Pada tulisan yang lalu, “Menyesal di Hulu, Jangan Marah di Muara”, penulis mengungkapkan dampak ditiadakannya GBHN pasca amandemen UUD 1945. serta berubahnya kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi, sederajat dengan Presiden. Seiring dengan itu, pada uraian kali ini penulis mencoba mengemukakan terjadinya efek domino yang dapat merusak tatanan demokrasi kita dari demokrasi tertuntutun oleh Pancasila menjadi demokrasi liberal, kapitalis dan transaksional.
Setelah Presiden dinyatakan dipilih langsung oleh rakyat, yang memang seharusnya seperti itu, muncul dampak sampingan baru yang sifatnya negatif. Yakni semua bentuk pemilihan dilakukan secara terbuka dan langsung oleh rakyat. Pemilihan Kepala Daerah, misalnya, yang dalam UUD 1945 pasca amandemen, dinyatakan dipilih secara demokratis. Tidak dinyatakana dipilih secara langsung oleh rakyat, namun kalimat “demokratis” dipahami harus dipilih langsung oleh rakyat seperti halnya pemilihan Presiden, padahal pemilihan secara demokratis tidak mengharuskan secara langsung. Pemilihan secara demokratis dapat pula dilakukan secara musyawarah dalam badan perwakilan, yakni DPRD Propinsi atau DPRD Kabupaten-Kota yang sejatinya merupakan hasil pemilihan langsung oleh rakyat sebelumnya.
Dampak pemilihan Kepala Daerah secara langsung membuat sebahagian Kepala Daerah merasa tidak lagi diangkat oleh Presiden, karena Presiden hanya menerbitkan SK pengesahannya. Ibaratnya, Presiden hanya menjadi tukang stempel. Mereka merasa diangkat oleh rakyat (konstituen) nya sendiri, disertai visi-misi yang disusunnya sendiri bersama konsultan politiknya. Tidak ada jaminan bahwa visi-misi seorang Kepala Daerah harus sama dan searah dengan Visi-Misi Presiden, dan atau Visi-Misi Kepala Daerah di atasnya. Akibatnya seorang Gubernur, Bupati atau Walikota merasa berhak mengoreksi kebijakan Presiden, jika memandang tidak sejalan dengan Visi-Misinya sendiri yang pernah ditawarkan kepada konstituennya. Apalagi jika partai pengusungnya berbeda dengan partai pengusung Presiden.
Baru diera Reformasi-lah ada Gubernur yang merasa tidak wajib menjemput Presiden daerahnya atau ada Bupati yang merasa tidak wajib memenuhi sendiri undangan rapat kordinasi Gubernur dan hanya diwakili kepada dinasnya. Kejadian seperti ini tidak pernah didengar di era sebelum reformasi. Dahulu, sebelum reformasi, Gubernur dan Bupati, Walikota dipilih oleh DPRD setingkatnya, dan pencalonannya ditentukan oleh Presiden dengan syarat-syarat kedisiplinan yang ketat. Termasuk ketaatan pada PP no. 10 tentang larangan berpoligami bagi PNS dan pejabat negara. Maka waktu itu, dapat saja seorang calon Bupati pada tahun 80-an, terpilih oleh DPRD setempat, dibatalkan pelantikannya oleh Presiden karena belakangan ketahuan punya isteri simpanan.
Sementara itu, sistem Otonomi Daerah berdasarkan Tap MPR no. XV Tahun 1998 dan turunannya, UU nomor 22 Tahun 1999, sebagian Kepala Daerah menyalah-gunakannya. Sistem Otonomi Daerah pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya pemerataan kesejahreraan pada rakyat di daerah-daerah, dengan melimpahkan sebahagian kekuasaan pemerintah pusat (sentralisasi) kepada pemerintah daerah (desentralisasi) untuk mengatur dan membangun daerahnya sesuai dengan potensi masing-masing. Ternyata, tujuan luhur tersebut tidak tercapai akibat munculnya raja-raja kecil Kepala Daerah yang berkolabirasi dengan pebisnis setempat. Dampaknya ialah terjadi penyalah-gunaan kewenangan yang pada gilirannya melahirkan korupsi berjamaah. Maka terdengarlah ada Gubernur bersama sejumlah anggota DPRD-nya terkena OTT berjamaah. Demikian pula halnya, ada Bupati atau Walikota yang terkena OTT berjamaah, bersama sejumlah anggota DPRD nya, walaupun tidak semuanya. Bahkan menurut rilis Liputan Enam, hingga tahun 2021, tercatat sebanyak 22 Gubernur dan 122 Bupati/Walikota yang korup terjaring KPK dan atau Kejaksaan. Yang lebih mengenaskan, ialah tega-teganya seorang Gubernur menggunakan Dana Otsus atau APBD nya untuk memenuhi hasratnya berjudi on line.
Belum lagi kita bicara terjadinya kegaduhan ditingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), pasca pemilihan Kepala Daerah. Biasanya Kepala Daerah yang baru terpilih merombak susunan SKPD nya, mengangkat pejabat baru dari kalangan tim suksesnya dalam Pilkada, dan menon-job-kan pejabata lama yang tidak loyal padanya selama proses Pilkada itu. Hal ini biasa dilakukan guna mengamankan selanjutnya kebijakan-kebijakan Kepala Daerah yang bersangkutan, sesuai keinginannya melakukan penyalah gunaan anggaran, sebagai persiapan membayar kost pilkadanya.
Sementaa itu lahir pula ketentuan sistem pemilihan suara terbanyak sebagai bentuk liberalisasi pemilihan legislatif. Sistem ini berlaku berdasarkan Putusan MK yang mengabulkan uji materi atas pasal 214 UU No. 10/2008. Sejak berlakunya sistem suara terbanyak pada pemilu legislatif, sadar atau tidak, pada gilirannya melahirkan prinsip kapitalisme. Bahwa siapa yang kuat modal (capital) dialah yang mampu membeli suara rakyat sebanyak-banyaknya untuk meraih kemenangan. Dalam keadaan seperti itu, partai kehilangan kedaulatan, menjadi tidak lebih kendaraan mati bagi politisi kapitalis. Partai tidak dapat menjamin kadernya untuk mewakilinya di DPR RI, atau di DPRD, sebab ia dibajak oleh pendatang baru di partai, yang walaupun baru seminggu memegang KTA.
Dampaknya, partai yang diamanahkan oleh Undang-Undang untuk menjadi lembaga politik guna melahirkan kader-kader pemimpin ideologis untuk bangsa, gagal total. Baik dalam Pilkada, mupun dalam Pemilu Legislatif, demi meraih kemenangan partai terpaksa merekomendasi kandidat yang kuat modal, walaupun bukan kadernya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa seorang tokoh yang siap maju dalam pilkada, kadang membeli sejumlah partai guna mencukupi jumlah anggota DPRD yang menjadi syarat pencalonan. Apalagi jika partai-partai itu sendiri tidak punya kader yang mumpuni dan kuat modal. Maka selanjutnya lahirlah demokrasi transaksional, sebagai cerminan liberalisme kapitalis.
Berdasarkan sejumlah dampai negatif tersebut di atas, yang penulis sebut sebagai efek domino, karena lahir secara beruntun tanpa diprediksi seblumnya, maka sebagian anggota dalam Komisi Kajian Ketatanegaran (K3) MPR RI 2019-2024, mengusulkan kiranya dilakukan evaluasi terbatas atas Reformasi. Bukan berarti membatalkan hasil-hasil positif dari Reformasi itu sendiri, melainkan guna lebih mengarahkan agar Reformasi yang bertujuan mewujudkan kehidupan demokrasi secara sehat berdasarkan Pancasila dapat tercapai secara maksimal. Wallahu A’lam bil- Showabi.
KHILAFAH DALAM KITAB SUCI, DALAM SEJARAH, DAN YANG DILARANG.
Oleh Hamka Haq
Kata khilafah merupakan ungkapan yang sangat akrab di kalangan umat Islam. Hal itu karena kata khilafah dengan segala kata jadiannya (tashrifnya), terutama kata Khalifah, banyak dijumpai dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian dgunakan pula dalam sejarah Islam.
