksanakan sa`i. Setelah itu, beliau bersama rombongan, menuju ke arah Timur kota Mekah (sekitar 2 km), dan berkemah di tempat yang namanya Abthah. Dalam kemah itulah beliau menghabiskan waktu selama 5 (lima) hari, sampai hari ke delapan Dzulhijjah. Selama Rasulullah menginap di kemah itu, beliau bersama rombongan tidak pernah melakukan thawaf lagi (thawaf sunat) dan tidak pernah pula bershalat di Masjid Haram. Bahkan shalat lima waktu yang dilakukan Rasulullah SAW di Abthah bersama para sahabatnya adalah shalat jama` dan qashar.

Ketika wukuf di Arafah, beliau bershalat zhuhur sekaligus ashar dengan jama`-qashar taqdim. Demikian pula ketika bertolak ke Muzdhalifah, beliau bersama rombongan bershalat Maghrib sekaligus Isya dengan jama`-qashar ta`khir. Tetapi ketika melewatkan malam-malam tasyriq di Mina, beliau hanya mengqashar shalatnya tanpa menjama`.

Demikian itulah Rasulullah SAW memberi contoh kemudahan dalam menunaikan haji, tidak seperti sekarang, semakin lama terasa semakin sulit. Kita mulai dari sikap beliau yang tidak pernah kembali ke Masjidil Haram, baik untuk thawaf sunat maupun untuk shalat jama`ah, dan hanya tinggal di perkemahan Abthah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keharusan bagi jamaah haji untuk bershalat jama`ah fardhu di Masjidil Haram selama dalam masa penantian menuju ke Arafah, begitupun sesudahnya.

Sehubungan dengan ini, riwayat yang menyatakan shalat di Masjidil Haram itu sama nilainya dengan seratus ribu kali shalat di masjid lain, itu hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang tidak menunaikan haji. Adapun bagi mereka yang berhaji, Rasulullah SAW memberi contoh seperti di atas yang dipraktikkan sendiri bersama sahabat-sahabat yang ikut berhaji wada’ ketika itu. Andai kata hadits itu ditujukan untuk jamaah haji, maka tentu beliau bersama sahabatnyalah yang pertama-tama melakukannya, namun ternyata beliau tidak pernah lakukan sama sekali.

Demikian pula tradisi beliau mengqashar (meringkas) shalatnya selama di Abthah, kemudian di Arafah, di Muzdhalifah dan di Mina, menunjukkan bahwa tidak ada keharusan melakukan shalat secara normal (secara azimah) selama jamaah haji berada di tanah suci. Begitulah sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW untuk mempermudah umatnya menunaikan haji. Akan halnya mengenai shalat arba`in (empat puluh shalat jama`ah) di Masjid Nabawi di Madinah, juga tidak kuat dasarnya. Tak ada dalam kitab hadits-hadits shahih. Dengan adanya shalat arba`in itu, maka anjuran berziarah ke Madinah bergeser dari tujuan utama menziarahi maqam Rasul SAW ke tradisi shalat arba`in tadi. Padahal, hikmah utama perjalanan berhaji ke tanah suci ialah ke Mekah untuk thawaf di sekitar Baitullah di Masjidil Haram dan wukuf di Arafah, sedang ke Madinah untuk menziarahi maqam Rasulullah SAW di Masjid Nabawi.

Rupanya shalat arba`in ini hanya populer di kalangan jamaah haji Indonesia. Hal ini boleh jadi ada kaitan historis dengan sistem perjalanan haji Indonesia, yang dahulu masih menggunakan kapal laut, menyebabkan adanya masa tunggu yang cukup lama di Mekah menjelang pulang ke tanah air. Maka, untuk mengurangi kejenuhan, mereka diarahkan untuk ke Madinah tinggal selama sembilan atau sepuluh hari, dengan anjuran bershalat jamaah arbain tersebut. Hal ini tentu saja tidak relevan lagi dengan sistem perjalanan haji sekarang, yang menggunakan pesawat udara, bahkan dengan ONH Plus, ada perusahaan yang menawarkan perjalanan haji singkat, dan hanya tinggal di Madinah selama tiga hari saja, bahkan ada yang sehari atau sama sekali tidak ke Madinah lagi.

