MEMAKNAI IDUL ADHA DENGAN SPIRIT SUMPAH PEMUDA

MEMAKNAI IDUL ADHA DENGAN SPIRIT SUMPAH PEMUDA

Oleh: Hamka Haq

Idul Adh’ha (Adha) disebut juga sebagai Idul Qurban, kini sedang dirayakan oleh umat Islam. Qurban, selama ini dipahami sebatas ibadah penyembelihan hewan, berasal dari kisah Nabi Ibrahim ketika akan menyembelih puteranya, Ismail, yang menggambarkan ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail pada perintah Tuhan.  Jika pemahaman demikian tidak disertai hikmah kemanusiaan yang mendalam, akan mudah disalahpahami dan menjadi doktrin radikal yang memotivasi keberanian seseorang menjadi martir, dalam suatu “jihad” bom bunuh diri.  Tidak mustahil, pemahaman seperti itulah yang mengilhami pelaku bom bunuh diri yang menimbulkan korban dan kerusakan luar biasa di sejumlah negara termasuk Indonesia. Padahal, hikmah ibadah qurban, seperti disimak dari kisah Ibrahim dan Ismail, Tuhan justru menyelamatkan nyawa Ismail dari ritual pengurbanan. Inilah hikmah seseungguhnya Idul Adha, yakni Penyelamatan atau pembebasan manusia dari bahaya yang dihadapi dalam hidupnya.

Menyembelih (membunuh) manusia sebagai “sesembahan” adalah bertentangan dengan tujuan Tuhan menciptakan manusia itu sendiri.  Karena itu, perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS untuk mengurbankan puteranya Ismail harus dipahami sebagai ujian keimanan belaka, sebab Allah SWT mustahil menghendaki Ismail tewas sebagai “kurban”.  Tuhan tidak mengizinkan adanya tetesan darah manusia di muka bumi, walaupun itu sebagai ibadah, apalagi jika darah manusia tertumpah akibat kezaliman antarsesama, Allah SWT sangat menghargai darah dan kehormatan manusia sebagai makhluk-Nya yang termulia di muka bumi sebagaimana firman-Nya:  (sungguh Kami memuliakan manusia anak cucu Adam ituQ.S.al-Isra [17]: 70)

Bagi bangsa-bangsa yang sekian lama terjajah, dengan semangat pembebasan, mereka bangkit memerdekakan bangsanya dari cenkeraman kolonialis dan imperialisme.  Bangsa Indonesia pun berjuang selama tiga abad untuk bebas dari penjajahan Belanda, dan akhirnya dapat merdeka.  Semangat ini kemudian diabadikan dalam Pembukaan UUD 1945 …… maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemaniusiaan dan peri-keadilan.

Namun, dampak dari politik devide et impera yang diterapkan panjajah, bangsa kita belum terbebas sepenuhnya, masih menaruh dalam batinnya rasa permusuhan antara sesama anak bangsa. Untuk itu diperlukan semangat kemanusiaan baru yakni menerima perbedaan dan keragaman sebagai berkah yang merekat kita sebagai satu bangsa dalam satu tanah air, dan tidak menjadikannya sebagai sumber kebencian yang tiada habisnya.   Dengan semangat persaudaraan kebangsaan, sesuai dengan hikmah kemaslahatan idul Adh’ha, diharapkan tak satu pun elemen bangsa kita yang tertindis dan tertindas oleh bangsanya sendiri.  Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika dan sejalan dengan ajaran semua agama di dunia, kita berharap bangsa kita dapat bebas dari perilaku hewan yang saling memangsa.  Seperti inilah tujuan yang sesungguhnya Sumpah Pemuda tanggl 28 Oktober 1928 (84 tahun yang lalu), yakni kita ditakdirkan sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, dalam Indonesia Raya.

