SISTEM POLITIK INDONESIA

KUMPULAN BAHAN-BAHAN KULIAH DARI BERBAGAI SUMBER

I. PERGULATAN IDEOLOGIS

 (dari  buku: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam oleh Hamka Haq)

A.  Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), melakukan serangkaian sidang pada akhir bulan Mei 1945.  Ketua BPUPKI dr. Radjiman, ketika membuka sidang badan itu mengemukakan pertanyaan pada rapat:  Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?  Pada umumnya anggota enggan menjawab pertanyaan tersebut, dan lebih memilih langsung membicarakan soal Undang-Undang Dasar.  Namun, seorang dari anggota badan tersebut menjawab pertanyaan itu, yakni Bung Karno yang menyampaikan dalam bentuk pidato pada tanggal 1 Juni 1945, dengan judul Pancasila, atau lima sila.

Menyimak pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, terdapat lima dasar (sila) yang diusulkan oleh beliau yaitu: pertama, nasionalsme atau kebangsaan, tapi bukan nasionalisme sempit atau chauvinisme.  Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan yang memandang seluruh bangsa mempunyai kesamaan harkat dan martabat. Untuk itu, kebangsaan haruslah disertai dengan sila kedua yakni internasionalisme atau perikemanusiaan. Bertolak dari kesamaan derajat dan martabat kemanusiaan, maka setiap warga masyarakat harus bebas dari penjajahan dan feodalisme.  Dengan demikian, kedaulatan harus berada di tangan rakyat, sehingga sila ketiga ialah mufakat atau demokrasi. Tujuan dari negara ialah mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat sejahtera ayang berkeadilan.  Maka jadilah kesejahteraan sosial sebagai dasar keempat.  Semua dasar negara tersebut, baik sebagai landasan maupun sebagai tujuan negara, adalah diabdikan oleh bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan masing-masing agama.  Dengan kata lain, bahwa semuanya bermuara pada kepasrahan kepada Tuhan YME dengan mengharappkan ridah-Nya terhadap bangsa Indonesia.  Dengan demikian, jadilah Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila kelima, yang menjadi sumber sekaligus tujuan akhir dari segalanya.

Penyampaian Bung Karno mengenai sila-sila tersebut dapat disusun sebagai berikut:

  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme, atau perikemanusiaan
  3. Mufakat atau demokrasi
  4. Kesejahteraan social, dan
  5. Ketuhanan Yang Maha Esa

Lima prinsip tersebut oleh Bung Karno disebutnya sebagai Weltanschauung yang digali dari jati diri dan budaya bangsa Indonesia sendiri.  Menurut beliau, suatu negara mestilah mempunyai Weltanschauung, yang sesuai dengan kondisinya bangsanya masing-masing, sebagaimana katanya dalam pidati tanggal 1 Juni 1945 itu sbb.:

“Kita melihat dalam dunia ini, banyak negeri-negeri yang medeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu Weltanschauung.  Hitler mendirikan Jerman di atas National Sozialistische Weltanschauung, filsafat nasional sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu.  Lenin mendirikan negara Soviet di atas suatu Weltanschauung yaitu Marxistische, Historische-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon atas satu Weltanschaung yaitu yang dinamakan Tenno Koodo Seishin.  Di tas Tenno Koodo Seishin.inilah negara Dai Nippon didirikan.  Saudi Arabia Ibnu Saud,  mendirikan negara Arabia di atas Weltaanschauung, bahkan di atas satu dasar agama, ialah agama Islam.  Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua Yang Mulia;  apakah Weltanschauung kita jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?”[1] 

Nah, Weltanschauung negara dan bangsa Indonesia adalah seperti yang telah disebugtkan di atas, yakni Pancasila yang digali dari budaya bangsa sendiri.   Belajar dari penderitaan bangsa di bawah penjajahan Belanda dan Jepang, Bung Karno bertekad mengikis habis dampak buruk penjajahan itu, dengan pertama-tama mengangkat harga diri bangsa Indonesia.  Salah satu cara yang ditempuh ialah menggali ideologi negara dan bangsa (Weltanschauung) dari budaya dan jati diri bangsa sendiri.  Bung Karno menolak tiruan dan atau import mentah-mentah ideologi (Weltanschauung) bangsa dan negara asing, karena belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Setelah Bung Karno menyampaikan pidato pada tanggal 1 Juni 1945 itu, dibentuklah panitia kecil untuk merumuskan sistematika Pancasila yang diucapkan Bung Karno itu.  Dari panitia kecil itu ditunjuk sembilan orang yang akan melaksanakan tugas tersebut, yaitu: Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abi Koesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakkir, H.A.Salim, Mr. Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Mr. Mohammad Yamin.

Mereka inilah, di bawah pimpinan Bung Karno, bertugas secara khusus menetapkan sistematika Pancasila yang berbeda dengan susunan awal dalam pidato Bung Karno di depan sidang BPUPKI.  Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam pidato Bung Karno sebagai sila kelima, dijadikan sila pertama. Sila kedua yang dalam pidato Bung Karno disebut internasionalisme atau perikemanusiaan dirumuskan menjadi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.  Sila pertama dalam pidato Bung Karno disebut Kebangsaan Indonesia dirumuskan menjadi Persatuan Indonesia dan ditempatkan pada sila ketiga. Sila keempat, kerakyatan, menggantikan apa yang dalam rumusan Bung Kanro disebut mufakat atau demokrasi.  Sila kelima adalah kedalan social, sebagai rumusan dari prinsip kesejahteraan social menurut Bung Karno.[2]

Piagam Jakarta (Jakarta Charter)

Walaupun susunan sila tersebut di atas telah ditetapkan, namun sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, mengalami perubahan pada tanggal 22 Juni 1945, menjadi “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”.  Rumusan ini merupakan hasil perjuangan aktifis Islam, yang dituangkan sebagai kompromi dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter).

Tak dapat dipungkiri, Piagam Jakarta merupakan dokumen historis sebagai kompromi antara ideologi Islam dan ideologi kebangsaan yang mencuat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).  Maka sebagai langkah menjembataani perbedaan itu, dalam sidang kedua BPUPKI, suatu panitia kecil dibentuk, yang terdiri atas sembilan orang yaitu: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdulkahar Muzakkir, H.Agus Salim, Mr. Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim dan Mr. Muhammad Yamin.   Pada rapat tanggal 22 Juni 1945, mereka  berhasil mencapai persetujuan yang kemudian dikenal sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.  Rumusan kesepakatan itu dijadikan sebagai bahagian dari rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) atau Hukum Dasar Negara.

Sebagai konsekuensi logisnya, rumusan rancangan batang tubuh Undang Undang Dasar  bagi Indonesia Merdeka (UUD 1945), juga turut mengalami perubahan.  Pasal 6 ayat 1 yang semula berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli”, berubah dengan tambahan tiga kata, yaitu: “yang beragama Islam”. dan pasal 29 ayat 1, juga mengalami perubahan dengan tambahan seperti pada sila Katuhanan, menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Kompromi itu ternyata mendapat banyak tantangan dari mereka yang tetap menghendaki agar negara Indonesia berdasarkan kebangsaan.  Menurut mereka, tujuh kata dalam sila pertama yang berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syaeriat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, adalah bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang diperjuangkan oleh segenap warga bangsa dengan latar belakang agama yang berbeda-beda.  Demikian pula rancangan pasal 6 ayat 1 yan g berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, dan pasal 29 ayat 1 pada dasarnya bertentangan dengan kebhinnekaan bangsa Indonesia yang akan mendiami negara kebangsaan Indonesia.  Kalimat-kalimat di atas akan pasti menciptakan diskriminasi di kalangan warga negara Indonesia.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, atau sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Bung Karno, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar sidangnya.   Kompromi yang telah melahirkan Piagam Jakarta dibicarakan kembali, berhubungn banyaknya tantangan dari pejuang kebangsaan.  Adalah Bung Hatta tokoh pendiri negara yang menunjukan keprihatinannya jika kalimat dan kata-kata syariat Islam dari Piagam Jakarta itu tetap dipertahankan sebagai dasar negara.  Beliau akhirnya berhasil mempengaruhi pendukung Piagam Jakarta, agar kata-kata yang berkonotasi syariat Islam, baik dalam Pembukaan maupun dalam batang tubuh UUD 1945, dicoret demi persatuan bangsa dan tegaknya negara priklamasi Indonesia sebagai negara kebangsaan.

Atas kebesaran jiwa dan kenegarawanan para aktifis Islam ketika itu, maka sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyepakati dihapusnya kata-kata ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama Pancasila dan pada batang tubuh UUD 1945 pasal 29 ayat 1 digantikan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Demikian pula kata-kata “yang beragama Islam” dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 6 ayat 1 dihilangkan sehingga berbunyi “Presiden adalah orang Indonesia asli”.

