KEBHINNEKAAN DALAM PRAKTIK AJARAN ISLAM

KEBHINNEKAAN DALAM PRAKTIK AJARAN ISLAM

I.          Allah SWT telah MENAKDIRKAN makhluk manusia beragam jenis, etnis, agama dan budaya, dengan tujuan agar manusia saling berbuat kebajikan dan KEARIFAN antar sesama. Q.S.Al-Hujurat: 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling berbuat kearifan. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”

II.        Dari segi keragaman agama, Al-Qur’an juga menyebut bahwa Yahudi, Kristen, Hindu (Budha), bukanlah kafir (tanpa iman), tetapi Ahlu Kitab yang berhak mendapat pahala dari Tuhan.  Q.S.Al-Baqarah: 62: “Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin (Hindu-Budha-pen), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

III.       Dalam Al-Qur’an dan Hadits, selain bangsa Arab dan Israel, juga ada disebut Romawi, Persia dan Cina.  Bangsa Cina sangat istimewa, karena Nabi SAW sendiri meminta umat Islam belajar ke Cina.  Hal itu berarti Peradaban Cina non Muslim dikagumi oleh Rasulullah SAW. “Dari Anas bin Malik, dari Nabi SAW, bersabda: Tuntutlah ilmu walaupun ke Negeri Cina” (Musnad al-Rubay`, Juz I, h.29)

IV.       Perintah belajar ke Cina tersebut mendorong umat Islam di zaman sahabat dan khilafah untuk mencari sumber pengetahuan terutama ke Romawi dan Yunani.  Buku-buku ilmu pengetahuan dari Yunani pun diterjemahkan ke bahasa Arab. Khalifah Harun al-Rasyid dan puteranya Al-Makmun pada zaman keemasan Dinasti Abbasiyah membangun Badan Penerjemahan (BAITUL HIKMAH) dan mengangkat Hunayn bin Ishaq bersama puteranya Ishaq bin Hunayn dari kalangan Kristen, mengepalai lembaga tersebut, sekaligus Ketua Tim Dokter istana. Penerjemah dari Kristen Nestoria adalah Bakhtisyu’, yang diangkat menjadi Kepala Rumah Sakit Baghdad. Demikian dlm buku sejarah Akhbar al-‘Ulama’ bi Akhyar al-Hukama’ Juz I, h. 77 oleh Al-Qufty; Tarikh al-Islami Juz 4 h.491 oleh Al-Dzahaby dan Wafyat al-A’yani wa Anba’u Abna’ al-Zaman Juz I, h. 205 oleh Ibn Khillikan.

V.        Bekerja-sama yang baik dengan non Muslim seperti disebutkan berhasil membawa Daulah Abbasiyah ke puncak kejayaan.  Umat Islam waktu itu memegang perintah Allah SWT, Q.S. Al-Mumtahanah: 8:  Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik (bekerjasama) dan berlaku adil terhadap orang-orang (umat agama lain) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

VI.      Kerjasama dengan non Muslim sebenarnya bermula sejak Rasulullah SAW menyusun UUD (Piagam Madinah) yang pada pasal 37 berbunyi: “Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiayai pihaknya masing-masing.  Kedua belah pihak akan saling membela dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui Piagam Perjanjian ini.  Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasehat dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa.

VI.      Dengan demikian, menolak bekerjasama dengan non Muslim dinilai menghalangi kedamaian dan kemajuan; sangat dikecam oleh Rasulullah SAW; “Barang siapa yang menzalimi (membunuh) seorang mu’ahid (dzimmi – non Muslim dalam masyarakat damai), maka ia tidak memperoleh aromanya Sorga” (Shahih Bukhari Juz 6, hadits 6516).  “Barang siapa yang menyakiti seorang dzimmi, maka akan dihukum dengan cambuk api di hari kiamat” (Al-Mu’jam al-Kubra: Juz 22, h. 52).  “Bersabda Rasulullah SAW: Sorga itu haram bagi orang yang membunuh orang dzimmi (non Muslim), atau menzalimi, atau membebaninya tugas diluar kesanggupannya.” (Musnad Al-Rubay’ Juz I, h. 292).  Masih banyak lagi hadits yang pengertiannya seperti tersebut.

JAKARTA,    30 JULI 2012

KETUA UMUM BAITUL MUSLIMIN INDONESIA

PROF. DR.H. HAMKA HAQ, MA

EDARAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA (1)

            

 

I.          Untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang “PEMIMPIN”, harus dilihat dari konteksnya di zaman Nabi SAW, yakni konteks penjajahan Romawi atas sebahagian negeri Arab dan konteks kepemimpinan yang berlaku umum dalam bentuk kekaisaran atau kerajaan.  Untuk zaman itu, ayat-ayat tentang kepemimpinan mengandung anjuran menghindari memilih orang Yahudi dan Kristen yang waktu itu berpihak pada Romawi yang menzalimi bangsa Arab.   Dalam konteks “KEZALIMAN” itulah, ayat-ayat Al-Qur’an melarang memilih non Muslim menjadi pemimpin, seperti dalam Q.S.Ali Imran:28,  Q.S.Al-Nisa: 138-139, Q.S.Al-Nisa:144, Q.S.Al-Ma’idah: 51, dll.

II.        Adapun dalam konteks KEDAMAIAN bagi bangsa yang masyarakatnya plural, seperti masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW yang di dalamnya umat Islam mempelopori kebersamaan dengan umat Yahudi dan Kristen, maka berlakulah hukum rukhshah (kemudahan), yakni umat Islam dibolehkan bekerjasama dan memilih PENDAMPING Pemimpin yang adil dari kalangan non Muslim.  Dalam kondisi seperti inilah, berlaku pesan-pesan ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

  1.  Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik (bekerjasama) dan berlaku adil terhadap orang-orang (umat agama lain) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S.Al-Mumtahanah: 8);
  2.  Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani (Kristen)“. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena mereka tidak menyombongkan diri. (Q.S.Al-Ma’idah: 82).
  3. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.Al-Ma’idah:8).  Dalam Tafsir Al-Qurthubi Juz 6 hal. 110, ditegaskan bahwa perbedaan agama tidak boleh menjadi penghalang bagi umat Islam berbuat adil (bekerjasama) dengan umat agama lain.

 III.      Maka, berdasarkan ajaran Islam di atas, warga Muslim Jakarta dibolehkan memilih Pemimpin (Gubernur) yang bekerjasama dengan umat agama lain (wakil gubernur non muslim) mengingat kondisi Jakarta dewasa ini adalah masyarakat plural yang damai,  sebagaimana Rasulullah SAW juga membangun masyarakat plural di Madinah.  Apalagi, jabatan Gubernur & Wakil Gubernur, bukanlah Kaisar dan Raja yang berkuasa absolut, tapi kekuasaannya terbatas hanya pada kekuasaan eksekutif di DKI Jakarta saja, tidak sekaligus membawahi kekuasaan legislatif dan yudikatif.

IV.     SELAMAT MEMILIH GUBERNUR & WAKIL GUBERNUR, DEMI KESEJAHTERAAN, KEDAMAIAN DAN KERJASAMA SEMUA WARGA JAKARTA, TANPA MEMBEDAKAN AGAMA DAN ETNISNYA.  WLLAHU A’LAMU BI AL-SHAWAB.

JAKARTA,    20 JULI 2012

KETUA UMUM BAITUL MUSLIMIN INDONESIA

PROF. DR.H. HAMKA HAQ, MA