Uraian di atas bukanlah bermaksud sengaja memudah-mudahkan haji, tetapi semata-mata ingin menunjukkan sunnah Rasulullah SAW sebagai solusi yang paling tepat untuk mengatasi semakin sulitnya keadaan berhaji dari tahun ke tahun. Sekaitan dengan ini ada baiknya penulis kutip pendapat Ahmad Abdul Ghafur `Aththar, sebagai berikut:

“Raslulah SAW melakukan apa yang sudah disebutkan itu, yakni tinggal di Abthah dan tidak pernah ke Masjid Haram untuk thawaf dan shalat, merupakan petunjuk adanya rasa sayang Rasulullah pada umatnya, dan sebagai bukti pemberian kemudahan bagi mereka, dan anjuran untuk menjauhi kesulitan (masyaqqah) dan beban berat dari mereka.”   (Selanjutnya ia menambahkan bahwa): “Tetapi para jamaah yang berhaji di baitullah di masjidil al-haram, pada zaman kita sekarang, memaksakan dan mempersulit diri mereka, sampai pada batas-batas timbulnya keadaan saling menyakiti dan menyusahkan, hal mana disebabkan adanya nafsu besar untuk berthawaf dan bershalat di Masjid Haram. Padahal, ribuan jamaah haji yang berthawaf siang dan malam itu tidaklah seluruhnya menunaikan thawaf wajib (qudum atau thawaf umrah), tetapi hanya sekedar thawaf sunat atau sekedar tahyatul masjid; maka salah satu haknya orang-orang yang menunaikan thawaf wajib, ialah agar para jamaah yang berthawaf sunat itu meninggalkan thawaf sunatnya, karena mereka (orang yang berthawaf wajib) lebih berhak dan lebih utama melakukan thawaf, dan bagi mereka semua hendaknya mencontoh Rasululah SAW” (Lihat Ahmad Abdul Ghafur `Aththar, dalam bukunya Ahkam al-Hajj wa al-`Umrati min Hijjati al-Nabiyyi wa Umarih, (Makkah al-Mukarramah: 1990 – hal. 64.)

Mencontoh Rasulullah adalah lebih utama ketimbang mempersulit ibadah.   Tidak semua ibadah yang sulit direstui Allah dan memperoleh pahala besar.   Ingat, dalam Shahih Al-Bukhariy, kisah seorang sahabat yang ingin beribadah hanya karena dorongan semangat yang meluap-luap. Mendengar hebatnya ibadah Rasulullah, salah seorang dari sahabat menyatakan ingin bershalat malam terus menerus dan tidak akan tidur; seorang lagi berkata: aku ingin puasa terus menerus dan tak berbuka; dan yang terakhir berkata: aku ingin beribadah terus menerus dan tidak akan kawin selamanya. Apa tanggapan Rasulullah? Beliau justru menasehati mereka agar tidak meneruskan keinginan itu; beliau pun lalu menegaskan bahwa aku bershalat dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku beribadah dan juga kawin, lalu di akhir haditsnya Rasulullah menegaskan: barang siapa yang enggan mengikuti sunahku, maka bukanlah dari golonganku”. Jadi, orang yang beribadah hanya karena modal semangat tanpa kearifan, bukanlah dari golongan pengikut Nabi SAW, na`udzu bllah.

Jutaan manusia bertarauh fisik dalam thawaf di Masjididl Haram

HAJI MABRUR ITU INDAH (Bagian 1)

Haji Mabrur, Rahmat untuk Manusia (1)

Oleh: Prof.Dr. H. Hamka Haq, MA
Akhlak Mulia, itulah Rahmat Haji

Ibadah haji adalah satu-satunya ibadah yang hanya sekali diwajibkan atas Muslim seumur hidup; ibadah haji yang keduakali dan seterusnya hukumnya hanyalah sunat. Hal ini dipahami dari firman Allah:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Dan Allah mewajibkan haji atas manusia (Muslim), bagi yang mampu menunaikannya”  (Q.S.Ali `Imran [3]; 97).

Hal tersebut diperkuat lagi dengan Sunnah Nabi SAW, bahwa beliau berhaji hanya satu kali selama era kerasulan dan kenabiannya, yaitu keika menunaikan haji wada (haji perpisahan) pada tahun 10 H.

