JAWABAN TERHADAP PARA PENGGUGAT “NON MUSLIM JADI PEMIMPIN”

JAWABAN TERHADAP SDR. SAHID JAYA
Assalamu Alaikum War./ Wab.
Mohon maaf , berhubung suatu kesibukan, baru sempat baca tuntas sanggahan Pak Sahid.  Terimakasih atas responnya. Dan berikut ini kami akan jawab sesuai apa yang saya ketahui,
1).Hal pertama yg harus diketahui ialah bahwa Ngaji Al-Qur’an secara benar saja tidak cukup, tanpa disertai Pengkajian tentang seluk-beluk hukum Islam.  Bahwa pada prisnsipnya hukum Islam itu luwes, tidak kaku, selalu memberi alternatif.  Luwesnya hukum Islam bermain antara dua sisi hukum, yakni HUKUM AZIMAH, yaitu hukum dasar yg berlaku menurut asumsi umum; dan HUKUM RUKHSHAH, yakni hukum yang timbul sebagai kemudahan akibat adanya sebab-sebab tertentu.   Misalnya : Bagaimana hukum makan dan minum di siang hari Ramadhan?.  Bagi mereka yang melihat dari sisi hukum azimah pastilah jawabannya mengatakan: HARAM, karerna Al-Qur’an mewajibkan puasa Ramadhan.  Tetapi bagi yang melihat dari sisi RUKHSHAH akan menjawab HALAL bagi org yang skit, atau musafir, atau umurnya sudah sangat lanjut (udzur)
2). Untuk dapat melihat batas-batas Hukum Azimah dan Hukum Rukhshah, agar pemahaman dalil tidak kaku, maka minimal kita harus mengetahui metode memahami dilalah (arti yg ditunjuk) ayat, dilengkapi dengan pengetahuan sejarah dan ilmu bantu sesuai konteks penerapan ayat.  Untuk itu, saya tidak menggurui, tapi untuk memahami dalil-dalil syariat, minimal ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni teks (nash ayat/hadits), makna (illat, hikmah, sebab, syarat dan mani, yang berkenaan dengan ayat/hadits) dan ketiga ialah konteks penerapan dalil (tathbiq atau tanfidz).
3)Berikut ini saya akan tunjukkan dan jelaskan ayat-ayat yang Pak Sahid Jaya kemukakan itu dengan metode seperti yang saya sebutkan. Pada komentar 1 dan 7, Pak Sahid mengemukakan ayat-ayat ini:
TQS. 3. Aali ‘Imraan : 28. “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).”
TQS. 4. An-Nisaa’ : 144. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?”
TQS. 4. An-Nisaa’ : 138-139. “Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”
Mohon pembaca perhatikan secara cermat teks (terjemahan) semua ayat tsb. di atas.  Pada tiap ayat pasti kita menemukan kalimat “DENGAN MENINGGALKAN ORANG-ORANG MUKMIN”  (من دون المؤمنين) pada tiga ayat tsb.  Dalam ilmu tafsir dan ushul fikih, kalimat itu disebut “illat” atau (sebab yang jadi syarat kualifikasi) dilarangnya memilih pemimpin non Muslim, yaitu, jika kita MENINGGALKAN ORANG2 MUKMIN”.  Tapi kalau kita memilih non Muslim tanpa meninggalkan org Mukmin, karena salah satu dari mereka, pemimpin utamanya sendiri atau wakilnya adalah Muslim, maka itu HALAL, karena di dalamnya tetap ada orang Mukmin, sehingga kita tidak disebut MENINGGALKAN ORANG MUKMIN.   Sekali lagi Halal karena tidak termasuk dalam kategori “MENINGGALKAN ORANG MUKMIN”
4).Dilalah (pengertian) dari kata Waliy, (jamak: auliya’) yang dipahami di zaman Nabi dan Sahabat  sudah sangat berbeda dengan pengertian Pemimpin dalam dunia moderen sekarang.   Karena itu kita perlu mengetahui  sejarah perubahan arti / maknanya,  agar tidak kaku dalam penerapan (tanfidz) ayat.   Di zaman Nabi dan sahabat pemimpin itu (Kaisar dan Raja atau Khalifah) adalah berkuasa absolut (mutlak) tanpa dikontrol, semua kekuasaan ada di tangannya, tanpa wakil;  pokoknya yang berkuasa hanya dirinya.  Di zaman moderen, pemimpin sudah bersifat kolektif, berdasarkan teori Trias Politika, kekuasaan terbagi menjadi tiga (pemerintah /eksekutif, Parlemen/Legislatif, Kehakiman/Yudikatif).  Jadi tida kada lagi Pemimpin berkuasa mutlak seperti masa Nabi dan sahabat, karena sekarang dikontrol oleh kekuasaan lain, yakni MPR/DPR dan Kehakiman (MA dan Kejaksaan Agung).  Jadi tidak perlu khawatir, jika suatu saat ada pemerintah (ada wakil Gubernur  non Muslim), karena tetap dikontrol oleh Presiden dan Gubernur di atasnya, DPRD, Pengadilan, Kejaksaan dan KPK, yang semuanya adalah bahagian dari Pemimpin kolektif.
