SOLUSI HUKUM SEMBILAN ISTERI EYANG SUBUR
Oleh: Hamka Haq
Persoalan beristeri sembilan akhir-akhir ini, menjadi hangat ketika kasus perseteruan antara Adi Bing Slamet dan Eyang Subur marak di infotaimen. Seperti diketahui, perseteruan tersebut tidak saja menyangkut soal keyakinan yang sesat atau tidak sesat, tapi sudah merambah ke ranah hukum, khususnya hukum Islam. Terhadap aspek kesesatan ajarannya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa ajaran aqidah Eyang Subur (ES) itu sesat, dan mengajak yang bersangkutan kembali ke jalan yang benar menurut MUI, lembaga yang memayungi muslim (Sunni) sebagai mayoritas di Indonesia.
Namun menyangkut soal isteri ES yang berjumlah sembilan, lebih dari empat (dimadu secara mu’asharah/bersamaan), MUI menyebut bahwa hanya empat di antara isteri-isteri itu yang sah, kemudian meminta ES untuk menceraikan selebihnya, tanpa menetapkan kriteria dan siapa-siapa yang harus diceraikan.
Perintah MUI kepada ES agar memilih lima di antara ister-isterinya itu, untuk diceraikan, terkesan bahwa MUI secara hukum memandang sah perkawinan mereka, sehingga harus diceraikan pula secara hukum, berdasarkan pilihan ES sendiri. Namun, saya yakin, MUI tidak memandang sah perkawinan mereka. Karena itu perintah kepada ES untuk menceraikan isterinya, sebenarnya tidak perlu difatwakan oleh MUI, justru MUI seharusnya meminta langsung Pengadilan agama untuk memroses perceraiannya dengan jalan Fasakh, bukan cerai biasa. Pembatalan /pembubaran perkawinan dengan jalan Fasakh, berdasarkan keputusan pengadilan, biasa dilakukan antara lain karena: tidak terpenuhinya syarat-syarat sah suatu pernikahan, sehingga perkawinan itu batal dengan sendirinya demi hukum. Hal inilah yang terjadi pada kasus ES, karena mengawini isteri kelima dan seterusnya, pada saat dia memadu empat isteri, yang menjadi sebab keharaman isteri ke-lima dan seterusnya itu.
Jadi, menurut hukum, ES tidak perlu repot memilih isteri-isteri mana selain yang empat semula harus diceraikannya, sebab sudah jelas bahwa semua isteri yang dinikahi di luar dari empat isteri sebelumnya, adalah tidak sah pernikahannya, (tapi ketidak sahihannya tidak dipahami oleh ES) sehingga otomatis harus diceraikan oleh Pengadilan Agama, tanpa ada pilihan /alternatif bagi ES. Atau tegasnya, baik MUI maupun ES sendiri tidak punya hak lagi untuk memilih mana yang harus diceraikan secara fasakh, sebab sudah jelas siapa-siapa yang tergolong lima isteri yang memang pernikahannya cacat dan harus diceraikan secara fasakh, dan batal demi hukum.
STATUS ANAK-ANAK DAN NAFKAH HIDUP
Meskipun pernikahan ES dengan lima isterinya setelah empat isteri awal, tidak sah dan batal demi hukum sehingga harus cerai Fasakh, namun anak-anak yang lahir dari perkawinan itu dipandang anak yang sah. Jadi status anaknya terpisah dari status perkawinan. Perlu diketahui bahwa bagi anak yang dilahirkan dari pasangan laki-laki dan perempuan, terdapat tiga kemungkinan. (1) anak yang lahir dari perkawinan / pernikahan yang sah. (2) anak yang lahir dari perkawinan yang tidak memenuhi syarat sah, atau disebut juga nikah fasid. (3) anak yang lahir tanpa pernikahan antara kedua orang tuanya, disebut anak dari perzinaan.
Untuk kasus ES, kemungkinan (sifat) yang pertama berlaku hanya untuk anak-anak yang lahir dari pernikahannya dengan empat isteri awal, karena memadu empat isteri masih dalam koridor halal menurut hukum Islam. Karena itu hak-hak dan kewajiban suami isteri keluarga ES berlaku secara normal, dan tidak ada yang perlu dipersoalkan.
Adapun untuk isteri kelima ke atas, anak-anak yang dilahirkannya (jika ada) adalah diberlakukan ketentuan kedua, yakni anak yang lahir dari hasil pernikahan yang cacat (tidak sah) sehinga harus difasakh (cerai-bubar paksa). Anak-anak tersebut dipandang oleh umumnya ulama sebagai anak yang sah. Anak dipandang sah, karena diqiyaskan (dianalogikan) dengan anak yang lahir dari “jima’” atau “wath’u) yang keliru. Yang dimaksud dengan jimak yang keliru ialah senggama antara laki dan perempuan, yang terjadi bukan karena sengaja mau berzina, sehingga ia merasa tidak berzina, sebab mengira pernikahannya sah, atau karena yakin bahwa perempuan yang digaulinya adalah isterinya yang sah, bukan wanita lain.
