PANCARKAN ISLAM RAHMAH

Khutbah Idil Fitri di UIN
Alauddin Makassar

Oleh Prof.Dr.Hamka Haq, MA

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الله اكبر 9x  الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا و سبحان الله بكرة وأصيلا    لا إله إلا الله  والله أكبر الله أكبرولله الحمد. الحمد لله الذي جعل شهر رمضان شيد الشهور  وفرض فيه  صيامه  وصدقة الفطر وسن  رسوله  القيام و السحور على من اراد دار االسلام و النجاة من النار  سبحان الله وبحمده ذى الجلال والإكرامنشهد أن  لا إله  إلا الله   وحده  لا شريك له  ونشهد أن محمدا  عبده ورسوله  أللهم فصل وسلم  وبارك  على  محمد وعلى  آله وصحبه أجمعينأما بعد  فيا عباد الله   اوصيكم   ونفسى بتقوى الله  فقد فاز   المتقون    وقال  سبحانه وتعالى وهو أصدق القائلين  أعوذ بالله من الشيطان الرجيم    بسم الله الرحمن الرحيم : وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ ﴿الأنبياء: ١٠٧﴾

Kaum Muslmin Yang
Berbahagia

Pada hari ini kita kembali lagi merayakan Idil Fitri, dengan harapan lebih bermakna dibanding tahun-tahun yang lalu, sesuai dengan kondisi negara dan bangsa kita, sekaligus menghayati kontribusi apa yang harus kita berikan untuk kesejahteraan rakyat.

Pada bulan Ramadhan, persis 66 tahun yang lalu, tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan kita.  Namun kemerdekaan yang sesungguhnya belum dinikmati secara merata oleh bangsa kita. Sisa-sisa penjajahan mash tampak di mana-mana; masih banyak yang susah mencari makan, bahkan mati kelaparan, masih banyak yang susah menyekolahkan anak-anaknya, masih banyak yang menderita sakit tanpa biaya pengobatan, masih banyak yang susah memperoleh perlindungan keamanan dan keadilan, dan lain-lain sebagainya.  Terhadap sejumlah permaslahan tersebut, kita harus memberi solusi sebaik-baiknya, agar kita menjadi sumber pancaran kasih sayang dan rahmat bagi bangsa kita, seperti ayat yang dikutip pada awal khotbah:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِين ﴿الأنبياء: ١٠٧

Dan tidaklah Kami mengutus engkau Muhammad, kecuali rahmat untuk alam semesta (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107)

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa dalam masyarakat manusia terdapat hubungan saling membutuhkan antara satu dengan lainnya.  Keadaan itu membuat semacam dialektika sosial, yakni ada golongan yang kuat yang harus mengasihi, dan ada golongan lema (mustadh`afin) yang harus dikasihi.  Artinya, golongan yang kuat yang sedang berkuasa, para orang kaya, para ilmuwan, atau kelompok yang mayoritas, haruslah mengasihi golongan lemah, yakni rakyat kecil, para orang miskin, orang yang tak berpendidikan, dan mereka yang minoritas.

Terdapat minimal dua bentuk tanggung jawab yang harus ditunaikan, yakni mewujudkan kesejahteraan dan menjamin keamanan masyarakat sebagaimana  yang diamanahkan dalm Q.S. al-Balad sbb :

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ ﴿١٢﴾ فَكُّ رَقَبَةٍ ﴿١٣﴾
أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ ﴿١٤﴾ يَتِيماً ذَا مَقْرَبَةٍ ﴿١٥﴾ أَوْ
مِسْكِيناً ذَا مَتْرَبَةٍ ﴿١٦﴾ ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ ﴿١٧﴾

“Tahukah kamu apakah jalan (amanah) yang penuh perjuangan itu?- (yaitu) melepaskan budak (orang melarat) dari perbudakan (kemelaratan)- atau memberi makan pada hari kelaparan,-(kepada) anak yatim kaum kerabat, -atau orang miskin berbau tanah. Barulah dia dapat menjadi orang-orang beriman dan saling berpesan dengan kesabaran dan saling berpesan dengan berkasih sayang.”

