Ketika masih duduk di SMP di tahun 1966, masyarakat di desa kami Lompo Tengah Tanete Riaja Barru, mengadakan acara maulid. H. Jauharuddin, camat yang kharsmatik itu memberi kata sambutan. Ia menguutip ceramah seorang ulama yang baru pulang dari Mesir, namanya Ustadz Sanusi Baco Lc. Itulah untuk pertama kalinya, penulis dengar nama AGH Sanusi Baco (untuk seterusnya disingkat Gurutta Sanusi).
Di kampung kami masa itu, masyarakat sering mengundang penceramah dari luar. Waktu itu, suasana kompetisi antara Nahdhiyin (NU) dan Muhammadiyah sedang hangat-hangatnya, tapi tidak menimbulkan gejolak negative karena hubungan keluarga sangat kuat. Silih berganti antara NU dan Muhammadiyah mengundang penceramah. Dari Muhammadiyah, muballigh yang biasa diundang ialah AGH Kol. Makmur Ali, Ust. Tahir Hasan, dan Ust. Aziz Ishaq. Sementara warga NU sering mendatangkan Rais Syuriah Kabupaten, AGH Badaruddin Amin. Pernah juga mengundang dua ulama dari Makassar, yakni AGH. Murasalin Saleh dan Gurutta Sanusi. Saat itulah, untuk pertama kalinya penulis menyaksikan langsung sosok beliau yang bersahaja, tidak bersorban, tidak pula bergamis. Ia tampak rapi mengenakan sapari dan peci hitam.
Setamat PGA 6 tahun (Aliyah) tahun 1971 dari Pesantren Al-Tauafiq Barru, penulis diantar oleh Ust. Hasanuddin, teman ayah, mendaftar di Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar. Aktiftas Fakultas diawali dengan masa perkenalan almamater, dahulu namanya “pelonco”. Kami disuruh mencari kediaman dosen-dosen IAIN Alauddin, meminta tanda tangannya sebagai awal pengenalan. Salah satu adalah kediaman Gurutta Sanusi, masih di samping Masjid Raya Lama (sebelm direnovasi). Beliau menerima kami dan minta membaca kaver salah satu kitab yang tersusun di Rak bukunya. Penulis membaca “Al-Tafsir al-Hadits”, lalu ditanya apa artinya, penulis langsung jawab: “Tafsir Hadits”, beliau tersenyum, tapi tidak juga menyalahkan, padahal arti sebenarnya ialah “Tafsir Moderen”.
Dalam kesempatan lain, Ust. Hasanuddin mengajak penulis bersilatutahim ke rumah Gurutta Sanusi, dan memperkenalkan ke beliau. Beliau mulanya mengira penulis puteranya AGH. Abdul Haq, Imam Besar Masjid Raya. Ust. Hasanuddin lalu menjelaskan, hanya kebetulan nama akhirnya adalah Haq, karena ayahnya, K.H.Abdul Qadir kagum pada AGH Abdul Haq sebagai ulama dan hafizh Qur’an. Sejak itu penulis mulai paham sosok pribadi Gurutta Sanusi, sangat ramah, terbuka dan mudah bergaul dengan semua orang.
Beliau dosen pada Fakultas Syariah, dan hadir di Fakultas Adab sesuai jadual saja. Sama ketika penulis pindah ke Fakultas Ushuluddin 1973, beliaupun hadir sesuai jadual mengajarnya. Ketika selesai program Sarjana Muda, dengan gelar BA (Beacheloor of Arts) 1974 setara dengan diploma 3 sekarang, penulis mulai banyak bergaul dengan beliau di Universitas Al-Ghazali (UNIZAL) perubahan dari Universitas Nahdhatul Ulama (UNNU). Pergaulan lebih intens ketika beliau menjadi Rektor UNIZAL menggantikan AGH Muhyiddin Zain yang baru wafat ketika itu. Beliau sering ke Barru, mengajar di Fak. Tarbiyah UNIZAL Barru, yang kami bina bersama Uts. Hasanuddin dibawah pimpinan Ketua Yayasan AGH Badaruddin Amin. Beliau sekaligus berceramah di malam hari atas permitaan masyarakat. Metode dan isi dakwahnya disenangi oleh semua lapisan masyarakat tidak hanya kalangan Nahdhiyin.