Haji diwajibkan hanya satu kali, merupakan rahmat bagi kaum Muslimin untuk tidak menyuitkan mereka.  Sebab, pelaksanaannya sangatlah berat dan sulit, mulai dari soal biaya, fasilitas dan pelayanan selama dalam perjalanan ke tanah suci sampai kembali ke tanah air, tidak semua orang dapat memperoleh atau menjalaninya dengan mudah, apalagi jika diwajibkan setiap tahun.

Tetapi di balik dari kesulitan itu, ibadah haji sangatlah istimewa karena ia merupakan rukun Islam yang terakhir, yang menjadi simbol kesempurnaan akhlak seseorang. Itu artinya, seseroang yang sudah menunaikan haji, apalagi jika hajinya berpredikat mabrur, niscaya ia beribadah shalat, zakat dan puasa disertai akhlak mulia yang merupakan rahmat bagi sesamanya. Adalah bertentangan dengan roh syariah jika seorang Muslim telah berhaji, tapi tidak mengamalkan ibadah pokok lainnya, apalagi jika akhlaknya semakin bobrok. Sama halnya, termasuk pelanggaran roh syariah, jika seorang Muslim hanya mengutamakan haji sunat berkali-kali dengan menghabiskan sekian banyak biaya, tanpa peduli pada pentingnya sarana sosial, ibadah, bantuan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi dan pemeliharaan anak-anak terlantar dan miskin di sekitarnya.

Memang, banyak orang berusaha keras meraih kesalehan pribadi dengan memperbanyak ibadah haji, tapi kososng dari rahmat kemaslahatan untuk sesamanya. Tidak sedikit di antara mereka, berkali-kali berhaji dengan niat mensucikan diri, bertobat kepada Tuhan di hadapan Ka`bah, namun sekembali dari berhaji, kembali pula melanjutkan dosa lamanya sebagai koruptor, provokator, ataupun kejahatan lain. Mereka hanya memperalat haji sebagai topeng kesalehan. Jangan berharap hajinya mabrur dan tobatnya dikabulkan oleh Allah SWT, selama tetap merampas hak dan menyakiti hati warga sekitarnya. Bahkan kadang kita menyaksikan, akhlak-akhlak tak terpuji itu pun masih terjadi di sela-sela pelaksanaan haji di tanah suci.   Orang berlomba dan saling memarahi, menyakiti dalam putaran thawaf, saling sikut menyikut berebut tempat sholat; apakah haji seperti ini mabrur, padahal Al-Quran sendiri melarangnya:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Musim haji dalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatkan untuk mengerjarakan haji maka tidak boleh rafats, tidak boleh fasik dan tidak boleh beebantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji.” (Q.S. Al-Baqarah: 198).

Maka pantaslah jika sekian banyak orang berhaji, tapi rahmat hajinya tidak dirasakan oleh masyarakat.

Maka, adalah tidak tepat jika kualitas keislaman itu diukur dari haji-tidaknya seseorang. Sebab jika haji menjadi barometer keislaman, maka bagaimana nasib berjuta-juta bahkan beratus juta umat Islam yang miskin yang berakhlak mulia dan memberi kemaslahatan, tapi belum berhaji? Apakah mereka mengalami diskrminiasi religius, dianggap rendah Islam-nya lantaran mereka bernasib miskin dan tidak bisa berhadji, walaupun akhlaknya mulia?. Karena itu, tidak tepatlah jika derajat keislaman diukur dari haji-tidaknya seseorang, tapi seharusnya diukur dari nilai taqwanya (akhlaknya) masing-masing. Tuhan sendiri berfirman: “Bertaqwalah kamu sesuai dengan kemampuanmu” (Q.S.al-Taghabun [64]: 16). Puncak-puncak derajat taqwa yang tertinggi dapat saja dicapai oleh sang miskin, dengan akhlak mulia, dengan menunaikan secara maksimal ibadah dan muamalah bermanfaat yang disanggupinya, meskipun ia tidak sempat berhaji. Berbeda dengan orang yang memang dianugerahi kemampuan ekonomi, kesehatan dan kesempatan untuk berhaji, tanggung jawabnya untuk bertaqwa harus dipenuhinya dengan menunaikan ibadah haji yang membuahkan akhlak mulia itu, tanpa melupakan kewajiban sosialnya kepada masyarakat.

