Suatu kebenaran kadang ditolak mentah-mentah pada awalnya. Ajaran Islam pun pada mulanya ditolak, namun akhirnya diterima secara luas di negeri Arab kemudian merambah ke seluruh penjuru dunia. Apalagi yang namanya pendapat manusia, walau mengandung kebenaran, pastilah awalnya ditolak dan ditentang.
Pada tahun 40-an misalnya, menjelang kemerdekaan terjadi polemik secara luas soal hukum transfusi darah. Segenap ulama ketika itu, baik dari NU maupun dari Muhammadiyah ramai-ramai mengharamkan transfusi darah. Mereka berdasar pada metode qiyas bahwa transfusi darah itu prosesnya sama dengan minum darah, yakni sama-sama memasukkan dara orang lain ke dalam tubuh seseorang. Pendapat lain adalah dari Ir. Soekarno yang justru menghalalkan transfusi darah. Bung Karno melihat dari sisi lain, bukan dari proses masuknya darah ke dalam tubuh, melainkan dari manfaatnya. Karena tranfusi darah dapat menyelamatkan jiwa orang sakit, maka Bung Karno melihat manfaatnya sama dengan pengobatan. Kalau pengobatan itu halal karena dapat menyembuhkan orang sakit maka transfusi darah pun pasti halal karena dapat menyembuhkan oang sakit. Menyelamatkan orang sakit pastilah dianjurkan Islam. Sekitar lima puluh tahun kemudian, barulah ulama ramai-ramai mengikuti pendapat Bung Karno, mereka juga sudah menghalalkan transfusi darah.
Seperti itu pula halnya, apa yang saya gagas dan laksanakan sejak tahun 1999 kini berangsur angsur disetujui oleh orang banyak. Bersama Bapak Jusuf Kalla (JK) kami membentuk Forum Antar Umat Beragama (FAUB), yang kemudian melaksanakan Natal Oikumene gabung dengan Halal bi halal usai Idil Fitri, pada satu acara bersama, tiga tahun berturut-turut (1999, 2000, 2001), guna mengajarkan umat Islam bahwa ucapan Selamat Natal tidaklah haram. Kini satu persatu tokoh dan ulama baru berani menyuarakan halalnya ucapan natal. Tapi belum berani melakukan natal bersama gabung dengan maulid dlm satu acara.
Kemudian pada saat saya menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Makassar (2001 sd. 2003) saya berani menerima mahasiswa Non Muslim (Kristen dan Hindu) belajzr di Fakultas kami itu. Semua ulama dan cendekiawan Muslim termasuk pimpinan IAIN sendiri menentang keras, tapi saya bertahan dan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Teologia di Makassar. Belasan dari mahasiswa non Muslim itu berhasil sarjana dari IAIN, sejak tahun 2004. Semua pimpinan IAIN mencibir, atau istilah sekarang membully, atas langkah saya dianggapnya “jahiliyah” itu. Namun ketika mereka ramai-ramai mengalih status IAIN jadi UIN mereka pun terpaksa harus menerima non Muslim jadi mahasiswa di Fakultas Umum.
Masih ada langkah saya yang dianggap “jahiliyah”, yakni ketika ormas Islam yang saya pimpin Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) di daerah mayoritas Non Muslim, saya minta non Muslim kalangan eksekutif menjadi Pelindung atau Penasehat BAMUSI. Begitupun misalnya ketika saya membolehkan doa bersama umat berbeda agama dalam satu acara, jelas banyak yang menilainya jahiliyah. Saya tentu melakukan semua itu karena ada alasan syariah dan alasan kemaslahatan yang saya temukan, mungkin sebelum yang lain menemukannya.