Jadi yang haram secara AZIMAH menurut dilalah “Waliy” yg ada di zaman Nabi, ialah jika seorang non Muslim dipilih jadi pemimpin yang memegang semua kekuasaan Presiden, MPR/DPR,/DPRD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, KPK, Kejaksaan, Panglima TNI semuanya dipegang oleh satu orang sendirian, yang berstatus non Muslim, atau semua dipegang (dibagi-bagi) oleh banyak orang yang semuanya non Muslim.  Tetapi sepanjang di antara mereka Penguasa2 itu ada Muslim (bahkan lebih banyak muslimnya) walaupun ada di antaranya Non Muslim, demi kebersamaan dan persatuan bangsa, maka hukumnya TIDAK HARAM.  Jadi untuk zaman sekarang, dalil itu perlu diterapkan sesuai konteks pengertiannya dan konteks zamannya yang sudah berubah dan berbeda dengan konteks zaman Nabi dan shabat.  Kaedah hukum ushul fikih mengatakan: alhukmu yaduru ma’a al-llah, wujudan wa ‘adaman (Hukum berubah sesuai illah / sebab/konteksnya, ada atau tidak adanya konteks itu).   Karena dilalah “Waliy” pemimpin yg berkuasa mutlak (absolut) memegang semua kekuasaan sendirian sudah tidak ada sekarang, maka hukum haramnya pun turut tidak ada (hilang).
5).Dilalah lafazh kafir juga perlu dipahami secara benar.  Masih banyak ustadz kita tidak dapat membedakan antara kafir dan ahl kitab, sehingga semua non Muslim, termasuk ahli kitab dicapn semuanya kafir secara mutlak.  Padahal ahlu kitab itu tidak mutlak (tdk semuanya) kafir.  Yang kafir mutlak itu ialah mereka yang tidak percaya adanya Tuhan (Mulhid) atau percaya banyak Tuhan (musyrik). Telah terjadi perdebatan panjang di Twitter antara saya dgn sejumlah ustadz seperti itu. Kesimpulanya, alasan-alasan saya yang menunjukkan bhw tdak semua ahlu kitab (Kristen, Yahudi) itu kafir, tdk dapat dipatahkan oleh mereka.  Kalau pembaca tdk sempat ikuti diskusi itu melalui twitter, silakan baca rangkuman disekusinya yang saya sdh muat di blog saya juga Islam Rahmah http://wp.me/p1n8EA-8E   . Mereka memang menggebu-gebu “mengeroyok” saya, sampai mereka mengemukakan dalil pamungkasnya  dengan mengutip Q.S.Al-Al-Ankabut ayat 47, padahal dalam ayat itu justru ada kalimat yg berbunyi : wa min haula’i man yu’min (di antara merekas ahl kitab itu ada yang berima).  Dengan demikian non Muslim (Kristen) bisa saja dipilih,. Karena tidak termasuk dlm kategori “kafir/musyrik” dalam ayat-ayat larangan yang telah dikutip oleh Pak Sahid.
6)Adapun ayat-ayat yang langsung menyebut  Yahudi dan Kristen (Nahsrani) yang dilarang dipilih pemimpin seperti ayat  QS. 5. Al-Maa-idah : 51.  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang ZALIM.”
Larangan dalam ayat tersebut adalah sesuai konteks KEZALIMAN di zaman Nabi SAW, ditandai dengan adanya kata ZALIM di akhir ayat.  Bhw pada masa itu kaum Yahudi dan Kristen bekerjasama dengan bangsa Romawi yang sedang menjajah (menzalimi) sebagian bangsa Arab, sehingga dilarang bekerjasama, berteman dan mengambil mereka pemimpin.  Jadi ‘illat” nya ialah  KEZALIMAN, dan itulah sebabnya ayat itu diakhiri dengan kata2 ZALIM.
