PATUNG DAN GAMBAR MENURUT HUKUM ISLAM

Patung Wayang Karya Budaya Indonesia
Patung Wayang Karya Budaya Indonesia

 

Larangan secara umum untuk menggambar dan membuat patung memang terdapat dalam banyak riwayat, atau hadits-hadits Nabi SAW.   Dalam hadits Bukhariy ditegaskan bahwa “Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di hari kiamat ialah para pelukis(penggambar)”[1]  Namun hadits ini haruslah dipahami sesuai dengan sebab lahirnya, yakni bahwa di zaman Nabi SAW, gambar atau patung identik dengan sesembahan politeistik, sehingga Rasulullah SAW melarangnya sebab sangat bertentangan dengan perjuangan menegakkan iman ketauhidan (monotesme).  Sehubungan dengan itulah, maka di kala Rasulullah SAW memasuki kota Mekah, dilihatnya banyak lukisan dan patung terpajang di dinding Ka’bah, beliau sepontan meminta Umar RA menurunkan semuanya.[2]  Alasan lain, ialah bahwa malaikat (pembawa kebaikan) tak akan pernah memasuki suatu rumah yang di dalamnya terdapat lukisan dan patung-patung makhluk hidup.[3]  Walaupun di hadits lain juga diterangkan bahwa malaikat dapat saja memasuki rumah jika patung atau gambar itu hanya dibuat secara ringan (kasar), berupa sketsa (tidak persis aslinya).[4]

Apapun alasan pelarangan gambar yang terdapat dalam hadits-hadits itu, tampaknya di zaman moderen, larangan tersebut tak dapat diberlakukan secara mutlak lagi.  Sejak diberlakukannya keharusan identitas penduduk pada semua negara, maka suka atau tidak suka, membuat gambar (foto) wajah manusia menjadi keharusan.
Tak satu pun negara dapat terhindar dari keharusan ini, termasuk
negara-negara Arab Muslim.  Lebih-lebih lagi setelah studi biologi semakin berkembang, maka pekerjaan menggambar binatang pun tak dapat dihindari.  Bahkan di semua negeri Muslim dewasa ini, baik Arab maupun non Arab, sudah mengenal gambar bergerak (filem atau video) yang sudah persis sama dengan aslinya.  Patut pula disebut adanya banyak kartunis di negara-negara Arab Muslim, yang membuat gambar (secara animasi) orang atau hewan yang semakin menunjukkan bahwa larangan membuat gambar dalam hadts-hadits Nabi, semakin tidak diberlakukan di zaman moderen oleh bangsa Arab Muslim.

Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat ditegaskan bahwa patung atau gambar, baik yang besar maupun yang kecil, jika dimanfaatkan sebagai media syiar Islam, atau minimal sebagai media budaya yang sejalan dengan kemaslahatan manusia yang dikehendaki Islam, maka semuanya tidaklah haram,  Sekadar diingat bahwa wayang / golek, yang ukurannya sama dengan patung-patung sembahan Arab Jahiliyah, justru pernah menjadi media syiar Islam di zaman Wali Songo.  Karena itu, di Indonesia, wayang atau golek atau patung apapun namanya, jika tidak menjadi sesembahan, tetapi digunakan untuk syiar Islam atau untuk pelestarian budaya luhur, semuanya tidaklah haram.   Mereka yang melakukan pengrusakan terhadap benda-benda tak berdosa itu, adalah orang yang salah memahami Islam.


[1] Al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy, (Beyrut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1407), Ju 5, h.2220 dan h.2221:

[2] Ali bin Ab Bakr al-Haytsamiy, Abu al-Hasan, Mawarid al-Zhaman (Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), Juz I, h. 357.

[3]Muslim al-Naysaburiy, Shaih Muslim,. (Beyrut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiy, t.t.) Juz 3, h. 1666.

[4] Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban (Beyrut: Muassasat al-Risalah, 1414), Juz 13, h. 161.