Taqwa sebagai tujuan akhir dari keislaman haruslah bertolak dari iman yang benar. Karenanya ibadah haji tidak boleh lepas dari landasan iman sebagai sumber rahmat itu. Namun, seringkali orang tergelincir, mengira keislamannya sudah sempurna setelah berhaji, padahal justru ia menghancurkan imannya tanpa sadar. Misalnya, ada paham di tengah masyarakat tertentu bahwa segala sesuatu yang ada di tanah suci Mekah adalah otomatis suci pula, sampai membiarkan busananya kumuh tidak memenuhi syarat kesehatan, sebab diyakini tetap suci dan sehat. Orang seperti ini jelas mengalami buta akidah dan buta soal kesehatan dirinya. Hajinya pun tidak akan mabrur, malah menjadi haji mardud (tertolak) atas kemusyrikan dan kebodohannya, sehingga hajinya tidak memberi rahmat bagi dirinya sendiri.

Tindakan yang tak kalah cerobohnya ialah memaksakan diri melakukan hal-hal di luar syariat haji. Mereka tidak tahu membedakan antara amaliah haji yang wajib dan yang sunat.   Bahkan sesuatu yang tak disyariatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, justru dianggap wajib sehingga ia mengutamakannya ketimbang manasik rukun haji sendiri. Contoh konkret ialah mencium hajar aswad yang disunnahkan Rasulullah SAW, hanya sebagai rangkaian dari thawaf. Bagi yang tidak mampu mencium langsung, dianjurkan mencium jarak jauh, dengan cara menghadap ke arah hajar aswad sambil mengangkat tangan. Adapun mencium hajar aswad yang tidak dirangkaikan dengan thawaf, bukanlah perbuatan yang disyariatkan. Bahkan jika perbuatan semacam itu dapat membahayakan fisik, hukumnya menjadi makruh, dan jika mengancam jiwa maka hukumnya menjadi haram. Tetapi, banyak orang yang merasa hajinya tidak afdhol jika tidak berhasil mencium hajar aswad secara langsung, yang kadang mengancam jiwanya sendiri. Ini betul-betul suatu kebutaan hukum ibadah yang melanda sebahagian jemaah kita,sehingga hajinya tidak jadi rahmat tapi jadi mudhorat.

Dua contoh di atas, satu kebutaan akidah dan satu lagi kebutaan ibadah harus diatasi sebagai tanggung jawab bersama oleh para ulama, ustadz dan mubaligh Islam. Sebab, jika terus dibiarkan maka ibadah haji bukannya membawa rahmah melainkan membawa mudharat, padahal kita membutuhkan syariah yang rahmah untuk pribadi dan masyarakat. Saatnyalah kita mensosialisasikan konsep istitha`ah (kemampuan menunaikan haji) yang selama ini terbatas pada fisik dan biaya, harus dilengkapi pula dengan kemampuan memahami akidah, ibadah dan akhlak secara benar. Wallahu A’lam bil-showabi.

Hotel Zamzam Pullman, Makkah 14 Agustus 2018.

 

ASPEK HUKUM PENGUNAAN DANA HAJI

ASPEK HUKUM PENGUNAAN DANA HAJI

Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA

            Akhir-akhir ini soal dana haji ramai diperbincangan, kaitannya dengan rencana pemerintah memanfaatkan dana tersebut untuk pembangunan infrastruktur. Terlepas dari kaitan politik kaum oposisi, mari kita membahasnya dari sisi hukum Islam, apakah dana biaya perjalanan haji (disingat dana haji) itu dapat (halal) ditransaksikan menurut hukum Islam untuk pembiayaan pembangunan infrastrukur?

Dalam Al-Qur`an, terdapat ayat tentang ibadah haji dalam kaitannya dengan aktifitas (transaksi) ekonomi.   Surah Al-Baqarah ayat 198: “lays ‘alaykum junah an tabtaghu fadhl min Rabbikum, faidza `afadhtum in ‘arafat, fa`dzkuru `llah ‘inda ‘lmasy’ari ‘lharam…” (Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia (rezki) dari Tuhanmu; maka apalabila kamu bertolak dari Arafah, berdzikirkan kepada Allah di Masy’arilharam….). Dalam Tafsir Al-Qurthubiy Juz 2 halaman 413, dijelaskan bahwa yang dimaksud mencari karunia (fadhl), dalam ayat ini ialah kegiatan bisnis (tijarah). Dari sini dapat dipahami bahwa orang yang sedang berhaji di zaman Nabi SAW dibolehkan melakukan kegiatan bisnis, untuk menambah nafkah hidupnya, sepanjang tidak mengganggu ibadah hajinya itu.   Al-Qurthuby kemudian mengutip hadits riwayat Bukhari (Shahih Bukhari Juz 4 hal. 1642, hadits nomer 4247) yang berbunyi: “Kana Ukkazh wa Majnah, wa dzu al-majaz aswaq fi al-jahiliyyah, fataatstsamuw an yattajiruw fi al-mawasim, fanazalat: lays ‘alaikum junah an tabtaghu fadhl min Rabbikum fi mawasim al-hajj” (Adalah dahulu Ukkazh, Majnah, dan Dzul Majaz, merupakan pusat-pusat bisnis zaman Jahiliyah, lalu mereka merasa berdosa jika berdagang pada musim haji, maka turunlah ayat: Tiada dosa atasmu untuk mencari karunia (rezki) dari Tuhanmu pada musim haji”).

