Foto: CakraDunia.co
Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA
Ottoman, the Sick Man of Europe
Setelah merebut Bizantium, Turki “Ottoman” Utsmani seolah tanpa henti berekspansi terus ke negeri-negeri Eropa, bahkan dinasi-dinasti Islam di Asia pun dicaplok semuanya. Di bawah Sultan Salim I (1512-1520) dan Sulaiman Agung (1520-1566), Utsmani melanjutkan perluasan kekuasaan ke dinasti Safawi (Persia), terus Teluk Persia, Mesir termasuk Laut Merah, bahkan sudah merebut Mesopotamia (Irak) bekas pusat wilayah khilafah Abbasiyah. Di Eropa, wilayahnya sudah meluas mencakup Beograd, Hongaria, Transylvania, Wallachia dan Moldavia, namun terhadang di Wina (1532), kecuali berhasil menaklukkan wilayah lain, Nice (1543) dan Korsika (1553).
Sedang ke benua Afrika, Utsmani berhasil menghalau pengaruh Portugal (1559), dan menganeksasi Kesultanan Adal di Tanduk Afrika sebagai awal kedaulatannya atas Somalia, Maroko dan wilayah Afrika lainnya. Sejak itu, otomatis Utsmani merajai Laut Tengah yang menghubungkan tiga benua, Eropa, Afrika dan Asia. Pokoknya Utsmani menjadi Imperium Islam Adidaya tak terkalahkan zaman itu. Kayaknya ingin mengulang kebesaran imperium Mongol ketika menjadi penguasa dunia, wilayahnya mencakup tiga perempat wilayah Asia dan seperdua Eropa.
Setelah sekian lama malang melintang beragresi leluasa ke Eropa, Asia dan Afrika, maka keperkasaan Utsmani pun berangsur pudar. Mitos bahwa Pasukan Utsmani tak terkalahkan mulai sirna ketika Angkatan Lautnya kalah dalam pertempuran di Eropa Selatan, Laut Mediterania (1571) melawan koalisi Katolik di bawah komando Philip II dari Spanyol. Utsmani kemudian semakin terseret-seret menghadapi tantangan Eropa pada sejumlah pertempuran dalam kurun waktu satu abad kemudian, dan pada akhirnya kalah total pada pertempuran dahsyat Wina di tahun 1683, pertanda berakhirnya keperkasaan Utsmani di Eropa. Hal ini akibat bangkitnya raja-raja Eropa bersatu melawan Utsmani, terutama oleh Rusia, Austria, Polandia dan Lituania. Satu persatu wilayah Utsmani di Eropa seperti Hongaria, Transyilvania, dan lainnya akhirnya direbut kembali oleh raja-raja Eropa.
Kekalahannya pada pertempuran Wina (1683) membuat Sultan Mehmed IV marah besar, dan menghukum mati Wazir Agung Kara Mustafa Pasha yang memimpin penyerangan itu. Pasca kekalahan itu, Utsmani mengalami titik balik setelah tiga abad menjadi kekuatan tak terbendung di Eropa. Dalam serangkaian pertempuran berikutnya, sebaliknya pasukan Utsmani selalu kalah, terutama setelah intervensi Paus Innosensius XI membentuk Liga Suci beranggotakan raja-raja Eropa, termasuk Tsar Rusia. Konflik dengan Eropa jeda sementara dengan Perjanjian Karlowitz tahun 1699, yang justru memaksa Utsmani menyerahkan kembali sejumlah wilayahnya ke Eropa. Dalam beberapa perang sesudahnya hingga menjelang akhir abad ke 19, yang diringi pula dengan perjanjian-perjanjian damai, terutama dengan Rusia yang sangat gigih melakukan serangan balik, Utsmani semakin kehilangan wilayah di Eropah, sampai dijuluki sebagai “The sick man of Europe” (orang sakit nya Eropa).
Untuk menghadapi arus serangan balik Eropa yang semakin deras itu, Utsmani melakukan reformasi militer. Sekolah artileri dibangun pada tahun 1734 guna mempelajari metode artileri Eropa, tapi tak berjalan dengan baik, karena ditolak keras oleh kaum ulama yang mengharamkan kerjasama dengan non Muslim. Militer terpaksa melanjutkan sekolah tersebut secara rahasia tahun 1754. Untuk kelancaran pendidikan secara umum, Ibrahim Mutafarrika sejak 1726 memperkenalkan mesin cetak guna menerbitkan buku-buku referensi sebanyak mungkin. Namun ia dibatasi mencetak buku-buku pelajaran umum non agama saja, atas fatwa kaum ulama yang melarang mencetak buku daras agama. Kaum ulama tetap mempertahankan penulisan tangan buku-buku agama untuk madrasah, terutama Al-Qur’an.