Mari kita melihat selintas beberapa pengertian khalifah dalam Al-Qur’an, yang harus diingat, antara lain:
Pengganti. Nabi Adam disebut sebagai Khalifah, yang artinya: pengganti. Dalam tafsir Al-Jalalain, kata khalifah diartikan pengganti atau mewakili: يخلفني فى تنفيذ احكامى فيها (mengganti-Ku dalam melaksanakan hukum-hukum ciptaan-Ku di muka bumi). Ini merupakan pemahaman dari ayat Q.S. Al-Baqarah:
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat”.
Pewaris. Kaum Ad, kaumnya Nabi Hud, sebagai “pewaris”, seperti terjemahan A.Yusuf Ali: inheritor. He made you inheritors after the people of Noah. (واذكروا إذ جعلكم خلفاء من بعد قوم نوح) dalam Q.S. Al-A’raf: 69. Demikian seterusnya dalam ayat 74, kaum Tsamud, kaumnya Nabi Saleh, disebut khalifah dalam pengertian pewaris atau penerus kaum Ad.
Penguasa. Nabi Daud ditunjuk sebagai Nabi dan Penguasa: Q.S. Sad: 26
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”. Tapi dalam terjemahan A.Yusuf Ali, Daud disebut vicegerent: wakil. Mewakili Tuhan dalam mengatur atau menata kehidupan dunia.
Semua pengertian khalifah atau khilafah dalam Al-Quran tersebut telah dipelajari di semua jenjang pendidikan madrasah hingga universitas, terutama istilah Khalifah dalam konteks sejarah.
Dari kesejarahan, istilah khilafah, pada tingkat ibtidaiyah diajarkan sejarah Kulafau Rasyidun: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali RA. Kemudian pada jenjang Tsanawiyah sejarah Khulafau Rasyidun diperdalam. Lalu pada jejang Aliyah mulai diajarkan sejarah Khilafah Uamayyah dan Abbasiyah. Kemudian diperdalam lagi pada jenjang Perguruan Tinggi (S1). Demikian sterusnya pada jenjang S2 dan S3 diperluas pendalaman menyangkut khilafah (dinasti-dinasti) kecil, misalnya Khilafah Bani Fatimiyah, dinasti Mamluk, Seljuk, Buwaihi, Ayyubiyah, Al Muwahidun, Al Murabitun dll. Dan terakhir Khilafah Utsmaniyah.
Pengkajian sejarah Khalifah (Khilafah) di semua jenjang pendidikan itu dilakukan secara bebas dan leluasa tanpa dibayang-bayangi pelarangan oleh penguasa di semua negara Muslim, termasuk Indonesia sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru.
Kemudian pada awal reformasi di Indonesia, zaman kebebasan berpendapat yang kebablasan, istilah khalifah pun yang tadinya merupakan istilah murni Sejarah, diberi muatan baru bersifat ideologis. Hal itu seiring dengan masuknya gerakan Hizbu Tahrir (HT) yang ingin membangun pemerintahan beridiologi Khilafah (Khalifah) di Indonesia. Sebelum dilarang di Indonesia, HT sudah dilarang di sejumlah negeri Muslim, termasuk oleh otoritas Palestina negeri kelahirannya sendiri.
Di Indonesia, secara terang-terangan konsep ideologi Khilafah HTI dibakukan sebagai landasan perjuangan Front Pembela Islam (FPI), yang dalam Anggaran Dasarnya menyebut akan melaksanakan syariat Islam di bawah naungan Khilafah Islam. Mulanya kedengaran masih biasa-biasa saja, sampai sempat masuk dalam kurikulum madrasah. Sudah sering ditemukan soal ujian di Madrasah masalah perlunya membangun Khilafah, dengan pilihan jawaban: wajib atau tidak. Guru sejarah di madrasah menggiring siswanya untuk menjawab wajib. Apalagi pertanyaan: Mana lebih baik Negara Khilafah atau Negara Pancasila. Dantara guru yang terpapar paham HTI menggiring siswanya menjawab lebih baik Negara Khilafah.
Mengamati ancaman atas NKRI itu, maka Kemenag sejak 2019 telah merevisi buku-buku ajar untuk mdrasah yang membahas soal Khilafah. Tidak kurang dari 155 buku ajar di Madrasah yang telah dirombak atau direvisi sehingga kontennya hanya semata-mata plajaran sejarah Islam masa lalu, dan tidk lagi menggiring umat untuk menjadi radikalis, memperjuangan negara Khilafah pengganti Naegara Pancasila (news.detik.com>berita Nov.12.2019).
Kesimpulannya, bahwa khilafah sebagai muatan kitab suci yang bersifat tuntunan moral (moral guidance), dan dalam konteks murni sejarah politik berdarah-darah di masa lalu, tidak pernah dilarang dipelajari. Istilah Khilafah yang dilarang hanyalah Khilafah (Khalifah) ideologis, yang dikait-kaitkan dengan perjuangan HTI dan FPI dengan maksud menggiring generasi bangsa menggantikan ideologi Pancasila. Wallahu a’lam bil Showabi.
Untuk menggambarkan situasi bernegara kita dewasa ini pasca reformasi, penulis meminjam judul orasi Dr. Syahrul Yasin Limpo ketika masih menjabat Wakil Gubuernur Sul-Sel, yaitu Jangan Marah di Muara.
Saat ini, telah masuk tiga tahun Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3-MPR RI) melakukan diskusinya secara regular minimal dua kali sebulan, mengkaji kehidupan bernegara pasca reformasi. Selama tiga tahun, anggota K3 MPR melakukan evaluasi terhadap reformasi, apakah sudah betul arahnya untuk memperkuat demokrasi, dengan sub kajian rencana menghidupkan kembali GBHN, dengan istilah baru Pokok2 Haluan Negara (PPHN). Hasil kajian selama dua tahun sudah diserahkan ke Badan Pengkajian MPR RI untuk diusulkan masuk dalam perolegnas.
Pada diskusi terakhir, tgl 1 September yang lalu, jalannya diskusi agak panas tapi tetap terkendali. Anggota dari kalangan akademisi, seingat saya, Prof. Dr. Kamis Margarito terang-terangan menyebut reformasi sebagai pengkhianatan terhadap UUD 1945. Karuan saja anggota MPR yang pernah terlibat mengmandemen UUD 1945 di awal reformasi tersinggung dan marah.
Penulis kemudian berusaha mendinginkan suasana dengan mengatakan bahwa mungkin bukan pengkhianatan, tetapi memang reformasi agaknya salah jalan. Alasannya ialah, bahwa dengan sistem pemilihan langsung, tujuan reformasi untuk meningkatkan kedaulatan rakyat, tidak tercapai secara benar.
Maksudnya bahwa dengan sistem pemilihan langsung, sepintas rakyat memang berdaulat penuh pada saat Pilpres, tetapi kedauatan itu hanya berlangsung 5 (lima) menit di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sesudah itu, selama lima tahun berikutnya, kedaulatan rakyat untuk mengontrol pemerintah (Predisen) hilang, dengan hilangnya kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang berfungsi menyusun GBHN sebagai alat kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan pembagunan nasional. Dengan kondisi seperti itu, otomatis pula Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, karena arah pemerintahan dan pembangunan sepenuhnya di tangani Presiden sendiri sesuai Visi-Misi yang disusunnya bersama konsultan politiknya.
Bandingkan dengan Kedudukan dan kewenangan MPR menurut UUD 45 sebelum reformasi, sangat kuat secara kelembagaan, meskipun secara keanggotaan mungkin lemah di mata pemerintah. Misalnya, anggota MPRS sepakat mengangkat Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup, karena kharisma Bung Karno sangat luar biasa kuat di mata mereka. Tetapi ketika MPRS menuduh Sukarno tidak sejalan dengan haluan negara, maka MPRS melengserkan Sukarno. Ini bukti bahwa lembaga MPR sangat kuat dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Demikian juga di era Suharto, meskipun keanggotaan MPR lemah, dan dapat diatur seenaknya Suharto sampai beliau dapat berkuasa 32 tahun; tetapi saat tuntutan reformasi dari rakyat menguat,maka lembaga MPR dapat melengserkan Suharto. Seterusnya lembaga MPR menolak pertanggungjawaban Habibi, sampai Habibi mundur dari pencalonan Presiden. Kemudian MPR juga berhasil melengserkan Gus Dur, itu semua membuktikan bahwa MPR secara kelembagaan sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat sangat kuat menurut konstitusi.
Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebelum Reformasi, MPR menyusun GBHN dan memilih Pressiden. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi, pentolan reformasi mengamandemen UUD, mengubah pilpres menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Putusan itu memang sangat tepat. Namun dengan dihapusnya GBHN, maka Presiden dibebaskan menjalankan pemerintahan dan pembangunan berdasarkan Visi-Misinya sendiri. Dengan demikian, Presiden tidak lagi dalam pengawasan MPR dan otomatis tidak pula bertanggung jawab kepada MPR, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Masalahnya ialah Visi-Misi itu bukan produk hukum, beda dengan GBHN, maka jika Presiden menyalahi Visi-Misi yang dijanjikan dalam Pilpres, tidak ada lembaga yang dapat mengawasi dan memberikan sanksi atas nama rakyat. Di sinilah letak salah jalannya, karena hilangnya kewenangan menyusun GBHN berdampak pada hilangnya kewenangan MPR mengontrol Presiden.
Dalam kondisi seperti itu, Presiden berkuasa sepenuhnya sebagai Kepala Negara tanpa kontrol, kecuali hanya pengawasan APBN oleh DPR. Presiden bebas melakukan apa saja keinginannya di luar Visi-Misinya, sepanjang tidak melanggar UUD, insya Allah bebas dari impeachmen (tidak dapat dilengserkan). Rakyat pun tidak berdaya mengoreksi Presiden di tengah jalan, karena MPR, lembaga kedaulatan rakyat itu sendiri kehilangan fungsi mengontrol Presiden. Apalagi, memang Vsi-Misi Presiden bukanlah produk hukum yang harus dipertanggung-jawabkannya.
Lebih dari itu, tanpa GBHN, jalannya pemerintahan dan pembangunan semakin tidak karuan, karena tidak ada kewajiban Presiden yang menjabat utk melanjutkan Visi-Misi Presiden sebelumnya. Contohnya, sejumlah program pembangunan di era SBY mangkrak, sementara Jokowi tidak wajib meneruskannya, karena sifatnya hanyalah visi-misi SBY sendiri, bukan haluan negara yang wajib dilaksanakan secara berkelanjutan.
Dan karena Visi-Misi Presiden bukan pula pedoman bagi Visi-Misi setiap Kepala Daerah, maka sinkronisasi pembangunan nasional dan daerah sulit dilaksanakan. Maka menurut K3-MPR,demi kelanjutan dan sinkronisasi jalannya pemerintahan dan pembangunan, kita harus mengembalikan fungsi MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang menyusun GBHN sebagai Visi-Misi Negara, walaupun seterusnya Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR. Sebenarnya, gagasan itu untuk pertama kalinya disuarakan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Prof. Dr. Hj. Megawati Sukarnoputri, sejak MPR periode 2014-2019. Kata beliau, tanpa GBHN, pembangunan nasional berjalan maju-mundur seperti tarian poco-poco
Jadi jangan heran jika jalannya pemerintahan dan pembangunan dewasa ini banyak terjadi di luar nalar, itu adalah akibat reformasi kita salah jalan, kalau tidak mau mengatakannya sebagai pengkhianatan atas UUD 1945.
Akhirnya, rakyat seharusnya Jangan Marah di Muara, karena kondisi bernegara kekinian ibarat banjir dari hulu yang melimpah ke muara. Semuanya dampak dari reformasi yang kebablasan.
Tanjung Mas Raya, Jakarta Selatan, 10 September 2022,
Merespon beredarnya tagar “Bubarkan Majelis Ulama Indonesia”, di Media sosial, maka saya sebagai Ketua Umum PP Baitul Muslimin Indonesia diundang oleh salah satu TV Nasional untuk diskusi masalah tersebut. Berhubung waktu terbatas, saya baru sempat menytakan perlunya Majelis Ulama Indonesia dipertahankan. Saya belum sempat kemukakan perlunya MUI interospeksi dan mengevaluasi kinerjanya sebagai mitra Produkstif positif bagi Pemerintah. Untuk itu kami merasa perlu memberikan beberapa catatan sebagai berikut:
Bahwa tagar “Bubarkan Majelis Ulama Indonesia” itu, adalah dimaklumi berasal dari pihak-pihak yang tidak puas terhadap kinerja Majelis Ulama Indonesia, sehingga harus dipahami bahwa dengan adanya tagar tersebut MUI perlu melakukan introspeksi untuk perbaikan organisasi dan revitalisasi fungsi-fungsinya dalam pembinaan keidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Sebagai organisasi Semi Pemerintah, posisi MUI memng sangat kuat karena didirikan atas inisiatif Pemerintah pada tahun 1975. Karena itu, MUI tidak boleh ada kesan menaruh jarak apalagi berseberangan terhadap Pemerintah, karena MUI bertanggung jawab membantu Pemerintah dalam pembinaan umat Islam, sekaligus menyertai Pmerintah dalam mewujudkan Kerukunan Bangsa, berdasarkan konstitusi dan prinsip trilogy kerukunan, yakni Kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah, Kerukunan intern umat beragama, dan Kerukunan antarumat beragama, sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tentu hal ini sejalan dengan perintah dalam Q.S. Al-Ma’idah (5): 2 :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
Karena itu, dalam melakukan pembinaan keagamaan bagi umat Islam, MUI harus mengiringi dengan upaya memperkuat kesadaran Nasional bagi mereka, untuk hidup berdampingan, bersahabat dan ramah terhadap umat-umat agama lain, dan terhadap penganut mazhab minoritas diluar mazhab Islam Sunni, bahkan terhadap sisa-sisa agama lokal animism yang semuanya harus diperlakukan sebagai sesama manusia (ukhuwah basyariyah) dan sebagai saudara sebangsa dan setanah air (ukhuwah wathaniyah), berdasarkan semboyan bangsa kita Bhinneka Tunggal Ika. Sejalan dengan pernyataan dalam Q.S. Al-Mumtahanah (60): 8 :
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Dengan demikian, diharapkan ke depan, fatwa-fatwa dari MUI, yang bersinggungan dengan umat agama lain, atau berkenaan dengan kaum minoritas internal Islam diluar Islam Sunni, MUI harus tetap bersama Pemerintah menghargai hak-hak kaum tersebut tanpa diskriminasi, tanpa penganiayaan, sebagai sesama warga negara yang wajib dilindungi berdasarkan Konstitusi, Pembukaan UUD 1945, alinea 4 yaknii: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Fatwa MUI tidak boleh menjadi alat pemaksa atas umat agama lain untuk meninggalkan keyakinan mereka. Ingat pernyataan tegas dalam Q.S. Yunus (10): 99 =
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Tak kalah pentingnya, ialah MUI ke depan harus lebih selektif lagi dalam merekrut kepengurusan agar MUI steril dari onum-oknum yang intoleran, radikalis dan bahkan boleh jadi teroris, yang berpontensi merusak citra MUI. Kalau perlu MUI bekerjasama deengan aparat terkait dan yang berwenang dalam hal penyaringan personal tersebut. Sejalan dengan prinsip al-‘wiqayah khairun min al-‘ilajah, menghindari mudharat jauh lebih penting ketimbang menanggulanginya.
Masih sangat sering kita menyaksikan perlakuan negatif masyarakat terhadap hewan bernama anjing, yang menyebabkan penderitaan bahkan kematiannya, akibat persepsi berlebihan yang memandang anjing sebagai najis yang harus dijauhi, diusir atau bahkan dibunuh. Apalagi akhir-akhir ini dikaitkan dengan rencana pembangunan wisata halal di daerah-daerah tertentu, terakhir viral berita soal persekusi anjing di lokasi wisata halal di di Aceh. Penulis tergerak untuk menyampaikan bagaimana sesungguhnya pandangan syariat Islam tentang hewan yang bernama anjig itu sebagai berikut.