Sebenarnya, transaksi keuangan yang bernama setoran dana haji itu tidak pernah ada di zaman Nabi SAW dan Sahabat.   Hal itu karena di zaman dahulu, orang menunaikan haji dengan inisitatif dan bekal sendiri, berangkat dari kampung halaman ke tanah suci dan kembali lagi ke tanah airnya semua atas urusan dan bekal sendiri. Mereka tidak mengenal travel atau badan usaha dan lembaga pemberangkatan haji. Maka dalam buku-buku fikih klasik, transaksi keuangan di zaman Nabi dan Sahabat hanyalah hanya meliputi antara lain: jual beli (buyu’), utang-piutang (al-qardh / al-dayn), titipan atau (wadhi’ah), upah (ijarah), hadiah (hibah), tidak ada pembahasan mengenai setoran dana haji.

Karena itu, untuk mengetahui hukum mentransaksikan (tasharruf) dana haji itu perlu pembahasan dengan memakai kaedah Fikih atau Ushul Fikih, dan kaeda-kaedah Tafsir yang sudah masyhur. Untuk hal ini kita bisa mengunnakan qiyas (analogi), mafhum muwafaqah (pemahaman affirmative) dan mafhum mukhalafah (pemahaman kontrari).

Dari ayat Al-Baqarah 198 yang dikutip di atas, dipahami bahwa jamaah haji di zaman Rasulullah SAW dibolehkan berdagang untuk menambah nafkah dan bekalnya sendiri, sepanjang tidak menghalangi pelaksanaan ibadah hajinya. Maka apakah “dana haji” di zaman modern ini, khususnya di Indonesia yang juga merupakan persiapan bekal (ongkos) jamaah haji yang ditangani pemerintah dapat ditransaksikan untuk kegiatan muamalah bisnis, investasi, atau biaya pembangunan lainnya?. Mari dianalisis sebagai berikut.

Kita coba menganalogikan dengan metode qiyas, seperti apa gerangan “setoran dana haji” itu jika diukur dari bentuk-bentuk transaksi yang pernah ada di zaman Nabi SAW dan Sahabat?.   Dapatkah dikatakan sebagai titipan (wadhi’ah)?. Dana haji bukanlah titipan atau tabungan (wadhi’ah), sebab sang penyetor tidak berharap menerima kembali uang setorannya, tetapi ia berharap untuk diberangkatkan berhaji. Mungkin ia lebih dekat ke model buyu’ (jual-beli), walaupun tidak sepenuhnya sama dengan jual-beli biasa, karena setoran dana haji tidak membeli apa-apa, berupa benda yang konkret. Namun di satu sisi ada kesamaan dengan jual-beli bertangguh, walau yang dibeli itu bukan benda tetapi “jasa peberangkatan” untuk berhaji, yang diperoleh tidak secara kontan (seketika) tetapi menunggu waktu yang ditentukan pada saat transaksi. Di satu sisi, uang setoran pun belum mencukupi harga sebenarnya untuk jasa “pemberangkatan” berhaji, maka terjadilan utang-piutang antara calon jamaah (penyetor dana haji) dan pemerintah yang bertindak sebagai pihak penyedia “jasa pemberangkatan” jamaah. Utang-piutang itu berupa tanggung jawab pemerintah untuk menyiapkan “jasa pemberangkatan” dan tanggug jawab jamaah (penyetor dana haji) untuk melunasi pembayarannya kemudian.