Pencoretan kata-kata tersebut di atas adalah dimaksudkan untuk menghilangkan garis pemisah antara warga negara yang beragama Islam dan bukan Islam.  Maka rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan,
  5. Keadilan sosial

Kesepakatakan yang dicapai pada tanggal 18 Agustus 1945 itu ternyata menyimpan rasa kekecewaan bagi mereka yang tetap mendukung Piagam Jakarta, terutama yang berada di luar PPKI, baik perorangan maupun terorganisir.   Mereka terus berjuang utuk memberlakukan Piagam Jakarta, termauk dengan jalan perjuangan bersenjata.  Sebahagian dari mereka memimpin dan atau bergabung dalam gerakan pemberontakan yang menamai dirinya sebagai DI/TII/NII, dengan pusat-pusat gerakan di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan  Dalam era demokrasi parlementer, semua partai Islam pun menjadikan Islam sebagai asasnya.  Perjuangan lewat jalur politik ini menemukan momentnya yang penting dan sangat strategis pada sidang-sidang Konstituante di Bandung tahun 1956-1959.  Dalam pada itulah, partai-partai Islam secara demonstratif memperjuangkan berlakunya Islam sebagai dasar negara RI.[3]

B.    Konstituante dan Dekrit

Pada mulanya, Undang Undang Dasar 1945 dimaksudkan sebagai Undang Undang Dasar yang tidak tetap, bersifat sementara dan memberi jalan disusunnya sebuah Undang Undang Dasar yang tetap, sebagai konstitusi yang permanen bagi negara Indonesia.  Sebelum Undang Undang Dasar yang tetap disusun, negara dalam keadaan kritis, dalam suasana perang fisik melawan agresi Belanda.  Perdamaian dengan Belanda mengharuskan diberlakukannya Konstitusi RIS tahun 1949.  Setahun kemudian disusun dan diberlakukan pula Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.  Dalam UUDS inilah diatur mengenai adanya suatu badan perancang Undang Undang Dasar yang disebut Konstituante.  UUDS 1950 memuat pasal-pasal tentang konstituante, yang sebenarnya UUDS 1950 itu menampung beberapa ketentuan dari konstituante RIS serta sebagian ketentuan UUD 1945 (UUD Proklamasi).

Menurut ketentuannya, konstituante bersama dengan pemerintah berfungsi menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang tetap untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara.  Secara teknis, diatur bahwa setiap 150.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia dapat mempunyai seorang wakil di Konstituante. Para anggota kostituante itu dipilih melalui pemilihan umum yang bersifat langsung, bebas dan rahasia.  Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, Eropa dan Arab juga mempunyai wakil dalam konstituante,  secara berturut-turut sekurang-kurangnya 18, 12 dan 6 anggota.  Apabila jumlah tersebut tidak terpenuhi berdasarkan hasil pemilihan umum, pemerintah dapat mengangkat wakil-wakil tambahan bagi golongan-golongan tersebut.[4]

Untuk itulah, pemerintah menggelar pemilihan umum pada tahun 1955 yang diikuti oleh sekian banyak partai politik, untuk membentuk badan Konstituante.  Seperti disebutkan, Konstituante hasil pemilihan umum itu bertugas menyusun UUD RI yang tetap untuk menggantikan UUDS 1950.  Tugas tersebut mengalami hambatan dahsyat, akibat banyaknya ideologi yang dianut partai-partai yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.  Seperti terlihat dalam sidang Konstituante di Bandung tahun 1956-1959, tak dapat dihindari adanya konflik ideologi secara frontal.  Tercatat setidaknya ada tiga golongan yang berjuang keras menjadikan ideologinya sebagai dasar negara Republik Indonesia.  Golongan Pertama tentunya ialah mereka yang tetap menghendaki Pancasila sebagai dasar negara dan menolak sosial ekonomi (Komunimse) dan agama Islam (Piagam Jakarta) menjadi dasar negara RI.  Golongan kedua berasal dari partai-partai Islam mengendaki agama Islam (Piagam Jakarta) menjadi dasar negara RI, dan dengan sendirinya menolak Pancasila dan social ekonomi sebagai dasar negara RI.  Golongan ketiga yang dimotoroi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) menghendaki sosial ekonomi menjadi dasar negara RI, dan tentunya menolak keras Pancasila, apalagi agama Islam sebagai dasar negara RI.

Pertentangan ideology tersebut di atas mebuat Konstituante tidak dapat menyelesaikan tugasnya.  Dalam keadaan terombang-ambing demikian, Konstituante semakin tidak berdaya, bahkan posisinya semakin lemah.   Mengamati hal seperti itu, maka di kalangan masyarakat luas, muncul aspirasi yang semakin kuat yang menuntut diberlakukannya kembali UUD 1945.  Masyarakat menyampaikan aspirasinya lewat sejumlah rapat akbar, demonstrasi dan berbagai cara lainnya yang pada dasarnya meminta agar UUD 1945 diberlakukan kembali menjadi dasar yang tetap bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Merespon aspirasi yang berkembang secara luas di tengah masyarakat, Presiden Soekarno segera menyarankan agar Konstituante dapat memenuhi tunutan masyarakat luas untuk kembali memberlakukan UUD 1945 itu.   Saran tersebut justru semakin menghangatkan perdebatan di kalangan anggota Konstituante, yang mengharuskan mereka menempuh jalan voting (pemungutan suara).  Voting dilaksanakan sebanyak tiga kali, pertama pada tanggal 30 Mei 1959 dengan hasil 269 setuju kembali ke UUD 1945 dan 199 menolak; kedua pada tanggal 1 Juni 1959 dengan hasil 263 menyetujui kembali ke UUD 1945 dan 203 menolak, dan yang ketiga pada tanggal 2 Juni 1959 dengan hasil 264 setuju kembali ke UUD 1945 dan 204 yang menolak.

Dari tiga kali digelar pemungutan suara tersebut, ternyata jumlah suara yang menyetujui UUD 1945 jauh lebih banyak dibanding dengan suara yang menolaknya.  Meskipun demikian, jumlah tersebut tidak memenuhi persyaratan duapertiga jumlah suara yang masuk seperti yang diatur dalam pasal 137 UUDS 1950.  Perkembangan yang tidak menentu itu, menyebabkan sebahagian anggota Konstituante tidak lagi bersemangat untuk menghadiri sidang-sidang.  Konstituante di ambang kegagalan, keadaan negara semakin genting mengancam persatuan bangsa.   Mengamati perkembangan tersebut, Presiden Soekarno mengambil langkah penyelamatan negara dan kesatuan bangsa, yakni dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, sekaligus juga membubarkan Konstituante.[5]

Dekrit Presiden Republik Indonesia/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang, pada tanggal 5 Juli 1959 itu, berisikan ketetapan sebagai berikut:

(1)     Menetapkan  pembubaran Konstituante;

(2)         Menetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap bangsa Indonesia dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara;

(3)         Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara;

(4)         Membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara.

Bahagian terakhir konsideran dekrit itu menyatakan:bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22  Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.[6]

Meskipun dekrit telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta dinyatakan menjiwai secara moral kehidupan bernagara, dan merupakan satu rangkaian dengan konstitusi, ternyata kaum fanatisme Islam tetap saja tidak puas.  Karena mereka merasa gagal melalui jalur politik di Konstituante, maka mereka terus berjuang utuk memberlakukan Piagam Jakarta, melalui gerakan bersenjata.  Di samping itu, semua partai Islam pun tetap menjadikan Islam sebagai asasnya.  Sikap yang sama mereka perlihatkan pada awal lahirnya Orde Baru dalam sidang MPRS tahun 1966.   Hingga sekarang pun perjuangan itu terus berlangsung dalam bentuk yang lebih halus, diantaranya melalui perundang-undangan, dengan alasan otonomi daerah.

Maksud pokok dari para pejuang Piagam Jakarta ialah untuk memformalkan syariah dalam berbagai produk perundang-undangan, tidak hanya sebatas menjiwai dan menyemangati seperti yang diamanahkan oleh dekrit.  Sebenarnya hal ini telah menjadi kekhawatiran Bung Hatta, ketika menjadi Wakil Presiden RI, pernah mengatakan bahwa: …“Janganlah agama dan negara distukan, sebab kalau begitu, baik negara maupun agama akian hanncur.  Teokrasi merendahkan agama menjadi perkakas negara…[7]

Adalah sangat jelas bahwa upaya-upaya pihak tertentu untuk mengamandemen UUD 1945 yang terus berlanjut adalah bahagian dari keinginan untuk mengembalikan secara formal tekstual Piagam Jakarta, yang memuat tujuh kata: ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ke dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.   Padahal,  amat bijaksanalah para pendiri negara, termasuk tokoh Islam ketika itu, bahwa demi kesatuan bangsa dan penyelamatan negara proklamasi 1945, maka mereka menerima UUD 1945 minus tujuh kata dari Piagam Jakarta tersebut.   Kemudian pada dekrit 5 Juli 1959, Piagam Jakarta diterima sebagai menjiwai atau menyemangati konstitusi.