Pertama, Prinsip dasar aqidah Islam bahwa Allah SWT menciptakan semua makhluk tanpa kecuali sebagai ayat-ayat tanda kebesaran-Nya. Semua makhluk ciptaan-Nya mempunyai manfaat, walaupun manfaatnya belum terungkap semua oleh sains dan teknologi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Ala ‘Imran (3): 191.
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan atau berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.)”
Ayat ini menunjukkan bahwa semua makhluk, termasuk yang namanya anjing itu, tidak sia-sia diciptakan Allah SWT. Pastilah ada manfaatnya bagi manusia dan karena itu manusia harus memperlakukannya dengan baik.
Kedua, bahwa Al-Qur’an mengakui anjing sebagai hewan yang cerdas berburu, yang kecerdasannya dijadikan standar untuk halalnya hasil buruan, sebagaimana tersebut dalam Q.S. Al-Ma`idah (5): 4:
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh mukallibin binatang pemburu (anjing) yang telah kamu latih untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang pemburu itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya)”.
Pada ayat tersebut terdapat diksi: mukallibin. Dalam beberapa kitab tafsir misalnya Tafsir Jalalayn, Tafsir Al-Thabary, Tafsir Al-Baghawi, dan Tafsir Al-Qurthubiy, semua menyebut bahwa perkataan “mukallibin” dalam ayat ini mengacu kepada lafazh “kilab” yaitu anjing yang terdidik memburu, hasil buruannya halal dimakan. Kecerdasan anjing dalam memburu menjadi standar bagi hewan lain yang sering juga dipakai berburu. Maka jika binatang lain itu punya kecerdasan berburu seperti anjing, maka hasil buruannya pun juga menjadi halal.
Ketiga, bahwa sejalan dengan ayat di atas maka Nabi SAW membolehkan membudidayakan anjing untuk kepentingan berburu, penjaga ternak dan penjaga perkebunan. Orang yang sengaja menahan atau mengurung anjing tanpa tujuan bermanfaat seperti itu, justru mengurangi nilai amal kebajikannya. Ada beberapa hadits yang menyebut hal tersebut, antara lain hadits Riwayat Bukhari, sbb.:
“Barang siapa menahan anjing, maka berkuranglah amalnya setiap hari satu karat, kecuali memelihara anjing penjaga pertanian, atau anjing penjaga ternak”. Ibnu Sirin dan Abu Shaleh menambahkan: Dari Abu Hrairah, dari Nabi SAW, katanya: “kecuali anjing peternak, atau anjing pertanian, atau anjing pemburu (aw kalbi ghanamin, aw hartsin, aw shaydin) (H.R. Bukhari, Juz 3, h. 103. no. 2322).
Tidak diagukan lagi, bahwa hadits tersebut menjelaskan kebaikan Allah SWT pada manusia, yang disampaikan melalui Rasulullah SAW tentang kebolehan apa saja yang bermanfaat bagi mereka. Atau tegasnya, bahwa anjing boleh saja digunakan dalam segala hal yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia, sebagai wujud kasih sayang Allah pada umat manusia.
Keempat, bahwa berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan hadits-hadits lain yang senada dengannya maka sejumlah ulama menyatakan bahwa riwayat dari sahabat tentang adanya perintah dari Nabi SAW membunuh anjing, demikian pula hadits tentang malaikat tidak berkenan masuk rumah yang ada anjingnya, semua dinasakh atau ditakhshish (dikecualikan) oleh hadits yang membolehkan pemeliharan anjing peternak, anjing pertanian, dan anjing pemburu. Dengan kata lain, perintah membunuh anjing hanya khusus berlaku pada anjing gila, yang gigitannya membahayakan manusia. Dan bahwa hadits tentang malaikat tidak akan masuk ke rumah yang ada anjingnya (la tadkhulu al-malaikatu baytan fihi kalbun) adalahdikecualikan dengan anjing yang cerdas memburu, melacak, dan menjaga pertanian, peternakan, kediaman dan gudang-gudang persahaan.
Perhatikan perintah membunuh anjing dan pengecualiannya sebagai terdapat dalam Shahih Muslim, berbunyi:.
“Dari (Abdulah) bin al-Mughaffal, ia berkata: ‘Rasulullah SAW memerintahkan membunuh anjing’, kemudian Rasulullah SAW sendiri bersabda: ‘apa gerangan mereka dengan anjing-anjing itu?’, kemudian beliau memberi kemudahan (pengecualian) pada anjing pemburu dan anjing penjaga ternak” (tsumma rakhkhasha fi kalbi al-shaydi wa kalbi al-ghnami). [H.R. Muslim no. (93) 280].
Dalam kitab Al-Minhaj, Syarah Shahih Muslim, ditegaskan bahwa: “Adapun perintah membunuh anjing, maka para sahabat kami berkata: jika anjing itu suka mengigit (anjing gila), ia harus dibunuh, dan jika tidak suka mengigit, tidak boleh dibunuh, baik anjing yang punya manfaat tersebut ataupun yang tidak punya manfaat (سواء كان فيه منفعة من المنافع المذكورة أو لم يكن).
Berdasarkan dalil-daalil syariat di atas, maka persekusi terhadap anjing yang tidak membahayakan manusia, apalagi jika ia mempunyai manfaat seperti disebutkan di atas, merupakan pelanggaran syariat Islam. Juga sekaligus tidak sesuai dengan spirit aqidah Islam tentang keharusan umat manusia memandang alam semesta dan segala makhluk di dalamnya sebagai ayat-ayat tanda keagungan Allah SWT, yang harus diperlakukan dengan akhlak mulia.
Kelima atau terakhir, bahwa sehubungan dengan adanya program wisata halal, maka sebenarnya dunia pariwisata bisa membuka unit wisata halal dengan membudidayakan hewan tertentu, antara lain anjing. Yakni misalnya dengan mengadakan balai pelatihan khusus untuk melatih atau mendidik menjadi anjing pemburu, atau anjing pelacak yang bermanfaat bagi kepolisian, melacak narapidana, mengendus barang-barang yang berkaian dengan tindak kejahatan, seperti narkoba, barang curian dan sitaan. Atau dididik menjadi penjaga ternak, pertanian, penjaga rumah kediaman dan gudang-gudang perusahaan. Wisata seperti itu jauh lebih Islami, ketimbang melakukan pengusiran tanpa belas kasihan yang menyebabkan kesengsaraan bahkan kematian hewan bernama anjing itu. Walau A’lam bi al-showabi.
Umat Islam se antero Dunia merayakan Idul Adha dengan cara yang berbeda dari biasanya. Kita bangsa Indonesia bersama segenap bangsa-bangsa seantero Dunia masih dalam berjihad melepaskan diri dari Pandemi Covid 19. Kita sudah menyaksikan sekian ratus ribu bahkan mungkin sudah jutaan jiwa manusia menjadi korban keganasan Pandemi Covid 19 ini. Kisah Nabi Ibrahim yang diuji untuk mengorbankan puteranya Ismail, kini sudah menjadi nyata dihadaan kita, bahwa segenap bangsa di dunia diuji imannya denan jatuhnya korban dari kalangan keluarga dan shabat-sahabat mereka. Kita yang masih sempat hidup dan menunaikan sholat Idil Adhha, walaupun hanya di rumah bersama keluarga, juga sedang berjuang keras untuk keselamatan diri dan keselamatan sesama warga masyaraat kita.
Ibadah Qurban, selama ini masih lebih banyak dipahami sebagai perosesi penyembelihan Nabi Ismail AS oleh ayahnya Nabi Ibrahim. Kemudian disekspresikan dalam bentuk penyembelihan hewan kurban, sambil mengenang sifat-sifat kesabaran dan ketabahan Nabi Ismail menghadapi ujian dahsyat itu. Padahal peristiwa itu pada kenyatannya bukanlah “penyembelihan”, melainkan “penyelamatan” jiwa Ismail oleh Allah SWT, dari proses penyemberlihan.