Untuk mudah memahami, contoh konkret sebagai berikut. Bahwa seorang yang akan berangkat ke Amerika dengan menggunakan jasa travel. Ia telah membeli tiket, namun sesuai perjanjiannya ia tidak berangkat seketika, tetapi akan berangkat sebulan kemudian.   Dalam hal ini, nasabah travel tersebut otomatis tidak lagi berhak pada uang yang telah disetorkan ke travel, tetapi ia memperoleh hak imbalan untuk “berangkat ke Amerika”. Ini artinya hak kepemilikan “uang tiket” yang disetor tidak lagi di tangan nasabah, karena nasabah telah memperoleh hak baru yakni “pemberangkatan” ke Amerika.   Karena itu, kepemilikan “uang tiket” itu jatuh ke tangan travel, dan pihak travel berhak sepenuhnya mentransaksikan uang setoran dari nasabahnya, disertai tanggung jawab untuk memberangkatkan nasabahnya sebulan kemudian.

Dengan memakai analogi qiyas dari ushul fikih dan contoh sederhana di atas, maka dapat dipastikan bahwa seorang calon jamaah haji, ketika menyetorkan dana haji ke pemerintah, dengan niat untuk haji, maka secara otomatis calon haji tersebut telah memperoleh “hak berangkat menunaikan haji”.   Dengan demikian hak kepemilikan atas “dana haji” yang disetorkan, lepas dari tangannya, jatuh ke tangan pengelola jasa pemberangkatan berhaji, yakni Pemerintah, disertai tanggung jawab untuk memberangkatkan calon haji yang berangkutan. Sebagai konsekuensi, maka selama ini setiap calon jamaah haji diminta menandatangani “wakalah”, yakni pernyataan penyerahan hak pengelolaan dana haji itu ke Pemerintah.

Jika analisis qiyas (analogi) dan contoh sederhana di atas, dilengkapi dengan metode mafhum muwafaqah (pemahaman affirmatif), atau juga sering disebut qiyas awla, maka dapat dipahami bahwa orang yang sedang melaksanakan ritual haji saja di tanah suci dibolehkan berbisnis guna menambah nafkah dan bekal hajinya, sepanjang tidak mengganggu ibadah hajinya, apatah lagi jika hal itu dilakukan di tanah air, oleh orang yang tidak sedang dalam ritual haji, tentu akan lebih-lebih dibolehkan. Dengan catatan, pemerintah tetap akan menunaikan tanggung jawabnya untuk memberangkatkan jamaah.

Di sisi lain, jika “dana haji” itu dianalogikan dengan utang-piutang, yang harus dibukukan dengan rapi, maka hukum mentransaksikannya ditambah kajian sebagai berikut. Coba simak dulu Al-Baqarah, ayat 282, yang merupakan ayat yang terpanjang dalam A,-Qur’an. Penulis kutip potongannya saja sebagai berikut yang berbunyi: “Ya ayyuha ‘lladzina amanu idza tadayantum bi dayn ila ajal musamma fa’ktubuh, walyaktub baynakum katib bi’l’adl wa la ya`b katib an yaktub kama allamah ‘Llah falyaktub walyumlil ‘lladzi ‘alayh al-haqq walyattaq ‘Llah Rabbah wa la yabkhas minh syay’ “ (.Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya).

Di penghujung ayat ini terdapat peringatan agar pihak yang berutang tidak mengurangi nilai utangnya (wa la yabkhas minh syay’). Maksudnya agar pihak yang berhutang tidak menzholimi pihak pemiutang. Menurut metode mafhum mukhalafah, maka ayat itu memberi pengertian bahwa pihak yang berhutang dinilai afdhal jika jika berbuat maslahat kepada pihak pemiutang, ketimbang berbuat zholim. Karena itu, tindakan positif apapun oleh Sang Pengutang dapat dibenarkan, asal saja mengandung maslahat bagi pemiutang (penyetor uang), apalagi jika sama-sama memperoleh maslahat antara keduanya.