Termasuk juga ketika penulis bertugas di MAN Soppeng tahun 1980, sering ketemu beliau saat berkunjung ke Fak.Tarbiyah UNIZAL Soppeng. Suatu ketika, beliau ceramah di Masjid Raya Soppeng, sempat melihat penulis dari jauh. Saat bubaran, langsung dari kejauhan melambaikan tangannya pada penulis. Beliau rupanya heran, mengapa penulis ada di sana. Beliu kemudian tanya, apa sudah kawin?, penulis jawab, sudah Ustadz. Beliau mengangguk dan katanya: “hidup anda sudah tenang”. Ini bukti bahwa beliau sangat penuh perhatian pada siapa saja yang sudah akrab dengannya.
Lebih-lebih lagi ketika penulis kembali ke Barru, dan diangkat menjadi Dekan Fak. Tarbiyah UNIZAL Barru, pergaulan dengan beliau semakin intens. Tidak hanya dalam soal kegiatan akademik, tetapi juga sudah semakin sering beliau diundang untuk acara-acara hari besar Islam.
Suatu ketika, usai ceramah maulid di Masjid Agung Barru, beliau diundang ke “rumah baru” seorang pembina masjid. Di salah satu tiangnya rumah itu, masih ada tergantung pisang setandang, dengan harapan agar tuan rumah semakin murah rezkinya. Ternyata beliau agak asing dengan tradisi seperti itu, beliau malah balik bertanya, untuk apa pisang tergantung itu?. Penulis hanya tersenyum dan tidak berkomentar.
Waktu berjalan terus, penulis lagi-lagi dipindah tugas ke Majene. Beliau pun kami pernah undang untuk sebuah acara Maulid Akbar yang diadakan oleh PHBI Kab. Majene. Padahal dua hari sebelumnya itu, beliau masih sempat hadir pada acara Maulid di Ambon Maluku. Setiba di Makssar, beliau langsung berangkat ke Majene bersama sopirnya. Beliau sempat tiba di subuh hari, dan penulis langsung mengantar ke rumah Bapak Drs. Lahamuddin, Sekda, mewakili Bupati. Bgitulah, kalau urusan dakwah, beliau tidak kenal lelah.
Dari Majene, penulis lanjut kuliah dengan biaya sendiri di Pasca Sarjana IAIN syarif Hidayatullah Jakarta 1986, atas rekomendasi Gurutta Sanusi sebagai Rektor UNIZAL. Untuk pertama kalinya, Pasca Sarjana IAIN Jakarta menerima dosen dari perguruan tinggi swasta. Setiap libur ke Makassar, penulis rajin bersilaturhami dengan beliau.
Saat melapor ke beliau atas selesainya studi S3 di Pasca Sarjana tahun 1990, bukan main sambutannya begitu hangat pada penulis. Beliau langsung jawab: alhmadulillah bertambah lagi doktornya UNIZAL. Seterusnya, penulis masih tetap menjabat Ketua Sekolah Tinggi Tarbiyah Al-Gazali Barru, dengn adanya peraturan Menteri Agama dan Mendikbud mengenai Perguruan Tnggi Agama Islam. UNIZAL dinyatakan bubar dan semua fakultasnya menjadi Sekolah Tnggi di bawa Yayasan masing-masing.
Tak lama kemudian di tahun 1990 itu juga, Majelis Ulama Sulawesi Selatan melaksanakan MUSDA di Asrama Haji Sudiang Makassar. MUSDA MUI Sul-Sel menghasilkan kepengurusan baru, dengan posisi Ketua Umum masih AGH Abdul Muin Yusuf, Qadhi Sidenreng. Gurutta Sanusi duduk sebagai Wakil Ketua Umum, sementara penulis pun terpilih sebagai Wakil Sekretaris Umum, di bawah Drs. H.M. Yabani. Tak lama berjalan, Ketua Umum AGH Muin Yusuf meminta agar penulis merangkap Sekretaris Harian, guna menangani masalah keseharian MUI, mengingat Sekretaris Umum sangat sibuk dalam tugasnya sebagai Kepala Bagian Sekretariat Kanwil Kemenag Sul-Sel.
