
Dzikir Akbar dalam rasngka Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Klaten, dihadiri oleh Bupati dan sejumlah Habib
BETULKAH PERAYAAN MAULID ITU BID’AH?
Saya pernah dengar, ada ustadz Wahhabi yang adalah pendukung utama dari salah satu partai Islam, beliau mengharamkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, apa alasannya? Alasan dia mengharamkan Perayaan Maulid Nabi, karena Nabi sendiri tidak melakukannya, sehingga dianggap bid’ah dhalalah. Lalu dia mengutip hadits Nabi yang berbunyi: “kullu bid’ah dhalalah wa kullu dhalalah fi al-nar”, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan akan ke neraka!!!. Dia pun memperkuat alasannya dengan hadits riwayat Muslim berbunyi: “man ahdatsa fi amrina hadza ma laysa minhu fahuwa raddun”, barang siapa yang mengada-ada sesuatu dalam urusan (agama) kami ini, maka perbuatannya itu tertolak”
Sepintas ustadz yg mengharamkan maulid itu lebih alim dan lebih memahami hukum Islam, padahal ia justru membuka kmiskinan ilmunya tentang ushul fiqhi. Dalam ushul fiqhi (metodologi hukum) Islam, perbuatan secara garis besar dibagi dua: ta’abbud (ibadah) dan ta’aqqul (muamalah /duniawi). Ta’abbud yaitu ibadah murni (ibadah mahdha), harus 100% (sepenuhnya) dilaksanakan menurut ketentuan yang sudah diatur secara lengkap dalam syariat (shalat, zakat, puasa dan haji). Karena itu haram hukumnya untuk meng-ada2, menambah atau mengurangi pelaksanaan ibadah tersebut diluar ketentuan syariat.
Misalnya, pernah ada shahabat yg berpuasa sambil berjemur di terik matahari, Nabi melarangnya karena perbuatan berjemur di terik matahri bukan bahagian dari puasa. Tidak pernah ada ketentuan dalam syariat bahwa berjemur itu menjadi bahagian dari puasa. Karena itu, berjemur di terik matahari hanya merupakan inovasi sendiri dari sahabat yang bersangkutan, dengan niat agar puasanya afdhal, padahal tindakannya tersebut adalah bid’ah dhalalah. Maka Nabi melarangnya. Itu sekadar contoh.
Sementara itu, ta’aqqul, menyangkut soal duniawi, semua dpt dilakukan menurut pikiran, kecuali hal2 tertentu saja yg dilarang syariat. Pikiran dapat digunakan seluas-luasnya untuk memecahkan segala persoalan duaniawi, sebab syariat hanya memberikan ketentuan yang amat sedikit, dan terbatas. Nabi bersabda: antum a’lam bi umur dinyakum (kamu sekalian lebih tahu urusan duniamu sendiri). Jual beli misalnya, kita dibolehkan memikirkan dan melalkukan cara apa saja yang bermanfaat, sepanjang tidak merupakan riba, atau memperdagagkan khamar dan babi.
Di luar perbuatan di atas, terdapat perbuatan yang tidak merupakan ibadah mahdhah, tapi juga bukan muamalah duniawi, namun dapat menunjang ibadah mahdha. Perbuatan semacam itu biasanya dikategorikan mashlahah, misalnya: Percetakan Al-Qur’an, tidak pernah dilakukan oleh Nabi, tapi karena menunjang tegaknya aqidah dan ibadah, bahkan muamalah duniawi maka iapun disebut mashlahah.
Demikian juga halnya, bahwa Nabi SAW tidak pernah mempringati hari maulidnya, namun tak dapat dipungkiri peringatan maulid sangat menunjang penegakan aqidah dan ibadah, serta muamalah duniawi secara benar, maka peringatan maulid itu pun tergolong mashlahah. Dalam ushul fiqhi, peringatan maulid dipandang sejalan (washf munasib) dengan salah satu tujuan pokok mashlahat yaitu: hifzh al-din, memelihara agama. Jika upaya memelihara tegaknya agama itu wajib hukumnya menurut mashlahah, berdasarkan banyak dalil dalam Al-Quran dan Hadits Nabi, maka peringatan maulid menjadi bahagian dari kewajiban itu, walaupun tidak disebut dalam satu dalil apapun.
Kaedah Fiqhi mengatakan: ma la yatimm al-wajib illa bih, fahuwa wajib, apa saja yg turut menyempurnakan suatu kewajiban maka ia pun wajib. Maka peringatan maulid tidak dapat sama sekali disebut bid’ah, apalagi bid’ah dhalalah, karena bid’ah semacam itu hanya berlaku untuk ibadah mahdhah yang diubah-ubah /ditambah-tambah, sedangkan peringatan maulid tidak menjadi ibadah mahdhah. Sebagian ulama justru menamai peringatan Maulid sebagai Bid’ah Hasanah, upaya inovatif yg bermanfaat. Namun istilah yang lazim sebenarnya dalam ushul fiqhi untuk hal-hal semacam ini ialah mashlahah mursalah. Wallahu A’lam bi al-shawab.