Pertanyaanya, benarkan Allah SWT saat menguji Ibrahim AS betul-betul memerintahkan penyembelihan Nabi Ismail itu. Rasanya mustahil Allah SWT mempunyai tujuan seperti itu, karena Tuhan maha pengasih dan penyayang bagi hamba-Nya, apalagi terhadap seorang Nabi. Buktinya, Allah sendiri menggantinya dengan seekor kibas besar, sehingga Ismail tidak menjadi kurban sembelihan.
Jadi mari kita menafsir ulang pengurbanan ini, dengan lebih menekankan pada kehendak Allah SWT menyelamatkan Nabi Ismail, ketimbang pada prosesi penyembelihannya. Ujian penyembelihan Nabi Ismail merupakan salah satu pengertian, tapi bukan itu yang menjadi inti Idul Adhha. Yang menjadi inti Idul Adhha ialah justru “Penyelamatan” Nabi Ismail oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Saffat (23): 107-110:
“Dan Kami bebaskan Ismail itu dengan seekor sembelihan yang besar.Kami abadikan untuk Ibrahim pujian dari orang-orang yang datang kemudian,(yaitu) “Kesejahteraan atas Ibrahim, Demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat baik”.
Jadi, Hikmah terbesar harus dipahami dari peristiwa dahsyat itu ialah bahwa Allah SWT justru menyelamatkan nyawa Ismail, sebagai simbol keharusan menyelamatkan nyawa setiap manusia, karena di situlah letak inti ajaran Islam, yakni ajaran Rahmatan lil alamin, ajaran sifat Allah yang Rahman dan Rahim, yang mengharamkan jiwa hamba-Nya melayang walaupun sebagai ibadah, apatah lagi jiwa yang melayang sia-sia karena diterlantarkan oleh sesama manusia. Allah SWT sangat menghargai jiwa hamba-Nya, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk-Nya yang termulia di muka bumi sebagaimana janji -Nya: “Walaqad karramNa bani Adam” (sungguh Kami telah memuliakan manusia anak cucu Adam itu– Q.S.al-Isra [17]: 70).
Dalam suasana Jihad Akbar melawan Pandemi Covid 19 ini, kewajiban kita ialah menyelamatkan banyak jiwa manusia yang terancam Corona. Sama halnya saat Allah menyelamatkan jiwa Ismail putera Ibrahim, maka kita sekarang berkewajiban untuk berupaya menyelamatkan sekian banyak umat beriman, sekian banyak putera-putera Ibarhim yang beriman yang memerlukan kepedulian dari kita semua.
Sebagai umat beragama, kita harus percaya pada dua jenis hukum Allah SWT, yaitu hukum syariat, dan hukum ciptaanNya pada alam semseta ini. Melanggar salah satu dari hukum tersebut, dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Jika Hukum syariat dilanggar misalnya, akan pasti mengakibatkan rusaknya hubungan sosial umat manusia. Dan jika hukum alam ciptaan Allah dilanggar pula, niscaya akan mengakibatkan bencana dalam ineraksi fisik kita dengan lingkungan alam itu sendiri.
Salah satu hukum alam ciptaan Allah yang dirasakan nyata umat manusia di dunia saat ini ialah adanya Pandemi Covid 19 yang harus diatasi dengan pengobatan, menghindarkan diri dari penyakit menular tersebut agar kita semua terbebas dari bencana yang lebih luas. Jangan sekal-kali kita merasa aman hanya karena sudah melaksanakan hukum syariat-Nya, atau sudah beribadah kepada-Nya lalu nekad melanggar hukum alam-nya. Sebab bencana hukum alam-Nya berupa Covod 19 itu bisa melanda semua orang tanpa tebang pilih, tidak membedakan antara orang baik-baik dan orang jahat, antara orang shaleh dan orang pendosa, semua bisa terpapar, kalau tidak hati-hati menghadapinya.
Bukti konkretnya ialah sudah sekian banyak orang beriman dan orang-orang shaleh, bahkan kalangan ulama, ustadz, muballigh, dosen dan guru agama pun tertular wabah Corona 19 dan menjadi sebab kematian mereka. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Ini tidak bisa dimungkiri. Alla SWT berfirman:
واتقوا فتنة لا تصيبن الذين ظلموا منكم خاصة واعلوا ان الله شديد العقاب
“Dan peliharalah dirimu dari siksa bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya.”Al-Afal (8): 25.
Karena itu, Mari kita menaati himbauan meniadakan sementara sholat jamaah di masjid dan di lapangan. Jangan kita melanggar hal itu seolah-oleh kita memisahkan diri dari kebersamaan masyarakat luas. Rasulullah SAW sendiri memberi contoh, beliau pernah menolak bershalat jamaah di Masjid Bani Ganam karena jamaah masjid itu sengaja memisahan diri dari jamaah Masjid Quba, sehingga dinilai tidak mengindahkan perlunya persatuan. Bahkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk menghancurkan masjid mereka: “inthaliqu ila hadz al-masjid al-zhalimi ahluhu fa’hdimuhu wa’hriquhu”
انطلقوا إلى هذا المسجد الظالم أهله فاهدموه وأحرقواه
“Pergilah ke masjid itu yang jamaahnya zhalim, hancurkan dan bakar habislah masjid itu”. (Tafsir Al-Qurthubi, Juz 8, h. 253.)
Tahukan saudara-saudara, bahwa atas dasar pentingnya bersatu berJihad melawan Covid 19 ini, Kerajaan Arab Saudi meniadakan pelayanan haji untuk beberapa negara, termasuk Indonesia. Prinsipnya, bahwa bersatu berjihad se Dunia melawan Covid 19, jauh lebih utama ketimbang pelayanan dan pelaksanaan haji itu sendiri. Sesuai Firman Allah SWT dalam Surah Al-Tawbah ayat 19-20:
“Apakah memberi minum kepada orang-orang yang berhaji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim”.
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”
Akhirnya, penulis mengajak kita semua, Mari bergotong royong dan berempati dalam suasana yang serba sulit ini, Kita harus mengurangi beban RS yang semakin penuh sesak, mengurangi beban tenaga kesehatan yang semakn kewalahan menangani membludaknya pasien corona, bahkan sudah sekian banyak tenaga kesehatan, dokter spesialis, dokter umum dan para medis tewas menjadi syahid akibat kelelahan atau turut pula terpapar penyakit tersebut.
Bersatu padu menyelamatkan masyarakat dari penyebaran covid 19, guna mengurangi jatuhnya korban jiwa manusia merupakan inti dari ajaran Islam dan sebagai hikmah utama Idul Adhha, sebagai manifestasi kehendak Allah SWT ketika Dia menyelamatkan jiwa Nabi Ismael AS. Wallahu A’lam bi al-Showabi.
Ketika masih duduk di SMP di tahun 1966, masyarakat di desa kami Lompo Tengah Tanete Riaja Barru, mengadakan acara maulid. H. Jauharuddin, camat yang kharsmatik itu memberi kata sambutan. Ia menguutip ceramah seorang ulama yang baru pulang dari Mesir, namanya Ustadz Sanusi Baco Lc. Itulah untuk pertama kalinya, penulis dengar nama AGH Sanusi Baco (untuk seterusnya disingkat Gurutta Sanusi).
Di kampung kami masa itu, masyarakat sering mengundang penceramah dari luar. Waktu itu, suasana kompetisi antara Nahdhiyin (NU) dan Muhammadiyah sedang hangat-hangatnya, tapi tidak menimbulkan gejolak negative karena hubungan keluarga sangat kuat. Silih berganti antara NU dan Muhammadiyah mengundang penceramah. Dari Muhammadiyah, muballigh yang biasa diundang ialah AGH Kol. Makmur Ali, Ust. Tahir Hasan, dan Ust. Aziz Ishaq. Sementara warga NU sering mendatangkan Rais Syuriah Kabupaten, AGH Badaruddin Amin. Pernah juga mengundang dua ulama dari Makassar, yakni AGH. Murasalin Saleh dan Gurutta Sanusi. Saat itulah, untuk pertama kalinya penulis menyaksikan langsung sosok beliau yang bersahaja, tidak bersorban, tidak pula bergamis. Ia tampak rapi mengenakan sapari dan peci hitam.
