Foto: greelane.com
Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA
Sengsara Membawa Nikmat
Jatuhnya Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) ke tangan Turki Usmani (Ottoman) sungguh kemenangn gemilang bagi Khilafah Islam atas kekaisaran Kristen Ortodoks Romawi Timur yang membawa perasaan menyakitkan tiada taranya bagi Dunia Kristen Eropa. Betapa tidak, Bizantium sebagai kebanggaan Eropa itu adalah situs yang sangat melegenda, diperkirakan telah eksis sejak 672 sebelum Masihi. Ibu kotanya adalah Konstantinopel mengambil nama pendirinya, Kaisar Konstantinus I di tahun 306 M, dan sejak 330 M, telah menjadi ibu kota Bizantium.
Khilafah Utsmani adalah imperium Islam yang dibangun oleh bangsa Turki, yang masih berkerabat dengan bangsa Mongol dari Asia Tengah. Dua bangsa serumpun ini memang memiliki watak keperkasaan dan keberanian berperang yang tiada taranya. Di bawah komando Khalifah Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II), pasukan Utsmani mengepung Konstantinopel ibu kota Bizantium, selama 8 pekan. Akhirnya pada 29 Mei 1453 Bizantium takluk, sementara Raja Konstantinus yang memimpin pasukannya dalam perang itu juga tewas.
Maka secara defakto, kekuatan dunia di zaman itu terbelah menjadi dua, yakni Barat dan Timur, atau Eropa dan Asia, atau lebih khusus lagi, Kristen dan Islam. Namun siapa nyana, bahwa jatuhnya Bizantium sebagai pusat peradaban Kristen Eropa ke tangan Khilafah Islam waktu itu justru merupakan awal kebangkitan Eropa sendiri menuju puncak-puncak kemajuan peradaban modern. Atau seperti pepatah “Sengsara Membawa Nikmat”.
Bahwa peristiwa dahsyat itu menandai berakhirnya abad pertengahan atau berakhirnya perang salib yang telah berlangung sejak 1096, yang di dalamnya dunia Islam berhasil menunjukkan superioritasnya. Namun sekali lagi, apakah kejatuhan Bizantium itu benar-benar telah mengakhiri hegemoni Dunia Eropa Kristen atas peradaban dunia?. Ternyata tidak. Justru sejak kekalahan mereka di Bizantium itu, Eropa memasuki babak baru yakni zaman renaisans, bangkitnya kesadaran berilmu, meninggalkan dogma-dogma agama yang mengekang Eropa selama itu. Renaisans juga dapat berarti berubahnya pilar utama peradaban Eropa, yang sebelumnya bertumpu pada dogma-dogma agama yang kental dengan janji-janji spiritual ukhrawi di bawah panji-panji Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Bizantium, beralih ke peradaban yang bertumpu pada kemanusiaan, sains dan teknologi.
Hegemoni Gereja dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat menjadi pudar. Raja-raja Eropa satu persatu melepaskan diri dari kedaulatan Gereja yang selama itu menguasai dan mengekang mereka. Ajaran-ajaran Kristen mulai dipahami dengan tafsir baru, dalam proses reformasi yang pada gilirannya melahirkan mazhab Protestan.
Sementara itu, dunia ilmu pengetahuan berkembang pesat dengan spirit pengkajian secara rasional atas teks-teks warisan Yunani-Romawi. Ditunjang pula dengan eksodusnya para ilmuwan Yunani dari Bizantium yang sudah takluk. Renaisans juga diperkaya dengan warisan ilmu peninggalan Andalusia (Spanyol) yang telah direbut kembali Eropa setelah delapan abad dikuasai dinasti-dinasti Islam. Bahkan Eropa tidak segan-segan mendalami ilmu alam bangsa Arab, dan teknik persenjataan mesiu dari Asia yang dahulu dipakai Utsmani menaklukkan Bisantium. Pokoknya di zaman renaisans, semangat keilmuan Eropa telah menyala-nyala, sementara dunia Islam di bawah hegemoni Turki Utsmani masih bereforia dengan semangat ekspansi penaklukan wilayah yang tiada henti terhadap wilayah Kristen Eropa, bahkan terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Asia pun dicaplok juga menjadi propinsinya. Artinya, tak ada musuh, mereka pun saling bermusuhan.