Dalam kaitannya dengan syariat Islam, Dekrit itu memberi pemahaman: pertama, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 pasca dekrit 5 Juli 1959 mengakui Piagam Jakarta sebagai jiwa (roh dan spirit) konstitusi dalam bernegara.    Kedua, bahwa Piagam Jakarta yang dimaksud dalam dekrit tersebut bukanlah Piagam Jakarta yang bermuatan formal tekstual syariah, melainkan Piagam Jakarta yang benilai jiwa (roh atau spirit) universal, yang biasa disebut roh al-tasyri`.  Jadi, Dekrit tetap mempertegas ideologi negara kebangsaan, namun bukanlah nasionalisme sekuler melainkan nasionalisme yang beriman kepada Tuhan, karena segenap warga negara harus berjiwa religius menrut konstitusi.

Bahwa Indonesia adalah negara kebangsaan yang berTuhan, dicanangkan sejak lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, berdasarkan pidato Bung Karno ketika itu.  Beliau menegaskan:

Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan leluasa.  Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama”……”Marilah kita jalankan agama…… dengan cara yang berkeadaban.  Apakah cara yang berkeadaban itu?  Ialah hormat menghomrati satu sama lain[8].

Menjalankan agama secara berkebudayaan dan berkeadaban tanpa egoisme, bukan dalam arti formalisasi agama tetapi dalam arti menyemangati kehidupan bernegara dengan spirit agama, sehingga betul-betul bernuansa religius.  Untuk itu, kita harus memaknai syariah dalam arti luas dan luwes, bukan dalam artian yang kaku sebagai hukum formal dan fikih.  Dalam arti luas, syariah mencakup keimanan, akhlak mulia, amal shaleh, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan sebagai yang diperintahkan Allah.  Atau tegasnya, syariah itu tidak lain dari ajaran Islam yang memadukan nilai ketuhanan dan kemanusiaan secara utuh yang disebut al-din.   Ajaran syariah tentang moralitas (misalnya akhlak mulia), pada hakekatnya adalah ajaran universal dari semua agama, dan tak satu pun umat beragama yang akan mengingkarinya.

Dari uaraian-uraian  di atas, diketahui bahwa sejak dari proses lahirnya, kemudian dicantumkannya dalam Pembukaan UUD 1945 sampai keluarnya dekrit 5 Juli 1959, eksistensi Pancasila tak dapat dipisahkan dari pribadi Bung Karno.  Tak salah memang jika ditegaskan bahwa Bung Karno lah penggali Pancasila itu. Hal ini pun sejalan dengan wasiat Bung Hatta kepada Guntur Sukarno Putra yang di dalamnya Bung Hatta mengakui bahwa Pancasila dirumuskan dari pidato Bung Karno di hadapan PPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang berjudul Pancasila.[9]   Sementara itu, di zaman Orde Baru, pemerintah  bersama Dewan Nasional Angkatan 45 pada tanggal 10 Januari 1975 membentuk Panitia Lima yang terdiri atas Bung Hatta, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Soenario, dan Abdul Gafar Pringgodigdo, untuk meneliti asal usul Pancasila.  Laporan Panitia Lima tersebut tentang asasl usul Pancasila telah disampaikan kepada Presiden Soeharto dengan sebuah delegasi yang dipimpin oleh Jenderal Soerono pada tanggal 23 Juni 1975, yang menjleaskan bahwa asal-usul Pancasila berawal dari pidato Bung Karno di depan PPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.[10]

C.   Spirit Syariah (Ruh al-Tasyri`) dlm Pancasila

Para ahli ushul fikih sepakat bahwa syariat Islam bertujuan menjamin terwujudnya kemaslahatan manusia yang meliputi lima hal, yakni: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda.  Sebenarnya masih ada satu hal yang amat prinsipil yang harus terwujud, yakni persatuan umat (bangsa). Bahkan berdasarkan dalil syariah,  diketahui bahwa terkadang jiwa seseorang harus dikorbankan demi tegaknya persatuan umat (jamaah), sehingga memelihara jamaah)persatuan umat) menjadi terpenting kedua sesudah memelihara agama.  Kalau hal ini diterima maka tujuan pokok syariah itu tidak hanya lima tetapi bisa menjadi enam.[11]   Keenam tujuan pokok syariah tersebut sekaligus merupakan landasan bagi obyek pembahasan fikih.  Memelihara agama merupakan landasan fikih ibadah, memelihara jiwa dan akal merupakan landasan fikih jinayah (pidana), memelihara keturunan menjadi landasan fikih munakahat, memelihara harta benda menjadi landasan fikih mu`amalat, sedang memelihara kesatuan umat /jamaah (bangsa) merupakan landasan fikih siyasah (politik).

  1. Memelihara agama : Ketuhanan YME
  2. Memelihara persatan jamaah (umat/bangsa) >Persatuan Indonesia  dan Kerakyatan
  3. Memelihara jiwa dan akal>  Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  4. Memelihara keturunan> kemanusiaan Yang adil dan beradab, dan Kerakyatan
  5. Memelihara harta benda > Keadilan social bgi seluruh arkyat Indonsia.

[1] Tim Penerbitan Buku Pancasila, Pancasila Bung Karno, (Jakarta: Paksi Bhinneka Tunggal Ika, 2005), h. 8-9.

[2] Bandingkan dengan Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT.Delta Pamungkas, 1997), Jilid 12, h. 95-97.

[3]Bandingkan dengan Ensiklopedi Nasional Indonesia, Ibid., Jilid 13 h. 220, di bawah kata Piagam Jakarta.

[4] Bandingkan dengan Ensiklopedi Nasional Indonesia, Ibid., Jilid 9 h. 115-116,

[5] Lihat dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Ibid., Jilid 9 h. 116-117,

[6] Bandingkan pula dengan Ibid., Jilid 4, h. 277-278.

[7] Lihat dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Op. cit., Jlid  13 h. 220, di bawah kata Piagam Jakarta.

[8] Tim Penerbitan Buku Pancasila, Pancasila Bung Karno, op. cit., h. 22.

[9] Henky, Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2007), h. 61-63.

[10] Lihat dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, op. cit., Jilid  12, h.  97-98,

[11] Hamka Haq, Al-Syathibi, Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, (Jakarta:  Erlangga, 2007) h. 95.

II.  SISTEM PEMERINTAHAN

  BAHAN DISKUSI KELAS  (Sumber: Scribd, 11 Oktober 2010)

Sistem Pemerintahan (Presidensial, Parlementer dan Campuran)

Siapa pelaksana kekuasaan negara dapat dikaitkan dengan negara Monarki dan Negara Republik. Secara konseptual, jabatan Presiden dipertalikan dengan negara republic, sedangkan raja dipertalikan dengan negara kerajaan. Duguit membedakan antara republik dan monarchie berdasarkan bagaimana kepala negara diangkat. Jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk pemerintahan disebut monarchie pelaksana kekuasaan negara disebut raja sedangkan jika kepala negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu maka negaranya disebut republik pelaksana kekuasaan negara disebut Presiden. Jika keberadaan Presiden berkaitan dengan bentuk Pemerintahan maka kekuasaan Presiden dipengaruhi dengan sistim pemerintahan. Pada sistem pemerintahan biasanya dibahas pula dalam hal hubungannya dengan bentuk dan struktur organisasi negara dengan penekanan pembahasan mengenai fungsi- fungsi badan eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif. Secara umum sistim pemerintahan terbagi atas tiga bentuk yakni sistim pemerintahan Presidensil, parlementer dan campuran yang kadang- kadang disebut “kuasi Presidensil” atau “kuasi parlementer”.

Sistem pemerintahan parlementer terbentuk karena pergeseran sejarah hegemonia kerajaan. Pergeseran tersebut seringkali dijelaskan kedalam tiga fase peralihan, meskipun perubahan dari fase ke fase yang lain tidak selalu tampak jelas. Pertama, pada mulanya pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas seluruh sistem politik atau sistem ketatanegaraan. Kedua, Kemudian muncul sebuah majelis dengan anggota yang menetang hegemoni raja. Ketiga, mejalis mengambil ahli tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen maka raja kehilangan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya. Oleh sebab itu keberadaan sistem parlementer tidaklah lepas dari perkembangan sejarah negara kerajaan seperti Inggris, Belgia dan sewedia.

Ciri umum pemerintahan parlementer sebagaimana dijelaskan S.L

Witman dan J.J Wuest, yakni:

1. It is based upon the diffusions of powers principle. (Dibentuk berdasarkan pemisahan kekuasaan)

2. There is mutual responsibility between the executive and the legislature; hance the executive may dissolve the ligislature or he must resign together with the rest of the cabinet whent his policies or no longer accepted by the majority of the membership in the legislature.

(Ada tanggung jawab bersama antara eksekutif dan legislatif, di mana eksekutif dapat membubarkan parlemen atau dia harus mengundurkan diri bersama kabinet jika kebijakan-kebijakannya tidak lagi diterima oleh mayoritas keanggotaan di lembaga legislatif.