Kesimpulannya, baik dari pemahaman Al-Baqarah: 198 maupun pemahaman Al-Baqarah:282, semua membuka peluang bolehnya mentransaksikan “dana haji” untuk kermaslahatan bangsa yang di dalamnya umat Islam adalah mayoritas`. Hal ini dibenarkan jika benar-benar pemerintah tetap bertanggung jawab untuk memberangkatkan penyetor dana haji itu ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Dan lebih afdhal lagi, jika imbalan dari transaksi dana haji itu dapat membebaskan jamaah haji dari beban pelunasan biaya haji pada saat pemberangkatan. Semua tugas luhur tersebut akan dikelola oleh lembaga baru yang dibentuk Pemerintah bersama DPR RI yaitu Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) berdatsarkan Undang–Undang No.34 tahun 2014 (sejak era SBY). BPKH inilah yang menerima mandat dari calon jamaah haji selaku Muwakkil untuk menerima dan mengelola dana haji  Wallahu a’lam bi al-showabi.  

BAMUSI MENDUKUNG SEPENUHNYA PERPU ORMAS

 

Jakarta 23 Juli 2017, Islam Rahmah.com.  Sehubugan dengan terbitnya PERPU No.2 Tahun 2017 tentang Ormas, yang dipandang kontroversial oleh sejumlah kalangan, maka Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) ormas sayap Islam PDI Perjuangan justru menyatakan dukungan sepenuhnya atas PERPU tersebut.   BAMUSI memberi dukungan dengan alasan bahwa PERPU tersebut dimaksudkan oleh pemerintah untuk membentengi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  dari berbagai ronrongan bahkan ancaman dari ormas-ormas yang anti Pancasila.  Maka demi tegaknya ideologi Pancasila dan kokohnya NKRI, tidak ada jalan lain kecuali segera membubarkan ormas anti Pancasila itu.  Pernyataan tersebut dituangkan dalam Edaran BAMUSI tertanggal 23 Juli 2017, yang ditanda tangani oleh Katua Umum Prof.Dr.Hamka Haq, MA dan Sekretaris Umum Nasyirul Falah Amru, SE.  Berikut petikan edaran tersebut:

Menyikapi langkah Pemerintah menerbitkan PERPU No.2 Tahun 2017 tentang Ormas, sebagai langkah secara hukum untuk membubarkan Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), maka Pimpinan Pusat Baitul Muslimin Indonesia, dengan ini menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Bahwa tujuan Pemerintah menerbitkan PERPU No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas, adalah untuk menjaga tegaknya Ideologi Negara Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  2. Bahwa HTI adalah organisasi transnasional yang bergerak di bidang politik, dengan mengusung gagasan Negara Khilafah, adalah sangat tidak sesuai dengan tujuan terbentuknya Negara Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Reublik Indonesia tahun 1945.
  3. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila, UUD Negara RI tahun 1945 merupakan hasil perjuangan segenap elemen bangsa termasuk jihad dan ijtihad kaum ulama adalah merupakan tanggung jawab kita semua untuk meneruskan cita-cita perjuangan mereka.
  4. Bahwa aktifitas HTI selama ini telah terbukti menimbulan benturan sosial politik yang meresahkan masyarakat, yang jika dibiarkan berlanjut akan menambah eskalasi ancaman terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat dan merusak persatuan bangsa dan tegaknya NKRI.
  5. Bahwa gagasan Khilafah yang dusung oleh HTI, dipandang tidak sesuai dengan tujuan murni pembangunan peradaban dunia Islam masa kini, sehingga ditolak keras oleh lebih 20 (duapuluh) negara, termasuk negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim, khususnya Arab Saudi, Mesir, Malaysia, bahkan di Palestina tempat kelahiran Hizbu Tahrir itu sendiri.
  6. Berdasarkan petimbangan tersebut, maka Baitul Muslimin Indonesia, dengan ini menyatakan mendukung sepenuhnya langkah Pemerintah menerbitkan PERPU NO.2 Tahun 2017, untuk segera membubarkan HTI sesuai dengan proses hukum yang berlaku, guna menjaga tegaknya Ideologi Negara Pacasila, keutuhan NKRI, UUD Negara RI tahun 1945 dan kokohnya persatuan bangsa di atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Jakarta, 23 Juli 2017 M

SUBHANALLAH, SUNGGUH ISTIMEWA AL-QUR’AN

Subhanallah, Sungguh Istimewa Al-Qur’an

Oleh: Prof.Dr.H. Hamka Haq, MA

Salah satu keistimewaan Al-Qur’an ialah bahwa ayat-ayatnya dapat berlaku sepanjang zaman, dalam arti sejalan dengan perkembangan peradaban umat manusia. Mungkin uraian berikut dapat menunjukkan bagaimana Al-Qur’an itu sangat sesuai dengan peradaban modern, khususnya dalam kehidupan sosial politik.