Sebagai orang baru berdiam di Makassar, penulis sering diantar oleh Gurutta Sanusi bertemu dengan tokoh-tokoh pemerintahan dan pebisnis di Makassar. Suatu saat, diantar ke Pak Jusuf Kalla di kantornya, NV Haji Kalla. Walaupun sebenarnya, penulis dengan Pak JK punya hubungan persemendaan, melalui paman Prof.Dr.Amiruddin Aliyah suami dari Ibunda Zohrah Kalla, namun baru kali itu penulis punya akses ke berbagai aktifitas sosial Pak JK khususnya Masjid Raya Makassar yang beliau bina. Banyak jadual dakwah Gurutta diserahkan ke penulis saat beliau tidak sempat mengisinya.
Pada tahun 1991, MUI Sul-Sel membentuk Pendidikan Kader Ulama (PKU), dipimpin oleh Prof. Dr.H. Umat Syihab, dan penulis sebagai Sekretarisnya. Gurutta Sanusi, sangat rajin mengajar calon-calon ulama muda itu. Beliau bahkan lebih intensif lagi membina PKU ketika Prof. Dr.H.Umar Syihab hijrah ke Jakarta menjadi anggota DPR RI. Beliau akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum MUI Sul-Sel, pada MUSDA tahun 1995, sementara penulis juga terpilih sebagai Sekretaris Umum, hubungan kami pun tambah akrab tak ubahnya sebagai keluarga. Waktu itu, AGH Abdul Muin Yusuf mengundurkan diri karena merasa sepuh dan ingin kembali membina secara intensif pesantrennya di Rappang. Sebagai Sekeretaris Umum, tentu saja selalu menyertai beliau dalam setiap kegiatan MUI, baik di tingkat Provinsi maupun Nasional.
Beliau sangat luwes, dalam hal-hal mendesak, kadang beliau tanda tangani persuratan di tepi jalan. Namun beliau pun teguh prinsip, beliau tidak pernah merekom kegiatan-kegiatan aktifis Islam yang cenderung gaduh, terutama di saat panas-panasnya konflik horizontal Ambon dan Poso tahun 1998. Beliau benar-benar cinta damai dan ketenangan. Beberapa Surat Himbauan MUI Sul-Sel agar umat Islam tidak terpancing dengan konflik Ambon dan Poso itu, sempat kami tanda tangani berdua.
Persoalan yang cukup urgent bagi MUI Sul-Sel saat itu ialah belum adanya fasilitas kendaraan. Mobil Gurutta Sanusi, entah apa mereknya, sudh sangat tua, dan tidak layak dipakai untuk acara-acara di Gubernuran, sementara lembaga agama lain sudah pada punya mobil Toyota keluaran baru di zaman itu. Penulis pun berinisiatif memohon ke Gubernur untuk mudahnya aktifitas Gurutta, dan Alhamddulillah dipenuhi.
Selain aktif di MUI, beliau juga aktif di ormas lokal Daru Dakwah Wal Irsyad (DDI) Sulawesi Selatan. Memang, Sanusi Muda sejatinya adalah santri dari Pesantren DDI Mangkoso. Pernah menceritakan pengalamannya saat penamatan Madrasah Aliyah, para santri foto bersama dengan para pengajarnya. Saat mereka santri laki-laki mengajak santri perempuan foto bersama, pimpinan pondok marah besar, akhirnya mereka bubar berantakan.
Sepeninggal Ketua Umum PB DDI, AGH Abdu Rahman Ambo Dalle di tahun 1996, untuk beberapa saat DDI seperti organisasi auto pilot, berjalan tanpa nakhoda. Maka Gubernur Sulawesi Selatan, H.Z.B. Palaguna, selaku Pembina ormas keagamaan, atas saran dari beberapa tokoh penting, menunjuk Gurutta Sanusi menjabat Plt Ketua Umum PB DDI, dengan tugas mengantar DDI ke Muktamar tahun 1999. Akibat kisru internal dalam Muktamar 1999, pihak-pihak yang tidak puas, berinisiatif meredam kisruh itu dengn jalan pintas, yakni membentuk DDI versi baru, dengan nama DDI Ambo Dalle, disingkat DDI AD.