3. The executive (Prime Minister, Premier, or Chancellor) is chosen by yhe titular head of the State (Monarch or Presiden), according to the support of majority in the legislature.

(Eksekutif (Perdana Menteri) dipilih oleh kepala Negara (Raja atau Presiden), berdasarkan dukungan mayoritas di legislatif

SISTEM PARLEMENTER

Berdasarkan di atas, maka diketahui bahwaa Ciri utama sistem Parlementer adalah:

  1. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden berdasarkan dukungan matoritas Parlemen, artinya legitimasi pemerintahan datangnya dari parlemen,
  2. Program yang ditawarkan (dijual) dalam pemilu adalah program partai, yang dijanjikan dalam kampanye Pemilu.
  3. Program Pemerintah adalah program partai pemenang pemilu,
  4. Dalam Pemilu rakyat memilih partai (Beberapa negara yang dipilih gambar Calon Anggota DPR, tapi yang dijual oleh calon anggota DPR tetap program partai),
  5. Terdapat pemisahan kekuasaan antara Kepala Negara (Raja / Presiden) dan Kepala Pemerintahan (PM)

Maka Ketua Partai otomatis calon Perdana Menteri, Karena yang dipercaya rakyat adalahpartai, maka partai lah yang membentuk kabinet (pemerintahan), Sehingga disana dikenal istilah partai pemerintah, dan partai yang tidak duduk dalam pemerintah disebut partai oposisi, Perdana Menteri setiap saat bisa jatuh karena alasan politik, yaitu ketika dukungan di parlemen tidak lagi mayoritas. Untuk terwujudnya “Chek and Balance” maka anggota DPR pun setiap saat juga bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik. Kewenang partai dalam mencopot anggota karena dalam pemilu yang dipercaya (yang dicoblos) oleh rakyat adalah partai, DPR adalah wakil partai maka dalam DPR ada lembaga Fraksi, Posisi Partai kuat, karena ia membuat program, menyusun kabinet dan memilih pejabat –pejabat politis lainnya, Pemerintah dibentuk setelah pemilu DPR. Bila di parlemen tidak mayoritas tunggal (50% + 1), maka partai pemenang terbesar berkoalisi dengan partai lain, maka cabinet yang dibentuk disebut cabinet koalisi.

Selain itu Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa dalam sistem parlementer dapat dikemukakan enam ciri, yaitu: Kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlement. Kabinet dibentuk sebagai satu kesatuan dengan tanggung jawab kolektif dibawah Perdana Menteri. Kabinet mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan parlemen sebelum periode bekerjanya berakhir. Setiap anggota kabinet adalah anggota parlement yang terpilih. Kepala pemerintahan (Perdana Menteri) tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan hanya dipilih menjadi salah seorang anggota parlement. Adanya pemisahan yang tegas antara kepala negara dengan kepala pemerintahan.

Berdasarkan ciri-ciri sistem pemerintahan tersebut. Pada hakekatnya kedua pendapat tersebut tidaklah berbeda, keduanya memiliki persamaan. Dalam kaitannya dengan kedudukan Presiden berdasarkan apa yang dijabarkan dalam ciri tersebut, kedudukan Presiden hanya ditemukan pada sistem parlementer yang berbentuk negara republik. Menurut S.L Witman dan J.J Wuest pada ciri yang keempat dan Jimly Asshiddiqie Pada ciri yang keenam, kedudukan Presiden hanyalah sebagai kepala negara sedangkan kepala pemerintahan diemban oleh Perdana Menteri.

Pada sistem parlementer kedudukan Presiden hanya sebagai kepala negara dimaksud bahwa Presiden hanya memiliki kedudukan simbolik sebagai pemimpin yang mewakili segenap bangsa dan negara. Di beberapa negara, kepala negara juga memiliki kedudukan seremonial tertentu seperti pengukuhan, melantik dan mengambil sumpah Perdana Menteri beserta para anggota kabinet, dan para pejabat tinggi lainnya, mengesahkan undang-undang, mengangkat duta dan konsul, menerima duta besar dan perwakilan negara-negara asing, memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehalibitasi. Selain itu pada negara-negara yang menganut sistem multi partai kepala negara dapat mempengaruhi pemilihan calon Perdana Menteri.

Pada sistem pemerintahan parlementer terdapat pemisahan antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Hampir seluruh negara yang menganut sistem ini dapat dipastikan seorang kepala pemerintahan dipilih dari keanggotaan parlemen. Bagaimanakah cara pengisian jabatan kepala negara pada sistem ini? Pada negara monarchi dapat dipastikan kepala negaranya seorang raja menurut Duguit berdasarkan keturunan. Sedangkan pada negara yang bebebentuk republik dimana kepala negaranya diemban oleh Presiden pada setiap negara memiliki mekanisme yang berbeda- beda dan Presiden memiliki masa jabata yang telah ditentukan. Pengisian jabatan Presiden pada negara republik pada sistem parlementer di sebagian negara diatur di dalam konstitusi mereka. Beberapa negara memilih secara langsung Presiden mereka, dipilih oleh parlement atau oleh suatu badan pemilihan. Sedangkan untuk masa jabatan Presiden sekitar 5 (lima) sampai 7 (tujuh) tahun.

SISTEM PRESIDENSIAL

Dalam pemerintahan Presidensial tidak ada pemisahan antara fungsi kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan, kedua fungsi tersebut dijalankan oleh Presiden. Presiden pada sistem Presidensil dipilih secara langsung oleh rakyat atau melalui badan pemilihan dan memiliki masa jabatan yang ditentukan oleh konstitusi.

Menurut von Mettenheim dan Rockman sebagaimana dikutip Rodhague dan Martin Harrop sistem Presidensil memiliki beberapa ciri yakni :

  1. popular elections of the Presiden who directs the goverenment and makes appointments to it.  (pemilihan langsung Presiden oleh rakyat, yang akan memimpin pemerointahan)
  1. fixed terms of offices for the Presiden and the assembly, neither or which can be brought down by the other (to forestall arbitrary use of powers). (Periode jabatan Presiden dan prangkatnya (menteri2) jelas, tak ada saling menurunkan/membubarkan oleh salah satunya, mencegah penggunaan sewenang-wenang kekuasaan  (Parlemen dan Pemerintah).
  2. no overlaping in membership between the executive and the legislature. (Tidak ada tumpang-tindih kekuasaan antara eksekutxif dan legistlatif)

Dalam keadaan normal, kepala pemerintahan dalam sistem Presidensial tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri oleh badan legislatif (meskipun terdapat kemungkinan untuk memecat seorang Presiden dengan proses pendakwaan luar biasa). Jika pada sistem parlementer memiliki pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial maka pada sistem Presidensial memiliki eksekutif nonkolegial (satu orang), para anggota kabinet Presidensial hanya merupakan penasehat dan bawahan Presiden.

Menurut Duchacck perbedaan utama antara sistem Presidensil dan parlementer pada pokoknya menyangkut empat hal, yaitu: terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik (fusion of ceremonial and political powers), terpisah tidaknya personalia legislatif dan eksekutif (separation of legislatif and eksekutif personels), tinggi redahnya corak kolektif dalam sistem pertanggungjawbannya (lack of collective responsibility), dan pasti tidaknya jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (fixed term of office).

Sedangakan untuk sistem pemerintahan campuran memiliki corak tersendiri yang juga dapat disebut sistem semi-presidensial. Sistem pemerintahan campuran dapat diartikan:

Semi-Presidenial government combines an elected Presiden performing political tasks with a prime minister who heads a cabinet accountable to parliament. The prime minister, usually appointed by the Presiden, is responsible for day-to-day domestic government (including relations with the assembly) but the Presiden retains an oversight role, responsibility for foreign affairs, and can usually take emergency powers.

Didalamnya ditentukan bahwa Presiden mengangkat para menteri termasuk Perdana Menteri seperti sistem Presidensil, tetapi pada saat yang sama Perdana Menteri juga diharuskan mendapat kepercayaan dari parlemen seperti dalam sistem parlementer. Perdana Menteri pada umumnya ditugaskan oleh Presiden, adalah bertanggung jawab untuk pemerintah domestik sehari-hari tetapi memiliki tanggung jawab untuk urusan luar negeri, dan dapat pada umumnya mengambil kuasa-kuasa keadaan darurat.

Menurut Duverger sistem ini memiliki ciri, yakni :

  1. The Presiden of the republic is elected by universal suffrage
  2. He possesses quite considerable powers.
  3. He has opposite him, however, a prime minister and minister who possess executive and governmental powers and can stay in office only if the parliament does not show its oppositions to them.

Cirri utamanya:

  1. Rakyat langsung memilih presiden artinya legitimasi presiden (Pemerintah) langsung dari Rakyat, Program yang dijual dalam pemilu bukan program partai, tapi program sang Capres,
  2. Program pemerintah adalah program Capres pemenang pemilu yang ditawarkan saat kampanye,
  3. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden tidak tergantung dari besar kecilnya dukungan DPR, karena legitimasi presiden bukan dari DPR, tapi langsung dari rakyat.
  4. Bila Presiden tergangu oleh DPR maka Presiden punya Hak veto terhadap keputusan DPR (Disanalah maka dalam sistem presidensial Pemerintah tidak terlibat dalam membuat UU) dan Presiden juga punya hak bertanya langsung kepada rakyat (referendum).