Misalnya, akhir-akhir ini masyarakat Islam Indonesia ramai membicarakan Al-Maidah:51.   Padahal sebenarnya ayat itu sudah terang benderang artinya, cuma terkadang orang salah persepsi. Ayat itu pun semakin terang maknanya jika dikaji sesuai dengan perkembangan zaman. Mari kita kutip dulu ayat tersebut sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿٥١﴾

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan orang Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Selama ini, banyak khatib dan muballigh dalam ceramahnya mengenai pemimpin, tersandung saat mengartikan ayat ini, dengan soal kecil saja. Mereka memahami dengan singkat: “janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasharani (Kristen) menjadi pemimpin”. Mereka memakai kata “pemimpin” kata tunggal (mufrad), yang dalam bahasa Arabnya adalah waliyan, mengalihkan dari kalimat aslinya yakni awliya’ (pemimpin-pemimpin) dalam bentuk “jama`”.

Sepintas lalu kedengaran sama, padahal impilkasi politiknya sangat jauh beda antara kata “pemimpin” (waliyan), dengan kata “pemimpin-pemimpin” (awliya’). Sungguh benar Allah SWT memakai kata awliya’ (pemimpin-pemimpin, bentuk jama’), bukan kata waliyan (pemimpin, bentuk mufrad atau tunggal), karena kepemimpinan politik yang berkembang dari zaman ke zaman menunjukkan bahwa dalam masyarakat moderen, kepemimpinan tidak lagi dipegang secara absolut oleh satu orang pemimpin tunggal (waliyan), tapi dilaksanakan secara kolektif (jama’) oleh banyak orang (awliya’).   Artinya, kepemimpinan politik dewasa ini di seluruh Negara modern, bukan lagi dilaksanakan oleh seorang Raja atau Kaisar atau Sultan yang berkuasa absolut, melainkan oleh banyak pemangku layanan kekuasaan yang tidak absolut, yakni Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, Parlemen (DPR, DPD dan MPR), dan Mahkamah Agung. Belum lagi disebut Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri. Maksudnya ialah: Al-Maidah:51 melarang umat Islam memilih kaum Yahudi dan Nashrani menjadi awliya` yang mengusasi semua posisi kepemimpinan kolektif (jamak) tersebut. Itulah yang haram. Tapi jika suatu saat hanya satu di antaranya yang diduduki oleh kaum Nashrani (karena terpilih atau jalan lain), pada tingkat nasional atau daerah, (meskipun masih sangat langka dalam dunia demokrasi), maka itu tidak dalam kategori awliya` (jamak), sebagaimana disebutkan dalam Al-Maidah:51, sehingga tidak masuk dalam kategori yang dilarang dalam ayat itu.

Mengartikan ayat di atas dalam bentuk tunggal (mufrad) pemimpin (waliyan), berarti menarik kembali Al-Qur’an ke zaman kuno klasik, yang pada saat itu semua posisi kekuasaan politik hanya dipegang oleh satu orang yang berkuasa absolut tunggal, yakni Raja atau Kaisar tanpa konstitusi. Lebih dari itu, bertentangan dengan teks ayat itu sendiri, yang tidak berbunyi waliyan (tunggal), melainkan jelas-jelas berbunyi awliya’ (jamak) yang dapat dimaknai kepemimpinan kolektif (jama’ah) berdasarkan konstitusi. Maka pada konteks kepemimpinan kolektif (jamak, – awliya’) itu, jika semuanya dipegang oleh Nashrani, sekali lagi itulah yang dilarang dalam Al-Maidah:51 itu.

Jadi kalau ada pendapat bahwa menjadikan non Muslim sebagai SEORANG pemimpin, yang hanya memegang satu aspek pelayanan kekuasaan saja, itu tidak dilarang, maka pendapat seperti itu sama sekali bukan berarti menentang ayat Al-Maidah:51, melainkan justru bermaksud menunjukkan pemahaman ayat tersebut, bahwa yang dilarang adalah menjadikan non Muslim pada kedudukan awliya’ (menguasai seluruh posisi kepemimpinan). Sepanjang tidak sampai pada makna awliya’ itu masih dalam batas kebolehan.  Mari renungkan bersama tanpa dendam dan nafsu kebencian. Wallahu a`lamu bi al-shawab.