Di atas hikmah “Penyelamatan”  manusia itulah, kita membangun kebersamaan guna mewujudkan kesejahteraan bersama, tanpa ada lagi komunitas etnis atau agama tertentu yang egois mau hidup sendiri dan melakukan penindasdan bahkan pemusnahan etnis (komunitas) lainnya.  Tiada lagi kelompok tertentu yang, atas nama agama melecehkan, mengejar-ngejar, merusak sekolah dan rumah ibadah umat agama lain.  Pokoknya, dengan hikmah “pembebasan” Idul Adha, tiada lagi kelompok tertentu yang bertindak sebagai hakim sendiri, merusak dan mengobrak abrik aset milik umat agama lain, dengan mengatas namakan perintah Tuhan.   Seperti itulah dambaan para pendiri Republik ini, antara lain dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 oleh Bung Karno, yang menegaskan bahwa: “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan leluasa.  Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama”……”Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban.  Apakah cara yang berkeadaban itu?  Ialah hormat menghomrati satu sama lain.

Pada bulan Juli yang lalu, penulis menyajikan materi Pancasila (Bhinneka Tunggal Ika) pada Round Table Meeting of Global Movement Foundation, di Kualalumpur, atas undangan PM Malaysia Najib Razak.  Kita tentunya berbangga karena Falsafah Pancasila dan kehidupan Bhinneka Tunggal Ika yang dianut bangsa Indonesia, kini mulai dipelajari untuk diamalkan oleh bangsa-bangsa lain.

Bagi kita umat Islam Indonesia, kita harus menegakkan risalah Islam yang rahmatan lil-alamin, untuk masyarakat dunia yang damai, khususnya di negeri kita sendiri.  Itulah cara yang paling indah mencapai ridha Tuhan di Indonesia, sebagai pengamalan syariat Islam keindonesiaan, menuju Indonesia yang baldatun thayyibah wa Rabbun Ghafur (negara makmur di bawah ampunan Tuhan).  Risalah Islam Rahmah seperti itulah yang dilaksanakan Rasulullah SAW, sampai beliau dapat mewujudkan perdamaian Hudaibiyah dengan bangsa Quraisy, pada tahun 628 M (tahun 6 H).

Namun, kita patut prihatin atas sejumlah peristiwa di negeri kita yang sangat bertentangan dengan risalah Islam Rahmah, dan mengusik kebhinnekaan kita serta menodai ideologi negara Pancasila.  Serentetan konflik antaretnis, antarumat beragama, ditambah lagi dengan kagiatan teroris yang belum dapat dipadamkan secara tuntas.   Antara lain penyebab utamanya ialah kekeliruan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.  Misalnya ajaran “jihad” dipahami di luar konteksnya.   Di zaman penjajahan, memang pada tempatnyalah ayat-ayat jihad selalu berkonotasi perang, sebagai pembangkit semangat perlawanan terhadap penjajah.  Tapi untuk zaman kekinian bangsa, orientasi jihad bukan lagi perang.  Kini dan ke depan, jihad hendaknya bermakna perdamaian dan kerja keras memakmurkan bangsa.  Sebab, jika jihad masih saja berorientasi perang seperti zaman penjajahan, maka dikhawatirkan sebagian generasi kita akan melampiaskan semangat perangnya untuk menzalimi bangsanya sendiri.  Boleh jadi, anak-anak muda pelaku pengeboman di Bali yang menewaskan ratusan warga asing, pengeboman hotel, kedutaan besar negara sahabat dan pembakaran gereja  yang masih saja ber;angsung hingga hari kini adalah terinspirasi oleh jihad yang berkonotasi perang.   Pada hal Jihad, dalam bahasa Arab bermakna kerja keras, seharusnya dikembalikan ke maknanya yang asli itu, yakni: kerja, kerja, dan bekerja keras untuk kesejahteraan bangsa; bukan perang untuk kesengsaraan.