Kaum Muslmin Yang Berbahagia

Dalam pergaulan tanpa rahmah (kasih sayang) persaingan hidup semakin terasa kejam. Banyak orang yang kesejahteraan dan keamanannya terancam, bahkan dirampas oleh orang-orang kuat, sehingga kaum lemah semakin membutuhkan jaminan hidup dan perlindungan keamanan dari negara. Maka alangkah kejamnya kehidupan suatu bangsa jika masyarakat lemah, kaum fakir-miskin, anak-anak yatim dan orang-orang terlantar, dibiarkan hidup tertindis dan tertindas. Mereka tidak punya tempat mengadu, selain kepada  Allah SWT. Mungkin saja malapetaka yang selama ini melanda bangsa kita adalah akibat ratap tangis orang- orang yang tertindas itu. Nabi SAW sudah memperingatkannya:

واتق دعوة المظلوم  فإنه ليس بينه وبين الله حجاب

Takutlah kamu pada doanya orang yang dizalimi, karena antara dia degan Tuhan tiada batas yang mengantarai”

Untuk itu, mari kita melakukan introsfeksi, apakah amal-amal kita sudah mencerminkan rahmatan lilalamin, yakni tiada kezaliman, kebutuhan ekonomi terpenuhi, tegaknya supermasi hukum, tegaknya stabilitas sosial yang menjamin kedamaian di kalangan rakyat?. Apakah para pemimpin sudah serius memberdayakan, bukan memperdayaka rakyat?.  Apakah sudah ada kebijakan pemerataan kemakmuran rakyat, dan tidak hanya memakmurkan diri, keluarga dan kelompoknya saja?  Jawaban dari semuanya harus kita wujudkan bersama. Allah Akbar.

Kaum Muslmin Yang Berbahagia

Teknologi yang Berteologi dan Definisi Ulama

Sebagai insan Perguruan Tinggi, kita harus sadar akan tanggung jawab rahmatan lil-‘alami, terutama setelah IAIN kita berubah menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri).  Untuk itu kita harus mendefinisi ulang “ulama”, dan tidak hanya memahami sebagai ahli agama saja. Jika selama ini sosok ulama hanya dipandang sebagai ahli yan menguasai ilmu agama, maka ke depan pengertian ulama haruslah mencakup sarjana yang menguasai sains dan teknologi. Hal ini, sejalan dengan ungkapan Al-Qur’an, Q.S.Fathir yang berbicara tentang sejumlah fenomena sains dan teknologi, sehingga pengertian ulama pada ayat 28: innama yakhsya Allah min ‘ibadih al-ulama’, (sesungguhnya yang paling patuh kepada Allah ialah hamba-Nya yang ulama), adalah mencakup para sarjana sains dan teknologi itu.

Kita tak dapat menjadi rahmatan lil-‘alamin jika hanya ahli dalam agama tanpa sains dan teknologi, yang merupakan komponen yang mutlak bagi peradaban manusia..  Di bawah paradigma ulama (ahli agama, sains dan teknologi), Islam pernah membangun peradaban yang maju di Baghdad dan Cordova, mendahului peradaban moderen di Barat dewasa ini.  Namun, sejak abad 14 M, peradaban Islam itu runtuh, disusul masa kegelapan yang berkepanjangan, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. Maka untuk membangun kembali peradaban manusia yang cerah, umat Islam memerlukan metode keilmuan yang memadukan teologi dan teknologi, tanpa dikotomi.  Pendidikan terpadu antara sekolah umum dan pesantren, program yang terpadu antara studi agama dan sains, adalah sangat mutlak dan paling menentuka kepeloporan Muslim untuk peradaban dunia masa depan.

Pendidikan Berbasis Akhlak

Walaupun sudah memadukan studi agama, sains dan teknologi, UIN tidak bisa lepas dari tanggung jawabnya yang utama, yakni menjadi pelopor moralitas bangsa Kepelporan ini semakin penting mengingat sejumlah lembaga pendidikan lain, cenderung hanya menjadi wadah pengajaran untuk semata-mata mencetak generasi yang cerdas dengan segudang ilmu umum, yang mengasah otak tanpa budi pekerti.  Maka jangan heran, jika semakin sering terjadi tindak kriminal di lingkungan pendidikan tertentu, mulai dari tawuran, pembunuhan, kebebasan seks, narkoba, penganiayaan terhadap guru atau dosen, sampai pembakaran kampus.  Kita pun terhadang oleh pertanyaan, quo vadis pendidikan kita?

Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book (WCYB)[1]
pada tahun 2007, dari 55 negara yang disurvei, pendidikan di Indonesia terpuruk, menempati urutan ke 53 ranking ketiga dari bawah.  Maka lengkaplah sudah keterpurukan, dengan maraknya peristiwa kriminal dan amoral di kampus, karena telah membunuh seluruh karakter yang masih tersisa di Perguruan Tinggi.  Pendidikan yang seharusnya berfungsi mewariskan kecerdasan dan akhlak kepada generasi bangsa, justru sering menjadi ajang penghancuran akhlak.

Anak didik semakin mudah emosional; terhadap guru dan dosennya mereka membentak dan melawan; terhadap sesamanya ia tega membunuh, terhadap dirinya ia suntikkan racun narkoba, dan saking gilanya ia pun tak segan membakar kampusnya sendiri.  Apa dan siapa yang salah? Jawabnya, ialah sistem pendidikan yang lebih bersifat pengajaran, minus pendidkkan budi pekerti. Apakah kita akan membiarkan keadaan seperti itu? Puas menyaksikan otak mereka yang brilian, indeks prestasinya mencapai nilai cum laude (nilai 4), tetapi dalam waktu yang sama mereka menjadi calon narapidana masa depan?

Kini, persoalannya terpulang kepada kita, keluarga kita, lembaga UIN kita, dan lingkungan masyarakat kita, semuanya bertanggung-jawab meluruskan generasi bangsa, melalui pendidikan berbasis akhlak, perpaduan harmonis antara pendidikan akhlak dan pencerdasa keilmuan.   Inilah pendidikan yang dikehendaki Islam, sesuai dengan firman Allah SWT Q.S.al-Mujadalah (58): 11:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿١١﴾

Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan mereka yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat.

Kaum Muslmin Yang Berbahagia

Makna Sebuah
Universitas

Tangung jawab kita selanjutnya ialah memaksimalkan arti perubahan IAIN menjadi Universitas. Istilah Universitas berasal dari kata universe yang berarti alam semesta, kemudian lahirlah kata university yang berarti lembaga pengkajian tentang beragam rahasia alam raya ini.  Karena mencakup semua bidang, maka universitas dalam bahasa Arab disebut al-jami`ah.

Untuk itu, Rasulullah SAW mendorong kita untuk melakukan jelajah ilmiyah terhadap alam semesta, sampai beliau bersabda: uthlub al-`ilma walaw bi al-Shin[2] (carilah ilmu walau ke negeri Cina).  Berkat dorongan tersebut, umat Islam di zaman klasik telah mengakses khasanah keilmuan Yunani, Persia dan India.  Maka adalah Khalifah Al-Makmun dari Dinasti Abasiyah mencanangkan alih sains dan teknologi, dengan membentuk lembaga penerjemahan untuk mengalih bahasakan buku-buku peninggalan Yunani, Persia dan India.  Beliaupun mengangkat Hunain Ibn Ishaq seorang Kristen penerjemah yang professional.[3] Belajar dari sejarah tersebut, umat Islam kini seharusnya meneruskan kontak peradaban dengan dunia luar, tidak canggung mengejar sains dan teknologi, belajar soal kemakmuran ke negara-negara Kristen di Barat, tanpa melupakan negara-negara Asia, misalnya Jepang dan teristimewa Cina sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW.  Semua ini bahagian dari misi rahmatan lil-‘alamin yang harus diemban bersama.