Tetapi dalam konteks kedamaian, maka Rasulullah SAW menerima Yahudi dan Nasrani (Kristen), bekerjasama dengan mereka membangun negara Madinah, sama-sama menyusun Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dan salah satu pasal Piagam Madinah berbunyi: Kaum Yahudi (ahl Kitab) dan Muslim, bekerjasama dan bahu membahu dalam membela negeri Madinah, menghadapi musuh bersama, dan saling menasehati untuk kebajikan bukan unuk permusuhan dan dosa.   Jadi dalam konteks kedamaian masyarakat (seperti halnya di Madinah zaman Nabi, dan di Indonesia zaman sekarang) ayat yang harus diterapkan ialah Q.S. Al-Mumtahanah: 8:  Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik bekerjasama) dan berlaku adil terhadap orang-orang (umat agama lain) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Di zaman Nabi, untuk warga Madinah yang damai, ayat yg mengandung permusuhan dengan Yahudi dan Nashrani tidak diterapkan.  Bahkan sebaliknya, Nabi pernah menerima kaum Nashrani secara damai bertamu di Masjid Nabawi di Madinah dan mengizinkan mereka beribadah di dalamnya (lihat Tafsir Al-Qurthubiy, Juz IV hal. 4-5).   Karena itulah semua ayat yang dikemukakan oleh Pak Sahjid Jaya yang bernuansa permusuhan abadi dg non Muslim, tidak diterapkan oleh Nabi SAW sendiri dalam masyarakat damai di Madinah.  Terjemahan Ayat-ayat yang dikutip Pak Sahid itu ialah: QS. 5. Al-Maa-idah : 57, QS. 9. At-Taubah : 23, QS. 58. Al-Mujaadilah : 22, QS. 3. Aali ‘Imraan : 118, QS. 9. At-Taubah : 16, QS. 28. Al-Qashash : 86, QS. 60. Al-Mumtahanah : 13, QS. 3. Aali ‘Imraan : 149-150, QS. 4. An-Nisaa’ : 141,  TQS. 5. Al-Maa-idah : 80-81,  QS. 60. Al-Mumtahanah : 1, QS. 60. Al-Mumtahanah : 5. QS. 58. Al-Mujaadilah : 14-15.   Bukan berarti ayat-ayat itu tidak berlaku, semuanya tetap berlaku sesuai konteksnya pada masa-masa terjadi kezaliman, permusuhan di zaman atau negeri lain.  Tapi dalam negeri Madinah dizaman Nabi dan negeri Indonesia zaman sekarang, masyarakat berada dalam kedamaian dan kebersamaan.
Ketika Nabi membangun negara damai di Madinah, maka yang diterapkan ialah ayat-ayat tentang kedamaian dan kerjasama dengan kaum ahlu kitab (Yahudi dan Kristen).  Sejaran Nabi seperti itu harus dipelajari oleh para ustadz kita, agar dalam proses tathbiq atau tanfidz (menerapkan) ayat, tidak salah menerapkannya.
Kini pun Indonesia adalah negara damai, Muslim berdamai dengan non Muslim, khususnya kaum Kristen, bukan negara perang, karena itu yang harus diterapkan ialah perdamaian dengan mencontoh Rasulullah SAW.   Setahu saya, kaum minortas tanpa kecuali (khususnya Kristen) di Indonesia tidak ada yang sengaja menghina, melecehkan dan apalagi mau memusuhi umat Islam dan agama Islam, seperti yang diisyaratkan dalam ayat-ayat yang dikutip oleh Pak Sahid.  Dengan demikian tak ada alasan untuk memusuhi mereka.  Bahkan mungkin sebaliknya, telah terbukti ada-ada saja orang Islam yang menyegel, membakar bahkan mengebom gereja kaum Kristiani, tanpa alasan-alasan yang dibenarkan syariat.  Seolah-olah orang-orang yang mengaku Muslim itu ingin menciptakan permusuhan abadi, padahal Rasulullah SAW datang dengan agama Islam yang bersifat al-Salam (sejahtera dan damai) sebagai wujud risalah beliau yang Rahmatan Lil-alamin.
Jadi kita tidak cukup sekadar hanya NGAJI literlek / lafazh ayat per-ayat saja, tetapi perlu MENGKAJI lebih jauh, dengan mempertimbangkan tiga hal, yakni dilalah ayat (nash) dan perubahan-perubahan kandungannya dari zaman ke zaman; kemudian makna nash (illat/sebab/hikmah) yang merupakan landasan rasional adanya hukum; dan tanfidz (konteks penerapan) nya, sehingga ayat-ayat Azimah bisa memberi peluang adanya Rukhshah (dispensasi), pada zaman dan tempat tertentu.
Demikian jawaban saya, Walahu A’lam bi al-Shawab