Reformasi militer juga diserukan oleh Selim III (1789-1807). tapi, lagi-lagi gagal karena penolakan keras korps laskar jihad Yanisari. Pasukan pengawal istana ini malah memberontak dengan bengisnya, dan akhirnya dibubarkan pada era Sultan Mahmud II (1808-1839). Selanjutnya Sultan Mahmud II melakukan pelatihan militer, dengan bantuan pelatih dari Mesir – wilayah Turki yang sudah merdeka –, menghindari kerjasama militer dengan Eropa yang pernah diharamkan oleh ulama. Sultan Mahmud II melakukan juga pembaharuan dalam pemerintahan dan hukum. Dia lah yang memulai pemisahan antara hukum urusan agama (tasyri al-diniy) yang dibawahi oleh Syaikh al-Islam dan hukum urusan duniawi (tasyri’ al-madani) yang diatur kemudian oleh dewan perancang undang-undang. Untuk hukum duniawi, Utsmani mengadopsi hukum Perancis dan negara Eropa lainnya. Tak salah jika dikatakan Sultan Mahmud II lah yang memulai proses sekulerisasi (pemisahan urusan agama dan dunia) dalam kehidupan sosial politik Utsmani.
Selanjutnya pada era Sultan Majid (1839-1961), terjadi reformasi besar-besaran oleh gerakan berkonstitusi atau lebih dikenal sebagai gerakan Tanzimat. Gerakan ini terinspirasi dari revolusi Inggeris (1688) yang mengubah kerajaan Beritania menjadi monarki konstitusional, dan revolusi Perancis (1789-1799) yang mengubah kerajaan Perancis menjadi republik. Pengaruh besar dua revolusi tersebut merembes ke Utsmani melalui kaum intelektualnya yang pernah belajar di Eropa.
Gerakan tanzimat secara perlahan mengurangi kekuasaan Sultan, dengan terbentuknya Parlemen yang mewakili segenap lapisan warga yang beragam agama dan etnisnya. Semua warga yang majemuk itu sama hak dan kewajibannya tanpa diskriminasi, sesuai dengan spirit hukum Eropa yang demokratis, juga sejalan dengan tuntutan Rusia akan adanya perlindungan bagi warga Kristen Ortodoks di wilayah Utsmani. Dua produk hukum Tanzimat, yakni Piagam Gulhane (1839) dan Piagam Humayun (1856) adalah berisikan hak-hak kesejahnteraan sosial yang setara bagi segenap kaum sipil Utsmani tanpa dikriminsi rasial dan agama, sejalan dengan spirit hukum Eropa.
Dengan demikian, warga Kristen di Utsmani dapat berkontribusi dalam politik dan terutama dalam kemajuan ekonomi berkat pendidikan mereka yang lebih unggul ketimbang Muslim mayoritas. Alasan klasik mengapa pendidikan umat Islam di sekolah umum menjadi terbelakang adalah karena sebahagian waktu tersita oleh kewajiban studi bahasa Arab, aqidah dan fikih; sementara sekolah-sekolah Kristen fokus pada penguasaan sains, teknologi dan ekonomi. Kondisi itu berlanjut terus hingga per tahun 1911, sekitar 80 % ekonomi Utsmani dikuasai oleh pebisnis Kristen Yunani.
Tujuan utama dan terpenting sebenarnya dari Gerakan Tanzhimat ialah untuk menjaga keutuhan wilayah Khilafah Utsmani yang masih tersisa dengan meredam derasnya tekanan Eropa. Juga meredam bangkitnya perlawanan propinsi-propinsi Arab yang mulai bergolak untuk merdeka dari Utsmani. Untuk meredam emosi rasial Eropa terhadap Utsmani, para petinggi Tanzimat berupaya meyakinkan Eropa bahwa khilafah (monarki) konstitusional Utsmani merupakan bahagian dari Eropa. Upaya mereka berhasil ketika Eropa menerima Utsmani bergabung dalam aliansi Eropa hasil Kongres Paris pada tahun 1856, disertai jaminan status quo bagi teritorial Utsmani di Eropa yang tersisa.
Parlemen di penghujung era Tanzimat kemudian menyusun konstitusi (Kanun u Esasi) yang lebih memperkuat dua piagam hukum sebelumnya. Untuk pertama kalinya, Utsmani di bawah Sultan Abdul Hamid II (1876-1909) menjadi monarki konstitusional, walaupun kedaulatan masih di tangan Sultan, bukan di tangan rakyat. Sayangnya konstitusi ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua tahun (1876-1878), berakhir dengan dibubarkannya Parlemen oleh Sultan. Sultan pun kembali berkuasa secara absolut. Bagaimana nasib dinasti absolut ini menghadapi dunia modern akan diuraikan pada bagian berikut. (bersambung).
Tulisan ini telah dimuat di https://www.genial.id/read-news/jatuhnya-bizantium-awal-kebangkitan-eropa-2