Setamat PGA 6 tahun (Aliyah) tahun 1971 dari Pesantren Al-Tauafiq Barru, penulis diantar oleh Ust. Hasanuddin, teman ayah, mendaftar di Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar. Aktiftas Fakultas diawali dengan masa perkenalan almamater, dahulu namanya “pelonco”. Kami disuruh mencari kediaman dosen-dosen IAIN Alauddin, meminta tanda tangannya sebagai awal pengenalan. Salah satu adalah kediaman Gurutta Sanusi, masih di samping Masjid Raya Lama (sebelm direnovasi). Beliau menerima kami dan minta membaca kaver salah satu kitab yang tersusun di Rak bukunya. Penulis membaca “Al-Tafsir al-Hadits”, lalu ditanya apa artinya, penulis langsung jawab: “Tafsir Hadits”, beliau tersenyum, tapi tidak juga menyalahkan, padahal arti sebenarnya ialah “Tafsir Moderen”.
Dalam kesempatan lain, Ust. Hasanuddin mengajak penulis bersilatutahim ke rumah Gurutta Sanusi, dan memperkenalkan ke beliau. Beliau mulanya mengira penulis puteranya AGH. Abdul Haq, Imam Besar Masjid Raya. Ust. Hasanuddin lalu menjelaskan, hanya kebetulan nama akhirnya adalah Haq, karena ayahnya, K.H.Abdul Qadir kagum pada AGH Abdul Haq sebagai ulama dan hafizh Qur’an. Sejak itu penulis mulai paham sosok pribadi Gurutta Sanusi, sangat ramah, terbuka dan mudah bergaul dengan semua orang.
Beliau dosen pada Fakultas Syariah, dan hadir di Fakultas Adab sesuai jadual saja. Sama ketika penulis pindah ke Fakultas Ushuluddin 1973, beliaupun hadir sesuai jadual mengajarnya. Ketika selesai program Sarjana Muda, dengan gelar BA (Beacheloor of Arts) 1974 setara dengan diploma 3 sekarang, penulis mulai banyak bergaul dengan beliau di Universitas Al-Ghazali (UNIZAL) perubahan dari Universitas Nahdhatul Ulama (UNNU). Pergaulan lebih intens ketika beliau menjadi Rektor UNIZAL menggantikan AGH Muhyiddin Zain yang baru wafat ketika itu. Beliau sering ke Barru, mengajar di Fak. Tarbiyah UNIZAL Barru, yang kami bina bersama Uts. Hasanuddin dibawah pimpinan Ketua Yayasan AGH Badaruddin Amin. Beliau sekaligus berceramah di malam hari atas permitaan masyarakat. Metode dan isi dakwahnya disenangi oleh semua lapisan masyarakat tidak hanya kalangan Nahdhiyin.
Termasuk juga ketika penulis bertugas di MAN Soppeng tahun 1980, sering ketemu beliau saat berkunjung ke Fak.Tarbiyah UNIZAL Soppeng. Suatu ketika, beliau ceramah di Masjid Raya Soppeng, sempat melihat penulis dari jauh. Saat bubaran, langsung dari kejauhan melambaikan tangannya pada penulis. Beliau rupanya heran, mengapa penulis ada di sana. Beliu kemudian tanya, apa sudah kawin?, penulis jawab, sudah Ustadz. Beliau mengangguk dan katanya: “hidup anda sudah tenang”. Ini bukti bahwa beliau sangat penuh perhatian pada siapa saja yang sudah akrab dengannya.
Lebih-lebih lagi ketika penulis kembali ke Barru, dan diangkat menjadi Dekan Fak. Tarbiyah UNIZAL Barru, pergaulan dengan beliau semakin intens. Tidak hanya dalam soal kegiatan akademik, tetapi juga sudah semakin sering beliau diundang untuk acara-acara hari besar Islam.
Suatu ketika, usai ceramah maulid di Masjid Agung Barru, beliau diundang ke “rumah baru” seorang pembina masjid. Di salah satu tiangnya rumah itu, masih ada tergantung pisang setandang, dengan harapan agar tuan rumah semakin murah rezkinya. Ternyata beliau agak asing dengan tradisi seperti itu, beliau malah balik bertanya, untuk apa pisang tergantung itu?. Penulis hanya tersenyum dan tidak berkomentar.
Waktu berjalan terus, penulis lagi-lagi dipindah tugas ke Majene. Beliau pun kami pernah undang untuk sebuah acara Maulid Akbar yang diadakan oleh PHBI Kab. Majene. Padahal dua hari sebelumnya itu, beliau masih sempat hadir pada acara Maulid di Ambon Maluku. Setiba di Makssar, beliau langsung berangkat ke Majene bersama sopirnya. Beliau sempat tiba di subuh hari, dan penulis langsung mengantar ke rumah Bapak Drs. Lahamuddin, Sekda, mewakili Bupati. Bgitulah, kalau urusan dakwah, beliau tidak kenal lelah.
Dari Majene, penulis lanjut kuliah dengan biaya sendiri di Pasca Sarjana IAIN syarif Hidayatullah Jakarta 1986, atas rekomendasi Gurutta Sanusi sebagai Rektor UNIZAL. Untuk pertama kalinya, Pasca Sarjana IAIN Jakarta menerima dosen dari perguruan tinggi swasta. Setiap libur ke Makassar, penulis rajin bersilaturhami dengan beliau.
Saat melapor ke beliau atas selesainya studi S3 di Pasca Sarjana tahun 1990, bukan main sambutannya begitu hangat pada penulis. Beliau langsung jawab: alhmadulillah bertambah lagi doktornya UNIZAL. Seterusnya, penulis masih tetap menjabat Ketua Sekolah Tinggi Tarbiyah Al-Gazali Barru, dengn adanya peraturan Menteri Agama dan Mendikbud mengenai Perguruan Tnggi Agama Islam. UNIZAL dinyatakan bubar dan semua fakultasnya menjadi Sekolah Tnggi di bawa Yayasan masing-masing.
Tak lama kemudian di tahun 1990 itu juga, Majelis Ulama Sulawesi Selatan melaksanakan MUSDA di Asrama Haji Sudiang Makassar. MUSDA MUI Sul-Sel menghasilkan kepengurusan baru, dengan posisi Ketua Umum masih AGH Abdul Muin Yusuf, Qadhi Sidenreng. Gurutta Sanusi duduk sebagai Wakil Ketua Umum, sementara penulis pun terpilih sebagai Wakil Sekretaris Umum, di bawah Drs. H.M. Yabani. Tak lama berjalan, Ketua Umum AGH Muin Yusuf meminta agar penulis merangkap Sekretaris Harian, guna menangani masalah keseharian MUI, mengingat Sekretaris Umum sangat sibuk dalam tugasnya sebagai Kepala Bagian Sekretariat Kanwil Kemenag Sul-Sel.
Sebagai orang baru berdiam di Makassar, penulis sering diantar oleh Gurutta Sanusi bertemu dengan tokoh-tokoh pemerintahan dan pebisnis di Makassar. Suatu saat, diantar ke Pak Jusuf Kalla di kantornya, NV Haji Kalla. Walaupun sebenarnya, penulis dengan Pak JK punya hubungan persemendaan, melalui paman Prof.Dr.Amiruddin Aliyah suami dari Ibunda Zohrah Kalla, namun baru kali itu penulis punya akses ke berbagai aktifitas sosial Pak JK khususnya Masjid Raya Makassar yang beliau bina. Banyak jadual dakwah Gurutta diserahkan ke penulis saat beliau tidak sempat mengisinya.