13 comments on “JAWABAN TERHADAP PARA PENGGUGAT “NON MUSLIM JADI PEMIMPIN”

  1. Afwan ustadz, kitab tafsir alqur’an apa ug menjadi rujukan ustadz…?
    Bukankah Yahudi dan nasrani adl orang2 dzalim,setidaknya dzalim terhadap diri mereka sendiri yg menyekutukan Allah..?

    • KHALID: Afwan ustadz, kitab tafsir alqur’an apa ug menjadi rujukan ustadz…?
      Bukankah Yahudi dan nasrani adl orang2 dzalim,setidaknya dzalim terhadap diri mereka sendiri yg menyekutukan Allah..?

      JAWABAN SAYA: Assalamu Alaikum W.w. Terima kasih atas responnya. Ya benar, mereka zhalim atas dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan, tapi itu urusan mereka dengan Tuhan. Yang kita bicarakan di sini dalam kaitannya dengan hubungan mereka dengan kita (umat Islam), bahwa yang dapat disebut zhalim jika mereka memusuhi dan memerangi kita. Jika kembali berdamai dan selama tidak memerangi kita, maka mereka tidak disebut zhalim lagi, dan tidak dibenarkan oleh Allah SWT untuk memerangi mereka. Sesuai dengan firman-Nya Q.S.Al-Baqarah: 193 = Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”. Jadi, orang-orang zhalim di sini ialah orang yang memusuhi atau kembali memushuhi umat Islam. Wassalam

  2. Topik ini tidak secara langsung berkaitan dengan saya (karna seingat saya, saya tidak pernah memilih pemimpin yg non muslim, walaupun mungkin tidak selalu karna alasan syar’i). Namun Alhamdulillah, sedikit-banyak jawaban ustadz membuka cara pandang saya terhadap islam yang selama ini masih agak ‘kaku’ karna mungkin terbatasnya ilmu atau cara pemahaman yang belum tepat. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing ustadz dalam memberikan jawaban dan ilmu kepada umat muslim.