Jadi pada sistem campuran ini kedudukan Presiden tidak hanya sebagai serimonial saja, tetapi turut serta didalam pengurusan pemerintahan, adanya pembagian otoritas didalam eksekutif.

SISTEM POLITIK PEMERINTAHAN DI INDONESIA

Sejarah ketatanegaraan Indoenesia sejak berlakunya Undang- Undang Dasar 1945 kemerdekaan, Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sampai dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia mengalami beberapa perubahan sistem pemerintahan. Indonesia terus mencari suatu bentuk yang ideal. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistim pemerintahan “quasi Presidensial”. Alasannya karena dilihat dari sudut pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, sebagiman dikatakan lebih lanjut:

Jadi berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, sistem pemerintahannya adalah Presidensil, karena Presiden adalah eksekutif, sedangkan menteri-menteri adalah pembantu Presiden. Dilihat dari sudut pertanggungan jawab Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain – kepada siapa Presiden bertanggung jawab – maka sistem pemerintahan di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebut “quasi Presidensil”

Kekuasaan Presiden di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan yang dikatakan menganut sistim pemerintahan “quasi Presidensial” memiliki tiga kekuasaan sebagai yakni, sebagai kepala negara, sebagai kepala pemerintahan dan sebagai mendataris MPR.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merubah sistem pemerintahan Indonesia. Dengan perubahan ini Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil. Jika pada Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memiliki kelemahan yakni cenderung sangat ‘executive hevy’ maka setelah perubahan hal ini tidak terwujud lagi,

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TELAH MENGANUT SISTEM PEMERITAHAN PRESIDENSIL

Dalam sistem pemerintahan Presidensil yang diadopsi oleh Undang- Undang Dasar 1945 memiliki lima perinsip penting, yaitu:

(1)  Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan esekutif negara yang tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar.

(2)  Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih. (3) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi.

(3)  Para menteri adalah pembantu Presiden.

(4)  Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem Presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintah, ditentukan pula masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Kelima ciri tersebut merupakan ciri sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan.

III.  POLITI ALIRAN

POSISI POLITIK DI BAWAH TEKANAN ORDE BARU (Hamka Haq)

Politik aliran sebenarnya muncul sejak lahirnya Republik Indonesia, yakni ketika terjadi tarik ulur antara dua kekuatan politik menjelang kemerdekaan dan sesudahnya, antara kelompok Nasionalis dan kelompok Islam.   Perdebatan sengit antara dua kelompok tersebut adalah terutama menyangkut dasar negara.  Kaum Nasionalis menghendaki Nasionalisme, sedang kelompok Islam menghendaki negara berdasar Islam.  Sempat terjadi kompromi, dengan lahirnya Piagam Jakarta, tapi pada akhirnya kembali pada kesepakatan semula, sesuai dengan mainstrim perjuangan kemerderkaan, yakni negara kebangsaan berdasarkan Pancasila.

Di era Orde Baru, penguasa berhasil melakukan penyederhanaan partai politik manjadi hanya tiga partai yakni Golongan Karya (Golkar), Partai Peratuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).  Dalam kaitannya dengan politik aliran, maka di era Orde Baru, hampir semua institusi keislaman, baik ormas maupun wadah pendidikan dan dakwah, cenderung berpihak pada aliran politik Islam yang direpresentasikan oleh PPP.  Maka dapat dipahami jika hampir semua alumni IAIN ketika itu memilih PPP sebagai wadah berpolitik.  Mereka yang terpaksa memilih Golkar, hanyalah karena status mereka sebagai PNS yang waktu itu harus digolkarkan.  Atau mereka yang direkrut oleh Golkar untuk menduduki posisi pada ormas Islam yang sengaja dibentuk guna menarik simpati umat Islam, misalnya Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) dan Pengajian Al-Hidayah.

Begitu kentalnya corak politik aliran di era Orde Baru, maka PDI yang merupakan fusi dari lima partai, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik, sangat kesulitan merekrut kader dari kalangan alumni IAIN.  Bahkan dalam perbenturan yang begitu keras, PDI diisukan sebagai Partai Kristen, untuk mebendung langkah pendekatan partai tersebut terhadap umat Islam, khususnya di Sulawesi Selatan.  Dapat dikatakan bahwa, merupakan anomali jika di era Orde Baru terdapat sosok alumni IAIN (pemuka Islam), yang berani bergabung dengan PDI.

Menjelang akhir Orde Baru, terdapat perkembangan menarik, yakni mulai terkikisnya pengaruh politik aliran secara nasional.  Hal ini karena Golkar (nasionalis) semakin dekat kepada umat Islam, sehingga para pendukung setia PPP banyak beralih ke Golkar melalui ormas-ormas sayap keislaman tersebut di atas.  Bahkan terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang banyak merekrut pimpinan dan kader-kader Golkar, semakin melemahkan peran politik aliran Islam yang melekat pada PPP.  Untuk memperjuangkan Islam secara politik, alumni IAIN tidak lagi harus melirik PPP, tetapi lebih cenderung bergabung ke ICMI yang sejatinya adalah “sayap intelektual Islam” Golkar di bawah sosok B.J. Habibi, tokoh yang jadi idola di Sulawesi Selatan.  Mereka berharap bahwa kebuntuan perjuangan politik Islam yang diperankan oleh PPP, sebuah partai kecil yang tak berdaya di era Orde Baru, dapat diselesaikan lewat jalan pintas ICMI yang dekat dengan kekuasaan.

METAMORFOSE POLITIK ALIRAN DI ERA REFORMASI

Runtuhnya Orde Baru, tidak berarti dengan serta merta politik aliran sudah habis riwayatnya, bahkan ia tampil dalam bentuk yang baru dan dalam peta politik baru pula.  Setelah sosok Habibi gagal menjadi Presiden RI pada tahun 1999, karena mengundurkan diri dari pencalonan, maka peran (pengaruh) ICMI pun dalam kancah kekuasaan, apalagi dalam bidang politik –sebab memang bukan partai politik–menjadi habis.  Dalam pada itu di Sulsel muncul fenomena semangat aliran keislaman yang secara radikal ingin melanjutkan perjuangan politik Islam yang mengusung Piagam Jakarta menjelang kemerdekaan.  Hal ini ditandai dengan terbentuknya ormas yang bernama Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI).

Kehadiran KPPSI berbarengan dengan lahirnya pula partai-partai berbasis Muslim di tingkat nasional, yang pada gilirannya membentuk pengurus tingkat provinsi Sulawesi Selatan, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Parai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan partai yang berasas Islam yakni Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK) kemudian berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).  Belakangan, terbentuk pula pecahan PPP, yakni Partai bintang Reformasi (PBR).

Dalam suasana demikian, alumni IAIN tersebar mengisi peluang di parpol Islam baru atau yang berbasis Muslim tersebut.  Pilihan-pilihan mereka relatif ditentukan oleh latar belakang ormas Islam-nya.  Namun tidaklah secara otomatis bahwa warga Muhammadiyah akan pasti memilih PAN, dan kaum nahdhiyin akan pasti memilih PKB.   Hal ini disebabkan banyaknya partai, yang berarti tersedia banyak peluang dan pilihan politik di luar PAN dan PKB.

Dibanding dengan PKB, PAN memperoleh banyak pengikut dari warga Muhammadiyah.  Hal ini disebabkan PAN memperoleh dukungan kuat dari ormas Muhammadiyah, sedang PKB tidak memperoleh dukungan penuh dari ormas NU, akibat pimpinan NU terpecah ke dalam partai-partai baru yang dibentuknya sendiri, misalnya PNU dan PKNU.  Warga nahdhiyin pun akhirnya terpecah ke dalam partai-partai tersebut.  Di samping itu, juga disebabkan terserapnya sebahagian mereka ke dalam Golkar, sebagai tradisi umum yang sudah berlangsung sejak era Orde Baru, bahwa Golkar lebih banyak merekrut kader nahdhiyin, ketimbang Muhammadiyah.

PKS dan PBB yang dapat dikatakan tidak memiliki basis massa yang jelas seperti yang dimiliki PAN dan PKB, justru banyak merekrut dari kaum intelektual muda dan dari pemilih kritis.  Selain itu, PKS (di Sulawesi Selatan) memperoleh keuntungan sebab ideologinya yang tegas-tegas akan melaksanakan syariat Islam itu, sangat sejalan dengan perjuangan KPPSI, yang nota bene merupakan warisan dari ideologi DI TII.  Maka, ditengarai bahwa PKS memperoleh banyak pula dukungan dari keluarga sisa-sisa pendukung Kahar Muzakkar, di samping dari kalangan yang longgar ikatan politiknya dengan NU dan Muhammadiyah.

