FALSAFAH EKONOMI KERAKYATAN

Falsafah Ekonomi Kerakyatan (Mustadh`afin)

@Diambil dari buku Islam Rahmah Untuk Bangsa [Jakarta: Rakyat Merdeka Books, 2009] karya Prof. Dr.Hamka Haq

Salah satu asas terpenting dalam dunia ekonomi, seperti disinggung di atas ialah kemaslahatan umum.  Asas ini berkaitan dengan kehidupan duniawi dan ukhrawi yang harus seimbang dan berpadu antara satu dengan lainnya.  Demikian pula keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban yang berkaitkan dengan aspek keadilan.

Aspek keseimbangan dan keadilan inilah yang menjadi salah satu hikmah syariah untuk memberikan perlindungan bagi hajat hidup orang banyak, terutama mereka yang tergolong ekonomi lemah (miskin dan melarat), lemah dari segi politik, lemah dari segi pendidikan, lemah dari segi pembelaan hukum, lemah dalam biaya kesehatan dan seterusnya.  Hal ini dimaksudkan agar dalam kehidupan bermasyarakat, tak satu pun pihak yang menzalimi dan terzalimi.

Berikut, penulis ingin mengemukakan bagaimana pemberdayaan kaum lemah (mustadh`afin) di bidang ekonomi menurut Islam.  Tujuan syariah mengenai ini adalah agar harta benda itu dapat dinikmati secara adil oleh umat manusia sebagaimana ditegaskan ayat berikut ini: “Agar tidaklah harta itu beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (Q.S.al-Hasyr [59]: 7).

Itulah hikmahnya, mengapa syariah menetapkan kewajiban mengeluarkan zakat, agar rezeki orang kaya turut dinikmati pula oleh fakir miskin.  Berbagai sumber ekonomi yang potensil dan strategis dikategorikan dalam fikih klasik sebagai harta yang wajib dizakati, misalnya usaha perdagangan, pertanian, peternakan, dan pertambangan.  Demikian pula sumber-sumber pendapatan lain meliputi gaji, jasa akuntan, dokter, seniman, budayawan, keahlian profesi dan sebagainya.    Apapun namanya sumber pendapatan yang wajib zakat itu, pada prinsipnya semua merupakan amanah dari ayat berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan dari apa yang Kami telah keluarkan dari bumi untuk kamu  (Q.S. al-Baqarah [2]: 267).

Adalah sebuah keadilan, ketika orang-orang berada itu mengeluarkan zakatnya dari hasil usaha dan profesinya.  Khusus bagi kaum profesional, seperti guru (dosen), pegawai, dokter, kontraktor, akuntan dan lain-lain; syariah memandang mereka sebagai orang yang wajib zakat.  Mereka adalah wajib zakat demi keadilan, karena mereka lebih sejahtera ketimbang para petani dan peternak di desa yang adalah juga diwajibkan membayar zakat.  Alangkah tidak adilnya, andai kata hanya petani dan peternak di desa yang setiap harinya bekerja di bawah terik matahari, diterpa hujan, dan dengan hasil yang pas-pasan, diwajibkan membayar zakat, sementara para pekerja profesional tidak diwajibkan, padahal mereka lebih mudah memperoleh harta, dan dengan tingkat kehidupan yang jauh lebih makmur dan sejahtera.

Asas keadilan ini juga menjadi alasan Muhammad Al-Ghazali, penulis kitab Al-Islam wa al-Awdha` al-Iqtishadiyah, yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi dalam Fiqh al-Zakah, untuk mewajibkan para pekerja profesional membayar zakat guna membantu kaum ekonomi lemah.[1]  Semua ini memperjelas, bahwa perintah berzakat dan berinfaq adalah pembelaan bagi kaum mustadh`afin (golongan lemah), yang disebabkan karena sejumlah faktor antara lain: faktor kemiskinan, faktor kebodohan dan faktor ketertindasan, sebagaimana tersirat dalam ayat berikut ini:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم ٌ

Hanyasanya sedekah (zakat-zakat) itu, adalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pekerja-pekerja zakat, para mu’allaf (yang dibujuk) hatinya, untuk membebaskan budak (orang tertindas), orang-orang yang berhutang (terzalimi), untuk jalan Allah dan para aktifis di jalan itu, sebagai sesuatu ketetapan dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Tawbah [9]: 60).