Dalam kitab Al-Mughni,li Ibn Qudamah, Juz 8, h. 86, dikatakan:
قال أحمد كل من درأت عنه الحد ألحقت به الولد ولأنه وطء اعتقد الواطىء حله فلحق به النسب كالوطء في النكاح الفاسد
(Berkata Imam Ahmad, setiap watha’ (sanggama) yang tidak dikenakan had (hukuman)—karena tidak digolongkan zina– menyebabkan adanya hak (nasab) pada anak, karena merupakan watha’ yang dilakukan si wathi’ (laki-laki yang menggaulinya) dalam keadaan yakin akan halalnya watha’ yang diperbuatnya itu, seperti watha’ pada nikah fasid). Karena si ayah berhak atas nasab anak-anaknya dari nikah fasid itu, dan anak-anak itupun dipandang sebagai anak sah, maka untuk kasus ES, ia harus membiayai hidup anak-anaknya sampai dewasa. Bahkan sepakat ulama bahwa ayah anak-anak dari nikah fasid itu, juga wajib membayar mahar (mas-kawin) kepada ibu anak-anaknya itu, meskipun tidak disepakati bahwa ia harus membiayai kehidupannya (Al-Mughni,li Ibn Qudamah, Juz 7, h. 209.
Dengan demikian, para “isteri” ES yang status pernikahannya adalah nikah fasid, yaitu isteri yang kelima ke atas tidak perlu merasa resah atas statusnya sebagai wanita terhormat, dan tidak perlu resah jika diceraikan secara fasakh oleh Pengadilan. Status mereka bukanlah wanita pezina, bahkan disetarakan sebagai wanita muhshan wanita baik / terhormat (suci), seperti kesucian (muhshan) nya wanita yang dikawini dengan nikah yang sah. Meskipun mereka tidak ditentukan memperoleh jaminan hidup setelah diceraikan, tetapi mereka dapat memperoleh hibah (pemberian) atau hadiyah dari ES untuk nafkah selama hidupnya, atau selama tidak kawin lagi dengan laki-laki lan. Sedang mengenai status kehormatan mereka, sebagai wanita muhshan, bukan pezina dijelaskan sedbagai berikut:
وقال أبو ثور يحصل الإحصان بالوطء في نكاح فاسد وحكي ذلك عن الليث والأوزاعي لأن الصحيح والفاسد سواء في أكثر الأحكام مثل وجوب المهر والعدة وتحريم الربيبة وأم المرأة ولحاق الولد فكذلك في الإحصان
(Berkata Abu Tsaur, status wanita terhormat (baik-baik) didapatkan dengan watha’ pada pernikahan fasid, dan hal itu disampaikan dari Al-Laits dan Al-Awza’iy, bahwasanya nikah sah dan nikah fasid mempunyai kesamaan hukum dalam banyak hal, misalnya: wajibnya mahar, berlakunya ‘iddah (ketika difasakh), haramnya mengawini anak tiri, dan ibu kandungnya, serta berlakunya hak nasab anak, sebagaimana yang berlaku pada wanita ihshan (yang dikawini secara sah) Demikian dalam Al-Mughni li Ibn Qudamah Juz 9, h.41.
Namun ada satu hal yang harus diingat menyangkut “isteri” ES (jika ada) yang dinikahi secara fasid dalam keadaan tidak jelas perceraiannya dengan suami yang pertama. Jika wanita yang bersangkutan masih dalam status isteri sah dari laki-laki (suami) yang pertama, maka setelah dicerai fasakh dan lepas iddah, otomatis ia kembali menjadi isteri dari suami pertama.
Hal tersebut di atas diqiyaskan dengan pernikahan yang terjadi antara laki-laki dengan wanita yang ditinggal pergi suaminya, dan terbetik berita bahwa suaminya telah wafat. Namun setelah berumah tangga dengan suami yang baru, dan memperoleh anak, tiba-tiba suaminya muncul dalam keadaan hidup. Maka perkawinan wanita dengan “suami” nya yang kedua, harus difasakh (dibubarkan), dan setelah jatuh iddahnya, otomoatis wanita tetap menjadi isteri suami aslinya yang ternyata masih hidup sesudah diberitakan mati sebelumnya. Keterangan sebagai berikut:
فإن غاب عن زوجته سنين فبلغتها وفاته فاعتدت ونكحت نكاحا صحيحا في الظاهر ودخل بها الثاني وأولدها أولادا ثم قدم الأول فسخ نكاح الثاني وردت إلى الأول وتعتد من الثاني ولها عليه صداق مثلها والأولاد له لأنهم ولدوا على فراشه
(jika seorang laki-laki menghilang (meninggalkan) isterinya beberapa tahun, lalu sampai berita tentang kematiannya, kemudian setelah jatuh ‘iddah isterinya pun kawin, nikah sah secara lahir, dan “suami” kedua pun menggaulinya dan memberinya beberapa anak, kemudian tiba-tiba muncul kembali suami pertamanya, maka pernikahan yang kedua harus difasakh (diceraikan/dibubarkan), dan sang wanita pun harus dikembalikan kepada suami asli yang pertama, dengan ketentuan lepas iddah dari “suami” kedua dan memperoleh mahar mitsil (sedekah senilai mahar) dari “suami” kedua, dan adapun anak-anak adalah haknya (“suami” kedua), karena mereka dilahirkan di atas lamin /ranjangnya)) Ketentuan seperti ini diriwayatkan dari Ali RA, dan demikian juga pendapat Al-Tsawriy serta para penduduk Iraq; Ibn Abi Layl, dan Malik serta para penduduk Hijaz; Al-Syafi’iy, Ishaq, Abu Yusuf dan ulama lainnya. (Al-Mughni, Juz 8, h. 86.)
Untuk sementara sekian, semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.
This article is very interesting but it took me a long time to find it in google.
I found it on 19 spot, you should focus on quality backlinks building,
it will help you to rank to google top 10. And i know how to help
you, just type in google – k2 seo tips