Sukses alih teknologi di zaman klasik ditandai lahirnya universitas-universitas Islam di Baghdad dan Cordova.  Melalui universitas-universitas itulah terjadi transfer balek ilmu pengetahuan ke Barat melalui mahasiswa Kristen dan Yahudi yang belajar di dalamnya.  Keadaan telah berubah dewasa ini, setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar tujuh abad, sementara Barat mencapai puncak-puncak kemajuannya, maka kini gilran sejumlah mahasiswa Muslim dari Asia harus belajar ke Eropa dan Amerika.  Maka, mau tak mau, senang atau tak senang, UIN pun harus proaktif berani menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan di Eropa dan Amerika. Sebagai konsekuensi timbal-baliknya, UIN harus pula bersiap-siap untuk menerima mahasiswa non Muslim jika ada yang berminat belajar di sini sebagaimana universitas-universitas Islam di Andalusia (Spanyol Islam) menerima mahasiswa Kristen dan Yahudi.  Begitulah konsekuensi kemanusiaan dari sebuah universitas.

Kaum Muslmin Yang Berbahagia

Jadikan UIN Pelopor Kesadaran Nasional

Pada bahagian akhir khotbah ini, satu lagi tugas rahmatan lil-‘alamin yang maha penting, menjadi tanggung jawab UIN dalam kehidupan berbangsa, yakni mewujudkan kehidupan umat Islam yang aman dan nyaman secara nasional.   Umat Islam di seluruh pelosok negeri, dari Sabang sampai Merauke sama-sama membutuhkan kesejahteraan dan keamanan bersama dengan umat agama lain.  Untuk itu kita harus menumbuhkan kesadaran nasional, menghindari sikap egois dan arogansi.  Sebagai bahagian mayoritas di negeri ini, kita umat Islam tidak boleh melupakan bahwa ada wilayah tertentu justru umat Islam berstatus minoritas, seperti di Bali, NTT, Papua, dan sebahagian pulau-pulau di Maluku dan Sumatera.  Untuk mewujudkan rasa aman bagi umat Islam minoritas di wilayah tersebut, maka kita harus menjamin pula keamanan non Muslim di wilayah Muslim mayoritas.

Perlakuan diskriminatif dan penganiayaan terhadap non Muslim minoritas memungkinkan kelompok non Muslim melakukan “pembalasan” diskriminatif atau penganiayaan pula terhadap kaum Muslim di daerah lain.  Contoh kasus yang paling konkret ialah rencana diberlakukannya Perda Injil di Manokwari, yang mempersulit ruang gerak ibadah dan amal sosial umat Islam dan melarang simbol-simbol Islam di sana.  Sangatlah berbahaya jika situasi ini menyebar ke wilayah minoritas Islam lainnya.  Hal ini boleh jadi akibat teraniayanya sebahagian Kristen minoritas di Bekasi dan Depok (Jawa Barat), Tangerang (Banten), Temanggung (Jawa Timur), seperti yang banyak diberitakan akhir-akhir ini.  Maka jelas, jika umat beragama yang mayoritas di daerahnya, bersikap arogan, egois menyebabkan umat lainnya akan tidak aman dan tidak nyaman melaksanakan agamanya.  Ujung-ujung dari semuanya ialah terjadi gesekan konflik horinsontal antar umat beragama.

Untuk menghindari malapetaka tersebut, UIN harus berperan utama untuk membangun rasa persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), bahwa alangkah indahnya jika umat Islam dan umat agama lain saling mengasihi dan melindungi, atas dasar persaudaraan sebagai bangsa.  Dengan cara ini, UIN akan benar-benar menjadi sumber pancaran Islam Rahmatan lil-alamin untuk bangsa.   Allahu Akbar wa lillahi al-hamd.

Forum Umat Beragama (semua agama) bertamu Idil Firi di rumah kami di Makassar

[1][1] Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari
tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut pada tahun 1997 dari 49 negara yang diteliti Indonesia berada di urutan 39. Pada tahun 1999, dari 47 negara yang disurvei Indonesia berada pada urutan 46. Tahun 2002 dari 49 negara Indonesia berada pada urutan 47 dan pada tahun 2007 dari 55 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan yang ke 53.

[2]Al-Rubay` bin Habib al-Bashriy, Musnad al-Rubay`, (Beyrut:
Dar al-Hkmah, 1415 H.), Juz I, h. 29.

[3]Dikutip dari Ibn al-Ibri oleh Philip K Hitti, History of the Arabs
(London: The Macmillan Press Ltd, 1973), h. 313.