Sebagian besar tokoh legendaris historis DDI berada pada gerbong DDI AD, dan mereka melibatkan Gurutta Sanusi di dalamnya, walaupun beliaunya merasa berat hati. Maka kemudian desakan untuk ishlah antara dua kubu DDI semakin keras. Akhirnya dua kubu tersebut berikrar ishlah di hadapan Gurutta AGH Ali Yafi, pada tanggal 28 Feberuari 2015 di Jakarta, tokoh utama dan pelaku sejarah lahirnya DDI yang Alhamdulillah masih hidup sehat. Sejak terbelah menjadi dua versi, penulis tidak banyak megetahui perkembangan internal masing-masing versi DDI itu. Sementara Gurutta Sanusi Baco juga tidak intens lagi pada ormas tersebut, dan hanya menekuni tugas sebagai Ketua Umum MUI Sul-Sel. Yang jelas, beliau dan penulis sangat mendukung ishlah itu.
Jauh sebelum ishlah, lambat laum penulis berhasil mengambil posisi netral, bahkan PB DDI versi Muktamar 1999 sering mengundang penulis dalam sejumlah kegiatannya. Penulis sempat mendampingi Presiden Megawati ke acara Rakernas Muslimat DDI di Pinrang tahun 2004. Juga sempat hadir pada Muktamar 2009 di Asrama Haji Sudiang, dan juga pada Muktamar 2014 di tempat yang sama. Terakhir hadir bersama Gurutta Sanusi pada Mukernas DDI 2016 yang mengukuhkan ishlah DDI tersebut.
Menjelang Pilpres 2014, PDI Perjuangan mengusung Joko Widodo (Jokowi), sebagai kandidat Presiden. Penulis bertugas menyertai Jokowi bersosialisasi ke daerah-dearah. Ketika Jokowi bersosialisasi di Makassar, penulis mendampingnya bertemu dengan Gurutta Sanusi dalam acara silaturahim di kediamannya Jl. Kelapa Tiga Makassar. Di pagi hari itu, selama sekitar satu jam, acara silaturahim berlangsung dengan hangat. Hampir semua isi pembicaraan Gurutta menyangkut sosok Bapak Jusuf Kalla sebagai kandidat Cawapres yang layak mendampingi pak Jokowi. Sampai-sampai Pak Aksa Mahmud yang juga duduk di sampingnya, berbisik ke penulis, merasa kurang sreg, dan sedikit malu, karena Gurutta berkali-kali menyebut nama Jusuf Kalla, dengan segala capaiannya sebagai pengusaha, politisi dan aktifis sosial.
Sejak aktif sebagai anggota DPR RI 2014-2019, penulis agak jarang berinteraksi dengan Gurutta Sanusi. Hanya dari jauh membaca aktifitas Gurutta berdakwah, dan ceramah agama di berbagai tempat. Juga aktifitasnya sebgai Ketua Umum MUI Sul-Sel dan Rais Syuriah NU Sul-Sel. Pernah dua kali diberitakan Guruttta masuk Rumah sakit, namun tidak sempat membezuk beliau. Ketiga kalinya, pun terlambat, lalu penulis langsung menjenguk beliau yang masih jalani perawatan keluarga di rumahnya. Walau masih terbaring di tempat tidur, beliau melayani penulis berdiskusi ringan murni soal dakwah dan keluarga.
Tiba-tiba saja beliau melihat putri penulis di dekatnya, langsung beliau bercanda soal harga ayam. Asalnya, putri saya ini semasih kecil umur 3 tahun, sering tanpa setahu kita, memanggi penjual ayam yang lewat depan rumah. Ya senangnya begitu, mau tak mau ayam pun harus dibeli walau persiapan ayam masih ada. Kalau tidak, dia pasti nangis. Gurutta tetap mengingat itu, dan setiap penulis bersama istri bertamu ke rumahnya, pasti awal kalimat beliau, “bagaimana Bu, uang pembeli ayamnya?” Kalimat senada juga sering dilontarkan setiap penulis mengantarkan honornya dari Pendidikan Kader Ulama, langsung bilangnya, “Alhamdulillah, ada lagi uang pembeli ayam”, sambil ketawa kecil.
Gurutta Sanusi senang jika ada sahabat, atau murid-murid menziarahinya. Kalimat yang paling sering di awal diskusi setiap penulis menziarahi beliau, ialah soal pergeseran nilai. Inti dari nilai yang beliau tekankan ialah penghormatan terhadap ulama, terhadap dosen, terhadap yang lebih tua, yang menurutnya sudah banyak bergeser. Sekarang generasi muda semakin kasar pergaulannya. Sewaktu masih di Makassar, sebagai Plt Ketua Forum Antar Umat Beragama, yang kami bentuk bersama Pak Jusuf Kalla di tahun 1998, sebagai cikal bakal FKUB versi pemerintah, penulis sering mengantar tokoh-tokoh agama lain berkunjung ke rumah beliau. Beliau senang, dan menyebutnya “inilah nilai” yang harus dilestarikan.