Dengan kata lain, untuk menjadi bangsa yang bermartabat di tengah pergaulan dunia, generasi kita harus berjihad (berusaha keras) menguasai ilmu (sains dan teknologi) dan etos kerja (pengabdian tinggi). Kerja keras ditunjang dengan akhlak mulia merupakan jatidiri generasi muda yang kita dambakan.  Untuk ini, ketaatan pada agama dan budaya menjadi penting, guna mencegah terseretnya generasi muda ke pergaulan bebas, yang bernuansa kekerasan (tawuran) seks (pemerkosaan) dan narkoba. Akhir-akhir ini, kita sangat prihatin menykasikan semakin meningkatnya frekwensi perkelahian (tawuran) remaja dan mahasiswa, yang berakibat pembunuhan.  Bayangkan saja, pelaku pembunuhan dalam tawuran siswa di jakarta itu, ketika ditanya tentang perasaannya usai tawuran, spontan saja menjawab: “merasa puas setelah membunuh” (naudzu billah). Sementara mereka yang tidak tawuran asyik menikmati pesta sabu-sabu (narkotik), bahkan seorang hakim Mahkamah Agung, juga ditangkap basah pada pesta sabu-sabu yang sengaja diadakannya.  Sementara itu frekensi pemerkosaan di atas angkutan umum juga meningkat.   Sungguh, generasi muda kita harus selamat dari kerusakan akhlak seperti itu, dan bersiap menjadi pewaris kecerdasan patriotis pelaku “Sumpah Pemuda”.  Keharuman dan masa depan bangsa terletak di pundak kaum pemuda.  Salah satu syair Arab mengatakan: Innama al-Umam al-akhlaq ma baqiyat, fa in humu dzahabat akhlaquhum dzahabu, (Keharuman suatu bangsa tergantung pada akhlaknya, jika akhlaknya telah hancur maka binasa-lah bangsa itu)

TUNTUNAN RINGKAS IBADAH KURBAN

TUNTUNAN RINGKAS IBADAH QURBAN

Oleh: Hamka Haq

Dalam rangka menghadapi Hari Raya Adhha, yakni Hari Raya Kurban, berikut ini saya kutipkan tuntunan pelaksanaannya menurut hadits dan sunnah Rasulullah SAW.

A. PERSIAPAN

1. Berkurban, hukumnya adalah sunah muakkadah bahkan ada yang memandang wajib atas orang yang mampu.  Sebagaimana dipahami dari penegasan hadits Nabi SAW: Barang siapa yang memperoleh kemampuan, kemudian tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami (masjid, mushalla dan lapangan tempat bershalat) – Riwayat Ahmad dan lbnu Majah.,

Meskipun tidak disepakati wajibnya berkurban, ia telah menjadi tradisi sejak zaman Rasulullah SAW. Sahabat yang tidak sempat berkurban, kadang melakukan amalan yang dianggapnya pengganti kurban. lbnu Abbas pernah memberi dua dirham kepada pembantunya, agar dia membeli daging dan menyampaikan kepada orang bahwa inilah kurbannya lbnu Abbas. Sementara itu Bilal pernah pula menyembelih seekor ayam jantan atau semacamnya sebagai pengganti kurban  (Lihat dalam Kitab Subul aLSalam).

2. Hewan yang dapat dikurbankan ialah hewan ternak (bahimah) yaitu unta dan sejenisnya, sapi dan sejenisnya, kambing dan sejenisnya, yang sudah cukup umur untuk dikonsumsi secara sehat.

3. Untuk seeokor unta atau sapi, dapat dikurbankan oleh tujuh orang secara berjamaah, Hadits dari Jabir riwayat Muslim menyebutkan: Naharna ma’a Rasulillahi SAW’ama al-Hudaybiyah al-budnah’an sab’ah, wa al-baqarah’an sab’ah (Kami telah berkurban bersama Rasulullah SAW pada tahun Hudaibiyah, yaitu seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang). Sedang untuk seekor kambing, kibas atau domba, hanya dikurbankan secara perorangan (untuk seorang saja), berdasarkan ijma; walaupun ketika Nabi SAW berkurban seekor kibas, beliau menyebut untuk diri bersama keluarganya  (Kitab Subul al-Slam). Boleh jadi yang dimaksud bersama keluarganya ialah pahala dari kurban, bukan pelaksanaan ibadah secara berjamaah.