  3. SEKARANG INI BANYAK PRAJURIT SETAN YANG MENGAKU USTAD, MEREKA BERANI MENAFSIRKAN ALQURAN SEENAKNYA, BAHKAN BERANI MENGELUARKAN FATWA. SAYA TIDAK TAU APAKAH HAMKA HAQ INI PRAJURIT SETAN ATAU USTAD JADI-JADIAN, TAPI SAYA ADA PERTANYAAN, TOLONG DI JAWAB,

    PADA SUATU HARI UMAR BIN KHATAB PERNAH MENYURUH ABU MUSA AL-ASY’ARI UNTUK MELAPORKAN KEPADANYA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN (YANG DICATAT) PADA SELEMBAR KULIT YANG TELAH DISAMAK. PADA WAKTU ITU ABU MUSA AL-ASY’ARI MEMPUNYAI SEORANG SEKRETARIS YANG BERAGAMA NASRANI. KEMUDIAN SEKRETARISNYA ITU MENGHADAP UMAR UNTUK MEMBERIKAN LAPORAN, “MAKA UMAR SANGAT KAGUM SERAYA BERUJAR” IA BENAR2 ORANG YANG SANGAT TELITI, LALU UMAR BERKATA

    “APAKAH ENGKAU BISA MEMBACAKAN UNTUK KAMI DI MASJID SATU SURAT YANG BARU KAMI TERIMA DARI SYAM?”

    MAKA ABU MUSA AL-ASY’ARI MENGATAKAN BAHWA IA TIDAK BISA, LANTAS UMAR BERTANYA, “KENAPA? APAKAH IA JUNUB?” ABU MUSA MENJAWAB “TIDAK, TETAPI IA SEORANG NASRANI” MAKA UMARPUN MENGHARDIKKU DAN MEMUKUL PUNDAKKU LALU BERKATA “KELUARKANLAH ORANG ITU (pecat)” SELANJUTNYA UMAR MEMBACAKAN SURAT AL-MAAIDAH AYAT 51 YANG MENJADI ALASAN DIHARAMKANNYA MEMILIH ORANG2 KAFIR SEBAGAI PEMIMPIN ATAU WALI.

    MAAF OMONGAN SAYA AGAK KASAR, NAH, ELU YANG MENGAKU USTAD APAKAH ELU LEBIH PINTAR DARI UMAR BIN KHATAB? KOK BERANI MENGELUARKAN FATWA YANG BERTENTANGAN DENGAN UMAR BIN KHATAB?

    LARANGAN ALLAH ITU SUDAH MUTLAK, KECUALI TERPAKSA DIBAWAH ANCAMAN BARU DI BERIKAN KERINGANAN. TIDAK ADA YANG MAU MEN-CARI2 ALASAN KECUALI ORANG KAFIR. SAYA BERANI MENGATAKAN BAHWA ANDA ADALAH USTAD YANG KAFIR ATAU MURTAD KALAU ANDA TIDAK MENARIK OMONGAN ANDA, BIAR NANTI KITA BERHADAPAN DI YAUMUL HISAB.

    • Assalamu Alaikum War. Wab.

      Terserah kepada penilaian Allah SWT, siapa di antara kita yang setan. Biasanya SETAN itu senang mengipas-ngipas permusuhan, sedangkan Islam adalah agama yang rahmah, agama yang suka persahabatan, termasuk bersahabat dengan mereka yang non Muslim dalam keadaan situasi damai (bukan dalam suasana perang). Allah SWT pastilah bertindak adil, tidak mungkin orang yang menebarkan Islam al-Rahmah digolongkan setan.
      Adapun kisah Umar bn Khattab di atas, saya ragukan, karena ada larangan orang baik-baik dari kalangan non Muslim untuk masuk masjid, padahal Nabi Muhammad SAW sendiri pernah mengzinkan sejumlah pembesar (toko2) Kristen Najran masuk Masjid Nabawi di Madinah. Beliau menerima mereka sebagai tamu, bahkan mengizinkan mereka beribadah dalam masjid itu. Saya lebih percaya sikap Rasulullah SAW ketimbang sikap Umar RA itu. Karena status beliau sebagai Nabi dan Rasul adalah ma’shum, suci dari kesalahan dan dosa. Tidak mungkin beliau mengzinkan orang Krsten masuk masjid-nya kalau memang haram atau tidak boleh. Itulah sikap Islam Rahmatan ll-alamin ang dicontohan oleh Nabi. Tetapi harus dicatat bahwa keadaan seperti itu hanya berlaku dalam keadaan darurat. Tentu saja tidak setiap saat. Lihat dalam Tafsir Al-Qurthubi Jilid IV, halaman 4-5. Terimakasih tanggapannya, Wassalam.