Terlalu banyak hal yang bisa dikisahkan dari beliau, banyak pelajaran yang dipetik, banyak teladan dipanuti, metode dan materi dakwah yang sejuk, mengundang tawa yang bermakna, jauh dari sekedar candaan jenaka, sehari-harinya dengan kostum ulama ala Indonesia, peci hitam dengan jas yang rapi dipadu dengan sarung keindonseiaan, begitulah masih terbayang di benak kita. Kini beliau sedang menghadap Khaliqnya, Khaliq kita semua. Selamat jalan Gurunda, semoga teladanmu dapat kami teruskan. Amien Ya Rabba al-‘Aamin.
Pada tahun 2010, penulis mewakili Baitul Muslimin Indonesia menghadiri Konferensi untuk Pembelaan Baitul Maqdis (General Conference for the Support of Al-Quds), bertempat di Kualalumpur Malaysia. Konferensi berlangsung selama dua hari tepatnya tanggal 20 s.d. 21 Januari 2010, dihadiri sejumlah delegasi dari negara Timur Tengah, Asia Timur dan Asis Tenggara. Dari Indonesia, hadir pula wakil ormas Islam Muhammdiyah, NU, dan MDI.
Mantan PM Malaysia Dr. Mahathir Muhammad hadir sebagai Keynote Speaker, sekaligus membuka konferensi internasional tersebut. Dalam pidato tanpa teks, Mahathir menegaskan bahwa dunia internasional, khususnya Barat terkadang tidak adil memandang Palestina, dan persoalan umat Islam pada umumnya. Misalnya, serangan 11 September 2001 dianggapnya sebagai serangan teroris, sementara serangan brutal Zionisme Israel atas bangsa Palstina di Gaza tidak disebutnya serangan teroris.
Hal menarik lainnya dari pidato Mahathir adalah bahwa Amerika dan sekutunya di Eropa sengaja memberikan sebahagain wilayah Palestina menjadi negara untuk Zionis Israel, karena bangsa Barat merasa terganggu dengan kehadiran kaum Yahudi yang menyebar di negara-negara Eropa dan Amerika itu. Untuk menghindari gangguan tersebut, negara-negara Barat sepakat perlunya pembentukan Negara Israel sendiri untuk merelokasi kaum Yahudi berdiaspora itu. Hal ini baru kita dengar, dan jika benar demikian, maka bantuan Amerika dan Eropa ke Israel, yang seolah menjadikan Israel sebagai anak emas, ternyata bertujuan pula untuk menghindari perilaku kaum Yahudi yang mereka pandang sebagai trouble maker di negara mereka.
Persoalan kota suci Jerussalem (al-Quds) yang menjadi tema konferensi merupakan bahagian terpentig dari perang Pelaestina-Israel, dan menjadi alasan bagi negara-negara Islam untuk membantu perjuangan bangsa Palestina. Kini, Israel mengklaim Al-Quds menjadi Ibukota Negara Zionis itu. Di lain pihak, pejuang Palestina juga mencita-citakan sebuah Negara Palestina Merdeka, dan Al-Quds sebagai ibu kotanya. Maka terjadilah konflik antara Palestina dan Israel yang berkepanjangan seolah tiada habisnya. Terakhir kemarin terjadi saling serang yang tidak berimbang selama sebelas hari di bulan Mei 2021 ini. Walau kerugian besar dialami tentunya oleh Hamas, namun anehnya, Hamas justru mengaku menang dan marayakannya usai pengumunan gencatan senjata oleh Israel.