4. Ada riwayat menyebutkan bahwa seekor sapi atau onta yang sangat besar dapat dikurbankan bersama oleh 10 orang.  Lihat Subul al-Salam Juz IV h. 95.

5. Hewan yang akan dikurbankan haruslah sehat, berbobot dan berkualitas, bahkan indah dipandang mata. Riwayat dari Anas bin Malik:  “Adalah Rasulullah SAW berkurban dengan dua kibas yang amlahayn (keduanya berjengggot) dan aqranayn (keduanya bertanduk). ” Suatu riwayat menyebut saminayn (gemuk), dan oleh Abu ‘Awanah disebut dengan lafazh” tsaminayn (berku alitas atau berharga)’

6. Tidak menjadi masalah soal warna hewan kurban, warna apa saja yang mudah diperoleh untuk dikurbankan semua dipandang sah oleh Syariat

7. Pokoknya dianjurkan untuk mengurbankan hewan yang berkualitas’indah dan bagus dipandang mata. Karena itu dilarang mengurbankan hewan yang diketahui jelas cacatnya, dan hewan yang nyata-nyata diketahui sakitnya. Dalam hal ini menurut riwayat dari Ali RA, Rasulullah SAW memerintahkan kita untuK memprioritaskan kesehatan dan keindahan mata dan telinganya, (‘an nastasyrifa al-‘ayn wa al-udzun).

8. Adapun cacad ringan Yang timbul pada hewan setelah ditetapkannya menjadi hewan kurban, tidak menjadi masalah. Demikian Pandangan lbnu Taymiyah yang dikutip dalam Subul al-Salam (anna al-‘ayb al-hadits ba’da ta’yin at-udhhiyah la Yadhurru).

B. PENYEMBELIHAN

1. Nabi SAW menyembelih kurban degan membaca Bismillahi wa Allahu Akbar’ Beliau menyembelihnya dengan tangannya sendiri. Ada juga memahami bahwa beliau berbasmalah selengkapnya (Bismillahi al-Rahmani Rahim), kemudian bertakbir sesudah berbasmalah. Takbir di sini adalah khusus pada penyembelihan kurban. Selain itu, riwayat Muslim dari Aisyah menyebut bahwa Nabi SAW mernbaca: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammad wa Ali Muhammad wa min Ummati Muhammad”. Riwayat lain dari Baihaqi menyebutkan: Bismillahi Wa Allahu Akbar, Allahumma ‘anniy wa’an man lam yudhahhi min ummatiy.

2. Berdasarkan riwayat di atas, kita diharuskan menyebut nama diri dan atau keluarga yang turut beribadah (penyembelihan) qurban itu.

3. Pisau Yang akan digunakan menyembelih harus tajam, sehingga tidak menyiksa hewan kurban. Hadits Riwayat Muslim: “Perbaikitah sembelihan itu, maka hendaklah seorang kamu menajamkan plsaunya dan menenangkan sembelihannya”

4. Dianjurkan (mustahab) untuk membaringkan hewan kurban pada sisi kirinya agar memudahkan sang penyembelih memegang pisau dengan tangan kanannya.

5. Dianjurkan berdoa untuk drterimanya hewan kurban; mendoakan untuk diri sendiri dan kerabat keluarganya, dengan mengatakan ” Rabbana taqabbal minna innaka Anta al-Sami’u al-Alim.

6. Waktu penyembelihan hewan kurban ialah setelah ditunaikannya shalat Iedil Adhha, yakni selesai dibacakan khotbah sampai tiga hari sesudah shalat Iedil Adhha itu. Tiga hari itu adalah hari-hari tasyriq atau hari pelontaran jumrah di Mina oleh mereka yang berhaji. Bahkan suatu jamaah membolehkan penyem-belihan kurban hingga akhir bulan Dzulhijjah. Pandangan ini dapat dipertemukan dengan mengatakan bahwa penyembelih-annya hanya sampai sebatas hari tasyriq (tiga hari sesudah shalat ‘ied) dan pembahagiannya dapat saja sampai akhir Dzulhijjah. Bahkan sebenarnya pembahagian itu masih dapat dilakukan di luar bulan Dzulhijjah.

