PELAJARAN BERHARGA DARI SUDAN DAN MESIR
Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA
Bagi kita bangsa Indonesia, yang bertekad menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan, dan menghindari perang saudara, kita patut belajar dari peristiwa yang dialami dua negara di Temur Tengah (Afrika), yaitu Republik Sudan dan Repulik Mesir. Dalam setahun ini, dua negara tersebut telah mengalami peristiwa yang dahsyat mengubah peta wilayah dan peta kekuatan politiknya.
Seperti diketahui Sudan mulanya adalah sebuah negara Republik yang heterogen, warganya menganut dua agama besar, yakni Muslim dan Kristen, di samping masih banyak pula kaum Paganisme. Warga Muslim sebagian besar mendiami wilayah utara negara itu, sedang warga Kristen sebahagian besarnya mendiami wilayah selatan. Pada mulanya kelihatan rukun sebagai bahagian dari wilayah bekas Sudan Anglo-Mesir, atau kondominum Britania dan Mesir, yang mencapai kemerdekaaanya pada tahun 1956.
Karena perbedaan agama, ditambah dengan orientasi kepentingan politik yang berseberangan disertai perebutan sumber daya ekonomi yang pada umumnya berada di wilayah selatan, maka terjadilah perang saudara antara mereka. Perang Saudara I berakhir, dengan sebuah kompromi yang memberikan kekuasaan otonomi untuk Sudan Selatan pada tahun 1972 dan hanya berlangsung damai sampai 1983. Perang Saudara II pun terjadi lebih seru lagi, yang diakhiri dengan perjanjian damai tahun 2005.
Dua Perang Saudara tersebut adalah akibat ketimpangan kekuasaan politik yang didominasi oleh warga Muslim dari wilayah utara. Namun ketimpangan tersebut pada mulanya masih dapat dikendalikan ketika pemerintahan masih berideologi nasionalis, seperti pada era Jafar Nimeiriy, yang memberi ruang bagi warga Kristen untuk posisi tertentu dalam kekuasaan. Tercatat pada era tersebut (1969-1985), posisi wakil Presiden pernah dijabat oleh dua warga Kristen dari Sudan Selatan, Abel Alier (1971-1976), dan Joseph Laghu (1982-1985). Pada awal pemerintahannya, Nimeiriy mengadakan Perjanjan Addis Ababa (1972), untuk menghentikan Perang Saudara I Sudan, dan memberikan kekuasaan otonomi bagi Sudan Selatan. Namun, di akhir tahun 1970-an, atas tekanan faksi Islam, ia menjalin hubungan dengan Ikhwanul Muslimin (IM) bahkan pada tahun 1983 Nimeiriy memberlakukan syariat Islam di negaranya itu. Akibatnya, Perang Saudara pecah kembali, karena pihak Sudan Selatan yang mayoritas Kristen dan Paganisme menentang keras konstitusi tersebut.
Di samping pengaruh IM, gerakan fundamentalis lainnya pun masuk ke Sudan. Presiden Omar al-Bashir yang berkuasa kemudian sejak 1989, lebih memperkuat syariah Islam atas Sudan. Rival al-Bashir, Hasan al-Turabi (bukan allamah Hasan al-Turabi), juru bicara Dewan Nasional Sudan tahun 1990-an, juga semakin dekat ke gerakan Islam radikal, bahkan mengundang Osama bin Laden ke Sudan sebelum Osama menetap di Afghanistan. Di bawah tekanan internasional yang menilai Sudan sebagai negara tempat berlindungnya teroris, ditambah bangkitnya perlawanan baru Sudan Selatan, maka Sudan menjadi negara yang kacau-balau dari sisi politik dan ekonomi.
Perlawanan Sudan Selatan (perang Saudara II) berakhir sukses dengan dibuatnya perjanjian komprehensif 9 Januari 2005 di Nairobi (Nairobi Comprehensive Peace Agreement) antara pemerintah dengan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan Selatan (Sudan People’s Liberation Movement). Perjanjian itu memberi jalan diadakannya referendum Januari 2011, yang hasilnya 99% rakyat Sudan Selatan menuntut kemerdekaan negerinya. Maka akhirnya Sudan pun resmi terbelah menjadi dua negara dengan diproklamirkannya kemerdekaan Sudan Selatan pada tengah malam 9 Juli 2011. Itulah hasil akhir pengaruh politik IM dan diterapkannya secara sepihak syariah tekstualis di Sudan.
Keterlibatan faksi politik IM di Sudan, ternyata juga kembali dimainkannya di Mesir, tempat lahirnya organisasi itu sendiri. Meskipun di Mesir, dampaknya tidak akan sampai memecah Mesir menjadi dua negara seperti Sudan, tetapi yang pasti ialah akan melibatkan rakyat Mesir pada konflik dan chaos yang tiada habisnya.
Melihat ideologi radikalis IM yang tidak sejalan dengan Al-Azhar dan Dewan / Majelis Fatwa Mesir yang nasionalis, maka kaum minoritas Syiah, juga kaum Kristen Kopti Mesir terang-terangan mendukung kaum oposisi. Hal itu adalah akumulasi dari keinginan umum warga Mesir untuk tetap berada pada ideologi Mesir yang Nasionalis, dengan terapan ajaran Islam secara al-Rahmah, merangkul semua warga termasuk warga non Muslim, tanpa tindakan otoriter dan undang-undang diskriminatif.
Bagi kita bangsa Indonesia, lewat jendela peristiwa di Sudan yang terpecah menjadi dua negara, dan Mesir yang dirundung konflik tiada habisnya, patut direnungi betapa pentingnya membangun kebersamaan dan kerukunan bagi semua warga negara tanpa diskriminasi etnis dan agama, guna meredam terjadinya sentimen rasialis, yang berujung pada disintegrasi bangsa. Maka harus disadari betapa indahnya cara berpikir para pendiri negara kita, menyusun dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD Negara RI 1945 yang jika dilaksanakan secara konsekuen, insya Allah NKRI tetap tegak yang di dalamnya warga Muslim hidup bersama dan damai dengan umat agama lain, sesama warga negara atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Semoga tak ada pihak di antara kita yang tergoda untuk menerapkan ideologi lain, apalagi ideologi yang berkaitan dengan agama secara sepihak. Jadikanlah agama sebagai pegangan moral, agama yang mendamaikan bangsa, sehingga umat kita menjadi warga yang baik untuk negaranya, yang menghormati dan saling mencintai sesama anak bangsa. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Aug
29
2013
Setuju dengan pendapat pak Hamka. Faktanya, kita belum menemukan contoh yang sempurna sebuah negara yang menjadikan interpretasi politik tentang Syariat sebagai ideologi dan konstitusi kenegaraan dapat berhasil dengan gemilang kecuali melahirkan despotisme seperti dalam kasus Saudi Arabia, dll.