SIKAP UMAT ISLAM TERHADAP PARTAI NASIONALIS

Sejujurnya, semua partai politik yang ada sekarang, tak terkecuali Partai Islam sudah menjadi partai nasionalis, sebab mereka telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai asasnya, kecuali dalam soal ciri, partai-partai Islam memasang Islam secara cirinya.  Walaupun demikian, kita akan tetap membedakan antara partai yang bercirikan Islam  (PPP, PBB, PKS, PBR), atau partai yang berbasis Islam (PAN dan PKB),  dengan partai nasionalis yang murni berdasar Pancasila.

Dalam konteks tersebut, Muslim santri lebih banyak memilih partai yang berasas Islam (PPP, PKS) atau yang berbasis massa Muslim (PAN dan PKB), ketimbang partai nasionalis kecuali Golkar.   Golkar menjadi pengecualian, sebab partai tersebut sudah sangat akrab dengan sanri, setelah sekian banyak pemuka Islam direkrut oleh Golkar.  Tidak tanggung-tangung, Golkar merekrut ulama dan Pejabat Depaartemen Agama menjadi Pengurus Golkar.

Karena itu, tidak mengherankan jika pada umumnya partai nasionalis (selain Golkar), selalu saja menuai resistensi dari sebahagian besar masyarakat Muslimdi luar Jawa.  Hal ini disebabkan stigma yang pernah mencuat bahwa partai nasionalis merupakan tempat berlindungnya kaum Kristen dan sisa-sisa komunis.

Hal di atas juga erat kaitannya dengan kristalisasi kubu-kubu politik di awal Reformasi, yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh Amin Rais, Megawati, Gus Dur yang dipandang sebagai kubu reformis dan B.J.Habibi yang dipandang sebagai rezim status quo.  Pada awalnya, ketika Habibi (Ketua ICMI yang didukung Golkar) menjabat Presiden, akademisi Muslim di luar Jawa cenderung bergabung dalam semangat mempertahankan Habibi, sehingga tuntutan pembubaran Golkar  oleh berbagai kalangan di Jakarta tidak bergaung di luar Jawa.  Keadaan sedikit berubah ketika lahirnya partai-partai baru seperti PAN dan PKB, masyarakat Muslim luar Jawa pun mulai melirik ke tokoh lain, terutama Amin Rais sebagai pendiri dan Ketua Umum PAN.   Dalam pada itu, dapat dikatakan sebahagian besar Muslim luar Jawa tidak melirik ke Megawati yang merupakan representasi kubu nasionalis di awal reformasi.  Karena itu, tidak hanya PDI Perjuangan, tapi seluruh partai nasionalis selain Golkar kesulitan menemukan dukungan moril dari Muslim luar Jawa.

Berbeda halnya dengan partai-partai nasionalis yang baru muncul kemudian, seperti Partai Demokrat, Grindra dan Hanura.  Resistensi masyarakat terhadap mereka relatif kurang, bahkan mungkin tidak ada.  Mereka mudah diterima seiring dengan perubahan sikap politik masyarakat yang semakin pragmatis.  Karena partai-partai tersebut terbebas dari aroma politik aliran, yang pernah menjadi kompetitor Habibi dan Amin Rais, maka masyarakat Muslim luar Jawa tidak menghadapi hambatan psikologis menerimanya.

MENEROPONG POLITIK ALIRAN di 2009?

[Opini]  Oleh Rahmat Banu Widodo

… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … …

Liddle berkeyakinan, seseorang akan memilih partai pilihannya berdasarkan pada beberapa alasan yaitu : aliran, agama, budaya, atau faham yang dianutnya. Semenjak 1955, orang Islam modern cenderung memilih Masyumi, sedangkan Islam yang tradisional lebih condong memilih NU, dan para Nasionalis memilih PNI atau paham yang sesuai.

… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … …

Beliau, Prof Wiliam Liddle, menambahkan, yang selalu menonjol dalam politik aliran adalah peran tokoh atau pemimpin, seperti contoh, pada Pemilu 1999, Megawati memiliki daya tarik yang kuat, sehingga memperoleh dukungan yang cukup besar, sementara, partai yang memiliki warisan Masyumi (non ketokohan), hanya PAN yang mendapat suara besar, selebihnya anjlok.

Tentang politik aliran

Wacana tentang politik aliran di Indonesia muncul sejak Cliford Geertz membuat tesis tentang The Religion of Java (1960). Dengan trikotomi sosial, budaya, dan politik masyarakat Indonesia. Dari situlah kemudian, muncul teori masyarakat ke dalam tiga varian; abangan, santri, dan priyayi, yang menjadi basis dalam kelembagaan politik seperti partai politik, dan menginternalisasikan paham politik aliran dalam platform organisasi, termasuk dalam memetakan basis dukungan di masyarakat Indonesia.

Berawal dari teori Cliford Geertz itulah maka, kekuatan politik aliran secara garis besar terbagi dalam dua kelompok muslim, santri dan abangan. Santri adalah kelompok Muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Yang berkeyakinan dengan landasan agama yang tercantum dalam ideologi partai dan asas negara, maka, menurut kelompok ini, dengan berlandaskan asas agama, bangsa ini akan menjadi lebih baik.

Kedua adalah abangan, adalah kelompok Muslim yang (tidak taat) –cenderung memandang agama, sebatas pada nilai-nilai sakral–, menjalankan kewajiban agama (Islam), apalagi sampai memperjuangkan agar menjadi asas negara. Islam bagi mereka tidak penting dalam kehidupan sosial-politik dan kenegaraan,. Tidak heran kemudian, kelompok abangan lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan di masa itu pun di masa sekarang.

Pendapat senada dikuatkan oleh Herberth Feith dalam buku, Political Thinking, bahwa peta kekuatan politik Indonesia dekade 1940-1960-an banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai politik internal yang berakar pada tradisi, nilai keislaman, dan Hindu-Jawa, selain dipengaruhi pula oleh nilai-nilai ideologi yang berakar dari Barat: nasionalisme, komunisme, dan sosial demokrasi. (Eko, 2004)

Corak politik aliran pun hingga paska-gerakan reformasi dan Pemilu 1999 masih cukup mengental di tengah-tengah para elit politik, munculnya beberapa tokoh seperti Gus Dur, Megawati, yang cukup jelas mengandalkan kekuataan ketokohan orang tua mereka.

Gus Dur, seperti di ketahui adalah cucu dari pendri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asyhari, dan Megawati, adalah putri proklamator, dan hingga kini masih membawa pesona bayang-bayang ketokohan Presiden. Soekarno, dua kekuatan ketokohan ini seperti menjadi magnet utama kesadaran politik grassroot kala itu, sampai kemudian mengantarkan Gus Dur dan Megawati ke singgasana kekuasaan di negeri ini.

Demikian pada Pemilu Legislative 2004 lalu, beberapa partai-partai berbasis agama muncul menapaki tujuh besar tangga suara perolehan kursi di parlemen, seperti; PKS memperoleh (48 kursi), PKB (53 kursi), PPP (57 kursi), PAN (50 kursi), atau partai berbais aliran nasionalis yang mengandalkan kekuatan tokoh, seperti; PDIP (108 kursi), Partai Demokrat (57 kursi).

Begitu pula saat Pemilu Presiden 2004. Fenomena kemenangan pasangan SBY-Jusuf Kalla, yang dipengaruhi oleh faktor kekuatan figuritas (ketokohan SBY), –yang di blow up oleh media massa–, seperti memberikan pesan bagi kita bahwa aspek feodalisme dan paternalisme masih kental dalam budaya masyarakat Indonesia.

Bagaimana 2009?

Seperti yang disampaikan oleh Wiliam Liddle, politik aliran belum bias beranjak dalam arena Pemilu Legislatif atau Pemilu Presiden 2009, alasan ini diperkuat ketika Megawati dalam forum Rakernas PDIP menyatakan akan maju menjadi Capres 2009, demikian dengan Gus Dur, ia di media menyatakan serupa.

Maka kekuatan tokoh, aliran, dan organisasi akan menjadi alasan bagi pemilih untuk menentukan pilihan politik mereka, meski pun ada faksi-faksi dari kelompok aliran itu yang membelah diri, tetapi dengan corak dan karakter yang sama, tetapi jumlahnya peraihan suaranya tidak signifikan, selama tidak ada faktor ketokohan yang mendorong. Wallahualam.    (Rahmat Banu Widodo)

______________________________________

“MENGUKUR”  VIABILITAS POLITIK ALIRAN

Oleh Burhanuddin*  (Republika, 2 Juni 1999)

Menarik sekali mengikuti perdebatan antara (mantan) guru dan murid sekitar permas`alahan viabilitas “aliran” sebagai sebuah pendekatan untuk menjelaskan pola dukungan politik bagi Presiden B.J Habibie. Perdebatan semakin ramai ketika teman seperguruan Bahtiar Effendy di Ohio State University ikut nimbrung dalam polemik itu (Deny JA, Republika, 26/5/1999). Dengan merujuk Geertz, Bahtiar memaparkan  dua kelompok religio-ideologis politik Jawa: “priyayi/abangan” dan “Islam”, yang kemudian dikembangkan dalam spektrum yang lebih luas menjadi: “nasionalis” dan  “Islam” (Republika, 18/5/1999). Secara eksplisit, Bahtiar juga membedakan perspektif religio-ideologis “nasionalis versus Islam” dengan sentimen “Jawa versus luar Jawa.”. Kenyataan  bahwa B.J Habibie adalah Islam dan berasal dari luar Jawa inilah yang dilihat Bahtiar sebagai sumber daya politik untuk mengegolkan beliau sebagai presiden.