Pesan Ilahi di atas menunjukkan betapa pentingnya kepedulian terhadap kelompok ekonomi lemah (rakyat kecil).  Hal ini menjadi lebih penting lagi, mengingat Indonesia masih merupakan salah satu contoh tentang kemunduran ekonomi.  Kenyataan masih banyak warga bangsa yang bodoh dan miskin, terutama yang berdiam di pedesaan, adalah bukti yang tak terbantahkan.  Mereka mendambakan kebijakan, atau minimal kepedulian yang berpihak pada mereka, dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang telah lama dialaminya itu.  Hal ini merupakan pengamalan syariat Islam yang esensil di bidang ekonomi.  Seharusnya kita para penggagas dan aktifis syariah lebih mengutamakan hal seperti ini ketimbang berjuang untuk formalisasi tekstual syariah.

Bangsa dan negeri ini mendambakan kebjakan-kebijakan ekonomi yang mencerminkan filosofi pembelaan rakyat kecil secara konkret.  Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang berdampak bertambahnya angka kemiskinan adalah jelas melanggar syariat Islam.  Bahkan dalam Al-Qur’an, kebijakan seperti itu dipandang sebagai pendustaan agama, sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ(1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ(2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ(3)

Tahukah kamu (siapa) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (Q.S.Al-Ma`un [107]: 1 – 3).

Menelantarkan orang miskin saja, menurut Al-Qur’an adalah pendustaan agama, apatahlagi jika menambah jumlah orang-orang miskin.

Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan untuk penerapan syariat Islam di bidang ekonomi, tanpa perundang-undangan syariah.  Misalnya, menyukseskan dan meningkatkan pembayaran zakat, infaq dan shadaqah yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.  Selain itu, semua agama juga mendorong peningkatan etos kerja sehingga rakyat tidak terbiasa mengemis dan menunggu bantuan.  Lebih utama lagi, agama mengamanahkan pada penguasa (pemerintah) agar memberi peluang usaha bagi bangkitnya kaum ekonomi lemah dan terwujudnya kesejahteraan rakyat secara luas.  Islam sangat menentang kebijakan ekonomi yang hanya memihak pada segelintir orang-orang kuat.  Apa yang sudah banyak disaksikan bahwa demi kepentingan orang-orang segelintir itu, lahirlah kezaliman penggusuran pedagang kecil, pemusnahan pasar tradisional, pembiaran kaum kapitalis di pasar moderen swalayan dan mall, dengan mengabaikan nasib kaum lemah (dhu`afa), adalah jelas bertentangan dengan syariah.

Tetapi jangan dilupa pula, bahwa masyarakat kita menjadi miskin adalah disebabkan oleh pola hidupnya sendiri yang cenderung malas, pemboros, bergaya konsumeris, yang menyebabkan mereka tidak dapat lepas dari kemiskinan kultural dan struktural.  Mereka memerlukan dorongan semangat kerja, bahwa agama lebih meridhai orang‑orang pekerja keras, yang tangannya berada di atas (suka memberi) ketimbang mereka yang tangannya di bawah (menunggu pemberian).  Dalam salah satu hadits Riwayat Al-Bukhariy, Rasulullah SAW menegaskan: Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya Daud AS adalah makan dari hasil tangannya sendiri. [2]

Tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah.  Itulah yang seharusnya menjadi falsafah hidup masyarakat, agar mereka tidak dimanjakan oleh sejumlah bantuan hibah sesaat.  Untuk membangun motifasi (etos) kerja di kalangan rakyat, Rasulullah SAW menyatakan bahwa tiap petani yang tanamannya dapat dinikmati oleh burung atau hewan ternak dan apalagi oleh manusia, akan dicatat sebagai sedekah baginya. [3]

Kemunduran ekonomi akan semakin lengkap dengan kebodohan masyarakat sendiri, sebab mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat demi kehidupannya.  Maka terasa perlunya perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan (keterampilan) tepat guna.  “Berilah kail, dan jangan hanya memberi ikan” adalah ungkapan jitu bagi solusi yang sistematis dan konseptual untuk perbaikan ekonomi bangsa.  Jangan pernah bemimpi untuk meningkatkan perekonomian bangsa, tanpa meningkatkan kualitas SDM warganya.  Sebab, kualitas SDM adalah faktor utama terbukanya peluang untuk berusaha secara mandiri dan terampil.