Selama berabad-abad, Turki Utsmani gagal memanfaatkan posisi strategis Istanbul (konstantinopel), sebagai jalur ekonomi Asia–Eropa, untuk memakmurkan negaranya terutama untuk pengembangan sains dan teknologi. Turki Utsmani hanya fokus membiayai ekspansi wilayah ke Eropa dan Asia demi khilafahnya menjadi imperium raksasa untuk semakin disegani dan mengancam Barat. Hal itu sejalan dengan watak aslinya dari Mongolia yang haus perang.
Sementara itu, Eropa yang otomatis tidak dapat lagi menggunakan wilayah Konstantinopel sebagai jalur niaga antarbenua seperti sediakala, terpaksa mencari alternative lain. Maka dengan ditunjang sains dan teknologi yang semakin maju pesat, berkah renaisans, Eropa berhasil mengembangkan jalur perdagangan baru antarsamudra, menggantikan jalur antarbenua itu. Maka sejak abad ke 16 pun Eropa telah menjadi bangsa-bangsa penguasa maritime yang hebat. Dimulai dengan pelayaran Bartolomeus Dias yang menemukan Tanjung Pengharapan di Afrika Selatan (1488), dilanjtukan dengan pelayaran Vasco Dagama yang sudah menembus ke India (1498).
Dan dengan keyakinan bahwa bumi ini bulat seperti bola, berbeda dengan keyakinan umat Islam zaman itu bahwa bumi ini datar, Eropa berusaha juga menjelajah ke arah Barat. Sebuah pelayaran dipimpin oleh Christopher Columbus dari Italia atas biaya Ratu Isabella dari Kastilia penakluk Andalusia, berhasil menemukan benua Amerika pada tahun 1492.
Dengan penemuan jalur laut ke Timur oleh Bartolomeus Dias dan Vasco da Gama, bangsa-bangsa Eropa sejak itu menempuh rute niaga baru yang aman menuju negeri-negeri Asia penghasil rempah-rempah, sutera dan bahan baku lainnya. Mulanya hanya berusaha memonopoli bahan baku sekaligus memasarkan produk-produknya, tapi pada akhirnya mereka menjajah negeri-negeri yang dikunjunginya itu. Akhirnya semua negeri di Asia penghasil tambang, rempah-rempah, sutera dan bahan baku lainnya, yang pada umumnya adalah negeri-negeri Islam, jatuh menjadi jajahan Eropa.
Penjajahan Eropa atas negeri-negeri Islam jelas membawa penderitaan, kesengsaraan yang tiada taranya selama kurang lebih tiga abad. India dijajah Inggeris; Malaka dijajah Portugis dan Belanda; Nusantara (Indonesia) dijajah bergilir oleh Inggeris, Portugis dan Belanda; Pilipina dijajah oleh Spanyol. Inilah nasib yang dialami oleh negeri mayoritas Islam di awal abad modern, seolah merupakan pembalasan atas kemenangan gemilang imperium Islam Turki Utsmani atas Bizantium di tahun 1453.
Dari hasil penjajahannya, Eropa pun semakin makmur, dunia sains dan teknologinya semakin maju, industri kapal dagang berubah jadi armada perang. Selain itu, teknik persenjataannya pun semakin canggih, seiring pula pesatnya teknologi kedirgantaraan mereka. Maka dengan kemajuan seperti itu, pada gilirannya mereka kersekutu, berinisiatif menaklukkan Turki Utsmani guna menguasai kembali Anatolia bekas kekaisaran Bizantium, sebagaimana mereka bersekutu merebut kembali Spanyol dari tangan sisa-sisa Khilafah Islam Umayyah. Bagaimana nasib Turki Utsmani menghadapinya?, akan diuraikan kemudian. (bersambung)
Catatan: Tulisan ini telah dimuat di genilai.id.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat di Genial.id.