C. PEMANFAATAN

1. Pemanfaatan daging kurban ialah sepertiga dibagi-habis kepada yang berhak, sepertiga lagi dapat di disimpan (diawetkan untuk persiapan menghadapi kesulitan pangan), dan sepertiga lagi dapat dimakan oleh yang berkurban. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW riwayat Turmudziy: “Makanlah, sedekahkanlah dan simpanlah”. Hadits ini pula yang mendasari alasan pengalengan daging kurban oleh Negara-negara lslam kemudian dikirimkannya ke negeri-negeri Muslim yang kelaparan / kena bencana.

2.Dari sepertiga yang dapat dimakan oleh yang punya kurban, dapat dibagikan kepada mereka yang non Muslim.  Hal ini, karena sepertiga tersebut merupakan hak sepenuhnya orang yang beribadah kurban, dan dapat digunakan ke jalan yang baik, asal saja tidak diperjual-belikan.

3. Dibagi-bagikan dagingnya, termasuk kulitnya. Karena itu, tidak sah kurbannya jika kulit hewan kurban dijadikan upah bagi pekerja kurban. Pekerja kurban harus diupah tersendiri, tanpa mengurangi daging dan kulit hewan kurban. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

SELAMAT BERKURBAN

LAIN INDONESIA, LAIN PAKISTAN

LAIN INDONESIA LAIN PAKISTAN

Oleh: Hamka Haq

Seorang teman bernama Suryasena, lewat emailnya bertanya soal gagasan Negara Islam Indonesia dan pelaksanaan Piagam Jakarta, akankah sama dengan berdirinya Negara Islam Pakistan. Saya jawab sebagai berikut:

Bahwa kondisi umat Islam di Indonesia berbeda dengan umat Islam di India dahulu. Umat Islam di India (sebelum berpisah menjadi Pakistan) adalah minoritas tdk merasa nyaman di tengah kaum Hindu yang menguasai negara India. Karena itu, mereka berusaha untuk berpisah dari wilayah India (kekuasaan Hindu) dan membentuk negara sendiri, atas bantuan Inggeris, maka terbentuklah negara Islam Pakistan.

Di Indonesia, justru umat Islam yang mayoritas, maka tidak masuk akal kalau umat Islam Indonesia mau memisahkan diri dan membentuk negara sendiri yang berpisah dari wilayah Indonesia Raya. Secara teoretis dan praktis, umat Islam Indonesia yang mayoritas itu tetap merasa nyaman dan tidak perlu membentuk wilayah atau negara tersendiri di luar Indonesia sekarang. Adapun soal perjuangan segelintir orang yang ingin mengganti Pancasila dengan syariat Islam (Piagam Jakarta), juga jumlahnya sangatlah sedikit. Sebahagian besar umat Islam Indonesia, yang termasuk NU, Muhammadiyah, dan kaum Muslim nasionalis yang menjadi pendukung parpol nasionalis, seperti PDI Perjuangan, Golkar, dan lain-lainnya, semuanya tetap mempertahankan Pancasila. Para pejuang Piagam Jakarta, yang jumlahnya sangat sedikit itu, dengan segala macam cara perjuangannya, termasuk angkat senjata memberotak seperti yang dilakukan oleh DI TII di Aceh dan Sulawesi, NII di Jabar, semuanya tidak mendapat dukungan luas dari umat Islam sendiri. Parpol-parpol Islam  (berasas Islam tekstualis) pun dari Pemilu ke Pemilu, semakin lama semakin ditinggalkan umat, dan tidak pernah menang dalam Pemilu, walaupun digabung. Jadi ke depan yakinlah NKRI dan Pancasila tetap akan tegak dan utuh sebagai rumah yang aman dan nyaman (gema ripah loh jinawi) untuk semua warga Indonesia yang berbhinneka tunggal ika.

Demikian itulah pendirian Islam kontekstual, bahwa dalam NKRI, berdasar Pancasila, Islam dapat terlaksana sbg Rahmatan Lil-alamin untuk bangsa.