Analisis inilah yang membedakan Bahtiar dengan Bill Liddle, sapaan akrab Prof. R. William Liddle. Liddle beranggapan bahwa pola perlawanan politik priyayi/abangan versus santri tidak terpisahkan dari pola perlawanan politik Jawa dan luar Jawa (Republika, 20/5/1999). Secara empiris-faktual, trikotomi Geertz hanya berlaku pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kategorisasi Geertz tidak dapat dipakai untuk konteks masyarakat  Jawa Barat, karena etnis Sunda identik dengan kemusliman. Terlebih lagi, bagi komunitas luar Jawa, seperti Sumatera Barat atau Sulawesi Selatan (tempat kelahiran B.J Habibie), tentu ogah disebut abangan karena konotasi yang muncul dari abangan adalah erat dengan praktek-praktek mistisisme, sinkretisme Jawa, animistik dan kejawen. Okelah, orang santri juga banyak terdapat di Jawa, terutama bagian pesisir, namun secara kuantitatif, komunitas santri lebih dominan di luar Jawa.

Kalau mau jujur, perbedaan pola pengelompokan keagamaan saja antara priyayi/ abangan dan santri tidak akan cukup menimbulkan dikotomi yang terlalu serius jika tidak diikuti dengan sistem pengelompokan politik. Perbedaan kultur dan agama semata tidak cukup memberi amunisi baru bagi munculnya polarisasi yang sedemikian menajam. Namun, lagi-lagi masalahnya inti dari teori “aliran” Geertz, seperti dikutip Bahtiar, adalah adanya kesamaan ideologis yang kemudian tertransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif. Dalam konteks ini, social cleavages yang berupa ikatan agama menjadi faktor yang cukup signifikan bagi pembentukan pola pengelompokan sosial politik. Persoalan ini makin meruncing bila perbedaan yang ada tidak hanya dilihat dari variabel religio-ideological cleavages yang berseberangan, tapi juga karena ditunjang oleh perbenturan kepentingan atau afiliasi politiknya.

Dengan demikian, bila kita sepakat dengan tesis Bahtiar bahwa B.J Habibie menjadikan identitas keislaman/kesantrian dan keluarjawaannya sebagai icon atau catchword untuk mobilisasi dan maksimisasi suara, maka polarisasi kelompok B.J Habibie dengan Megawati dengan massa PDI Perjuangan, akan semakin dalam. Motivasi “pertentangan” dua kelompok tersebut tidak saja disulut oleh variabel Islam versus nasionalis, tapi juga tarik menarik kepentingan untuk meraih kursi kekuasaan. Jajaran pemerintahan B.J Habibie sekarang yang kebetulan beridentitas Islam dan berasal dari luar Jawa, seperti Syarwan Hamid dan Faisal Tanjung (dua menteri ini yang dituding kelompok Megawati sebagai pihak paling bertanggung jawab –-selain Soeharto— atas  penggusuran secara paksa Megawati sebagai Ketua Umum PDI era Orde Baru), tentu saja, makin menambah  runyam “suasana konflik”. Bahkan pada Kabinet Reformasi Pembangunan sekarang terdapat nama Panangian Siregar sebagai Menko Lingkungan Hidup. Walhal, galib diketahui, Panangian masuk dalam jaringan PDI Suryadi (PDI Budi Harjono) yang divonis telah menusuk PDI Mega dari belakang.

Demikian juga posisi kelompok B.J Habibie yang “bermasalah” jika dihadapkan dengan Gus Dur dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya. Meskipun sama-sama berasal dari kategori santri, namun secara geneologis B.J Habibie besar dalam tradisi muslim modernis sedangkan Gus Dur (baca: PKB) lahir dari rahim santri tradisionalis. Secara politis, kelompok tradisionalis selama Orde Baru “kalah bersaing” dengan seterunya. Rezim Orde Baru, terutama awal dekade 1990-an, dinilai acapkali menganakemaskan kelompok modernis, dan dalam rentang waktu yang bersamaan, memarginalkan peran kelompok tradisionalis. Ada guratan kekecewaan yang mendalam dari kalangan politisi NU yang sedih melihat kaum nahdhiyin hanya dimanfaatkan, terutama hanya untuk menebalkan pundi-pundi suara Golkar dalam pemilu. Tanpa mendapatkan konsesi politik sedikitpun !

Lain memang dengan “policy” Orde Lama yang menampakkan kemesraan antara NU dan Soekarno. Bentuk politik akomodasi yang ditampakkan Soeharto terhadap kalangan Islam (modernis) adalah “restu” atas berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sementara Gus Dur yang merasa mewakili santri tradisionalis malah berdiri di garda paling depan barisan pengritik ICMI. Menurut kabar selentingan yang beredar di kalangan pendukung Gus Dur, B.J Habibie dengan diback up beberapa pengurus teras ICMI aktif menggalang dukungan untuk menghambat peluang Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar Cipasung. Perbenturan kepentingan ini makin telanjang dengan datangnya momentum pemilu 1999 yang membuka persaingan tajam antara kekuatan politik santri modernis dan tradisionalis untuk memperebutkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.

Yang paling tepat merepresentasikan gagasan Bill Liddle tentang polarisasi kelompok atas dasar perbenturan politik murni, bukan aliran, adalah antara Partai Amanat Nasional (PAN) yang mencalonkan Amien Rais dan Partai Golkar yang menobatkan B.J Habibie sebagai capres tunggal. Dilihat dari sumber daya politik yang bakal digarap,  tampaknya Amien dan B.J Habibie mengandalkan basis massa yang relatif sama. Kedua tokoh ini berasal dari “spesies” yang sama: Islam modernis, meskipun secara kultural dibedakan oleh “Jawa dan luar Jawa.” Dalam tingkat representasi, Amien dinilai lebih layak mewakili kelompoknya. Di sinilah Amien memetik buah atas jerih payahnya sebagai Ketua Umum PP. Muhammadiyah. Seperti dinyatakan Liddle, PAN sebagai “partai Muhammadiyah” dan pewaris Masyummi diperkirakan akan memperoleh suara lebih banyak di luar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bukankah, dengan demikian, wilayah garapan untuk menangguk suara bagi  Amien dan B.J Habibie sama, yakni dengan mengandalkan basis massa dari luar Jawa ?

Cuma bedanya, barangkali PAN lebih banyak menangguk suara dari daerah luar Jawa yang masuk gugusan Indonesia bagian barat (Sumatera misalnya), sedangkan B.J Habibie dari gugusan Indonesia bagian Timur, seperti terlembagakan antara lain ke dalam “Iramasuka Nusantara”. Analisis Bahtiar yang mengatakan bahwa ICMI menjadi comparative advantage bagi B.J Habibie untuk menarik dukungan dari kalangan Islam, juga masih membuka celah untuk diperdebatkan. Pengurus teras ICMI Pusat, Prof. Drs. Dawam Rahardjo, pernah mengungkapkan hasil jajak pendapat terhadap pengurus ICMI mengenai dukungan kepada B.J Habibie. Hasilnya, lima puluh persen pengurus ICMI tidak mendukung B.J Habibie menjadi presiden lagi. Lima puluh persen lainnya malah mendukung Ketua Umum PAN, Amien Rais untuk berlenggang menuju Istana Kepresidenan (Tabloid Tekad, no. 30, 24-30/5/1999). Artinya, figur Amien yang ikut menggagas berdirinya ICMI memiliki comparative advantage yang seimbang dengan B.J Habibie dalam hal “memakai” ICMI sebagai alat mobilisasi dukungan.

Di antara tiga partai berbasis massa besar yang melakukan komunike bersama PAN, PDI Perjuangan dan PKB (dikenal dengan sebutan komunike Paso), menurut saya, hanya partai Mentari Terbit yang murni atas dasar merapatkan barisan melawan kekuatan status quois. Hanya saja, PAN perlu banyak bekerja sama dengan partai-partai lain untuk lebih memperkuat barisan. Definisi status quo yang selama ini diarahkan ke B.J Habibie, saya kira, masih debatable dan questionable. Apakah sebutan status quo tersebut menunjuk pada wacana dan ide, orang atau institusi (partai) ?