Pada tahun 1991, MUI Sul-Sel membentuk Pendidikan Kader Ulama (PKU), dipimpin oleh Prof. Dr.H. Umat Syihab, dan penulis sebagai Sekretarisnya. Gurutta Sanusi, sangat rajin mengajar calon-calon ulama muda itu. Beliau bahkan lebih intensif lagi membina PKU ketika Prof. Dr.H.Umar Syihab hijrah ke Jakarta menjadi anggota DPR RI. Beliau akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum MUI Sul-Sel, pada MUSDA tahun 1995, sementara penulis juga terpilih sebagai Sekretaris Umum, hubungan kami pun tambah akrab tak ubahnya sebagai keluarga. Waktu itu, AGH Abdul Muin Yusuf mengundurkan diri karena merasa sepuh dan ingin kembali membina secara intensif pesantrennya di Rappang. Sebagai Sekeretaris Umum, tentu saja selalu menyertai beliau dalam setiap kegiatan MUI, baik di tingkat Provinsi maupun Nasional.
Beliau sangat luwes, dalam hal-hal mendesak, kadang beliau tanda tangani persuratan di tepi jalan. Namun beliau pun teguh prinsip, beliau tidak pernah merekom kegiatan-kegiatan aktifis Islam yang cenderung gaduh, terutama di saat panas-panasnya konflik horizontal Ambon dan Poso tahun 1998. Beliau benar-benar cinta damai dan ketenangan. Beberapa Surat Himbauan MUI Sul-Sel agar umat Islam tidak terpancing dengan konflik Ambon dan Poso itu, sempat kami tanda tangani berdua.
Persoalan yang cukup urgent bagi MUI Sul-Sel saat itu ialah belum adanya fasilitas kendaraan. Mobil Gurutta Sanusi, entah apa mereknya, sudh sangat tua, dan tidak layak dipakai untuk acara-acara di Gubernuran, sementara lembaga agama lain sudah pada punya mobil Toyota keluaran baru di zaman itu. Penulis pun berinisiatif memohon ke Gubernur untuk mudahnya aktifitas Gurutta, dan Alhamddulillah dipenuhi.
Selain aktif di MUI, beliau juga aktif di ormas lokal Daru Dakwah Wal Irsyad (DDI) Sulawesi Selatan. Memang, Sanusi Muda sejatinya adalah santri dari Pesantren DDI Mangkoso. Pernah menceritakan pengalamannya saat penamatan Madrasah Aliyah, para santri foto bersama dengan para pengajarnya. Saat mereka santri laki-laki mengajak santri perempuan foto bersama, pimpinan pondok marah besar, akhirnya mereka bubar berantakan.
Sepeninggal Ketua Umum PB DDI, AGH Abdu Rahman Ambo Dalle di tahun 1996, untuk beberapa saat DDI seperti organisasi auto pilot, berjalan tanpa nakhoda. Maka Gubernur Sulawesi Selatan, H.Z.B. Palaguna, selaku Pembina ormas keagamaan, atas saran dari beberapa tokoh penting, menunjuk Gurutta Sanusi menjabat Plt Ketua Umum PB DDI, dengan tugas mengantar DDI ke Muktamar tahun 1999. Akibat kisru internal dalam Muktamar 1999, pihak-pihak yang tidak puas, berinisiatif meredam kisruh itu dengn jalan pintas, yakni membentuk DDI versi baru, dengan nama DDI Ambo Dalle, disingkat DDI AD.
Sebagian besar tokoh legendaris historis DDI berada pada gerbong DDI AD, dan mereka melibatkan Gurutta Sanusi di dalamnya, walaupun beliaunya merasa berat hati. Maka kemudian desakan untuk ishlah antara dua kubu DDI semakin keras. Akhirnya dua kubu tersebut berikrar ishlah di hadapan Gurutta AGH Ali Yafi, pada tanggal 28 Feberuari 2015 di Jakarta, tokoh utama dan pelaku sejarah lahirnya DDI yang Alhamdulillah masih hidup sehat. Sejak terbelah menjadi dua versi, penulis tidak banyak megetahui perkembangan internal masing-masing versi DDI itu. Sementara Gurutta Sanusi Baco juga tidak intens lagi pada ormas tersebut, dan hanya menekuni tugas sebagai Ketua Umum MUI Sul-Sel. Yang jelas, beliau dan penulis sangat mendukung ishlah itu.
Jauh sebelum ishlah, lambat laum penulis berhasil mengambil posisi netral, bahkan PB DDI versi Muktamar 1999 sering mengundang penulis dalam sejumlah kegiatannya. Penulis sempat mendampingi Presiden Megawati ke acara Rakernas Muslimat DDI di Pinrang tahun 2004. Juga sempat hadir pada Muktamar 2009 di Asrama Haji Sudiang, dan juga pada Muktamar 2014 di tempat yang sama. Terakhir hadir bersama Gurutta Sanusi pada Mukernas DDI 2016 yang mengukuhkan ishlah DDI tersebut.
Menjelang Pilpres 2014, PDI Perjuangan mengusung Joko Widodo (Jokowi), sebagai kandidat Presiden. Penulis bertugas menyertai Jokowi bersosialisasi ke daerah-dearah. Ketika Jokowi bersosialisasi di Makassar, penulis mendampingnya bertemu dengan Gurutta Sanusi dalam acara silaturahim di kediamannya Jl. Kelapa Tiga Makassar. Di pagi hari itu, selama sekitar satu jam, acara silaturahim berlangsung dengan hangat. Hampir semua isi pembicaraan Gurutta menyangkut sosok Bapak Jusuf Kalla sebagai kandidat Cawapres yang layak mendampingi pak Jokowi. Sampai-sampai Pak Aksa Mahmud yang juga duduk di sampingnya, berbisik ke penulis, merasa kurang sreg, dan sedikit malu, karena Gurutta berkali-kali menyebut nama Jusuf Kalla, dengan segala capaiannya sebagai pengusaha, politisi dan aktifis sosial.
Sejak aktif sebagai anggota DPR RI 2014-2019, penulis agak jarang berinteraksi dengan Gurutta Sanusi. Hanya dari jauh membaca aktifitas Gurutta berdakwah, dan ceramah agama di berbagai tempat. Juga aktifitasnya sebgai Ketua Umum MUI Sul-Sel dan Rais Syuriah NU Sul-Sel. Pernah dua kali diberitakan Guruttta masuk Rumah sakit, namun tidak sempat membezuk beliau. Ketiga kalinya, pun terlambat, lalu penulis langsung menjenguk beliau yang masih jalani perawatan keluarga di rumahnya. Walau masih terbaring di tempat tidur, beliau melayani penulis berdiskusi ringan murni soal dakwah dan keluarga.
Tiba-tiba saja beliau melihat putri penulis di dekatnya, langsung beliau bercanda soal harga ayam. Asalnya, putri saya ini semasih kecil umur 3 tahun, sering tanpa setahu kita, memanggi penjual ayam yang lewat depan rumah. Ya senangnya begitu, mau tak mau ayam pun harus dibeli walau persiapan ayam masih ada. Kalau tidak, dia pasti nangis. Gurutta tetap mengingat itu, dan setiap penulis bersama istri bertamu ke rumahnya, pasti awal kalimat beliau, “bagaimana Bu, uang pembeli ayamnya?” Kalimat senada juga sering dilontarkan setiap penulis mengantarkan honornya dari Pendidikan Kader Ulama, langsung bilangnya, “Alhamdulillah, ada lagi uang pembeli ayam”, sambil ketawa kecil.
Gurutta Sanusi senang jika ada sahabat, atau murid-murid menziarahinya. Kalimat yang paling sering di awal diskusi setiap penulis menziarahi beliau, ialah soal pergeseran nilai. Inti dari nilai yang beliau tekankan ialah penghormatan terhadap ulama, terhadap dosen, terhadap yang lebih tua, yang menurutnya sudah banyak bergeser. Sekarang generasi muda semakin kasar pergaulannya. Sewaktu masih di Makassar, sebagai Plt Ketua Forum Antar Umat Beragama, yang kami bentuk bersama Pak Jusuf Kalla di tahun 1998, sebagai cikal bakal FKUB versi pemerintah, penulis sering mengantar tokoh-tokoh agama lain berkunjung ke rumah beliau. Beliau senang, dan menyebutnya “inilah nilai” yang harus dilestarikan.