Adalah sangat ironis, bahwa di tengah tuntutan kebutuhan teknologi terapan untuk akselerasi ekonomi, sebahagian besar lembaga pendidikan berorientasi sepenuhnya pada ilmu normatif teoretis.  Padahal, untuk menggarap sumber daya alam yang luar biasa potensialnya di negeri ini, demi kesejahteraan ekonomi, masyarakat justru memerlukan ilmu-ilmu praksis dan aplikatif, atau tegasnya teknologi moderen yang tepat guna, dengan tenaga kerja yang handal profesional.  Pengetahuan normatif teoretis yang memang sangat penting bagi pelestarian nilai-nilai budaya bangsa harus diteruskan, namun budaya dan kepribadian akan hancur tergilas oleh kekuatan teknologi asing yang memaksakan kehendak atas bangsa yang sedang tak berdaya karena kebodohan.

Sebenarnya, teknologi tepat guna berbasis rakyat pernah dikembangkan oleh pesantren tempo doeloe, dipadu dengan pendidikan normatif keagamaan.  Dengan begitu, pesantren yang berhabitat di pedesaan sebagai lembaga pendidikan, juga merupakan lembaga ekonomi kerakyatan, dengan seperangkat keahlian bertani dan beternak secara bersahaja.  Itulah sebabnya pesantren dapat bertahan dan berkembang tanpa subsidi sejak zaman penjajahan, karena kemampuan menggarap potensi yang ada di lingkungannya (sawah, ladang, ternak, tambak dan industri rumah tangga) yang bernilai ekonomi tinggi.  Di samping menjadi pendukung utama bagi lembaga pendidikannya, sekaligus juga memberi contoh kepada masyarakat di lingkungannya.  Maka, tidak salah jika dikatakan bahwa pesantren menjadi perintis penerapan syariah dalam wujud ekonomi kerakyatan.

Hanya sayangnya, sebahagian pesantren masa kini sudah kehilangan jati diri sebagai lembaga pengembang ekonomi rakyat pedesaan.  Mereka bahkan menunggu subsidi dan donatur dari luar, mengharapkan kunjungan dan hibah dari tokoh-tokoh tertentu.  Sebahagian besar pesantren moderen masa kini tidak lagi mementingkan penguasaan teknologi terapan, sebagaimana terlihat dalam kurikulumnya, dan ironisnya lebih mengandalkan proposal guna memperoleh bantuan dana dari luar.

Terlepas dari kenyataan tersebut, adalah tanggung jawab bersama bagi semua pranata keislaman untuk kembali memberdayakakan ekonomi rakyat di desa.  Mereka perlu keterampilan, penyuluhan dan pendampingan, perlu jaringan ekonomi bagi produk-produknya yang melimpah dengan nilai ekonomi tinggi.  Bahkan yang paling utama dari segalanya ialah mereka butuh tanah garapan yang memadai.  Apa yang terjadi, berupa penelantaran rakyat kecil, pembiaran terjadinya kezaliman dan pembodohan, perampasan tanah milik, rendahnya mutu dan harga hasil bumi dan kerajinan rakyat, semua adalah pelanggaran syariah yang harus dicari solusinya.

Intinya ialah melepaskan kaum mustadh`afin (wong cilik) dari keteraniayaan dan ketidak berdayaan melalui kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat, dengan falsafah kesejahteraan, bukan falsafah keuntungan dan pertumbuhan yang nyata-nyata lebih banyak menguntungkan kaum pemodal.


[1] Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakah, (Beyrut: Muassasat al-Risalah, 1413 H), Juz I, h. 511.

    [2]Teks hadits ini terdapat dalam Al‑Bukhariy, op. cit., Juz III, h. 163.

    [3]Lihat dalam ibid., h. 295.