Jika dilihat dari perspektif wacana yang digulirkan, maka penilaian Liddle bahwa PDI Perjuangan dan PKB masuk dalam kelompok reformis, tentulah tidak seratus persen benar adanya. Soal konsepsi Dwifungsi ABRI dan Amandemen terhadap UUD 1945 jelas menampakkan sikap PDI Perjuangan dan PKB yang masih bernuansa status quo. Deny J.A, dalam tanggapannya atas tulisan Liddle dan Bahtiar (Republika, 26/5/ 1999), malah menilai B.J Habibie (Partai Golkar) lebih reformis ketimbang Megawati (PDI Perjuangan) dalam soal opsi penyelesaian masalah Timtim. Jangan-jangan, semoga saja tidak, selama ini kita terjebak pada pendefinisian status quo versus reformis atas dasar apakah seseorang “terintegrasi” dalam struktur negara atau tidak. Seolah-olah yang berada di luar negara (state) dengan sendirinya dicap reformis, atau sebaliknya.

Terlepas apakah kesepakatan-kesepakatan itu bersifat “permanen” (dalam pengertian sampai Sidang Umum MPR hasil pemilu mendatang) atau ad hoc (dalam pengertian sebagai reaksi atas perkembangan politik tertentu), komunike bersama PAN, PDI Perjuangan dan PKB baru sebatas aliansi strategis dalam menghadapi Partai Golkar. Untuk sampai pada tingkat koalisi, seperti adanya sharing of power, tentu saja harus melewati beberapa etape lagi. Karena yang berkembang belakangan ini lebih merupakan produk dari langkah-langkah yang reaktif dan sporadis, maka probabilitas terjadinya koalisi tiga partai itu sulit diadakan.

Pada tingkat kepentingan yang paling pragmatis, komunike Paso tersebut seolah menampakkan agenda tersembunyi (hidden agenda) yang sama, yakni “terancamnya” posisi  tiga calon presiden yang telah direkomendasikan oleh ketiga partai. Dengan demikian, kalaupun toh di kemudian hari komunike Paso itu berhasil menghadang kekuatan pro status quo, tetap saja “bermasalah” dalam pembagian kekuasaan, di mana ketiga partai besar tersebut jauh-jauh hari telah mengelus jagonya masing-masing. Satu hal yang patut diperhitungkan adalah kemungkinan timbulnya kecemburuan politik dari partai-partai lain yang tidak menandatangani ( atau tidak diikutkan ?) dalam komunike Paso. Tiga tokoh parpol berbasis massa Islam, yakni PPP, PKU (Partai Kebangkitan Umat) dan PNU (Partai Nahdhotul Umat) menegaskan bahwa komunike bersama yang dicetuskan PDI Perjuangan, PAN dan PKB bisa memecah belah reformasi (Republika, 20/5/1999). “Jika mereka mengklaim paling reformis, justru mereka itulah yang sebetulnya   arogan, “tandas Sholahuddin Wahid, Ketua PKU.

Benar bahwa kesepakatan bersama antara PAN, PDI Perjuangan dan PKB telah melampaui sekat-sekat aliran dan ikatan primordial. Namun komunike Paso itu sulit untuk meningkatkan “statusnya” menjadi koalisi, mengingat koalisi berurusan dengan pengelompokan. Atau lebih tepatnya, koalisi berkaitan dengan pengelompokan kembali (regrouping) beberapa partai menjadi suatu partai utama (major party), sambil tetap mempertahankan identitasnya masing-masing dengan tujuan menjadi suatu working majority (Kompas, 25/5/1999). Atas  dasar ini, Daniel Dhakidae membedakan koalisi menjadi tiga macam. Pertama, koalisi yang dibentuk demi suatu political expediency, yaitu tuntutan dan kepentingan historis masa kini. Tuntutan dan sentimen reformasi yang menyala-nyala di jagad perpolitikan Tanah Air seakan menambah suntikan darah segar untuk terus melawan kekuatan pro status quo. Kedua, suatu koalisi yang berdasarkan jalur ideologis. Dan ketiga, koalisi sebagai penjelmaan the politics of survival. Di sini terjadi koalisi yang ditarik dalam garis yang sekarang populer disebut sebagai koalisi antar kekuatan status quo.

Komunike Paso boleh saja disebut sebagai koalisi ideal atas dasar political expediency. Namun, menurut Bahtiar, dalam perspektif politik koalisi, dukungan akan mudah diperoleh dari pihak-pihak yang mempunyai kedekatan ideologis (Republika, 18/5/1999). Baru-baru ini, muncul kesepakatan untuk melakukan stembus accord antara empat partai Islam yang lahir dari rahim Islam modernis, seperti Partai Keadilan, PSII dan lain-lain. Atau yang lebih terbaru adalah kesepakatan untuk melakukan stembus accord antara delapan partai yang tergabung dalam “Forum Shilaturrahmi Partai Islam.” Kesepakatan bersama antara PPP, PKU dan PNU untuk melakukan stembus accord juga bisa dibaca dalam konteks menggalang kerjasama di antara partai-partai yang sama-sama berbasis massa kaum nahdhiyin (saat ini PPP dipimpin oleh Hamzah Haz yang “berdarah” NU).

Mengapa PKB tidak diikutkan ? Salah satu sebabnya adalah faktor Gus Dur yang dituding tidak bisa “mentolerir” kehadiran partai-partai NU “liar” semacam PKU dan PNU. Dalam sebuah acara “Debat Partai-partai” di televisi swasta baru-baru ini, Gus Dur menganalogikan NU seperti seekor ayam yang bisa mengeluarkan telur sekaligus tahi melalui (maaf) duburnya. Secara eksplisit, Gus Dur menyebut PKB sebagai telurnya, sedangkan KH. Yusuf Hasyim (PKU) dan KH. Syukron Makmun (PNU) laksana tahi ayam. Maka daripada itu, kesediaan untuk mencanangkan stembus accord antara PPP, PKU dan PNU bisa diartikan sebagai “perlawanan” terhadap dominasi PKB.

Jadi intinya, koalisi atau paling tidak kesepakatan bersama, akan semakin gampang dibentuk berdasarkan kedekatan ideologis dan persamaan kepentingan. Lain dengan komunike Paso yang dari awal memperlihatkan “keretakan”, terutama dilihat dari keengganan Megawati untuk hadir di rumah Dr. Alwi Syihab, tempat “deklarasi” komunike Paso. Di tingkat elite partai berbasis massa besar ini,  Amien Rais (baca: PAN) tampak “teralienasi”, bahkan tertutupi oleh “kemesraan” antara Megawati (PDI Perjuangan) dan Gus Dur (PKB). Di samping platform PDI Perjuangan dan PKB yang dalam banyak hal sama, faktor sejarah masa lalu juga tidak bisa diabaikan. Alih-alih, kata Bahtiar, pengalaman bersama antara PDI Mega dan PKB sebagai kekuatan sosial politik yang tidak “terintegrasikan” ke dalam negara pada masa Orde Baru juga merupakan faktor yang tidak bisa ditepiskan.

Hal di atas semakin menarik jika kita menelisik indikasi adanya “balapan politik” (political race) antara Gus Dur dan Amien Rais. Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, dalam wawancara khusus dengan penulis, mengatakan bahwa political race tersebut didorong oleh pengalaman-pengalaman historis perseteruan antara NU dan Muhammadiyah. Dengan kata lain, balapan politik kedua tokoh ini adalah warisan konflik antara tradisionalis dan modernis yang masing-masing dipersonifikasikan oleh Gus Dur dan Amien Rais. Namun, uniknya, kalangan tradisionalis malah bisa menjalin hubungan akrab dengan kalangan nasionalis. Pada masa Orde Lama misalnya, kedekatan dua “aliran” yang berbeda itu tampak ketika NU menganugerahkan gelar waliyyul amri bi al-dhoruri wa al-syaukah kepada Soekarno (baca: PNI). Lucunya, seperti bandul jam bergoyang, aktivis-aktivis Islam modernis malah ditangkap dan dipenjara. M. Natsir misalnya, sempat menghirup udara “hotel prodeo” untuk beberapa waktu lamanya. Kebalikannya, era Orde Baru malah meninggalkan pengalaman traumatik bersama buat kalangan nasionalis dan Islam tradisionalis yang merasa sebagai pihak yang tidak terakomodir dalam negara.

Barangkali inilah yang menambah bumbu-bumbu “kemesraan” antara Gus Dur dan Megawati di tingkat elite partai. Secara perlahan tapi pasti, “kemesraan” di tingkat elite tersebut dicontoh oleh massa partai di tingkat akar rumput (grass root). Ini tampak dari penggunaan posko-posko yang digunakan bersama-sama oleh PDI Perjuangan dan PKB, pawai kampanye yang kadang bebarengan dan lain-lain. Saya kurang tahu, apakah hubungan antara Gus Dur, Megawati, Amien Rais dan B.J Habibie sesuai dengan pepatah Barat : “The enemy of my enemy is my friend ? Pembacalah yang tahu jawabannya.

By Hamka Haq Posted in KULIAH