  4. kembali pd Al Quran & Sunnah adalah lebih baik. Dan yg paling memahami Al Quran dan Sunnah adl Rasulullah dan sahabat. maka memahami agama melalui pemahaman para salafusssholih adl lebih yakin kebenarannya.bukan menafsirkan menurut akal , rasio org2 belakangan yg berada jauh dr kebenaran.

    Musuh Allah sudah jelas org kafir. Krn kekufuran mereka pd Allah maka menyebabkan mereka keluar dr agama ini , menjadi musuh Allah dan masuk neraka.baik kafir zimmi, harby , muahhad, aw lainnya.Firman Allah : barang siapa yg menyekutukan Allah, sungguh Allah haromkan baginya surga dan bagi mereka tempatnya adl neraka. mereka kekal didalamnya.

    Maka wajib bagi setiap muslim untuk memusuhi apa2 yg memjadi musuh Allah.Dan berkasihsayang sesama wali Allah. krn sebab kufur kpd Allah, maka Allah tidak ridho kpd org kafir. benci dan menjadi sebab kemarahan Allah pd mereka.krn mrk menyekutukan Allah dlm uluhiyah.Inilah inti ajaran tauhid yg dibawa para Nabi da Rasul. Firman Allah :Tidaklah kami mengutus para Rasul pada setiap umat melainkan untuk menyeru beribadahlah kpd Allah dan jauhillah thogut.

    Adapun makna kezholiman adl menempatkan segala sesuati tdk pada tempatnya.seperti perkataan Lukman kpd anaknya adalah kesyirikan. Inna syirkun lazhulmun adzim. sesungguhnya kezholiman yg paling besar adl menyekutukan Allah.
    Org yahudi dn nashoro tdkmenempatkan kedudukan Allah sbg satu2 yg berhak disembah, krn org kafir mempunyai sesembahan lain selain Allah.Adapun apa disebutkan diatas kezholiman benar adanya yaitu org yahudi wa nashoro mrk jelas2 melakukan kezholiman kpd Alah &Rasul. mrk membuat sesembahan lain selain Allah. bukan berarti kezholiman dlm arti menindas nabi atau kaum muslimin.

    Firman Allah : Kamu tdk akan menemukan (diakhirat nanti) org yg mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka berkasih sayang (memberikan wala’nya) kepada org2 yg memusuhi Allah dan RosulNya ( org kafir), walaupun mereka bapak2mu, anak2mu, saudar2mu at keluargamu…..mrk itulah (mukmin) yg Allah tetapkan /tanamkan dihati mereka keimanan, Allah kuatkan keimanan mrk dan Allah tolong mrk. Allah masukkan ke surga yang dibawahnya mengalir sungai2, mrk kekal didalamnya.mereka itulah golongan Allah (hizbullah) dan mrk adl golongan yg beruntung. (Al Mujaddalah.)

    termasuk wala (membela, berkasih sayang) dlm hal memilih pemimpin kafir pd setiap makna pemimpin secara umum dan khusus.zhohir atau maknawi.
    maukah kita bila Allah golongkan kedlm firman Allah diatas?????? yaitu hizbullah laisa hizbussyaithon.
    Wallahualam bissowab.