Pertanyaan, sampai berapa lama lagi perang itu berlangsung, dan kapan akan berakhir?. Sulit dijawab jika melihat eskalasi persoalan antara keduanya. Dan karena itu pula nasib Al-Quds pun tidak dapat dipastikan akan jatuh ke tangan siapa, dan sampai kapan ia terkatung-katung dalam bayang-bayang perang tanpa akhir itu. Jawaban yang mungkin ialah, bahwa nasib Al-Quds tergantung pada kepastian terbentuknya Negara Palestina Merdeka, yang dapat dicapai dengan memilih salah satu alternative berikut
Alternatif pertama ialah bangsa Palestina harus mempersiapkan diri menghadapi dan memenangkan perang panjang dengan Israel itu. Alternatif ini tentulah sangat sulit, tidak realistis dan tidak memberi kepastian kepada bangsa Palestina untuk dapat memproklamirkan kemerdekaannya dalam waktu yang singkat atau lama.
Alternatif kedua ialah menempuh perdamaian dengan meneruskan lagi peta jalan damai Oslo 1993 yang telah dirintis dan desepakati oleh oleh Yasser Arafat dan Yitshak Rabin, untuk berdirinya dua negara Palestina dan Israel yang berdampingan secara damai. Peta jalan damai itu juga kini sudah disetujui oleh Arab Saudi, Maroko, Uni Emirat Arab dan Bahrain. Tanpa melupakan perlunya pertahanan militer bagi sebuah negara, namun hal yang paling utama ialah Palestina dan Israel haruslah memastikan pihaknya untuk dapat hidup berdampingan dalam perdamaian abadi.
Sadar pula bahwa zaman globalisasi dewasa ini, mengharuskan semua komunitas manusia untuk saling berhubungan dengan baik tanpa sekat-sekat bangsa, ras dan agama. Untuk itu kecenderungan peradaban modern ialah membangun kedamaian untuk semua. Maka, saatnya kini paradigma perang yang berkepanjangan diubah menjadi paradigma perdamaian. Saatnyalah bangsa Palestina dan Israel semakin intens meneruskan perundingan demi kehidupan baru yang sejahtera dalam dua negara yang damai untuk selamanya.
Fatah dan Hamas, Bersatulah
Kendala utama perdamaian di Palestina ialah, pecahnya perlawanan bangsa Palestina sendiri, yakni Fatah (kekuatan inti PLO) dan Hamas. Fatah dan Hamas mempunyai gaya yang berbeda, fatah lebih cenderung memilih jalan diplomasi dan mudah diajak ke meja perundingan, sedang Hamash tetap memilih perjuangan bersenjata.
Dua gaya pergerakan tersebu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, namun untuk kondisi kekinian, maka jalan damai adalah pilihan yang realistis. Konflik bersenjata Palestina-Israel sudah berlangsung lebih 70 tahun, yang mengakibatkan korban mati syahid ratusan ribu jiwa, atau mungkin jutaan, eksodus besar-besaran, anak-anak terlantar hidup di pengungsian, serta keadaan yang selalu mencekam sewaktu-waktu menghadapi pengeboman dan serangan udara tentara Israel. Sekali lagi tanpa mengabaikan perlunya kekuatan militer untuk pertahanan diri, namun jalan perdamaian untuk mengakhiri penderitaan bangsa Palestina adalah jalan yang terbaik, dan merupakan pilihan yang realistis.
Untuk kepentingan itulah, maka seharusnya dua gaya pergerakan tersebut menyatu sebagai kekuatan dahsyat yang tiada taranya, memandang jauh ke depan untuk menata kehidupan berbangsa yang solid, dan meninggalkan egoisme sektoral demi terwujudnya Negara Bangsa Palestina Merdeka.
Untuk itu faksi Hamas harus berubah, harus menerima gagasan dua negara berdasarkan perjanjian Oslo 1993, yang selalu ditolaknya itu. Bagaimanapun juga gagasan tersebut itulah yang realistis, dan kini negara-negara Arab pun yang sejak awal berdirinya Israel menolak keras gagasan serupa, seperti Arab Saudi, Maroko dan negara-negara teluk, justru melunak menerimanya dan mengakui kehadiran Israel. Hal tersebut jauh lebih menguntungkan Palestina ketimbang ngotot berperang terus dengan tetap berharap donasi dari negara-negara Islam lain. Memelihara perang hanya merugikan semua pihak, terutama Palestina sendiri. Hamas harus memahami ini sebelum negara-negara Arab lain semakin banyak mengakui Israel, yang membuat Hamas semakin terkucil, bahkan mungkin Hamas akan dicap oleh mereka sebagai organisasi cinta perang ala teroris. Wallahu a’lam bil Showabi.