Terlalu banyak hal yang bisa dikisahkan dari beliau, banyak pelajaran yang dipetik, banyak teladan dipanuti, metode dan materi dakwah yang sejuk, mengundang tawa yang bermakna, jauh dari sekedar candaan jenaka, sehari-harinya dengan kostum ulama ala Indonesia, peci hitam dengan jas yang rapi dipadu dengan sarung keindonseiaan, begitulah masih terbayang di benak kita. Kini beliau sedang menghadap Khaliqnya, Khaliq kita semua. Selamat jalan Gurunda, semoga teladanmu dapat kami teruskan. Amien Ya Rabba al-‘Aamin.
Pada tahun 2010, penulis mewakili Baitul Muslimin Indonesia menghadiri Konferensi untuk Pembelaan Baitul Maqdis (General Conference for the Support of Al-Quds), bertempat di Kualalumpur Malaysia. Konferensi berlangsung selama dua hari tepatnya tanggal 20 s.d. 21 Januari 2010, dihadiri sejumlah delegasi dari negara Timur Tengah, Asia Timur dan Asis Tenggara. Dari Indonesia, hadir pula wakil ormas Islam Muhammdiyah, NU, dan MDI.
Mantan PM Malaysia Dr. Mahathir Muhammad hadir sebagai Keynote Speaker, sekaligus membuka konferensi internasional tersebut. Dalam pidato tanpa teks, Mahathir menegaskan bahwa dunia internasional, khususnya Barat terkadang tidak adil memandang Palestina, dan persoalan umat Islam pada umumnya. Misalnya, serangan 11 September 2001 dianggapnya sebagai serangan teroris, sementara serangan brutal Zionisme Israel atas bangsa Palstina di Gaza tidak disebutnya serangan teroris.
Hal menarik lainnya dari pidato Mahathir adalah bahwa Amerika dan sekutunya di Eropa sengaja memberikan sebahagain wilayah Palestina menjadi negara untuk Zionis Israel, karena bangsa Barat merasa terganggu dengan kehadiran kaum Yahudi yang menyebar di negara-negara Eropa dan Amerika itu. Untuk menghindari gangguan tersebut, negara-negara Barat sepakat perlunya pembentukan Negara Israel sendiri untuk merelokasi kaum Yahudi berdiaspora itu. Hal ini baru kita dengar, dan jika benar demikian, maka bantuan Amerika dan Eropa ke Israel, yang seolah menjadikan Israel sebagai anak emas, ternyata bertujuan pula untuk menghindari perilaku kaum Yahudi yang mereka pandang sebagai trouble maker di negara mereka.
Persoalan kota suci Jerussalem (al-Quds) yang menjadi tema konferensi merupakan bahagian terpentig dari perang Pelaestina-Israel, dan menjadi alasan bagi negara-negara Islam untuk membantu perjuangan bangsa Palestina. Kini, Israel mengklaim Al-Quds menjadi Ibukota Negara Zionis itu. Di lain pihak, pejuang Palestina juga mencita-citakan sebuah Negara Palestina Merdeka, dan Al-Quds sebagai ibu kotanya. Maka terjadilah konflik antara Palestina dan Israel yang berkepanjangan seolah tiada habisnya. Terakhir kemarin terjadi saling serang yang tidak berimbang selama sebelas hari di bulan Mei 2021 ini. Walau kerugian besar dialami tentunya oleh Hamas, namun anehnya, Hamas justru mengaku menang dan marayakannya usai pengumunan gencatan senjata oleh Israel.
Pertanyaan, sampai berapa lama lagi perang itu berlangsung, dan kapan akan berakhir?. Sulit dijawab jika melihat eskalasi persoalan antara keduanya. Dan karena itu pula nasib Al-Quds pun tidak dapat dipastikan akan jatuh ke tangan siapa, dan sampai kapan ia terkatung-katung dalam bayang-bayang perang tanpa akhir itu. Jawaban yang mungkin ialah, bahwa nasib Al-Quds tergantung pada kepastian terbentuknya Negara Palestina Merdeka, yang dapat dicapai dengan memilih salah satu alternative berikut
Alternatif pertama ialah bangsa Palestina harus mempersiapkan diri menghadapi dan memenangkan perang panjang dengan Israel itu. Alternatif ini tentulah sangat sulit, tidak realistis dan tidak memberi kepastian kepada bangsa Palestina untuk dapat memproklamirkan kemerdekaannya dalam waktu yang singkat atau lama.
Alternatif kedua ialah menempuh perdamaian dengan meneruskan lagi peta jalan damai Oslo 1993 yang telah dirintis dan desepakati oleh oleh Yasser Arafat dan Yitshak Rabin, untuk berdirinya dua negara Palestina dan Israel yang berdampingan secara damai. Peta jalan damai itu juga kini sudah disetujui oleh Arab Saudi, Maroko, Uni Emirat Arab dan Bahrain. Tanpa melupakan perlunya pertahanan militer bagi sebuah negara, namun hal yang paling utama ialah Palestina dan Israel haruslah memastikan pihaknya untuk dapat hidup berdampingan dalam perdamaian abadi.
Sadar pula bahwa zaman globalisasi dewasa ini, mengharuskan semua komunitas manusia untuk saling berhubungan dengan baik tanpa sekat-sekat bangsa, ras dan agama. Untuk itu kecenderungan peradaban modern ialah membangun kedamaian untuk semua. Maka, saatnya kini paradigma perang yang berkepanjangan diubah menjadi paradigma perdamaian. Saatnyalah bangsa Palestina dan Israel semakin intens meneruskan perundingan demi kehidupan baru yang sejahtera dalam dua negara yang damai untuk selamanya.
Fatah dan Hamas, Bersatulah
Kendala utama perdamaian di Palestina ialah, pecahnya perlawanan bangsa Palestina sendiri, yakni Fatah (kekuatan inti PLO) dan Hamas. Fatah dan Hamas mempunyai gaya yang berbeda, fatah lebih cenderung memilih jalan diplomasi dan mudah diajak ke meja perundingan, sedang Hamash tetap memilih perjuangan bersenjata.
Dua gaya pergerakan tersebu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, namun untuk kondisi kekinian, maka jalan damai adalah pilihan yang realistis. Konflik bersenjata Palestina-Israel sudah berlangsung lebih 70 tahun, yang mengakibatkan korban mati syahid ratusan ribu jiwa, atau mungkin jutaan, eksodus besar-besaran, anak-anak terlantar hidup di pengungsian, serta keadaan yang selalu mencekam sewaktu-waktu menghadapi pengeboman dan serangan udara tentara Israel. Sekali lagi tanpa mengabaikan perlunya kekuatan militer untuk pertahanan diri, namun jalan perdamaian untuk mengakhiri penderitaan bangsa Palestina adalah jalan yang terbaik, dan merupakan pilihan yang realistis.
Untuk kepentingan itulah, maka seharusnya dua gaya pergerakan tersebut menyatu sebagai kekuatan dahsyat yang tiada taranya, memandang jauh ke depan untuk menata kehidupan berbangsa yang solid, dan meninggalkan egoisme sektoral demi terwujudnya Negara Bangsa Palestina Merdeka.
Untuk itu faksi Hamas harus berubah, harus menerima gagasan dua negara berdasarkan perjanjian Oslo 1993, yang selalu ditolaknya itu. Bagaimanapun juga gagasan tersebut itulah yang realistis, dan kini negara-negara Arab pun yang sejak awal berdirinya Israel menolak keras gagasan serupa, seperti Arab Saudi, Maroko dan negara-negara teluk, justru melunak menerimanya dan mengakui kehadiran Israel. Hal tersebut jauh lebih menguntungkan Palestina ketimbang ngotot berperang terus dengan tetap berharap donasi dari negara-negara Islam lain. Memelihara perang hanya merugikan semua pihak, terutama Palestina sendiri. Hamas harus memahami ini sebelum negara-negara Arab lain semakin banyak mengakui Israel, yang membuat Hamas semakin terkucil, bahkan mungkin Hamas akan dicap oleh mereka sebagai organisasi cinta perang ala teroris. Wallahu a’lam bil Showabi.