  5. MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGAI AULIYA
    Yulian Purnama, S. Kom

    Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya ada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.
    Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang Keper-cayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam ben-tuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberi-kan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).
    Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin
    [Ayat ke-1]
    لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
    “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menja-di auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)
    Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini:
    “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).
    [Ayat ke-2]
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu te-rmasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)
    Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Ke-mudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
    Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
    Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersang-kutan dengan kepentingan kaum muslimin.
    [Ayat ke-3]
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)
    As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir lain-nya sebagai auliya yang dicintai dan yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)
    Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara
    [Ayat ke-4]
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23)
    Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).
    Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir
    [Ayat ke-5]
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).
    Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wa-sallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)
    Berikut ini isi surat Hathib:
    أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ
    “Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shal-lallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).
    As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).
    [Ayat ke-6]
    وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
    “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)
    As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).
    Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
    1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
    2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
    3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).
    Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik
    [Ayat ke-7]
    بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
    “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan mening-galkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah“ (QS. An Nisa: 139)
    Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki kekuatan” (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)
    Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya
    [Ayat ke-8]
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk me-nyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)
    Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).
    Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya
    [Ayat ke-9]
    وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
    “Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik“ (QS. Al Maidah: 81)
    Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
    Imam Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
    Semoga bermanfaat. Wabillahit taufiq.

  6. Apa iya ? Nashroni dan Yahudi di Indonesia tdk eprnah meng-olok2, mengejek , mempermainkan Muslim Indonesia, apa benar Rosullah mengizinkan orang2 non Muslim masuk masjid Nabawi yg suci itu pd hal orang2 non mUslim itu Najis apa tdk pembodohan terhadap Ummat Islam, khawatirnya dan kelihatan jelas ada diantara kita yg menjadi BITHONAHNYA org2 nashroni / Yahudi dg mengatasnamakan islam sebagai Rohmatal lill,alamien, coba diperhatikan S. Al ,Imron ayat 118 : Hai orang2 yg beriman, janganlah kamu ambil sebagai teman kepercayaanmu orang2 yg diluar kalanganmu ( karena ) mereka tdk henti2nya (menimbulkan) kemudlorotan bagimu, Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu . telah nyata kebencian dari mulut2 mereka dan apa yg disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Dalam perjalanan sejarah belum pernah orang2 yahudi dan nashroni mengalahkan Islam dengan Hujjah, melainkan dengan kekerasan, kebohongan, penipuan, pendustaan caci makian dan olok2 an. perhatikan S.A l Maidah ayat 57. terima kasih. mudah2an kita semua tdk termasuk golongan orang2 NIFAQ AKBAR atau NIFAQ ASGHOR.

    • Kalau anda santri, pasti anda pernah melihat Tafsir Al-Qurthubiy. Jangan asal lihat-lihat saja tapi silakan buka Tafsri Al-Qurthubiy, Juz IV halaman 4-5, di situ dikisahkan oleh Muhammad Ibn Ishaq dari Muhammad Ibn Ja:far bin Zubayr, soal Rasulullah SAW menerima tamu Kristen Najran di dalam Masjid beliau dan mengizinkan mereka sholat (beribadah) di dalamnya. Jangan asal ikut-ikutan orang yang hanya suka mencerca tapi tak pernah tahu persoalannya. Riwayat itupun menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak memandang Nasrani sebagai najis. Jadi non Muslim yang dipandang Najis adalah kaum musyrikin jahiliyah, bukan Nashrani, buktinya (baca Tafsir Qurthubiy) Nabi menerima tamunya yang Nashrani itu dalam masjid. Wallahu A”lam bi al-shawab.

      • Nasrani yg dulu…memang ada ahli kitab yg masih memegang injil yg benar,,sperti pendeta yg melihat tanda kenabian saat nabi muhammad masih kecil,,tp klo nasrani yg sekarng apa boleh solat dimasjid??,,lakum dinukum waliyadin “bagiku agamaku dan bagimu agamamu”

  7. Sy setuju pak, kenapa tidak kita angkat non muslim kalau orang tersebut track recordnya jelas berjuang untuk negara dan dia bersih tapi syaratnya wakilnya harus seorang Muslim .. contohnya A Hok, jelas dia lawan korupsi dengan nyawa taruhannya .. lucunya yang dilawan justru anggota dewan yang mayoritas orang muslim ..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.